Apakah demokrasi cukup ampuh untuk menciptakan stabilitas kemakmuran dan pemerataan

Hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan telah lama menjadi perdebatan akademis di kalangan ilmuwan politik dan ahli ekonomi. Demokrasi diyakini membawa pengaruh positif terhadap dinamika pertumbuhan ekonomi, selanjutnya pertumbuhan ekonomi tersebut akan membawa implikasi langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. ingkat kesejahteraan yang tinggi memang banyak dijumpai di negara-negara yang menerapkan sistem politik demokrasi, seperti Amerika Serikat.

Selama kurun waktu empat dekade terakhir, statistik pertumbuhan ekonomi di negara-negara demokrasi tercatat 25% lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara otoriter (Morton Halperin, dkk dalam The Democracy Advantage: How Democracies Promote Prosperity and Peace).

Namun, pengalaman Singapura seakan menyiratkan pesan bahwa ada jalan lain di luar demokrasi untuk mencapai kesejahteraan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang ditunjukkan Tiongkok. Negeri Tirai Bambu ini mencoba bereksperimen dengan mengawinkan sistem politik otoriter dan sistem ekonomi pasar bebas. Alhasil, pertumbuhan ekonomi Tiongkok dewasa ini menjadi momok menakutkan bagi negara-negara Barat.

Dalam konsepsi Fareed Zakaria, negara-negara tersebut dikategorikan sebagai illiberal democracy. Istilah illiberal democracy diperkenalkan Fareed Zakaria dalam sebuah tulisan di Foreign Affairs edisi November/ Desember 1997 guna menggambarkan fenomena kemunculan Negara pseudo democracy. Negara penganut sistem politik nondemokrasi, tetapi memiliki pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi juga termasuk ke dalam kategori pseudo democracy.

Terjerat Praktik Korupsi


Masih segar dalam ingatan kita tatkala Barack Obama menyampaikan pidato di Universitas Indonesia beberapa waktu lalu. Ada kutipan di pidato tersebut yang patut kita renungkan bersama, “prosperity without freedom is just another form of poverty.” Kutipan itu menegaskan bahwa kebebasan memiliki peran kunci dalam pembangunan demokrasi sen buah negara. Penekanan serupa pernah diulas oleh ekonom Amartya Sen dalam buku Development as Freedom. Menurut Sen, kemakmuran tidak akan memiliki arti apa-apa tanpa kebebasan. Uang dan harta berlimpah hanya akan menjadi pajangan bemata bila kita tidak diberi ruang untuk mengekspresikannya. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sulit dimungkiri tidak sedikit dari kita yang berpandangan bahwa keyakinan terhadap demokrasi sebagai jembatan emas guna mencapai kesejahteraan rakyat tidak lebih dari sekadar mimpi semata.Dua belas tahun sudah reformasi bergulir, tetapi eksistensi demokrasi belum banyak memberi arti. Demokrasi seakan hanya menjadi konsumsi sekelompok elite politik. Satu dekade lebih Indonesia berpaling dari rezim otoritarianisme, tetapi demokrasi belum membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?Di antara sejumlah penyebab terjadinya hal itu adalah masuknya para penumpang gelap reformasi yang kemudian membajak sistem pemerintahan demokratis ini. Tokoh-tokoh yang dulu sangat gigih mengadang gerak laju demokratisasi kini justru berbalik menjadi pihak yang diuntungkan. Elite-elite tersebut kini menguasai berbagai sumber daya politik dan ekonomi di Indonesia.Alhasil, sistem pemerintahan demokratis ini akhirnya tidak ditopang oleh kehadiran lembaga-lembaga politik pemerintahan yang bersih. Sebagai contoh, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga vital dalam proses perumusan kebijakan justru menjadi salah satu pusat praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme di Indonesia.Parlemen kita hari ini dihuni oleh para politisi korup yang hanya berorientasi pada upaya mengumpulkan modal guna membiayai agenda poli tik jangka pendek mereka. Praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme yang merajalela di lembaga-lembaga politik pemerintahan tentu membawa dampak negatif tersendiri terhadap pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.Dalam sebuah kesempatan tatkala berkunjung ke Indonesia pada 2007 lalu, peraih Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz pernah berujar bahwa sebab utama mengapa proses kebangkitan Indonesia dari keterpurukan ekonomi lebih lama ketimbang negaranegara Asia lain adalah akibat budaya korupsi yang menjerat hampir seluruh sendi kehidupan bernegara.Singkat kata, sebab utama sistem pemerintahan demokrasi Indonesia belum maksimal dalam upaya penciptaan pemerataan kesejahteraan rakyat dewasa ini diakibatkan oleh adanya praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme berjenjang di lembaga-lembaga politik pemerintahan, seperti birokrasi. Hal itu jelas tidak mampu menciptakan iklim kondusif bagi segala aktivitas ekonomi, bisnis, dan investasi.Karena itu, pada 2011 ini, penting bagi bangsa Indonesia untuk membulatkan tekad bersama untuk secara bersungguh-sungguh mengelola demokrasi dan kebebasan yang tengah mekar saat ini dengan baik agar mampu menjawab berbagai problem nyata yang dihadapi oleh masyarakat luas.Dengan demikian, membangun demokrasi yang memiliki jati diri bangsa sebagai bagian dari upaya untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, sedah sudah semestinya menjadi agenda bersama seluruh elemen masyarakat, terutama kekuatan-kekuatan politik nasional lain guna menghasilkan sinergi positif.Kini, saatnya para elite politik pemerintahan mewujudkan cita-cita pemerataan kesejahteraan rakyat demi menjamin kelangsungan eksistensi demokrasi. Jika tugas suci gagal mereka wujudkan, bukan tidak mungkin demokrasi Indonesia akan segera mengalami kebangkrutan akibat terus menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap sistem politik ini. ***

Penulis adalah peneliti politik The Habibie Center dan Fellow Paramadina Graduate School of Political Communication

Editor : Gora Kunjana ()

Skip to content

Apakah demokrasi cukup ampuh untuk menciptakan stabilitas kemakmuran dan pemerataan

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga menggunakan hak pilihnya di TPS 25 yang dibangun di Tempat Pemakaman Umum Kapas Krampung, Kelurahan Gading, Kecamatan Tambaksari, Surabaya, Rabu (17/4/2019). Untuk mensukseskan terselenggranya Pemilu 2019 TPS dibanguan dibanyak tempat, mulai di dalam gedung, jalan, lapangan hingga kuburan.

Demokrasi

  • Hari Demokrasi Internasional:
    15 September

Negara Menurut Tipe Rezim (2020)

  • Demokrasi Penuh: 23 negara
  • Demokrasi Belum Penuh: 52 negara
  • Rezim Hibrida: 35 negara
  • Rezim Otoriter: 57 negara

Berdasarkan resolusi yang diadaptasi oleh Sidang Umum PBB 8 November 2007, tiap tanggal 15 September diperingati sebagai Hari Demokrasi Internasional. Dalam keputusan tersebut, Sidang Umum PBB mengundang semua negara anggota untuk memperingati hari tersebut demi memperkuat demokrasi serta meningkatkan kesadaran masyarakat yang lebih luas.

Dalam resolusi itu, PPB juga menegaskan bahwa demokrasi merupakan nilai universal yang didasarkan atas kehendak rakyat yang diekspresikan secara bebas untuk menentukan sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya mereka sendiri serta partisipasi penuh mereka dalam semua aspek kehidupan. Ditegaskan pula bahwa demokrasi bukanlah milik suatu negara atau wilayah tertentu. Oleh karena itu, meskipun memiliki ciri umum yang sama, tidak ada model demokrasi yang tunggal.

Istilah “demokrasi” berasal dari kata Yunani kuno, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Secara sederhana, demokrasi berarti kekuasaan politik yang berada di tangan rakyat dan bukan sekelompok orang sehingga demokrasi merupakan wujud kedaulatan rakyat. Pada era modern, oleh Abraham Lincoln, dalam pidatonya di Gettysburg pada tahun 1863, demokrasi digambarkan sebagai “government of the people, by the people, and for the people” yang berarti “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang memiliki empat elemen kunci, yaitu pemilu yang bebas dan adil, partisipasi aktif warga negara dalam politik dan ruang publik, perlindungan terhadap hak asasi manusia, serta hukum sebagai panglima (supremasi hukum).

Suksesnya sebuah demokrasi dapat dilihat dari beberapa kriteria, seperti partisipasi masyarakat yang efektif, kesamaan hak suara, tingkat kecerdasan pemilih, dan inklusi sosial (Robert Dahl, 1998). Kriteria tersebut memungkinkan terbangunnya kestabilan institusi demokrasi yang ditandai oleh adanya pemerintahan yang legitim; pemilu yang bebas, adil, dan berkala; terjaminnya kebebasan berekspresi dan berpendapat; adanya akses informasi alternatif bagi warga; menguatnya otonomi untuk berkumpul atau berorganisasi; serta kewarganegaraan yang inklusif.

Di sisi lain, demokrasi mencegah kekuasaan mutlak pemerintah pusat dan menjamin desentralisasi pemerintahan ke tingkat regional dan lokal. Selain itu, demokrasi bertumpu pada prinsip kekuasaan mayoritas. Namun, kekuasaan mayoritas harus dibarengi dengan jaminan hak asasi individu untuk melindungi hak-hak kelompok kecil dan oposisi. Yang perlu ditekankan, hak-hak minoritas tidak bergantung pada niat baik mayoritas dan tidak dapat dihilangkan dengan suara mayoritas.

Sumber: Kanal Youtube Harian Kompas, 29 Juli 2020

Demokrasi terbagi dalam dua, yaitu demokrasi langsung dan perwakilan. Dalam demokrasi langsung, warga negara, tanpa perantara pejabat yang dipilih, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik. Sistem seperti itu jelas paling cocok bila jumlah populasi suatu wilayah relatif kecil, saat para anggota dapat bertemu di satu ruangan untuk membahas masalah dan mengambil keputusan dengan konsensus atau suara terbanyak.

Namun, bentuk yang paling umum dari demokrasi, baik untuk kota berpenduduk 50.000 orang atau bangsa berpopulasi 50 juta, adalah demokrasi perwakilan, yakni ketika warga negara memilih pejabat untuk membuat keputusan politik, merumuskan undang-undang, dan mengelola program untuk kepentingan publik.

Demokrasi dapat dijalankan dalam sistem pemerintahan parlementer atau presidensial. Dalam sistem presidensial, seperti Indonesia, proses pergantian kepemimpinan eksekutif (presiden) dapat berlangsung secara tidak langsung, dipilih oleh MPR seperti zaman Orde Baru dan secara langsung, melalui pemilu yang dimulai pada tahun 2004 hingga sekarang.

Tempat kelahiran demokrasi adalah Yunani kuno, khususnya di Athena. Dalam pemerintahan negara-kota Yunani, demokrasi diterapkan secara langsung. Rakyat berdiskusi tanpa perwakilan dalam sebuah majelis atau pertemuan, membahas solusi bagi persoalan kemasyarakatan untuk diputuskan bersama-sama. Tidak ada parlemen, kabinet, dan Pegawai Negeri Sipil. Majelis bertemu setidaknya 40 kali dalam setahun.

Dalam pertemuan tersebut, agenda ditentukan dan dibahas. Presiden majelis dan dewan dipilih melalui undian dan tidak dapat menjabat lebih dari satu hari. Selain itu, terdapat boule, dewan yang terdiri dari 500 warga kota, dipilih melalui undian, dengan masa pelayanan dua tahun. Dewan merumuskan kebijakan, membahas agenda, serta menyiapkan mosi untuk majelis. Di dalam majelis, mosi dapat diterima dan juga ditolak (Raaflaub, dkk, 2007).

Bagaimana demokrasi disebarkan? Mulanya, demokrasi yang diterapkan di Yunani, ditiru oleh Kekaisaran Romawi dengan majelisnya yang bernama Comitia Curiata. Berbagai suku diwakili dalam majelis dan mereka memilih hakim.

Di Eropa, ide demokrasi dipicu oleh zaman pencerahan (Rennaissance). Orang terdidik mulai mempelajari ide-ide yang pernah dilakukan di Yunani dan Romawi. Ditunjang oleh penemuan mesin cetak, ide-ide tersebut menyebar. Buah pikir para cendekiawan dan filsuf tentang ide-ide kedaulatan menjadi konsumsi masyarakat.

Di Amerika, idealisme demokrasi muncul saat Revolusi Amerika, perlawanan terhadap okupasi Inggris atas koloni Amerika. Pada tahun 1776, muncul the Declaration of Independence Amerika Serikat dengan kutipan terkenalnya, “semua manusia diciptakan sama, bahwa mereka diberkahi oleh pencipta dengan hak-hak yang tidak dapat dicabut, yang di antaranya adalah hak kehidupan, kebebasan, dan memperjuangkan kebahagiaan.”

Selain itu, ide demokrasi juga menguat ketika Revolusi Prancis pada tahun 1789 berhasil membangun pemerintahan yang berasal dari rakyat. Ide liberté (kebebasan), egalite (kesetaraan), dan fraternité (persaudaraan) menghancurkan institusi monarki (negara dipimpin raja) dan mempromosikan gagasan demokrasi, yakni negara dibangun di atas kedaulatan rakyat. Demokrasi kemudian berkembang secara bertahap di Eropa. Hak pilih universal Eropa diberikan pertama hanya kepada penduduk laki-laki, kemudian meluas ke sebagian besar pekerja di kota-kota dan pedesaan, hingga akhirnya didapatkan oleh kaum perempuan.

Apakah demokrasi cukup ampuh untuk menciptakan stabilitas kemakmuran dan pemerataan

Mural tentang kebebasan berpendapat tergambar di sebuah dinding di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, RAbu (16/6/2021). Usulan rumusan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dibuat pemerintah dinilai belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat. Bahkan, beberapa usulan tersebut dinilai semakin mengancam kebebasan berpendapat yang mendorong kemunduran demokrasi.

Selanjutnya, pembebasan budak Afro-Amerika oleh Abraham Lincoln setelah perang saudara Amerika pada pertengahan abad ke-19 mengakhiri perbudakan manusia. Namun, orang kulit hitam di AS harus berjuang seratus tahun dengan mengobarkan gerakan hak-hak sipil sebelum mereka sepenuhnya diakui sama dengan orang kulit putih di depan hukum.

Sejak itu, demokrasi bekerja dengan baik dan yang kemudian mendapatkan tantangannya ketika Perang Dunia Pertama pecah (1914–1918). Perang berakhir dengan kekalahan Jerman dan Austro Hungaria dan keruntuhan Kekaisaran Ottoman. Beberapa negara baru muncul di Eropa Timur dan kawasan Baltik. Semua ini berkomitmen untuk demokrasi, tetapi dalam derajat yang berbeda.

Pada Perang Dunia Kedua, 1939–1945, negara-negara yang menganut paham demokrasi bersama dengan Uni Soviet ditantang oleh negara yang dipimpin oleh fasisme. Negara penganut fasisme berdasar pada ideologi ultra-nasionalistik, rasis, militeristik yang dipimpin secara otoritarian. Pemerintahan terpusat pada satu kekuatan. Keberagaman pendapat diberangus. Tiga kekuatan fasis utama, yaitu Jerman, Italia, dan Jepang, dilawan secara habis-habisan oleh blok Sekutu yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Uni Soviet, dan China.

Usai kekalahan tiga kekuatan tersebut, paham demokrasi menyebar. Namun, Eropa Timur dan Tengah yang dibebaskan dari fasisme kemudian dicaplok oleh Uni Soviet yang berniat menyebarkan paham komunisme. Negara seperti Amerika Serikat menghadapi Uni Soviet sebagai musuh dalam peperangan tahap berikut yang disebut Perang Dingin (1989–1991).

Tahun 1991, Uni Soviet runtuh. Negara mantan komunis seperti di Eropa Timur mulai mengadopsi politik multipartai, tidak seperti sebelumnya yang tunduk pada partai tunggal. Dengan multipartai, kebebasan untuk berpolitik kemudian lebih terbuka.

Pada 2020, setengah dari penduduk dunia (49,4%) tinggal di negara demokrasi yang tersebar di 75 negara (The Economist Intelligence Unit). Dari proporsi tersebut, sejumlah 8,4 persen populasi berada dalam negara yang menjalankan demokrasi secara penuh (full democracy, 23 negara). Angka ini naik dari 5,7 persen pada tahun 2019, disebabkan oleh membaiknya kondisi demokrasi di beberapa negara di Asia. Selain itu, sejumlah 41 persen tinggal di dalam alam demokrasi yang belum penuh (flawed democracy, 52 negara).

Di sisi lain, separuh penduduk dunia lainnya (50,6%) tinggal di negara dengan tipe rezim hibrida dan otoriter. Sebesar 15 persen penduduk dunia tinggal di 35 negara dengan rezim hibrida (hybrid regimes), turun dari 37 pada tahun 2019. Sedangkan, sebesar 35,6 persen penduduk dunia tinggal di 57 negara dengan pemerintahan yang otoriter (authoritarian regimes), naik dari 54 negara pada tahun 2019.

Penempatan 167 negara dalam 4 kategori di atas mengacu pada penilaian seberapa baik atau buruk proses elektoral dan pluralisme, kebebasan sipil, keberfungsian pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik di suatu negara. Penjelasan 4 kategori di atas adalah sebagai berikut:

Demokrasi Penuh (Full Democracies)
Negara dengan demokrasi yang penuh tidak hanya menghormati kebebasan politik dasar dan kebebasan sipil, tetapi juga cenderung ditopang oleh budaya politik yang kondusif bagi berkembangnya demokrasi.

Pada negara-negara tersebut, fungsi pemerintahan cukup memuaskan. Media bersifat independen dan beragam. Di sana sistem yang saling mengontrol dan menjaga keseimbangan (checks and balances) cabang-cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) berjalan secara efektif. Peradilan bertumbuh secara independen dan keputusan peradilan diberlakukan dengan baik. Contoh negara tersebut adalah Norwegia, Mauritius, Kanada, Uruguay, Australia, dan Korea Selatan.

Demokrasi Belum Penuh (Flawed Democracies)
Negara-negara ini memiliki pemilihan umum yang bebas dan adil dan bahkan jika ada masalah (seperti pelanggaran terhadap kebebasan media), kebebasan sipil dasar masih dihormati. Namun, ada kelemahan signifikan dalam aspek demokrasi lainnya, termasuk masalah dalam pemerintahan dan budaya politik yang kurang berkembang, serta tingkat partisipasi politik yang rendah. Contoh negara dengan demokrasi yang belum penuh adalah Indonesia, Hungaria, Kolombia, Israel, Amerika Serikat, Afrika Selatan, dan Perancis.

Baca juga: Kualitas Demokrasi Indonesia Menurun

Sumber: Kanal Yotube Harian Kompas, 8 Juni 2021

Rezim Hibrida (Hybrid Regimes)
Disebut hibrida karena negara tersebut mengombinasikan demokrasi (secara prosedural, yaitu adanya pemilu yang berkala) dengan kepemimpinan otokratis (represi politik). Namun, pemilu yang diselenggarakan kerap memiliki penyimpangan sehingga tidak bebas dan adil. Tekanan pemerintah terhadap partai dan kandidat oposisi biasa terjadi.

Negara seperti ini memiliki kelemahan lebih menonjol dalam budaya politik, fungsi pemerintah, dan partisipasi politik. Korupsi cenderung merajalela, supremasi hukum lemah, dan gerakan masyarakat sipil tidak kuat. Biasanya, terdapat pelecehan dan tekanan terhadap jurnalis. Contoh negara rezim hibrida adalah Banglades, Ukraina, Bolivia, Lebanon, Nigeria, dan Turki.

Rezim Otoriter (Authoritarian Regimes)
Negara dalam kategori ini dipimpin oleh pemimpin yang diktator. Penghargaan terhadap keberagaman tidak ada atau sangat terbatas. Beberapa lembaga formal demokrasi mungkin ada, tetapi hanya menjadi “pajangan”. Pemilu, jika memang terjadi, tidak bebas dan adil. Terdapat ketidakpedulian pada pelanggaran terhadap kebebasan sipil. Media biasanya milik negara atau dikendalikan oleh kelompok yang berhubungan dengan rezim yang berkuasa. Ada represi terhadap kritik dan pemerintah menerapkan sensor agar informasi yang diterima publik sesuai dengan propaganda penguasa. Tidak ada peradilan yang independen. Contoh rezim otoriter adalah Korea Utara, Cina, Rusia, Venezuela, Arab Saudi, dan Kongo. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: Catatan Penting Pembenahan Demokrasi

Artikel Terkait

Internet

  • “Catatan Akhir Tahun Hak Asasi Manusia“, Komnas HAM, 30 Desember 2020
  • “Democracy Index 2020: in Sickness and in Health?“, The Economist Intelligence Unit, 3 Februari 2021
  • “Indeks Persepsi Korupsi 2020: Korupsi, Respons Covid-19, dan Kemunduran Demokrasi“, Transparency International Indonesia, 28 Januari 2021
  • “What is Democracy?”, Stanford Larry Diamond, 21 Januari 2004
  • Resolusi Sidang Umum PBB 8 November 2007, UN.

Buku

  • Cincota, Howard. 2007. Democracy in Brief. Washington: U.S. Department of State, Bureau of International Information Programs.
  • Dahl, Robert. 1998. On Democracy. New York: Yale University Press.
  • Nusa Bhakti, Ikrar. 2004. The Transition to Democracy in Indonesia: Some Outstanding Problems. Di Dalam Rolfe, Jim (ED.). The Asia-Pacific: A Region in Transition. Honolulu, HI : Asia-Pacific Center for Security Studies.
  • Raaflaub, K., Ober, J., Wallace, R., Cartledge, P., & Farrar, C. (2007). Origins of Democracy in Ancient Greece. Berkeley; Los Angeles; London: University of California Press.

Jurnal

  • Heryanto, Ariel  & Hadiz, Vedi R. 2005. “Post-authoritarian Indonesia: A Comparative Southeast Asian Perspective”, dalam Critical Asian Studies, 37:2, 251-275.
  • Nugroho, Heru. 2012. “Demokrasi dan Demokratisasi: Sebuah Kerangka Konseptual untuk Memahami Dinamika Sosial-Politik di Indonesia“, dalam Jurnal Pemikiran Sosiologi, Vol 1, No 1.
  • Sultana, Tasneem. (2012). “The Evolution of Democracy through the Ages: Focus on the European Experience”, dalam Journal of European Studies, 28, 27-50.
  • Warburton, Eve., & Aspinall, Edward. 2018. “Explaining Indonesia’s Democratic Regression: Structure, Agency, and Popular Opinion”, dalam Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs, 41, 255-285.

error: Content is protected !!