Bagaimana jika ada salah satu jamaah haji yang berhalangan untuk melontar jumroh

اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَقَ‌ۚ (١) خَلَقَ الۡاِنۡسَانَ مِنۡ عَلَقٍ‌ۚ‏ (٢) اِقۡرَاۡ وَرَبُّكَ الۡاَكۡرَمُۙ (٣) الَّذِىۡ عَلَّمَ بِالۡقَلَمِۙ (٤) عَلَّمَ الۡاِنۡسَانَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡؕ (٥)

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

(QS. Al-'Alaq Ayat 1-5)

Salah satu rukun Islam adalah mengerjakan haji bagi yang mampu sebagaimana sabda Rasulullah.

Dari ibnu Umar ra. telah datang seorang laki-laki kepada Nabi saw. Dan berkatalah ia: “ ya Rasulullah apakah yang mewajibkan haji? “Rasulullah menjawab: Ada bekal dan kendaraan” (H.R Turmadzi).

Haji dalam Islam merupakan salah satu ibadah yang sangat disarankan karena ada banyak keutamaan haji. Haji menjadi salah satu perkara yang menguatkan keimanan dan ketakwaan kita serta mengingatkan kita pada Nabi Ibrahim as. Allah berfirman,

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّـنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِناً وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS Al Imran : 97)

Salah satu hal yang wajib dikerjakan dalam haji adalah melempar jumrah. Hukum melempar jumrah adalah wajib. Lempar jumrah sendiri berasal dari sejarah Nabi Ibrahim as yang bertemu dengan setan.

عن ابن عباس رضي الله عنهما رفعه إلى النبي ‘ قال :” لما أتى إبراهيم خليل الله المناسك عرض له الشيطان عند جمرة العقبة فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ، ثم عرض له عند الجمرة الثانية فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ، ثم عرض له عند الجمرة الثالثة فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ” قال ابن عباس : الشيطان ترجمون ، وملة أبيكم إبراهيم تتبعون

Dari Ibnu Abbas radhiyallallahu’anhuma, beliau menisbatkan pernyataan ini kepada Nabi, “Ketika Ibrahim kekasih Allah melakukan ibadah haji, tiba-tiba Iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumrah’Aqobah. Lalu Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah . Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumrah yang kedua. Lalu Ibrahim melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah. Kemudian Iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke tanah“.

Baca juga:

Ibnu Abbas kemudian mengatakan,

الشيطان ترجمون ، وملة أبيكم إبراهيم تتبعون

“Kalian merajam setan, bersamaan dengan itu (dengan melempar jumrah) kalian mengikuti agama ayah kalian Ibrahim“

Melempar jumrah pun mempunyai waktu tertentu sehingga tidak bisa dikerjakan sembarang waktu. Adapun waktu melempar jumrah ada 2, yakni melempar jumrah pada hari raya (Idul Adha, tanggal 10 Zulhijah) setelah matahari terbit dan melempar pada hari-hari tasyriq (11, 12, 13).

Pada hari raya, lempar jumrah dilakukan mulai matahari terbit hingga malam hari. Namun pastikan untuk tidak melempar jumrah pada saat waktu fajar di tanggal 11 Zulhijjah tiba. Keringanan ini diberikan bagi mereka yang kesulitan untuk melempar jumrah karena padatnya jamaah, terutama bagi yang telah berusia lanjut.

Sedangkan pada hari tasyrik, lempar jumrah dilakukan mulai dari azan Zuhur hingga akhir malam. Namun lebih diutamakan pada siang hari, akhir malam hanya diutamakan bagi jamaah yang mengalami kesulitan melempar jumrah di keramaian karena telah berusia lanjut atau sakit. Hal ini dikarenakan  Allah berfirman.

“Artinya : Maka bertakwalah kamu menurut kesanggupanmu” [At-Thagabun : 16]

Jabir Radhiallahu ‘anhu berkata :

رَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْ النَّحْرِ ضُحَى وَرَمَى بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ الزَّوَالِ

“Artinya : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melontar dalam hari nahar pada waktu dhuha dan melontar setelah (hari) itu ketika matahari telah bergeser ke barat” [Hadits Riwayat Muslim]

Baca juga :

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu bahwa dia ditanya tentang hal tersebut, maka dia berkata.

كُنَّا نَتَحَيَّنُ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ رَمَيْنَا

“Artinya : Adalah kami menunggu-nunggu waktu, maka ketika matahari bergeser ke barat kami melontar” .[Hadits Riwayat Bukhari]

Lalu bagaimana jika melakukan lempar jumrah di luar waktu yang telah ditentukan? Maka jamaah tersebut harus membayar denda.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata : “Barangsiapa yang meninggalkan ibadah (dalam haji) atau lupa, maka dia harus menyembelih kurban” [Hadits Riwayat Malij]

Mengapa hukum melempar jumrah adalah wajib? Mengenai hal ini, hanya Allah yang tahu.

Imam Nawawi rahimahullah berkata,

ومن العبادات التي لا يفهم معناها : السعي والرمي ، فكلف العبد بهما ليتم انقياده ، فإن هذا النوع لاحظ للنفس فيه ، ولا للعقل ، ولا يحمل عليه إلا مجرد امتثال الأمر ، وكمال الانقياد فهذه إشارة مختصرة تعرف بها الحكمة في جميع العبادات والله أعلم انتهى كلام النووي

“Sebagian ibadah tidak diketahui maksud atau tujuannya, semacam sa’i dan melempar jumrah. Allah membebani seorang hamba untuk melakukan dua ibadah tersebut agar kepatuhannya kepada Allah semakin sempurna. Karena jiwa tidak mengetahui hikmah yang terkandung di dalamnya, tidak pula akal.

Tidak ada motivasi yang mendorongnya untuk melakukan perintah tersebut, melainkan semata-mata mematuhi seruan Allah, serta ketundukan yang sempurna (kepada Allah ‘azza wa jalla). Dengan kaidah ringkas ini, kamu akan mengetahui hikmah semua ibadah.” (Dikutip oleh Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam kitab tafsir beliau Adhwaa-u Al-Bayan 4/480, dari kitab Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab).

Baca juga :

Namun inti dari lempar jumrah bukanlah untuk mengusir setan layaknya yang dianggap oleh banyak orang selama ini. Lempar jumrah lebih ke ibadah yang mengingatkan kita pada Allah.

Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ ِلإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّه

“Sesungguhnya, diadakannya thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa dan melempar jumrah, adalah untuk mengingat Allah.” (HR. Abu Daud no. 1888. Di hasankan oleh Al-Arnauth).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

هذه هي الحكمة من رمي الجمرات ولهذا يكبر الانسان عند كل حصاة لا يقول: اعوذ بالله من الشيطان الرجيم بل يكبر ويقول : الله اكبر. تعظيما لله الذي شرع رمي هذه الحصى

“Inilah hikmah dari ibadah melempar jumrah. Oleh karena itu, (saat melempar jumrah) orang-orang bertakbir di setiap lemparan, mereka tidak mengucapkan,

“A‘uudzubillahi minasy syaithanir rajiim” (kuberlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).

Mereka justru bertakbir, “Allahu akbar“, sebagai bentuk pengagungan kepada Allah yang telah mensyariatkan ibadah melempar jumrah.” (Majmu’ Fatawa War Rasaa-il Ibni ‘Utsaimin, 3/133)

Itulah penjelasan singkat mengenai lempar jumrah dalam ibadah haji dan umroh. Baik haji maupun umroh, keduanya adalah ibadah yang akan meningkatkan kualitas keimanan kita jika dikerjakan dengan baik dan benar.

Demikianlah artikel yang singkat ini. Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua dan menambah keimanan kita kepada Allah SWT. Aamiin.

Naib Amirul Hajj Abdul Mu'thi. (foto: danyl)

(MCH)- Salah satu wajib haji adalah melempar jumrah. Kewajiban ini dibarengi dengan kewajiban mabit (menginap) di daerah Mina. Jarak antara pemondokan di Mina dengan area melempar, tidak kurang dari 4 KM. Artinya, saat akan melontar, jemaah setidaknya harus berjalan pulang pergi sejauh 8 KM. Kondisi ini terasa semakin berat seiring dengan pergerakan ribuan jemaah secara bersamaan hingga terjadi kepadatan di jalan.

Dengan kondisi seperti itu, bagaimana dengan jemaah yang lanjut usia dan memiliki risiko kesehatan yang tinggi (risti). Bolehkah mereka mewakilkan lempar jumrahnya?

Berikut keterangan Naib Amirul Hajj sekaligus Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr. Abdul Mu’thi kepada Media Center Haji, di Makkah, Minggu (03/08).

Badal diberikan sebagai bentuk aturan khusus atau ketentuan khusus dalam ibadah haji. Ada dua kategori badal. Pertama, badal secara keseluruhan, yaitu badal yang dilakukan sejak dari Tanah Air. Misalnya, ada yang punya nazar untuk melakukan ibadah haji, tetapi karena suatu hal, bisa karena sakit, atau wafat, itu tidak bisa ditunaikan.

Kedua, badal haji bisa dilakukan di Tanah Suci. Ini dilaksanakan, ketika, misalnya setibanya di Tanah Suci, mereka sakit, atau dalam kondisi lain, yang menyebabkan ketidakmemungkinkannya menunaikan salah satu rukun atau wajib ibadah haji.

Dalam konteks yang kedua, badal haji dapat diberlakukan bagi jemaah yang berhalangan mengerjakan wajib haji dan sebagian rukun haji. Nah, wajib haji itu boleh dibadalkan termasuk Jumrah.

Badal lempar jumrah itu menjadi boleh karena kondisi tertentu. Dalam bahasa agama disebut dengan al masyaqqah (kesulitan). Jadi, kalau kita beribadah, kita tidak boleh melaksanakan sesuatu yang membahayakan keselamatan diri sendiri atau orang lain, apalagi sampai mengancam kehidupan diri sendiri.

Sehingga ada kaidah ushul fiqh: al masyaqqah tajlibut taysir. Artinya, kesulitan itu menjadikan diperbolehhkan sesuatu, sebagai suatu bentuk kemudahan beragama. Itu juga berkaitan dengan ayat Al Qur’an: ma ja’ala alaikum fiddini min haraji, Allah tidak menjadikan bagimu kesulitan dalam beragama. Oleh karena itu maka berdasarkan pandangan tersebut, menurut saya, badal haji itu boleh dilakukan bagi jemaah yang memang karena kondisinya tidak mampu menunaikan.

Hanya memang, walaupun ini ikhtilaf, tetapi saya berpendapat, seseorang tidak boleh membadalkan lebih dari satu jemaah haji. Kemudian, dilakukan ketika seseorang telah menunaikan wajib hajinya terlebih dahulu. Jadi, yang akan membadalkan sudah menunaikannya terlebih dahulu, baru setelah itu lempar untuk yang dibadalkan. Jadi, harus dilakukan secara terpisah, dengan urutan mulai dari dirinya sendiri dulu, lalu kemudian untuk jemaah yang dibadalkan.

Sumber : https://kemenag.go.id/berita/read/505514/apakah-lempar-jumrah-boleh-diwakilkan-