Bagaimana mekanisme PEMBERHENTIAN Presiden setelah amandemen UUD 1945

Bagaimana mekanisme PEMBERHENTIAN Presiden setelah amandemen UUD 1945

Hukum Positif Indonesia-

Pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya dapat dilakukan oleh Majelis Permusyawarat Rakyat (MPR), sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan konstitusi negara republik Indonesia bahwa, “Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar.

Masa jabatan presiden dan wakil presiden berdasarkan konstitusi negara Republik Indonesia adalah lima tahun, dan setelahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan, hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam uraian ini disampaikan mengenai:

Baik presiden maupun wakil presiden dapat diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam masa jabatannya apabila:

  1. Terbukti melakukan pelanggaran hukum.
  2. Terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden.

Pelanggaran hukum oleh presiden dan/atau wakil presiden yang dimaksud adalah sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagai berikut:

  1. Melakukan pengkhianatan terhadap negara.
  2. Korupsi.
  3. Penyuapan.
  4. Tindak pidana berat lain.
  5. Perbuatan tercela.

Baca juga: Persyaratan Calon Presiden

Berdasarkan ketentuan Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur tata cara pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, yaitu:

  1. Usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum, dan/atau pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
  2. Pendapat Dewan Perwakilan rakyat dimaksud adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
  3. Pengajuan usulan dimaksud hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
  4. Mahkamah konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
  5. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
  6. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
  7. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir, setelah presiden dan/atau wakil presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Perlu menjadi perhatian juga bahwa dalam ketentuan Pasal 7C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan, “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)”. (RenTo)(030620)

PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATAN

HARIS MUSTOFA, 039914847 (2006) PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATAN. Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.

Official URL: http://lib.unair.ac.id

Abstract

Amandemen UUD 1945 telah merubah struktur ketatanegaraan Indonesia. Sebelum amandemen UUD 1945 dikenal adanya lembaga tertinggi dan tinggi Negara. MPR sebagai lembaga tertinggi Negara mempunyai kekuasaan yang besar. Salah satunya pengangkatan dan pemberhentian presiden ditengah massa jabatan, merumuslan GBHN dan memberikan mandat kepada presiden, dll. Setelah amandemen UUD 1945 terjadi perubahan dalam struktur ketatanegaraan dengan menempatkan MPR sebagai lembaga yang kedudukannya hanya sebagai lembaga Negara yang sederajat dengan lembaga Negara lainnya. Implikasinya, kewenangan MPR semakin terkurangi secara signifikan walapaun dalam proses pemberhentian presiden masih mempunyai peran untuk memutus setelah menunggu pendapat dari MK. Sehingga tidak dikenal lembaga tertinggi Negara dan lembaga tinggi Negara, yang dikenal adalah lembaga Negara. Setelah adanya amandemen UUD 1945 telah terjadi perubahan dalam sistem ketatanegaraan kita. Salah satunya adalah dalam sistem pemberhentian presiden. Sebelum amandemen model pemberhentian presiden hanya melibatkan lembaga perwakilan rakyat saja, yaitu DPR dan MPR yang note bane sebagai lembaga politis. Sehimgga dalam proses pemberhentian presiden lebih banyak muansa politis. Namun setelah adanya amandemen UUD 1945 telah terjadi perubahan cukup signifikan dalam proses pemberhentian presiden dengan melibatkan lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudisial untuk memberi pendapat Alasan pemberhentian presiden sebelum amandemen UUD 1945 bersifat ketatanegaraan. Seorang presiden bisa diajukan ke Sidang Istemewa MPR karena dianggap melanggar GBHN atau dianggap tidak layak menjadi presiden. Setelah amademen UUD 1945 ada perubahan rumusan alasan pemberhentian presiden, salah satunya bahwa presiden dapat diajukan ke sidang istimewa MPR karena DPR Beranggapan bahwa Presiden melakukan pelanggaran hukum pidana berupa pengkhianatan Negara, korupsi, melakukan tindak pidana berat dan perbuatan tercela.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Additional Information: KKB KK-2 FH 145/07 Mus p
Uncontrolled Keywords: PRESIDENTS � ELECTION
Subjects: K Law > KZ Law of Nations
Divisions: 03. Fakultas Hukum
Creators:
CreatorsNIM
HARIS MUSTOFA, 039914847UNSPECIFIED
Contributors:
ContributionNameNIDN / NIDK
Thesis advisorSoekardi, , S.H., M.H.UNSPECIFIED
Depositing User: Tn Hatra Iswara
Date Deposited: 05 Apr 2007 12:00
Last Modified: 19 Jun 2017 22:10
URI: http://repository.unair.ac.id/id/eprint/13849
Sosial Share:

Actions (login required)

Bagaimana mekanisme PEMBERHENTIAN Presiden setelah amandemen UUD 1945
View Item

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie. Jimly, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta. Bhuana Ilmu Populer.

Hufron, 2018, Pemberhentian Presiden di Indonesia antara Teori dan Praktik, Yogyakarta, LaksBang Pressindo.

Isra. Saldi, 2010, Pergeseran Fungsi Kekuasaan Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Mahfud MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta, LP3ES.

Nazriyah. Riri, 2007, MPR RI Kajian terhadap Produk Hukum dan Prospek Di Masa Depan, Yogyakarta, FH UII Press, Cetakan Pertama.

Sumbu. Telly dkk, 2010, Kamus Umum, Politik dan Hukum, Permata Aksara, Jakarta.

Zoelva. Hamdan, 2005, Impeachment Presiden, Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Jakarta, Konstitusi Press.