Apapun perintah orang tua pada anaknya wajib ditaati kecuali yang menjadikan Allah



بِسْــــــمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْم

Halal Haram Dalam Islam

Perintah Ortu Yang Tidak Boleh Ditaati

Apabila kedua orang tua kita memerintahkan atau mengajak kita untuk musyrik kepada Allah, atau bermaksiat kepada Allah atau kepada perbuatan-perbuatan dosa yang tidak dibenarkan oleh agama, maka kita tidak boleh mentaatinya. Meskipun demikian kita tetap harus bergaul dengan keduanya di dunia ini dengan baik. 

وَ وَصَّيْنَا اْلاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا، وَ اِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا، اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ. العنكبوت:8

Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku lah kembalimu, lalu Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [QS. Al-’Ankabuut : 8]

وَ اِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَ صَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا، وَ اتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّ، ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ. لقمان:15

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan bergaullah dengan keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Ku-beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [QS. Luqman : 15]

وَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلبِرّ وَ التَّقْوى وَ لاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلاِثْمِ وَ اْلعُدْوَانِ، وَ اتَّقُوا اللهَ، اِنَّ اللهَ شَدِيْدُ اْلعِقَابِ. المائدة:2

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. [QS. Al-Maaidah : 2]

Dan Rasulullah SAW bersabda :

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللهِ، اِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى اْلمَعْرُوْفِ. مسلم

Tidak boleh taat (kepada makhluq) dalam berma’shiyat kepada Allah. Hanyasanya taat itu dalam perkara yang ma’ruf. [HR. Muslim dari ‘Ali RA, juz 3 hal. 1469]

Semoga Allah swt melindungi kita dari segala perbuatan musrik.

سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اَنْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَ اَتُوْبُ اِلَيْكَ

Merdeka.com - Orangtua adalah segalanya. Mereka lah yang wajib dihormati dan dimuliakan lebih dulu dibanding yang lain. Menghormati dan memuliakan orangtua terutama ibu juga merupakan bakti kepada Allah SWT.

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu. Maka, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS Al-Isra [17]:23).

Dari ayat tersebut dapat diperoleh tiga kewajiban anak terhadap orangtua, dikutip dari buku Mukjizat Doa & Air Mata Ibu tulisan Ahmad Sudirman Abbas.

1. Wajib untuk berlaku baik, bertindak-tanduk baik kepada orangtua, terlebih lagi bila kedua orangtua sudah lanjut usia.

2. Seorang anak dilarang mengucapkan kata-kata yang bernada merendahkan martabat orangtua atau berupa perbuatan yang menyakitkan.

3. Anak dilarang menghardik orangtua. Menghardik berarti memarahi, menghina, membentak atau menegur keras disertai dengan perbuatan.

Dengan menjalankan kewajiban tersebut semoga kita menjadi anak yang soleh dan soleha. Serta selalu mendapat ridha Allah. Amiin. (mdk/ded)

Bersih dari dosa, Rasulullah SAW tetap Istigfar kepada Allah SWT

Tanda-tanda kedatangan malam Lailatul Qadar

Ini ganjaran kenikmatan dari Allah bagi umat yang cinta anak yatim

Apa hukumnya saat berpuasa memakai penyegar mulut?

Puasa tapi tak salat, dapat pahala atau tidak? Ini sabda Rasulullah

PADA Surah al-Ahqaaf (46:15) berbunyi wawash shainaa insaana biwaalidaihi ihsaanan (Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya) yakni berbicara tentang pesan Allah kepada manusia, khususnya kepada anak perihal kewajiban berbakti kepada kedua orangtuanya.

Ayat pada surah al-Ahqaaf yang lalu, membahas tentang keesaan Allah. Selanjutnya dibicarakan kewajiban bakti kepada orangtua, ini memberi isyarat berbakti pada orangtua datang sesudah kewajiban taat kepada Allah.

Allah dan Rasulullah mengaitkan antara rida orangtua dan rida Allah. Kalau orangtua tidak rida kepada Anda, Allah pun tidak rida. Rida Allah itu bisa Anda temukan pada rida kedua orangtua.

Doa orangtua yang tulus, insya Allah dengan kehendak Allah akan dikabulkan. Penegasannya juga disampaikan Nabi Muhammad SAW, “Sungguh celaka orang yang masih memiliki orangtua atau hidup, tetapi dia tidak masuk surga.”

Berbakti artinya melakukan kegiatan baik yang menyenangkan orangtua, bukan sekadar menghormati. Bahkan sekalipun orangtua kita bukan muslim, kita tetap diwajibkan berbakti. Kecuali jika kita diminta mempersekutukan Allah, jangan taati perintahnya, tetapi perlakukan dia sebaik mungkin selama masa hidupnya.

Apa alasan kita wajib berbakti kepada orangtua, khususnya ibu? Hamalathu ummuhu kurhan wawadha’athu kurhan. Artinya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).

Selanjutnya wahamluhu wafishaaluhu tsalaatsuuna syahran artinya masa mengandung sampai menyapihnya selama 30 bulan. Atas dasar itu, kata ulama, ketika Rasulullah Muhammad SAW ditanya, siapa orang pertama yang paling wajib untuk kita berbakti? Nabi menjawab “Ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu.” Akan tetapi, hal itu tidak berarti antara ibu dan ayah mesti dipertentangkan.

Jadi apa yang harus dilakukan anak selain berbakti yaitu berdoa dengan bunyi ayat ‘Hatta idzaa balagha asyuddahu wabalagha arba’iina sanatan qaala rabbi auzi’nii an asykura ni’matakallatii an’amta ‘alai-ya wa’ala waalidai-ya wa-an a’mala shaalihan tardhaahu wa-ashlih lii fii dzurrii-yatii innii tubtu ilaika wa-innii minal muslimiin (Sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai 40 tahun, dia berdoa,

Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai, dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim)’. (Fer/H-1)

Sudah kita ketahui bersama sebagaimana diterangkan pula dalam bahasan sebelumnya akan wajibnya berbakti pada orang tua, berbuat baik pada mereka, dan tidak membuat kesal mereka. Namun apakah berbakti di sini secara mutlak? Jawabannya, tidak. Selama itu dalam ketaatan pada Allah atau masih dalam kebaikan, maka perintah mereka dituruti. Jika mereka memerintahkan dalam syirik, maksiat dan bid’ah, maka tidaklah ada ketaatan. Jika mereka adalah musyrik atau non muslim –sebagaimana teladan dari kisah Sa’ad dalam tulisan ini-, tetap ada kewajiban berbaik pada mereka selamat tidak menuruti ajaran agama mereka atau turut serta dalam perayaan dan ritual ibadah mereka.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Lukman: 15).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jika kedua orang tua memaksamu agar mengikuti keyakinan keduanya, maka janganlah engkau terima. Namun hal ini tidaklah menghalangi engkau untuk berbuat baik kepada keduanya di dunia secara ma’ruf (dengan baik)” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 54).

Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan, “Janganlah engkau menyangka bahwa taat kepada keduanya dalam berbuat syirik adalah bentuk ihsan (berbuat baik) kepada keduanya. Karena hak Allah tentu lebih diutamakan dari hak yang lainnya. Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat pada al Kholiq (Sang Pencipta)”.

Syaikh As Sa’di rahimahullah kembali menjelaskan, “Allah Ta’ala tidaklah mengatakan: Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka durhakailah keduanya. Namun Allah Ta’ala katakan, janganlah mentaati keduanya, yaitu dalam berbuat syirik. Adapun dalam berbuat baik pada orang tua, maka tetap ada. Karena selanjutnya Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “pergaulilah keduanya di dunia dengan baik”. Adapun mengikuti mereka dalam kekufuran dan maksiat, maka jangan” (Taisir Al Karimir Rahman, 648).

Lihatlah kisah teladan berikut ini sebagaimana dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shohihnya dari Mush’ab bin Sa’ad dari ayahnya (yaitu Sa’ad) bahwa beberapa ayat Al Qur’an turun padanya. Dia berkata,

حَلَفَتْ أُمُّ سَعْدٍ أَنْ لاَ تُكَلِّمَهُ أَبَدًا حَتَّى يَكْفُرَ بِدِينِهِ وَلاَ تَأْكُلَ وَلاَ تَشْرَبَ. قَالَتْ زَعَمْتَ أَنَّ اللَّهَ وَصَّاكَ بِوَالِدَيْكَ وَأَنَا أُمُّكَ وَأَنَا آمُرُكَ بِهَذَا. قَالَ مَكَثَتْ ثَلاَثًا حَتَّى غُشِىَ عَلَيْهَا مِنَ الْجَهْدِ فَقَامَ ابْنٌ لَهَا يُقَالُ لَهُ عُمَارَةُ فَسَقَاهَا فَجَعَلَتْ تَدْعُو عَلَى سَعْدٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى الْقُرْآنِ هَذِهِ الآيَةَ (وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا) (وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِى) وَفِيهَا (وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفًا)

Ummu Sa’ad (Ibunya Sa’ad) bersumpah tidak akan mengajaknya bicara selamanya sampai dia kafir (murtad) dari agamanya, dan dia juga tidak akan makan dan minum. Ibunya mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah mewasiatkan padamu untuk berbakti pada kedua orang tuamu, dan aku adalah ibumu. Saya perintahkan padamu untuk berbuat itu (memerintahkan untuk murtad, pen)’.

Sa’ad mengatakan, “Lalu Ummu Sa’ad diam selama tiga hari kemudian jatuh pingsan karena kecapekan. Kemudian datanglah anaknya yang bernama ‘Amaroh, lantas memberi minum padanya, namun ibunya lantas mendoakan (kejelekan) pada Sa’ad. Lalu Allah menurunkan ayat,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya” (QS. Al ‘Ankabut: 8). Dan juga ayat,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku” (QS. Lukman: 15), yang di dalamnya terdapat firman Allah,

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (QS. Lukman: 15). Lalu beliau menyebutkan lanjutan hadits.

Karenanya, tidak ada ketaatan kepada kedua orang tua dan selainnya dalam melakukan kesyirikan, kemungkaran, bid’ah, kesesatan, dan maksiat. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُطِيعُوا أَمْرَ الْمُسْرِفِينَ , الَّذِينَ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ

“Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan” (QS. Asy Syu’ara: 151-152).

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” (QS. Al Kahfi: 28).

Juga dalam hadits disebutkan,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat)” (HR. Bukhari no. 7257).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat” (HR. Bukhari no. 7144).

Ikut Tradisi Orang Tua dan Nenek Moyang

Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ

“Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” (QS. Lukman: 15)

Pelajaran yang penting dalam ayat di atas adalah agar kita mengikuti orang tua dan nenek moyang dalam kebaikan dan ketaatan, jangan mengikuti mereka  dalam tradisi yang berbau syririk, maksiat dan bid’ah. Hal ini telah dilarang dalam banyak ayat, di antaranya perkataan kaum Syu’aib kepada Nabi Syu’aib :

قَالُوا يَا شُعَيْبُ أَصَلَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آَبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ

“Mereka berkata: “Hai Syu’aib, apakah sembahyangmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami.” (QS. Hud: 87)

Dan berkata pula kaum Fir’aun kepada Musa,

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِتَلْفِتَنَا عَمَّا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا

“Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya” (QS. Yunus: 78).

Dan berkata pula kaum Hud kepada Nabinya,

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آَبَاؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ , قَالَ قَدْ وَقَعَ عَلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ رِجْسٌ وَغَضَبٌ أَتُجَادِلُونَنِي فِي أَسْمَاءٍ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ مَا نَزَّلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ

“Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” Ia berkata: “Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Rabbmu”. Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu beserta nenek moyangmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu?” (QS. Al A’raaf: 70-71).

Karena terlalu berlebihan dalam mengikuti tradisi nenek moyang inilah akhirnya sering terjerumus dalam laranngan. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آَبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji , mereka berkata: Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”(QS. Al A’raaf: 28).

Adapun mengikuti nenek moyang yang berada dalam kebaikan, petunjuk dan iman, maka tidak ragu itu adalah wajib, bahkan termasuk salah satu kewajiban. Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آَبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ مَا كَانَ لَنَا أَنْ نُشْرِكَ بِاللَّهِ مِنْ شَيْءٍ

“Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah.” (QS. Yusuf: 38).

Dan anak Ya’qub berucap ketika Ya’qub berkata pada mereka,

مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آَبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Rabbmu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Rabb Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (QS. Al Baqarah: 133).

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ ، أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ

“Sesungguhnya kedua nenek moyangmu yaitu Isma’il dan Ishaq berta’awwudz (meminta perlindungan) dengannya (yaitu) ‘a’udzu bi kalimatillahi taammati min kulli syaithonin wa haammatin, wa min kulli ‘ainin laammatin. [Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan binatang berbisa dan dari setiap ‘ain yaitu pandangan hasad/jahat]”(HR. Bukhari no. 3371)

Semoga jadi renungan bersama. Semoga Allah memudahkan kita untuk lebih berbakti pada orang tua, berbuat ihsan pada mereka, dan moga mereka senantiasa mendapatkan hidayah demi hidayah dalam kebaikan.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:

  1. Fiqh  At Ta’amul Ma’al Walidain, Musthofa Al ‘Adawi, terbitan Maktabah Makkah.
  2. Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Manan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
  3. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 11 Jumadal  Ula 1433 H

www.rumaysho.com