Apakah sah sholat jika niat sebelum takbir?

Tanya: 

Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa niat dalam shalat diucapkan sewaktu takbir pembukaan (takbîrah al-ihrâm). Sementara itu, sebagian lainnya mengatakan bahwa niat diucapkan sebelum takbîrah al-ihrâm. Manakah saat yang benar dalam mengucapkan niat  itu?  

Jawab: 

Niat adalah kebulatan hati untuk melakukan ibadah guna mende- katkan diri kepada Allah semata. Inilah hakikat niat dan sekaligus di sini terdapat keikhlasan. Kebulatan hati ini dapat terpenuhi, walaupun tidak diucapkan. Karena itu, niat tidak harus diucapkan. Disepakati oleh ulama bahwa niat dalam shalat hukumnya wajib, berdasarkan— antara lain—firman Allah dalam al-Qur’an: Padahal mereka tidak diperintah kecuali beribadah kepada Allah dalam keadaan ikhlas memurnikan ketaatan kepada-Nya,… (QS. al-Bayyinah [98]: 5) dan hadits Rasulullah saw. yang sangat populer, “Sesungguhnya sahnya amal adalah adanya niat.” (Ada juga yang memahami sabda Nabi ini dalam arti, “Sesungguhnya syarat kesempurnaan amal adalah adanya niat”).

Menurut mazhab Hanafî dan Hanbalî dan pandangan mayoritas ulama bermazhab Mâlikî, niat shalat adalah syarat dalam pengertian “tidak termasuk bagian dari shalat.” Sementara itu, dalam mazhab Syâfi‘î dan sebagian ulama Mâlikî, niat shalat wajib terpenuhi dalam shalat, yakni pada awal shalat. Karena itu, mereka menamainya rukun.

Mazhab Abû Hanîfah mensyaratkan bersambungnya niat dengan takbîrah al-ihrâm. Selain aktivitas berkenaan dengan shalat, tidak boleh ada sesuatu pun yang memisahkan antara niat dan takbir itu. Misalnya makan, minum, dan sebagainya. Kalau yang memisahkannya adalah amalan shalat seperti berwudhu, atau berjalan menuju masjid, maka niat shalat yang dilakukan sebelum berwudhu dan pergi ke masjid itu masih berlaku, dan yang bersangkutan dapat mengerjakan shalat dengan mengucapkan takbir, meskipun ketika itu dia tidak berniat lagi. Anda lihat bahwa mazhab ini tidak mengharuskan niat bersamaan dengan takbir.

Mazhab Hanbalî juga memunyai pandangan serupa. Mereka hanya menggarisbawahi bahwa niat itu boleh dilakukan sebelum takbir, asal tidak ada tenggang waktu yang lama antara niat dan takbir. Mereka beralasan bahwa menyatukan niat dengan takbir merupa- kan  sesuatu yang menyulitkan, sementara Allah berfirman, … Dia (Allah) tidak menjadikan atas kamu dalam urusan agama sedikit pun kesulitan, … (QS. al-Hajj [22]: 78). Mereka juga beralasan bahwa awal shalat adalah bagian dari shalat.

Mazhab Mâlikî mewajibkan orang yang shalat untuk menghadirkan niatnya saat takbîrah al-ihrâm, atau sesaat singkat  sebelumnya.  Sementara  itu,  para  ulama  bermazhab  Syâfi‘î mewajibkan terlaksananya niat bersamaan dengan aktivitas shalat— sekurang-kurangnya, di awal shalat. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah saat takbîrah al-ihrâm. Sebab, yang disebut “niat” adalah maksud hati yang berbarengan dengan aktivitas. Jika maksud itu dihadirkan sebelum aktivitas, maka yang demikian itu bukanlah niat, melainkan azam (tekad). Sementara itu, yang dituntut adalah niat. Ini berarti bahwa niat harus bersamaan dengan takbîrah al-ihrâm, bukan sebelumnya dan bukan pula sesudahnya. Karena itu, menurut pendapat sebagian ulama mazhab ini, jika seseorang melaksanakan shalat dengan mengucapkan niat, misalnya, “Saya berniat shalat, Allâhu Akbar, saya berniat,” maka ucapan “Saya berniat” yang kedua ini membatalkan shalatnya, karena yang demikian ini adalah ucapan yang tidak dibenarkan dalam shalat.

Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui (Tangerang Selatan: Penerbit Lentera Hati, 2010), hlm. 26.

Niat memiliki arti penting dalam setiap ibadah. Keabsahan sebuah ibadah sangat  tergantung kepada niat. Begitu juga dengan buahnya ibadah berupa pahala, diterima atau tidaknya juga sangat terkait dengan niat. Hal ini berdasarkan informasi hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim : "Sesungguhnya setiap amalan itu bergantung kepada niat."

Dalam terminologi fiqh (madzhab Syafii), niat adalah menyengaja melaksanakan satu hal dengan disertai menjalankan sebuah kegiatan yang ia maksud. Jika dinisbatkan pada wudhu, niat dilakukan sejak melakukan rukun fili yang pertama kalinya yaitu membasuh muka. Apabila untuk shalat, niat berarti harus dilakukan pada saat memulai takbiratul ihram.

Dengan demikian, niat itu ada di dalam hati. Sedangkan hukum melafalkannya melalui lisan adalah sunnah karena mampu menolong hati supaya lebih ringan dan mudah terhubung dengan lahiriyah. (Syekh Burhanuddin Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyah Ibrahim al-Bajûrî, hlm. 145).

Sebagaimana Imam Ramli dalam Nihayatul Muhtaj juz 1 hal 437, menjelaskan bahwa pelafalan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafiiy (Syafiiyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu dalam melaksanakan shalatnya.

Jika orang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya yang ada dalam hati bukan lafal atau ucapan niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah mengucapkan tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar dan memenuhi syarat/ kriteria  niat.

Meskipun niat berposisi didalam hati, setidaknya musti memenuhi tiga komponen, pertama, Qasd al-fily, yaitu menyengaja untuk melakukan suatu perbuatan. Kedua, al Tayin, menjelaskan spesifikasi ibadah yang dilakukan dan ketiga, fardhiyyah, yaitu penyebutan klasifikasi ibadah yang dilakukan, apakah masuk kategori fardlu atau sunnah (Imam Salim bin Samir Al Hadlrami, Safînatun Najâh, hlm. 33-34)

Dalam hal ibadah shalat, maka bisa diambil contoh, bahwa niatnya  meliputi komponen  Al-filu yaitu ushallî, dilanjutkan dengan komponen at-tayin-nya yaitu dzuhur, asar (dan lainnya waktu-waktu shalat), sedangkan komponen al-fardliyyahnya adalah penyebutan fardlu. Meski perlu diketahui, bahwa hal ini adalah batasan standar minimal. Artinya, jika seseorang yang shalat menggerakkan hati dengan susunan yang lebih lengkap sebagaimana dalam contoh yang panjang: “usholly fardla al-ashri arbaa rakaatin mustaqbilal al-qiblati ada-an lillaahi taala, tentu akan lebih baik, dikarenakan hal tersebut akan mendapatkan kesunnahan yang berlipat.

Selain itu, niat harus muqtarinan bil fili (beriringan dengan pekerjaan yang dilakukan). Ketika seorang hendak sembahyang, maka ia harus berniat sambil takbiratul ihram. Bagi sebagian orang, niat di hati sembari takbir memang tidak mudah. Tidak mengherankan apabila seseorang yang berpegang teguh pada prinsip ini kita dapati mengulang terus-menerus takbir sampai niatnya benar-benar tergeletak di hatinya seiring dengan takbir.

Namun pada dasarnya, orang yang tidak mampu berniat dengan model paling ideal ini diperbolehkan untuk mengucapkan niat sebelum takbir dan tidak harus beriringan dengannya, karena fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyuan. Karena melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Perihal ini sangat sesuai dengan prinsip Islam yang mudah dan tidak memberatkan. Sebagaimana berita Rasul melalui riwayat Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda, Sesungguhnya agama ini mudah, . Wallahu alam[]


Page 2

Apakah sah sholat jika niat sebelum takbir?

Sapma PP Jateng Beri Dukungan Penuh ke BEP

Rabu, 23 Maret 2022 | 21:13 WIB


Page 3

Niat memiliki arti penting dalam setiap ibadah. Keabsahan sebuah ibadah sangat  tergantung kepada niat. Begitu juga dengan buahnya ibadah berupa pahala, diterima atau tidaknya juga sangat terkait dengan niat. Hal ini berdasarkan informasi hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim : "Sesungguhnya setiap amalan itu bergantung kepada niat."

Dalam terminologi fiqh (madzhab Syafii), niat adalah menyengaja melaksanakan satu hal dengan disertai menjalankan sebuah kegiatan yang ia maksud. Jika dinisbatkan pada wudhu, niat dilakukan sejak melakukan rukun fili yang pertama kalinya yaitu membasuh muka. Apabila untuk shalat, niat berarti harus dilakukan pada saat memulai takbiratul ihram.

Dengan demikian, niat itu ada di dalam hati. Sedangkan hukum melafalkannya melalui lisan adalah sunnah karena mampu menolong hati supaya lebih ringan dan mudah terhubung dengan lahiriyah. (Syekh Burhanuddin Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyah Ibrahim al-Bajûrî, hlm. 145).

Sebagaimana Imam Ramli dalam Nihayatul Muhtaj juz 1 hal 437, menjelaskan bahwa pelafalan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafiiy (Syafiiyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu dalam melaksanakan shalatnya.

Jika orang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya yang ada dalam hati bukan lafal atau ucapan niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah mengucapkan tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar dan memenuhi syarat/ kriteria  niat.

Meskipun niat berposisi didalam hati, setidaknya musti memenuhi tiga komponen, pertama, Qasd al-fily, yaitu menyengaja untuk melakukan suatu perbuatan. Kedua, al Tayin, menjelaskan spesifikasi ibadah yang dilakukan dan ketiga, fardhiyyah, yaitu penyebutan klasifikasi ibadah yang dilakukan, apakah masuk kategori fardlu atau sunnah (Imam Salim bin Samir Al Hadlrami, Safînatun Najâh, hlm. 33-34)

Dalam hal ibadah shalat, maka bisa diambil contoh, bahwa niatnya  meliputi komponen  Al-filu yaitu ushallî, dilanjutkan dengan komponen at-tayin-nya yaitu dzuhur, asar (dan lainnya waktu-waktu shalat), sedangkan komponen al-fardliyyahnya adalah penyebutan fardlu. Meski perlu diketahui, bahwa hal ini adalah batasan standar minimal. Artinya, jika seseorang yang shalat menggerakkan hati dengan susunan yang lebih lengkap sebagaimana dalam contoh yang panjang: “usholly fardla al-ashri arbaa rakaatin mustaqbilal al-qiblati ada-an lillaahi taala, tentu akan lebih baik, dikarenakan hal tersebut akan mendapatkan kesunnahan yang berlipat.

Selain itu, niat harus muqtarinan bil fili (beriringan dengan pekerjaan yang dilakukan). Ketika seorang hendak sembahyang, maka ia harus berniat sambil takbiratul ihram. Bagi sebagian orang, niat di hati sembari takbir memang tidak mudah. Tidak mengherankan apabila seseorang yang berpegang teguh pada prinsip ini kita dapati mengulang terus-menerus takbir sampai niatnya benar-benar tergeletak di hatinya seiring dengan takbir.

Namun pada dasarnya, orang yang tidak mampu berniat dengan model paling ideal ini diperbolehkan untuk mengucapkan niat sebelum takbir dan tidak harus beriringan dengannya, karena fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyuan. Karena melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Perihal ini sangat sesuai dengan prinsip Islam yang mudah dan tidak memberatkan. Sebagaimana berita Rasul melalui riwayat Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda, Sesungguhnya agama ini mudah, . Wallahu alam[]