Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Filosofi

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Show
Portal  

Filsafat Timur merupakan sebutan bagi pemikiran-pemikiran filosofis yang berasal dari dunia Timur atau Asia, seperti Filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Jepang, Filsafat Islam, Filsafat Buddhisme, dsb. Masing-masing jenis filsafat merupakan suatu sistem-sistem konsep yang lapang dan plural.[1] Contohnya saja, filsafat India mampu terbagi menjadi filsafat Hindu dan filsafat Buddhisme, sedangkan filsafat Cina mampu terbagi menjadi Konfusianisme dan Taoisme.[2] Belum lagi, banyak terjadi pertemuan dan percampuran selang sistem filsafat yang satu dengan yang lain, contohnya Buddhisme berakar dari Hinduisme, namun akhir menjadi semakin berpengaruh di Tiongkok ketimbang di India.[2] Di sisi lain, filsafat Islam malah banyakan berjumpa dengan filsafat Barat.[1] Akan tetapi, secara umum dikenal empat jenis filsafat Timur yang terkenal dengan sebutan "Empat Tradisi Besar" yaitu Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme.[3]

Filsafat Timur mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan filsafat Barat, yang mana ciri-ciri agama terdapat juga di dalam filsafat Timur, sehingga banyak berbakat berbantah mengenai mampu atau tidaknya konsep Timur diistilahkan sebagai filsafat.[4][2] Di dalam studi post-kolonial bahkan ditemukan bahwa filsafat Timur dianggap semakin rendah ketimbang sistem konsep Barat sebab tidak memenuhi kriteria filsafat menurut filsafat Barat, contohnya sebab dianggap mempunyai unsur keagamaan atau mistik.[5] Akan tetapi, sekalipun di selang filsafat Timur dan filsafat Barat terdapat perbedaan-perbedaan, namun tidak mampu dinilai mana yang semakin adun, sebab masing-masing mempunyai keunikannya sendiri.[2][6] Selain itu, keduanya diharapkan mampu saling melengkapi khazanah filsafat secara lapang.[2]

Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat Posted on November 26, 2009 by teosophy

Oleh: Bandeh Khudo

Yang dibahas disini terutama filsafat Barat, sebab contohnya filsafat India dan filsafat Cina semakin bersifat mengajar bagaimana manusia mencapai “keselamatan” (“moksa”), atau bagaimana manusia wajib memerankan supaya diperoleh keseimbangan selang dunia dan kehidupan setealh didunia. Tak mampu diungkiri didalamnya juga mempunyai unsur kecerdikan, tetapi bukan produk dari refleksi yang sifatnya kritis rasional.

Mempunyai empat periode akbar dalam filsafat Barat:

Zaman Yunani (600 sM – 400 M); Zaman Patristik dan Skolastik (300 M – 1500 M); Zaman Modern (1500 M – 1800 M); Zaman sekarang (setelah 1800 M).


Tidak berat sebelah dicatat bahwa tiap zaman mempunyai ciri dan nuansa refleksi yang berbeda. Dalam zaman Yunani ditempatkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat. Zaman Patristik dan Skolastik ditandai oleh usaha yang gigih bagi mencari keselarasan selang iman dan kecerdikan, sebab iman di hati, dan kecerdikan mempunyai di otak. Tidak cukuplah sikap credo quia absurdum = “aku percaya justru sebab tidak hadir akal” Tertulianus, 160-223 M. Dalam Zaman Modern direfleksikan beragam hal tentang rasio, manusia dan dunia. Jejak pergumulan itu terdapat dalam aliran-aliran filsafat matang ini.

1. Zaman Yunani

1.1. Filsafat pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu (“arche” = ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya mempunyai satu azas? Thales mengusulkan: cairan, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir (“panta rei” = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya bagi merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis bagi menerangkannya juga. Zeno (kelahiran 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum bagi meraih kesimpulan yang sah.

1.2. Puncak zaman Yunani dicapai pada konsep filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).

1.2.1. Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui diskusi seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) bagi “melahirkan” ilmu akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates menempatkan dasar bagi pendekatan deduktif. — Konsep Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.

Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai “sophis” (“yang berbakat dan berapengetahuan”), Sokrates semakin berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang mempunyai dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero akhir, Sokrates “menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah”. Sebab itu ia didakwa “memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda” dan dibawa ke pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia berbuat salah. Ia sesungguhnya mampu menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di depan banyak orang bagi mengakhiri hidupnya.

1.2.2. Plato menyumbangkan nasihat tentang “idea”. Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang abadi. Dalam wawasan Plato, pada awal mula mempunyai idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Sebab itu keberadaan bunga, pohon, burung, … mampu berubah dan berkesudahan, tetapi idea bunga, pohon, burung, … abadi mempunyainya. Itulah sebabnya yang Satu mampu menjadi yang Banyak.

Plato mempunyai pada argumen, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah dikenalnya dari dunia idea, — konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan maka lalu mempunyai sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dsb.

Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu masalah mempunyai (“being”) dan mengada (menjadi, “becoming”).

1.2.3. Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Ia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu “berubah” (menjadi akbar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak mempunyai kuda yang hidup selamanya. Ia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu abadi tidak berkesudahan. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dihasilkan bentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak mempunyai eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang mempunyai pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea mempunyai dalam benda-benda.

Pola konsep Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan kecerdikan kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia mempunyai kecerdikan yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar kecerdikan yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru kecerdikan itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Kecerdikan dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Sebab itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak mempunyai idea-bawaan.

Aristoteles menegaskan bahwa mempunyai dua metode bagi mendapatkan kesimpulan demi memperoleh ilmu dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang sah, dihasilkan bentuk konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang berisi unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan metode berfikir. Logika dihasilkan bentuk dari kata logikoz, dan logoz berguna sesuatu yang diketengahkan. Daripadanya logika berguna pertimbangan muslihat atau kecerdikan yang diberitahukan lewat kata dan diberitahukan dalam bahasa.

Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis bagi berabstraksi menyusun pernyataan yang berlangsung universal.

Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis bagi mencapai ilmu yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih “hylemorfisme”: apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan materiil (“hyle”) sana-sini dari bentuk (“morphe”) yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan (“dynamis”, Latin: “potentia”) bagi pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan metode berbeda-beda. Maka mempunyai banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar selang kedua gejala yang “tetap” dan yang “berubah”.

Dalam konteks ini mampu difahami bila Aristoteles mempunyai pada pandangan bahwa wanita adalah “pria yang belum lengkap”. Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual mempunyai pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah “ladang”, yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah “yang menanam”. Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan “bentuk”, sedang wanita menyumbangkan “substansi”.

Dalam makluk hidup (tumbuhan, hewan, manusia), bentuk diberi nama “jiwa” (“psyche”, Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia mempunyai sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia mampu “mengamati” dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup “mengerti” dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan “nous” (Latin: “ratio” atau “intellectus”) yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima “logoz”. Itu membuat manusia mempunyai bahasa.

Konsep Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang mempunyai budaya. Pengaruhnya berasa sampai kini, — itu berkat daya sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan metode kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.

Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat akbar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan konsep filsafati dan norma budaya istiadat di wilayah Timur Tengah juga. — (Catatan kecil saja dari FSP: Maka jangan terkejut bila pandangan berat-sebelah tentang pria-wanita sangat dominan sampai kini. Legitimasi filsafati kiranya telah diberikan oleh Arsitoteles atas praktek yanh umum di dalam masyarakat Timur Tengah, Eropa ratus tahun pertengahan dan dimana saja. Gereja Katolik pun selama berabad-abad mengikuti pendirian yang sama, sekalipun dasar biblisnya sama sekali tidak mempunyai. Yesus, sebagaimana tampak dalam Injil, mempunyai pandangan yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)

Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh bagi mempelajari realitas. Studi tentang logika atau ilmu tentang penalaran, memerankan sebagai organon (“alat”) bagi sampai kepada ilmu yang semakin mendalam, bagi selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, lahir banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Mempunyai benang merah yang nyata, selang sumbangan konsep dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil konsep Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.

1.3. Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga arus konsep filsafat, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme (Zeno, 333-262 sM) terkenal sebab etikanya: manusia berbahagia bila ia memerankan rasional. Epikurisme (Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika: “kita wajib mempunyai kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh mempunyai kita”.

Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) dinamakan oleh Plotinos to en = “to hen”, yang esa, “the one”. Yang esa adalah awal, yang pertama, yang sangat adun, sangat tinggi, dan yang abadi. Yang esa tidak mampu dikenal oleh manusia sebab tidak mampu dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang esa adalah pusat daya, — seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat ronde pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati ronde emanasi, yang esa tak menjadi kurang atau terpengaruh sama sekali.

Dari to en mengalir nouz = “nous”, budi, kecerdikan, bahkan roh (?). “Nous” merupakan “bayang-bayang” dari “to hen”. Dari “nous” mengalir ynch = “psykhe”, jiwa, yang merupakan perbatasan “nous” dengan mh ou = “me on”, materi, yang merupakan kemungkinan atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah tubuh. “Psykhe” merupakan penghubung selang “nous” yang terang, yang berlawanan dengan materi yang gelap, yang rohani berlawanan dengan yang jasmani. — Menurut neo-platonisme, perlawanan itu merupakan kelainan dari kebenaran. Bagi mencapai kebenaran, manusia wajib kembali kepada “to hen”, dan itulah tujuan hidup manusia. “To hen” kiranya identik dengan konsep “Sang Sangkan Paraning Dumadi” dalam tradisi Jawa.

Kesatuan mistis dengan “to hen” merupakan kebenaran sejati. Manusia wajib berkontemplasi bagi mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat akbar bagi pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan berkesudahan kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa kepada terang (serta awal dari kekekalan).

Jejak konsep neoplatonisme mampu diperhatikan dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman menyatu dengan Tuhan atau “jiwa kosmik”. Banyak agama menekankan keterpisahan selang Tuhan dan Ciptaan, tetapi para berbakat mistik tidak menemui pemisahan seperti itu. Mereka jutru mengalami rasa “penyatuan dengan Tuhan”. Ketika penyatuan itu terjadi, berbakat mistik merasa ia “kehilangan dirinya”, ia lenyap ke dalam diri Tuhan atau lenyap dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik atau sepercik cairan kehilangan dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.

Tetapi pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Berbakat mistik wajib mencari jalan “pencucian dan pencerahan” bagi mampu berjumpa dengan Tuhan, melalui hidup sederhana dan beragam teknik meditasi. Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam semua agama akbar di dunia. Dalam “agama” Jawa dikenallah konsep “manunggaling kawula lan Gusti”, yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan oleh Zoetmulder. (Zoetmulder SJ almarhum adalah Guru Akbar di Fakultas Sastra UGM).

2. Zaman Patristik (Para Bapa Gereja)

Konsep filsafati para Bapa Gereja Katolik berisi unsur neo-platonisme. Para Bapa Gereja berupaya keras bagi menyoroti pokok-pokok iman kristiani dari sudut pengertian dan akalbudi, memberinya infrastruktur rasional, dan dengan metode itu membuat pembelaan yang nalar atas aneka serangan. Pada dasarnya Allah menjadi pokok bahasan utama. Hakekat manusia Yesus Kristus dan manusia kebanyakan dijelaskan berdasarkan pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh Agustinus (354-430 M) bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang (“lumens”) dari Allah. Walaupun demikian dalam diri manusia sudah tertanam benih kebenaran (yang adalah pantulan Allah sendiri). Benih itu memungkinkannya menguak kebenaran. Sebagai ciptaan, manusia merupakan jejak Allah yang istimewa = “imago Dei” (citra Allah), dalam guna itu manusia sungguh memantulkan siapa Allah itu dengan metode semakin jelas dari pada segala ciptaan lainnya.

“Tuhan, engkau semakin tinggi daripada yang sangat tinggi dalam diriku, dan semakin dalam daripada yang sangat dalam dalam batinku” — itu ungkapan Agustinus tentang pengalaman manusia mengenai transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumusan. Dalam zaman ini pokok-pokok iman Kristiani diberitahukan dalam syahadat iman rasuli (teks “Saya Percaya” yang panjang). Didalamnya dituangkan rumusan akrab pokok-pokok iman, termasuk tentang trinitas — tentu saja dalam katagori konsep filsafati pada waktu itu dan dengan bahan dari Alkitab.

Agustinus menerima penafsiran metaforis atau figuratif atas kitab Kejadian, yang menyatakan bahwa alam semesta dicipta creatio ex nihilo dalam 6 hari, dan pada hari ketujuh Allah beristirahat, sesudah melihat semua itu adun mempunyainya. “Allah tidak berhasrat mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak relevan bagi keselamatan mereka”. Penciptaan bukanlah suatu peristiwa dalam waktu, namun waktu diciptakan bersama dengan dunia. Penciptaan adalah aksi tanpa-dimensi-waktu yang melaluinya waktu menjadi mempunyai, dan aksi kontinu yang melaluinya Allah memelihara dunia. Istilah ex nihilo tidak berguna bahwa tiada itu merupakan semacam materi, seperti patung dihasilkan bentuk dari perunggu, namun hanya berguna “tidak terjadi dari sesuatu yang sudah ada”. Hakikat alam ciptaan ialah menerima seluruh Mempunyainya dari yang lain, yaitu Sang Khalik. Alam ciptaan adalah ketergantungan dunia kepada Tuhan.

Disini tidak disinggung masalah, apakah penciptaan itu terjadi dalam waktu, atau terjadi pada suatu ketika atau sudah mempunyai sejak zaman kelanggengan. Para berbakat filsafat kebanyakan sependapat bahwa a priori kita tidak mampu memastikan mana yang terjadi. — Menciptakan, sebagai aksi aktif, dipandang dari sudut Tuhan, merupakan cetusan kehendakNya yang bersifat langgeng, sebab segala sesuatu dalam Tuhan adalah langgeng. Tetapi dipandang dari sudut ciptaan, secara pasif, ketergantungan dari Tuhan, terciptanya itu mampu terjadi dalam arus waktu, atau di luarnya, sejak zaman kelanggengan. Berlaku kelirulah bila dibayangkan bahwa Tuhan suatu ketika membuat alam dunia lalu mengundurkan Diri. Andaikata Tuhan seolah-olah beristirahat, maka buah ciptaan runtuh kembali ke nihilum, ke ketiadaan. Dunia terus menerus tergantung pada Tuhan (creatio dan sekaligus conservatio).

Ketika ditanya mengenai apa yang diperagakan Allah sebelum membuat dunia, Agustinus menjawab tidak mempunyai gunanya berdiskusi mengenai itu, sebab tidak mempunyai waktu sebelum penciptaan tersebut.

3. Zaman Skolastik

Saya membagi zaman skolastik dalam 2 tahapan (1) zaman skolastik timur, yang diwarnai situasi dalam komunitas Islam di Timur Tengah, ratus tahun 8 s/d 12 M, dan (2) zaman skolastik barat, ratus tahun 12 s/d 15 M, yang diwarnai oleh perkembangan di Eropa (termasuk jazirah Spanyol).

Secara sederhana, dalam zaman Patristik, “filsafat teologi”, dengan tanda mampu dibaca sebagai “identik dengan”, “sama sebangun dengan”, “praktis tidak berbeda dengan”. Sementara dalam periode skolastik timur, terdapat beragam interpretasi atas simbul dalam rumusan “filsafat teologi”, dalam periode skolastik barat tidak mempunyai keraguan tentang makna simbul dalam rumusan “filsafat teologi”.

3.1. Periode skolastik timur

Ratus tahun ke-5 s/d ratus tahun ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari utara. Konsep filsafati praktis tidak mempunyai. Sebaliknya di Timur Tengah. Sejak sahnya agama Islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, mempunyai perhatian akbar kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa gagasan. Pada awal ratus tahun 8 krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti terancam bagi menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin muncullah deretan panjang berbakat pikir yang berhasrat berbuat sesuatu, berpangkal pada penggunaan kecerdikan dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam.

3.1.1. Mazhab Mu’tazila (725 – 850 – 1025 M) meminjam konsep-konsep konsep Yunani dan melihat kecerdikan sebagai pendukung iman. Pengakuan kecerdikan sebagai sumber ilmu (selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, sebab kecerdikan membuat manusia mampu membedakan adun dan buruk, maka berbuat adun adalah wajib. Pemimpin wajib mewajibkan umatnya berbuat adun, masing-masing warga menjauhkan diri dari kelakuan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan antar-bangsa, dan hak azasi (kemauan bebas) manusia. Pandangan ini cocok dengan Al Qur’an (Surah 3 ayat 110): “amr bil-a’ruf wa’l nahy an’al-munkar”.

Mazhab Mu’tazila mempunyai pada argumen bahwa Al Qur’an tercipta, gunanya “dirumuskan oleh manusia, dengan latar balik tempat dan zaman yang khusus”. Maka para Mu’tazila membaca Al Qur’an dengan kacamata rasionalis.

3.1.2. Mazhab falsafah pertama (830 – 1037 M), bertujuan neoplatonis dan aristoteles. Kata “falsafah” dipakai bagi mengartikan filsafat hellenis dalam kosakata bahasa Arab, berbakat fikirnya dinamakan “faylasuf” (“falasifa – jamak). Empat tokol besar : al-Kindi (800-870 M), al-Razi (865 – 925 M), al-Farabi (872 – 950 M) dan Ibn-Sina (980 – 1037 M). Menggumuli masalah klasik “perbedaan selang dhat dan wujud” (“distinctio realis inter essentiam et existentiam”). Mereka mempunyai pada argumen, bahwa kecerdikan adalah pendamping iman. Al-Razi menolak ijazu’l Qur’an. Tulis al-Razi: “Tuhan memberi kepada manusia kecerdikan sebagai anugerah terbesar. Dengan kecerdikan kita mengetahui segala apa yang berguna bagi kita dan yang mampu memperbaiki hidup kita. Berkat kecerdikan itu kita mengetahui hal yang tersembunyi dan apa yang akan terjadi. Dengan kecerdikan kita mengenal Tuhan, ilmu tertinggi bagi manusia. Kecerdikan itu menghakimi segala-galanya, dan tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain. Budi pekerti kita wajib diputuskan oleh kecerdikan semata-mata”.

3.1.3. Mazhab konsep ketiga dinamakan pula Kalam Ash’ari, berpusat di Bagdad, dan bercorak atomisme (yang dicetuskan pertama kali oleh Democritus, 370 sM), dan bergumul dengan soal sebab-musabab, kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan. Para tokohnya: al-Ash’ari (873-935 M), al-Baqillani (?-1035), dan al-Ghazali (1065-1111 M).

Pandangan yang bercorak atomistis berpangkal pada argumen bahwa peristiwa alam dan kelakuan manusia tidak lain daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung dari Tuhan. Daya alami serta hubungan wajib sebab-akibat dalam penciptaan itu tidak mempunyai. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan al-Khaliq, “tiada yang tersembunyi daripadaNya seberat dharahpun” (Al-Qur’an Surat 34 ayat 3). Tiap kejadian terdiri atas deretan terputus-putus atom-atom, tanpa mempunyai hubungan kausal. “Kami menyangkal bahwa makan dan minum menyebabkan kenyang”. Yang mempunyai hanya monokausalitas mutlak illahi. Apabila tampak sesuatu dampak dari suatu aksi, maka itu hanya semu, sebab Allah menghendaki hal itu. Tuhan mahakuasa dan mendalangi setiap perkara insani. Manusia tidak mempunyai kehendak lepas sama sekali, yang lepas sama sekali itu hanya semua saja. Manusia hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam suntuk. “Bila manusia memerankan adun, itulah diputuskan Allah berdasarkan rahmatNya; bila ia berbuat jahat itu dikehendaki Allah berdasarkan keadilanNya”.

Dalam “Al-Tahafut al-filasifah” al-Ghazali membuat sistematisasi atas filsafat dalam 20 dalil dan membuat kajian dan bantahan yang keras atas tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20 dalil diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai ilmu sesuatu melalui sebab-sebabnya dimungkiri; seluruh ilmu ilmiah adalah sia-sia. Secara singkat “al-aql laysa lahu fi’l-shar’ majal” — bagi kecerdikan tiada tempat dalam agama.

3.1.4. Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur Tengah, di daerah yang dikenal sebagi Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika barat laut, jazirah Andalusia, yaitu Spanyol sekarang) berkembanglah pusat Islam dalam kesenian, ilmu ilmu dan filsafat. Ibn Bajjah (1100-1138 M), Ibn Tufail (? – 1185), dan Ibn Rushd (“Averroes”) (1126-1198 M) merupakan 3 filsuf utama dalam perioda Filsafat Kedua (1100 – 1195 M) ini.

Ciri para filsuf ini kebanyakan menolak haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah menegaskan adalah tugas seorang filsuf bagi meningkatkan martabat hidupnya dengan merenungkan kenyataan rohani sampai kesudahan hayat. Kecerdikan adalah hal yang sangat bernilai yang dikaruniakan Tuhan kepada abdiNya yang setia.

Ibn Tufayl terkenal oleh buku roman filsafi yang berjudul Risalat HAYY IBN YAQZAN fi asrar al -himah al-mashiriyyah.

Ibn Rushd dikenal oleh 3 kelompok karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis (tentang karya-karya filsafat di daerah timur) dan karangan apologetis (yang membela Islam dari ancaman dari dalam). Tahafut al-tahafut merupakan serangan frontal atas al-Tahafut al-filasifah al-Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya bahwa ilmu secara esensial adalah ilmu sesuatu berdasarkan sebabnya. Kita menanggapi hubungan sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya sebagai nyata dengan kecerdikan. Dengan dampak atau setiap perubahan diciptakan secara langsung oleh iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab tercipta (wasa’ith), seluruh dunia dimerosotkan menjadi kaos dan irasional, tanpa tata-tertib, tanpa nizam atau inayah. Itu bertentangan dengan kecerdikan sehat dan menentang wahyu Qur’an, yang melukiskan dunia sebagai karya teratur Allah yang maha berbakat.

Karya apologetisnya (2 buku yang ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup filsafat dalam Islam, adun sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam teologi. Rushd melihat filsafat sebagai “sahabat al-shari’at w’ahat al-ruzdat”, teman teologi ibarat saudari sesusuan. Filsafat diwajibkan oleh al-Qur’an, supaya manusia mampu memuji karya Tuhan di dunia ini (antara lain Surah 3 ayat 188, Surah 6 ayat 78, Surah 7 ayat 184, Surah 59 ayat 2, dan Surah 88 ayat 17) . Bila studi hukum (fiqh) tidak diiringi studi filsafat, fiqh membuat budi ketat dan memalsukan agama.

Pengaruh Ibn Rushd sang filsuf dari Cordova itu terhadap alam muslihat Islam selanjutnya mungkin tidak seberapa, ia bahkan diistilahkan hanya mewariskan “sekeranjang buku seberat sosok mayatnya”. Tetapi naskahnya populer di Eropa, khususnya di sekitar yang terkait kampus Universitas Paris, dan menyebar dari sana. Dengan karyanya, Aristoteles yang dijuluki “Sang Filsuf” diperkenalkan mutiara konsepnya oleh Ibn Rushd yang oleh sebab itu mendapat julukan “Sang Komentator”. Sebagai dampaknya, obor perenungan filsafati Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh oleh para filsuf muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada para filsuf Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia. Itulah sumbangan bernilai para filsuf muslim dalam khazanah perenungan tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan realitas di sekelilingnya.

3.2. Perioda skolastik Barat

Awal ratus tahun 13 ditandai dengan 3 hal penting: (1) berdirinya universitas-universitas, (2) munculnya ordo-ordo kebiaraan baru (Fransiskan dan Dominikan), dan (3) diketemukannya filsafat Yunani, melalui komentar Ibn Rushd, yang dipelajari dan dikritik dan diteliti dengan cermat oleh Thomas Aquinas (1225 – 1274 M). Tema filsafat perioda ini adalah hubungan kecerdikan budi dan iman, mempunyainya dan hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik.

Otonomi filsafat yang bertumpu pada kecerdikan, yang merupakan salah satu kodrat manusia, dipertahankan. Menurut Thomas Aquinas, kecerdikan memampukan manusia mengenali kebenaran dalam daerahnya yang alamiah. Sebaliknya teologi memerlukan wahyu adikodrati. Berkat wahyu adikodrati itu teologi mampu mencapai kebenaran yang bersifat misteri dalam guna akrab (misalnya misteri tentang trinitas, inkarnasi, sakramen). Sebab itu teologi memerlukan iman, sebab hanya mampu dijelaskan dan diterima dalam iman. Dengan iman yang merupakan sikap penerimaan total manusia atas wibawa Allah, manusia mampu mencapai ilmu yang mengatasi kecerdikan. Meski misteri ini mengatasi kecerdikan, ia tidak bertentangan dengan kecerdikan. Meski kecerdikan tidak mampu menemukan (menguak) misteri, kecerdikan mampu meratakan jalan menuju misteri (“prae-ambulum fidei”).

Dengan ini Thomas Aquinas menegaskan mempunyainya dua ilmu yang tidak perlu bertentangan, atau dipertentangkan, tetapi berdiri sendiri berdampingan: ilmu alamiah (yang berpangkal pada kecerdikan budi) dan ilmu iman (yang berasal pada kitab suci dan tradisi keagamaan). Adalah Wihelm Dilthey (1839-1911) yang akhir-akhirnya membedakan dengan tegas “Geisteswissenschaften” = “human sciences” dari “Naturwisensshaften” = “natural sciences”, sementara Max Weber membedakan “erklaeren” sebagai ciri-ciri ilmu alam dari “verstehen” yang merupakan ciri khas ilmu-ilmu kemanusiaan.

Perbedaan dengan Filsafat Barat

Filsafat Barat dan Filsafat Timur tampak amat berbeda sebab berkembang di dalam kecerdikan budi yang amat berbeda, dan sepanjang sejarah tidak terlalu banyak pertemuan di selang keduanya, kecuali di dalam filsafat Islam.[1] Walaupun demikian, bukan berguna tidak mempunyai persamaan di selang keduanya.[1]

Ilmu

Filsafat Barat sejak masa Yunani telah menekankan kecerdikan budi dan konsep yang rasional sebagai pusat kodrat manusia.[6] Filsafat Timur semakin menekankan hati daripada kecerdikan budi, sebab hati dipahami sebagai instrumen yang mempersatukan kecerdikan budi dan intuisi, serta intelegensi dan perasaan.[6] Tujuan utama berfilsafat adalah menjadi berbakat dan menghayati kehidupan, dan bagi itu ilmu wajib diiringi dengan moralitas.[6]

Sikap Terhadap Alam

Filsafat Barat menjadikan manusia sebagai subyek dan alam sebagai obyek sehingga menghasilkan eksploitasi berkelebihan atas alam.[6] Sementara itu, filsafat Timur menjadikan harmoni selang manusia dengan alam sebagai kunci.[6] Manusia berasal alam namun sekaligus menyadari keunikannya di tengah alam.[6]

Cita-cita Hidup

Kalau filsafat Barat menganggap mengisi hidup dengan melakukan pekerjaan dan bersikap aktif sebagai kebaikan tertinggi, cita-cita filsafat Timur adalah harmoni, ketenangan, dan kedamaian hati.[6] Kehidupan akannya dijalani dengan sederhana, tenang, dan menyelaraskan diri dengan sekitar yang terkait.[6]

Status Manusia

Filsafat Barat amat menekankan status manusia sebagai individu dengan segala kebebasan yang ia miliki, dan masyarakat tidak mampu menghilangkan status seorang manusia dengan kebebasannya.[6] Filsafat Timur menekankan martabat manusia tetapi dengan penekanan yang berbeda, sehingga manusia mempunyai bukan bagi dirinya melainkan mempunyai di dalam solidaritas dengan sesamanya.[6]

Lihat Juga

Pustaka

  1. ^ a b c d (Inggris)Oliver Leaman. 2000. Eastern Philosophy: Key Readings. London: Routledge.
  2. ^ Kelalaian pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks bagi ref bernama Takwin
  3. ^ (Inggris)Jay Stevenson. 2000. The Complete's Idiot's Guide to Eastern Philosophy. Macmillan: Alpha Books.
  4. ^ (Inggris)Ray Billington. 1997. Understanding Eastern Philosophy. London: Routledge.
  5. ^ (Inggris)Richard King. 1999. Orientalism and Religion: Postcolonial theory, India and ‘the mystic East’. London: Routledge.
  6. ^ a b c d e f g h i j k Tim Redaksi Driyarkara. 1993. Jelajah Hakikat Konsep Timur. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tautan luar


edunitas.com


Page 2

Filosofi

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Portal  

Filsafat Timur merupakan sebutan bagi pemikiran-pemikiran filosofis yang berasal dari dunia Timur atau Asia, seperti Filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Jepang, Filsafat Islam, Filsafat Buddhisme, dsb. Masing-masing jenis filsafat merupakan suatu sistem-sistem pemikiran yang lapang dan plural.[1] Misalnya saja, filsafat India mampu terbagi menjadi filsafat Hindu dan filsafat Buddhisme, sedangkan filsafat Cina mampu terbagi menjadi Konfusianisme dan Taoisme.[2] Belum lagi, banyak terjadi pertemuan dan percampuran selang sistem filsafat yang satu dengan yang lain, misalnya Buddhisme berakar dari Hinduisme, namun akhir menjadi semakin berpengaruh di Tiongkok ketimbang di India.[2] Di sisi lain, filsafat Islam malah banyakan berjumpa dengan filsafat Barat.[1] Akan tetapi, secara umum dikenal empat jenis filsafat Timur yang terkenal dengan sebutan "Empat Tradisi Besar" yaitu Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme.[3]

Filsafat Timur memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan filsafat Barat, yang mana ciri-ciri agama terdapat juga di dalam filsafat Timur, sehingga banyak berbakat berbantah mengenai mampu atau tidaknya pemikiran Timur diistilahkan sebagai filsafat.[4][2] Di dalam studi post-kolonial bahkan ditemukan bahwa filsafat Timur dianggap semakin rendah ketimbang sistem pemikiran Barat karena tidak memenuhi kriteria filsafat menurut filsafat Barat, misalnya karena dianggap memiliki unsur keagamaan atau mistik.[5] Akan tetapi, sekalipun di selang filsafat Timur dan filsafat Barat terdapat perbedaan-perbedaan, namun tidak mampu dinilai mana yang semakin adun, sebab masing-masing memiliki keunikannya sendiri.[2][6] Selain itu, keduanya diharapkan mampu saling melengkapi khazanah filsafat secara lapang.[2]

Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat Posted on November 26, 2009 by teosophy

Oleh: Bandeh Khudo

Yang dibahas disini terutama filsafat Barat, karena misalnya filsafat India dan filsafat Cina semakin bersifat mengajar bagaimana manusia mencapai “keselamatan” (“moksa”), atau bagaimana manusia harus memerankan supaya diperoleh keseimbangan selang dunia dan kehidupan setealh didunia. Tak mampu diungkiri didalamnya juga mempunyai unsur kecerdikan, tetapi bukan produk dari refleksi yang sifatnya kritis rasional.

Mempunyai empat periode akbar dalam filsafat Barat:

Zaman Yunani (600 sM – 400 M); Zaman Patristik dan Skolastik (300 M – 1500 M); Zaman Modern (1500 M – 1800 M); Zaman sekarang (setelah 1800 M).


Tidak berat sebelah dicatat bahwa tiap zaman memiliki ciri dan nuansa refleksi yang berbeda. Dalam zaman Yunani ditempatkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat. Zaman Patristik dan Skolastik ditandai oleh usaha yang gigih bagi mencari keselarasan selang iman dan kecerdikan, karena iman di hati, dan kecerdikan mempunyai di otak. Tidak cukuplah sikap credo quia absurdum = “aku percaya justru karena tidak hadir akal” Tertulianus, 160-223 M. Dalam Zaman Modern direfleksikan beragam hal tentang rasio, manusia dan dunia. Jejak pergumulan itu terdapat dalam aliran-aliran filsafat matang ini.

1. Zaman Yunani

1.1. Filsafat pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu (“arche” = ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya mempunyai satu azas? Thales mengusulkan: cairan, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir (“panta rei” = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya bagi merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis bagi menerangkannya juga. Zeno (kelahiran 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum bagi meraih kesimpulan yang sah.

1.2. Puncak zaman Yunani dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).

1.2.1. Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui diskusi seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) bagi “melahirkan” ilmu akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates menempatkan dasar bagi pendekatan deduktif. — Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.

Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai “sophis” (“yang berbakat dan berapengetahuan”), Sokrates semakin berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang mempunyai dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero akhir, Sokrates “menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah”. Karena itu ia didakwa “memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda” dan dibawa ke pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia berbuat salah. Ia sesungguhnya mampu menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di depan banyak orang bagi mengakhiri hidupnya.

1.2.2. Plato menyumbangkan nasihat tentang “idea”. Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang abadi. Dalam wawasan Plato, pada awal mula mempunyai idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, … mampu berubah dan berkesudahan, tetapi idea bunga, pohon, burung, … abadi mempunyainya. Itulah sebabnya yang Satu mampu menjadi yang Banyak.

Plato mempunyai pada argumen, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah dikenalnya dari dunia idea, — konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan maka lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dsb.

Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu masalah mempunyai (“being”) dan mengada (menjadi, “becoming”).

1.2.3. Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Ia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu “berubah” (menjadi akbar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak mempunyai kuda yang hidup selamanya. Ia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu abadi tidak berkesudahan. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dihasilkan bentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang mempunyai pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea mempunyai dalam benda-benda.

Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan kecerdikan kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki kecerdikan yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar kecerdikan yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru kecerdikan itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Kecerdikan dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak mempunyai idea-bawaan.

Aristoteles menegaskan bahwa mempunyai dua metode bagi mendapatkan kesimpulan demi memperoleh ilmu dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang sah, dihasilkan bentuk konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang berisi unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan metode berfikir. Logika dihasilkan bentuk dari kata logikoz, dan logoz berguna sesuatu yang diketengahkan. Daripadanya logika berguna pertimbangan muslihat atau kecerdikan yang diberitahukan lewat kata dan diberitahukan dalam bahasa.

Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis bagi berabstraksi menyusun pernyataan yang berlangsung universal.

Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis bagi mencapai ilmu yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih “hylemorfisme”: apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan materiil (“hyle”) sana-sini dari bentuk (“morphe”) yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan (“dynamis”, Latin: “potentia”) bagi pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan metode berbeda-beda. Maka mempunyai banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar selang kedua gejala yang “tetap” dan yang “berubah”.

Dalam konteks ini mampu difahami bila Aristoteles mempunyai pada pandangan bahwa wanita adalah “pria yang belum lengkap”. Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual mempunyai pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah “ladang”, yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah “yang menanam”. Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan “bentuk”, sedang wanita menyumbangkan “substansi”.

Dalam makluk hidup (tumbuhan, hewan, manusia), bentuk diberi nama “jiwa” (“psyche”, Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia mampu “mengamati” dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup “mengerti” dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan “nous” (Latin: “ratio” atau “intellectus”) yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima “logoz”. Itu membuat manusia memiliki bahasa.

Pemikiran Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang mempunyai budaya. Pengaruhnya berasa sampai kini, — itu berkat daya sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan metode kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.

Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat akbar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga. — (Catatan kecil saja dari FSP: Maka jangan terkejut jika pandangan berat-sebelah tentang pria-wanita sangat dominan sampai kini. Legitimasi filsafati kiranya telah diberikan oleh Arsitoteles atas praktek yanh umum di dalam masyarakat Timur Tengah, Eropa ratus tahun pertengahan dan dimana saja. Gereja Katolik pun selama berabad-abad mengikuti pendirian yang sama, sekalipun landasan biblisnya sama sekali tidak mempunyai. Yesus, sebagaimana tampak dalam Injil, memiliki pandangan yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)

Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh bagi mempelajari realitas. Studi tentang logika atau ilmu tentang penalaran, memerankan sebagai organon (“alat”) bagi sampai kepada ilmu yang semakin mendalam, bagi selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, lahir banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Mempunyai benang merah yang nyata, selang sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.

1.3. Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga arus pemikiran filsafat, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme (Zeno, 333-262 sM) terkenal karena etikanya: manusia berbahagia jika ia memerankan rasional. Epikurisme (Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika: “kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita”.

Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) dinamakan oleh Plotinos to en = “to hen”, yang esa, “the one”. Yang esa adalah awal, yang pertama, yang sangat adun, sangat tinggi, dan yang abadi. Yang esa tidak mampu dikenal oleh manusia karena tidak mampu dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang esa adalah pusat daya, — seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat ronde pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati ronde emanasi, yang esa tak menjadi kurang atau terpengaruh sama sekali.

Dari to en mengalir nouz = “nous”, budi, kecerdikan, bahkan roh (?). “Nous” merupakan “bayang-bayang” dari “to hen”. Dari “nous” mengalir ynch = “psykhe”, jiwa, yang merupakan perbatasan “nous” dengan mh ou = “me on”, materi, yang merupakan kemungkinan atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah tubuh. “Psykhe” merupakan penghubung selang “nous” yang terang, yang berlawanan dengan materi yang gelap, yang rohani berlawanan dengan yang jasmani. — Menurut neo-platonisme, perlawanan itu merupakan kelainan dari kebenaran. Bagi mencapai kebenaran, manusia harus kembali kepada “to hen”, dan itulah tujuan hidup manusia. “To hen” kiranya identik dengan konsep “Sang Sangkan Paraning Dumadi” dalam tradisi Jawa.

Kesatuan mistis dengan “to hen” merupakan kebenaran sejati. Manusia harus berkontemplasi bagi mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat akbar bagi pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan berkesudahan kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa kepada terang (serta awal dari kekekalan).

Jejak pemikiran neoplatonisme mampu diperhatikan dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman menyatu dengan Tuhan atau “jiwa kosmik”. Banyak agama menekankan keterpisahan selang Tuhan dan Ciptaan, tetapi para berbakat mistik tidak menemui pemisahan seperti itu. Mereka jutru mengalami rasa “penyatuan dengan Tuhan”. Ketika penyatuan itu terjadi, berbakat mistik merasa ia “kehilangan dirinya”, ia lenyap ke dalam diri Tuhan atau lenyap dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik atau sepercik cairan kehilangan dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.

Tetapi pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Berbakat mistik harus mencari jalan “pencucian dan pencerahan” bagi mampu berjumpa dengan Tuhan, melalui hidup sederhana dan beragam teknik meditasi. Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam semua agama akbar di dunia. Dalam “agama” Jawa dikenallah konsep “manunggaling kawula lan Gusti”, yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan oleh Zoetmulder. (Zoetmulder SJ almarhum adalah Guru Akbar di Fakultas Sastra UGM).

2. Zaman Patristik (Para Bapa Gereja)

Pemikiran filsafati para Bapa Gereja Katolik berisi unsur neo-platonisme. Para Bapa Gereja berusaha keras bagi menyoroti pokok-pokok iman kristiani dari sudut pengertian dan akalbudi, memberinya infrastruktur rasional, dan dengan metode itu membuat pembelaan yang nalar atas aneka serangan. Pada dasarnya Allah menjadi pokok bahasan utama. Hakekat manusia Yesus Kristus dan manusia biasanya dijelaskan berdasarkan pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh Agustinus (354-430 M) bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang (“lumens”) dari Allah. Walaupun demikian dalam diri manusia sudah tertanam benih kebenaran (yang adalah pantulan Allah sendiri). Benih itu memungkinkannya menguak kebenaran. Sebagai ciptaan, manusia merupakan jejak Allah yang istimewa = “imago Dei” (citra Allah), dalam guna itu manusia sungguh memantulkan siapa Allah itu dengan metode semakin jelas dari pada segala ciptaan lainnya.

“Tuhan, engkau semakin tinggi daripada yang sangat tinggi dalam diriku, dan semakin dalam daripada yang sangat dalam dalam batinku” — itu ungkapan Agustinus tentang pengalaman manusia mengenai transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumusan. Dalam zaman ini pokok-pokok iman Kristiani diberitahukan dalam syahadat iman rasuli (teks “Saya Percaya” yang panjang). Didalamnya dituangkan rumusan ketat pokok-pokok iman, termasuk tentang trinitas — tentu saja dalam katagori pemikiran filsafati pada waktu itu dan dengan bahan dari Alkitab.

Agustinus menerima penafsiran metaforis atau figuratif atas kitab Kejadian, yang menyatakan bahwa alam semesta dicipta creatio ex nihilo dalam 6 hari, dan pada hari ketujuh Allah beristirahat, sesudah melihat semua itu adun mempunyainya. “Allah tidak berhasrat mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak relevan bagi keselamatan mereka”. Penciptaan bukanlah suatu peristiwa dalam waktu, namun waktu diciptakan bersama dengan dunia. Penciptaan adalah aksi tanpa-dimensi-waktu yang melaluinya waktu menjadi mempunyai, dan aksi kontinu yang melaluinya Allah memelihara dunia. Istilah ex nihilo tidak berguna bahwa tiada itu merupakan semacam materi, seperti patung dihasilkan bentuk dari perunggu, namun hanya berguna “tidak terjadi dari sesuatu yang sudah ada”. Hakikat alam ciptaan ialah menerima seluruh Mempunyainya dari yang lain, yaitu Sang Khalik. Alam ciptaan adalah ketergantungan dunia kepada Tuhan.

Disini tidak disinggung masalah, apakah penciptaan itu terjadi dalam waktu, atau terjadi pada suatu ketika atau sudah mempunyai sejak zaman kelanggengan. Para berbakat filsafat biasanya sependapat bahwa a priori kita tidak mampu memastikan mana yang terjadi. — Menciptakan, sebagai aksi aktif, dipandang dari sudut Tuhan, merupakan cetusan kehendakNya yang bersifat langgeng, karena segala sesuatu dalam Tuhan adalah langgeng. Tetapi dipandang dari sudut ciptaan, secara pasif, ketergantungan dari Tuhan, terciptanya itu mampu terjadi dalam arus waktu, atau di luarnya, sejak zaman kelanggengan. Berlaku kelirulah jika dibayangkan bahwa Tuhan suatu ketika menciptakan alam dunia lalu mengundurkan Diri. Andaikata Tuhan seolah-olah beristirahat, maka buah ciptaan runtuh kembali ke nihilum, ke ketiadaan. Dunia terus menerus tergantung pada Tuhan (creatio dan sekaligus conservatio).

Ketika ditanya mengenai apa yang diperagakan Allah sebelum menciptakan dunia, Agustinus menjawab tidak mempunyai gunanya berdiskusi mengenai itu, karena tidak mempunyai waktu sebelum penciptaan tersebut.

3. Zaman Skolastik

Saya membagi zaman skolastik dalam 2 tahapan (1) zaman skolastik timur, yang diwarnai situasi dalam komunitas Islam di Timur Tengah, ratus tahun 8 s/d 12 M, dan (2) zaman skolastik barat, ratus tahun 12 s/d 15 M, yang diwarnai oleh perkembangan di Eropa (termasuk jazirah Spanyol).

Secara sederhana, dalam zaman Patristik, “filsafat teologi”, dengan tanda mampu dibaca sebagai “identik dengan”, “sama sebangun dengan”, “praktis tidak berbeda dengan”. Sementara dalam periode skolastik timur, terdapat beragam interpretasi atas simbul dalam rumusan “filsafat teologi”, dalam periode skolastik barat tidak mempunyai keraguan tentang makna simbul dalam rumusan “filsafat teologi”.

3.1. Periode skolastik timur

Ratus tahun ke-5 s/d ratus tahun ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari utara. Pemikiran filsafati praktis tidak mempunyai. Sebaliknya di Timur Tengah. Sejak sahnya agama Islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, mempunyai perhatian akbar kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa gagasan. Pada awal ratus tahun 8 krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti terancam bagi menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin muncullah deretan panjang berbakat pikir yang berhasrat berbuat sesuatu, berpangkal pada penggunaan kecerdikan dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam.

3.1.1. Mazhab Mu’tazila (725 – 850 – 1025 M) meminjam konsep-konsep pemikiran Yunani dan melihat kecerdikan sebagai pendukung iman. Pengakuan kecerdikan sebagai sumber ilmu (selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena kecerdikan membuat manusia mampu membedakan adun dan buruk, maka berbuat adun adalah wajib. Pemimpin harus mewajibkan umatnya berbuat adun, masing-masing warga menjauhkan diri dari kelakuan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan antar-bangsa, dan hak azasi (kemauan bebas) manusia. Pandangan ini cocok dengan Al Qur’an (Surah 3 ayat 110): “amr bil-a’ruf wa’l nahy an’al-munkar”.

Mazhab Mu’tazila mempunyai pada argumen bahwa Al Qur’an tercipta, gunanya “dirumuskan oleh manusia, dengan latar balik tempat dan zaman yang khusus”. Maka para Mu’tazila membaca Al Qur’an dengan kacamata rasionalis.

3.1.2. Mazhab falsafah pertama (830 – 1037 M), bertujuan neoplatonis dan aristoteles. Kata “falsafah” dipakai bagi mengartikan filsafat hellenis dalam kosakata bahasa Arab, berbakat fikirnya dinamakan “faylasuf” (“falasifa – jamak). Empat tokol besar : al-Kindi (800-870 M), al-Razi (865 – 925 M), al-Farabi (872 – 950 M) dan Ibn-Sina (980 – 1037 M). Menggumuli masalah klasik “perbedaan selang dhat dan wujud” (“distinctio realis inter essentiam et existentiam”). Mereka mempunyai pada argumen, bahwa kecerdikan adalah pendamping iman. Al-Razi menolak ijazu’l Qur’an. Tulis al-Razi: “Tuhan memberi kepada manusia kecerdikan sebagai anugerah terbesar. Dengan kecerdikan kita mengetahui segala apa yang berguna bagi kita dan yang mampu memperbaiki hidup kita. Berkat kecerdikan itu kita mengetahui hal yang tersembunyi dan apa yang akan terjadi. Dengan kecerdikan kita mengenal Tuhan, ilmu tertinggi bagi manusia. Kecerdikan itu menghakimi segala-galanya, dan tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain. Budi pekerti kita harus diputuskan oleh kecerdikan semata-mata”.

3.1.3. Mazhab pemikiran ketiga dinamakan pula Kalam Ash’ari, berpusat di Bagdad, dan bercorak atomisme (yang dicetuskan pertama kali oleh Democritus, 370 sM), dan bergumul dengan soal sebab-musabab, kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan. Para tokohnya: al-Ash’ari (873-935 M), al-Baqillani (?-1035), dan al-Ghazali (1065-1111 M).

Pandangan yang bercorak atomistis berpangkal pada argumen bahwa peristiwa alam dan kelakuan manusia tidak lain daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung dari Tuhan. Daya alami serta hubungan wajib sebab-akibat dalam penciptaan itu tidak mempunyai. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan al-Khaliq, “tiada yang tersembunyi daripadaNya seberat dharahpun” (Al-Qur’an Surat 34 ayat 3). Tiap kejadian terdiri atas deretan terputus-putus atom-atom, tanpa mempunyai hubungan kausal. “Kami menyangkal bahwa makan dan minum menyebabkan kenyang”. Yang mempunyai hanya monokausalitas mutlak illahi. Apabila tampak sesuatu dampak dari suatu aksi, maka itu hanya semu, karena Allah menghendaki hal itu. Tuhan mahakuasa dan mendalangi setiap perkara insani. Manusia tidak memiliki kehendak lepas sama sekali, yang lepas sama sekali itu hanya semua saja. Manusia hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam suntuk. “Bila manusia memerankan adun, itulah diputuskan Allah berdasarkan rahmatNya; bila ia berbuat jahat itu dikehendaki Allah berdasarkan keadilanNya”.

Dalam “Al-Tahafut al-filasifah” al-Ghazali membuat sistematisasi atas filsafat dalam 20 dalil dan membuat kajian dan bantahan yang keras atas tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20 dalil diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai ilmu sesuatu melalui sebab-sebabnya dimungkiri; seluruh ilmu ilmiah adalah sia-sia. Secara singkat “al-aql laysa lahu fi’l-shar’ majal” — bagi kecerdikan tiada tempat dalam agama.

3.1.4. Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur Tengah, di daerah yang dikenal sebagi Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika barat laut, jazirah Andalusia, yaitu Spanyol sekarang) berkembanglah pusat Islam dalam kesenian, ilmu ilmu dan filsafat. Ibn Bajjah (1100-1138 M), Ibn Tufail (? – 1185), dan Ibn Rushd (“Averroes”) (1126-1198 M) merupakan 3 filsuf utama dalam perioda Filsafat Kedua (1100 – 1195 M) ini.

Ciri para filsuf ini biasanya menolak haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah menegaskan adalah tugas seorang filsuf bagi meningkatkan martabat hidupnya dengan merenungkan kenyataan rohani sampai kesudahan hayat. Kecerdikan adalah hal yang sangat bernilai yang dikaruniakan Tuhan kepada abdiNya yang setia.

Ibn Tufayl terkenal oleh buku roman filsafi yang berjudul Risalat HAYY IBN YAQZAN fi asrar al -himah al-mashiriyyah.

Ibn Rushd dikenal oleh 3 kelompok karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis (tentang karya-karya filsafat di daerah timur) dan karangan apologetis (yang membela Islam dari ancaman dari dalam). Tahafut al-tahafut merupakan serangan frontal atas al-Tahafut al-filasifah al-Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya bahwa ilmu secara esensial adalah ilmu sesuatu berdasarkan sebabnya. Kita menanggapi hubungan sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya sebagai nyata dengan kecerdikan. Dengan dampak atau setiap perubahan diciptakan secara langsung oleh iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab tercipta (wasa’ith), seluruh dunia dimerosotkan menjadi kaos dan irasional, tanpa tata-tertib, tanpa nizam atau inayah. Itu bertentangan dengan kecerdikan sehat dan menentang wahyu Qur’an, yang melukiskan dunia sebagai karya teratur Allah yang maha berbakat.

Karya apologetisnya (2 buku yang ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup filsafat dalam Islam, adun sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam teologi. Rushd melihat filsafat sebagai “sahabat al-shari’at w’ahat al-ruzdat”, teman teologi ibarat saudari sesusuan. Filsafat diwajibkan oleh al-Qur’an, supaya manusia mampu memuji karya Tuhan di dunia ini (antara lain Surah 3 ayat 188, Surah 6 ayat 78, Surah 7 ayat 184, Surah 59 ayat 2, dan Surah 88 ayat 17) . Bila studi hukum (fiqh) tidak diiringi studi filsafat, fiqh membuat budi sempit dan memalsukan agama.

Pengaruh Ibn Rushd sang filsuf dari Cordova itu terhadap alam muslihat Islam selanjutnya mungkin tidak seberapa, ia bahkan diistilahkan hanya mewariskan “sekeranjang buku seberat sosok mayatnya”. Tetapi naskahnya populer di Eropa, khususnya di sekitar yang terkait kampus Universitas Paris, dan menyebar dari sana. Dengan karyanya, Aristoteles yang dijuluki “Sang Filsuf” diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh Ibn Rushd yang oleh karena itu mendapat julukan “Sang Komentator”. Sebagai dampaknya, obor perenungan filsafati Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh oleh para filsuf muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada para filsuf Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia. Itulah sumbangan bernilai para filsuf muslim dalam khazanah perenungan tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan realitas di sekelilingnya.

3.2. Perioda skolastik Barat

Awal ratus tahun 13 ditandai dengan 3 hal penting: (1) berdirinya universitas-universitas, (2) munculnya ordo-ordo kebiaraan baru (Fransiskan dan Dominikan), dan (3) diketemukannya filsafat Yunani, melalui komentar Ibn Rushd, yang dipelajari dan dikritik dan diteliti dengan cermat oleh Thomas Aquinas (1225 – 1274 M). Tema filsafat perioda ini adalah hubungan kecerdikan budi dan iman, mempunyainya dan hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik.

Otonomi filsafat yang bertumpu pada kecerdikan, yang merupakan salah satu kodrat manusia, dipertahankan. Menurut Thomas Aquinas, kecerdikan memampukan manusia mengenali kebenaran dalam daerahnya yang alamiah. Sebaliknya teologi memerlukan wahyu adikodrati. Berkat wahyu adikodrati itu teologi mampu mencapai kebenaran yang bersifat misteri dalam guna ketat (misalnya misteri tentang trinitas, inkarnasi, sakramen). Karena itu teologi memerlukan iman, karena hanya mampu dijelaskan dan diterima dalam iman. Dengan iman yang merupakan sikap penerimaan total manusia atas wibawa Allah, manusia mampu mencapai ilmu yang mengatasi kecerdikan. Meski misteri ini mengatasi kecerdikan, ia tidak bertentangan dengan kecerdikan. Meski kecerdikan tidak mampu menemukan (menguak) misteri, kecerdikan mampu meratakan jalan menuju misteri (“prae-ambulum fidei”).

Dengan ini Thomas Aquinas menegaskan mempunyainya dua ilmu yang tidak perlu bertentangan, atau dipertentangkan, tetapi berdiri sendiri berdampingan: ilmu alamiah (yang berpangkal pada kecerdikan budi) dan ilmu iman (yang berasal pada kitab suci dan tradisi keagamaan). Adalah Wihelm Dilthey (1839-1911) yang akhir-akhirnya membedakan dengan tegas “Geisteswissenschaften” = “human sciences” dari “Naturwisensshaften” = “natural sciences”, sementara Max Weber membedakan “erklaeren” sebagai ciri-ciri ilmu alam dari “verstehen” yang merupakan ciri khas ilmu-ilmu kemanusiaan.

Perbedaan dengan Filsafat Barat

Filsafat Barat dan Filsafat Timur tampak amat berbeda sebab berkembang di dalam kecerdikan budi yang amat berbeda, dan sepanjang sejarah tidak terlalu banyak pertemuan di selang keduanya, kecuali di dalam filsafat Islam.[1] Walaupun demikian, bukan berguna tidak mempunyai persamaan di selang keduanya.[1]

Ilmu

Filsafat Barat sejak masa Yunani telah menekankan kecerdikan budi dan pemikiran yang rasional sebagai pusat kodrat manusia.[6] Filsafat Timur semakin menekankan hati daripada kecerdikan budi, sebab hati dipahami sebagai instrumen yang mempersatukan kecerdikan budi dan intuisi, serta intelegensi dan perasaan.[6] Tujuan utama berfilsafat adalah menjadi berbakat dan menghayati kehidupan, dan bagi itu ilmu harus diiringi dengan moralitas.[6]

Sikap Terhadap Alam

Filsafat Barat menjadikan manusia sebagai subyek dan alam sebagai obyek sehingga menghasilkan eksploitasi berkelebihan atas alam.[6] Sementara itu, filsafat Timur menjadikan harmoni selang manusia dengan alam sebagai kunci.[6] Manusia berasal alam namun sekaligus menyadari keunikannya di tengah alam.[6]

Cita-cita Hidup

Kalau filsafat Barat menganggap mengisi hidup dengan melakukan pekerjaan dan bersikap aktif sebagai kebaikan tertinggi, cita-cita filsafat Timur adalah harmoni, ketenangan, dan kedamaian hati.[6] Kehidupan akannya dijalani dengan sederhana, tenang, dan menyelaraskan diri dengan sekitar yang terkait.[6]

Status Manusia

Filsafat Barat amat menekankan status manusia sebagai individu dengan segala kebebasan yang ia miliki, dan masyarakat tidak mampu menghilangkan status seorang manusia dengan kebebasannya.[6] Filsafat Timur menekankan martabat manusia tetapi dengan penekanan yang berbeda, sehingga manusia mempunyai bukan bagi dirinya melainkan mempunyai di dalam solidaritas dengan sesamanya.[6]

Lihat Juga

Referensi

  1. ^ a b c d (Inggris)Oliver Leaman. 2000. Eastern Philosophy: Key Readings. London: Routledge.
  2. ^ Kealpaan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks bagi ref bernama Takwin
  3. ^ (Inggris)Jay Stevenson. 2000. The Complete's Idiot's Guide to Eastern Philosophy. Macmillan: Alpha Books.
  4. ^ (Inggris)Ray Billington. 1997. Understanding Eastern Philosophy. London: Routledge.
  5. ^ (Inggris)Richard King. 1999. Orientalism and Religion: Postcolonial theory, India and ‘the mystic East’. London: Routledge.
  6. ^ a b c d e f g h i j k Tim Redaksi Driyarkara. 1993. Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pranala luar


edunitas.com


Page 3

Filosofi

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Portal  

Filsafat Timur merupakan sebutan bagi pemikiran-pemikiran filosofis yang berasal dari dunia Timur atau Asia, seperti Filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Jepang, Filsafat Islam, Filsafat Buddhisme, dsb. Masing-masing jenis filsafat merupakan suatu sistem-sistem pemikiran yang lapang dan plural.[1] Misalnya saja, filsafat India mampu terbagi menjadi filsafat Hindu dan filsafat Buddhisme, sedangkan filsafat Cina mampu terbagi menjadi Konfusianisme dan Taoisme.[2] Belum lagi, banyak terjadi pertemuan dan percampuran selang sistem filsafat yang satu dengan yang lain, misalnya Buddhisme berakar dari Hinduisme, namun akhir menjadi semakin berpengaruh di Tiongkok ketimbang di India.[2] Di sisi lain, filsafat Islam malah banyakan berjumpa dengan filsafat Barat.[1] Akan tetapi, secara umum dikenal empat jenis filsafat Timur yang terkenal dengan sebutan "Empat Tradisi Besar" yaitu Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme.[3]

Filsafat Timur memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan filsafat Barat, yang mana ciri-ciri agama terdapat juga di dalam filsafat Timur, sehingga banyak berbakat berbantah mengenai mampu atau tidaknya pemikiran Timur diistilahkan sebagai filsafat.[4][2] Di dalam studi post-kolonial bahkan ditemukan bahwa filsafat Timur dianggap semakin rendah ketimbang sistem pemikiran Barat karena tidak memenuhi kriteria filsafat menurut filsafat Barat, misalnya karena dianggap memiliki unsur keagamaan atau mistik.[5] Akan tetapi, sekalipun di selang filsafat Timur dan filsafat Barat terdapat perbedaan-perbedaan, namun tidak mampu dinilai mana yang semakin adun, sebab masing-masing memiliki keunikannya sendiri.[2][6] Selain itu, keduanya diharapkan mampu saling melengkapi khazanah filsafat secara lapang.[2]

Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat Posted on November 26, 2009 by teosophy

Oleh: Bandeh Khudo

Yang dibahas disini terutama filsafat Barat, karena misalnya filsafat India dan filsafat Cina semakin bersifat mengajar bagaimana manusia mencapai “keselamatan” (“moksa”), atau bagaimana manusia harus memerankan supaya diperoleh keseimbangan selang dunia dan kehidupan setealh didunia. Tak mampu diungkiri didalamnya juga mempunyai unsur kecerdikan, tetapi bukan produk dari refleksi yang sifatnya kritis rasional.

Mempunyai empat periode akbar dalam filsafat Barat:

Zaman Yunani (600 sM – 400 M); Zaman Patristik dan Skolastik (300 M – 1500 M); Zaman Modern (1500 M – 1800 M); Zaman sekarang (setelah 1800 M).


Tidak berat sebelah dicatat bahwa tiap zaman memiliki ciri dan nuansa refleksi yang berbeda. Dalam zaman Yunani ditempatkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat. Zaman Patristik dan Skolastik ditandai oleh usaha yang gigih bagi mencari keselarasan selang iman dan kecerdikan, karena iman di hati, dan kecerdikan mempunyai di otak. Tidak cukuplah sikap credo quia absurdum = “aku percaya justru karena tidak hadir akal” Tertulianus, 160-223 M. Dalam Zaman Modern direfleksikan beragam hal tentang rasio, manusia dan dunia. Jejak pergumulan itu terdapat dalam aliran-aliran filsafat matang ini.

1. Zaman Yunani

1.1. Filsafat pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu (“arche” = ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya mempunyai satu azas? Thales mengusulkan: cairan, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir (“panta rei” = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya bagi merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis bagi menerangkannya juga. Zeno (kelahiran 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum bagi meraih kesimpulan yang sah.

1.2. Puncak zaman Yunani dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).

1.2.1. Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui diskusi seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) bagi “melahirkan” ilmu akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates menempatkan dasar bagi pendekatan deduktif. — Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.

Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai “sophis” (“yang berbakat dan berapengetahuan”), Sokrates semakin berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang mempunyai dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero akhir, Sokrates “menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah”. Karena itu ia didakwa “memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda” dan dibawa ke pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia berbuat salah. Ia sesungguhnya mampu menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di depan banyak orang bagi mengakhiri hidupnya.

1.2.2. Plato menyumbangkan nasihat tentang “idea”. Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang abadi. Dalam wawasan Plato, pada awal mula mempunyai idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, … mampu berubah dan berkesudahan, tetapi idea bunga, pohon, burung, … abadi mempunyainya. Itulah sebabnya yang Satu mampu menjadi yang Banyak.

Plato mempunyai pada argumen, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah dikenalnya dari dunia idea, — konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan maka lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dsb.

Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu masalah mempunyai (“being”) dan mengada (menjadi, “becoming”).

1.2.3. Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Ia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu “berubah” (menjadi akbar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak mempunyai kuda yang hidup selamanya. Ia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu abadi tidak berkesudahan. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dihasilkan bentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang mempunyai pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea mempunyai dalam benda-benda.

Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan kecerdikan kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki kecerdikan yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar kecerdikan yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru kecerdikan itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Kecerdikan dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak mempunyai idea-bawaan.

Aristoteles menegaskan bahwa mempunyai dua metode bagi mendapatkan kesimpulan demi memperoleh ilmu dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang sah, dihasilkan bentuk konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang berisi unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan metode berfikir. Logika dihasilkan bentuk dari kata logikoz, dan logoz berguna sesuatu yang diketengahkan. Daripadanya logika berguna pertimbangan muslihat atau kecerdikan yang diberitahukan lewat kata dan diberitahukan dalam bahasa.

Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis bagi berabstraksi menyusun pernyataan yang berlangsung universal.

Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis bagi mencapai ilmu yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih “hylemorfisme”: apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan materiil (“hyle”) sana-sini dari bentuk (“morphe”) yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan (“dynamis”, Latin: “potentia”) bagi pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan metode berbeda-beda. Maka mempunyai banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar selang kedua gejala yang “tetap” dan yang “berubah”.

Dalam konteks ini mampu difahami bila Aristoteles mempunyai pada pandangan bahwa wanita adalah “pria yang belum lengkap”. Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual mempunyai pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah “ladang”, yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah “yang menanam”. Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan “bentuk”, sedang wanita menyumbangkan “substansi”.

Dalam makluk hidup (tumbuhan, hewan, manusia), bentuk diberi nama “jiwa” (“psyche”, Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia mampu “mengamati” dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup “mengerti” dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan “nous” (Latin: “ratio” atau “intellectus”) yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima “logoz”. Itu membuat manusia memiliki bahasa.

Pemikiran Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang mempunyai budaya. Pengaruhnya berasa sampai kini, — itu berkat daya sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan metode kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.

Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat akbar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga. — (Catatan kecil saja dari FSP: Maka jangan terkejut jika pandangan berat-sebelah tentang pria-wanita sangat dominan sampai kini. Legitimasi filsafati kiranya telah diberikan oleh Arsitoteles atas praktek yanh umum di dalam masyarakat Timur Tengah, Eropa ratus tahun pertengahan dan dimana saja. Gereja Katolik pun selama berabad-abad mengikuti pendirian yang sama, sekalipun landasan biblisnya sama sekali tidak mempunyai. Yesus, sebagaimana tampak dalam Injil, memiliki pandangan yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)

Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh bagi mempelajari realitas. Studi tentang logika atau ilmu tentang penalaran, memerankan sebagai organon (“alat”) bagi sampai kepada ilmu yang semakin mendalam, bagi selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, lahir banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Mempunyai benang merah yang nyata, selang sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.

1.3. Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga arus pemikiran filsafat, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme (Zeno, 333-262 sM) terkenal karena etikanya: manusia berbahagia jika ia memerankan rasional. Epikurisme (Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika: “kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita”.

Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) dinamakan oleh Plotinos to en = “to hen”, yang esa, “the one”. Yang esa adalah awal, yang pertama, yang sangat adun, sangat tinggi, dan yang abadi. Yang esa tidak mampu dikenal oleh manusia karena tidak mampu dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang esa adalah pusat daya, — seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat ronde pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati ronde emanasi, yang esa tak menjadi kurang atau terpengaruh sama sekali.

Dari to en mengalir nouz = “nous”, budi, kecerdikan, bahkan roh (?). “Nous” merupakan “bayang-bayang” dari “to hen”. Dari “nous” mengalir ynch = “psykhe”, jiwa, yang merupakan perbatasan “nous” dengan mh ou = “me on”, materi, yang merupakan kemungkinan atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah tubuh. “Psykhe” merupakan penghubung selang “nous” yang terang, yang berlawanan dengan materi yang gelap, yang rohani berlawanan dengan yang jasmani. — Menurut neo-platonisme, perlawanan itu merupakan kelainan dari kebenaran. Bagi mencapai kebenaran, manusia harus kembali kepada “to hen”, dan itulah tujuan hidup manusia. “To hen” kiranya identik dengan konsep “Sang Sangkan Paraning Dumadi” dalam tradisi Jawa.

Kesatuan mistis dengan “to hen” merupakan kebenaran sejati. Manusia harus berkontemplasi bagi mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat akbar bagi pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan berkesudahan kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa kepada terang (serta awal dari kekekalan).

Jejak pemikiran neoplatonisme mampu diperhatikan dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman menyatu dengan Tuhan atau “jiwa kosmik”. Banyak agama menekankan keterpisahan selang Tuhan dan Ciptaan, tetapi para berbakat mistik tidak menemui pemisahan seperti itu. Mereka jutru mengalami rasa “penyatuan dengan Tuhan”. Ketika penyatuan itu terjadi, berbakat mistik merasa ia “kehilangan dirinya”, ia lenyap ke dalam diri Tuhan atau lenyap dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik atau sepercik cairan kehilangan dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.

Tetapi pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Berbakat mistik harus mencari jalan “pencucian dan pencerahan” bagi mampu berjumpa dengan Tuhan, melalui hidup sederhana dan beragam teknik meditasi. Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam semua agama akbar di dunia. Dalam “agama” Jawa dikenallah konsep “manunggaling kawula lan Gusti”, yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan oleh Zoetmulder. (Zoetmulder SJ almarhum adalah Guru Akbar di Fakultas Sastra UGM).

2. Zaman Patristik (Para Bapa Gereja)

Pemikiran filsafati para Bapa Gereja Katolik berisi unsur neo-platonisme. Para Bapa Gereja berusaha keras bagi menyoroti pokok-pokok iman kristiani dari sudut pengertian dan akalbudi, memberinya infrastruktur rasional, dan dengan metode itu membuat pembelaan yang nalar atas aneka serangan. Pada dasarnya Allah menjadi pokok bahasan utama. Hakekat manusia Yesus Kristus dan manusia biasanya dijelaskan berdasarkan pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh Agustinus (354-430 M) bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang (“lumens”) dari Allah. Walaupun demikian dalam diri manusia sudah tertanam benih kebenaran (yang adalah pantulan Allah sendiri). Benih itu memungkinkannya menguak kebenaran. Sebagai ciptaan, manusia merupakan jejak Allah yang istimewa = “imago Dei” (citra Allah), dalam guna itu manusia sungguh memantulkan siapa Allah itu dengan metode semakin jelas dari pada segala ciptaan lainnya.

“Tuhan, engkau semakin tinggi daripada yang sangat tinggi dalam diriku, dan semakin dalam daripada yang sangat dalam dalam batinku” — itu ungkapan Agustinus tentang pengalaman manusia mengenai transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumusan. Dalam zaman ini pokok-pokok iman Kristiani diberitahukan dalam syahadat iman rasuli (teks “Saya Percaya” yang panjang). Didalamnya dituangkan rumusan ketat pokok-pokok iman, termasuk tentang trinitas — tentu saja dalam katagori pemikiran filsafati pada waktu itu dan dengan bahan dari Alkitab.

Agustinus menerima penafsiran metaforis atau figuratif atas kitab Kejadian, yang menyatakan bahwa alam semesta dicipta creatio ex nihilo dalam 6 hari, dan pada hari ketujuh Allah beristirahat, sesudah melihat semua itu adun mempunyainya. “Allah tidak berhasrat mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak relevan bagi keselamatan mereka”. Penciptaan bukanlah suatu peristiwa dalam waktu, namun waktu diciptakan bersama dengan dunia. Penciptaan adalah aksi tanpa-dimensi-waktu yang melaluinya waktu menjadi mempunyai, dan aksi kontinu yang melaluinya Allah memelihara dunia. Istilah ex nihilo tidak berguna bahwa tiada itu merupakan semacam materi, seperti patung dihasilkan bentuk dari perunggu, namun hanya berguna “tidak terjadi dari sesuatu yang sudah ada”. Hakikat alam ciptaan ialah menerima seluruh Mempunyainya dari yang lain, yaitu Sang Khalik. Alam ciptaan adalah ketergantungan dunia kepada Tuhan.

Disini tidak disinggung masalah, apakah penciptaan itu terjadi dalam waktu, atau terjadi pada suatu ketika atau sudah mempunyai sejak zaman kelanggengan. Para berbakat filsafat biasanya sependapat bahwa a priori kita tidak mampu memastikan mana yang terjadi. — Menciptakan, sebagai aksi aktif, dipandang dari sudut Tuhan, merupakan cetusan kehendakNya yang bersifat langgeng, karena segala sesuatu dalam Tuhan adalah langgeng. Tetapi dipandang dari sudut ciptaan, secara pasif, ketergantungan dari Tuhan, terciptanya itu mampu terjadi dalam arus waktu, atau di luarnya, sejak zaman kelanggengan. Berlaku kelirulah jika dibayangkan bahwa Tuhan suatu ketika menciptakan alam dunia lalu mengundurkan Diri. Andaikata Tuhan seolah-olah beristirahat, maka buah ciptaan runtuh kembali ke nihilum, ke ketiadaan. Dunia terus menerus tergantung pada Tuhan (creatio dan sekaligus conservatio).

Ketika ditanya mengenai apa yang diperagakan Allah sebelum menciptakan dunia, Agustinus menjawab tidak mempunyai gunanya berdiskusi mengenai itu, karena tidak mempunyai waktu sebelum penciptaan tersebut.

3. Zaman Skolastik

Saya membagi zaman skolastik dalam 2 tahapan (1) zaman skolastik timur, yang diwarnai situasi dalam komunitas Islam di Timur Tengah, ratus tahun 8 s/d 12 M, dan (2) zaman skolastik barat, ratus tahun 12 s/d 15 M, yang diwarnai oleh perkembangan di Eropa (termasuk jazirah Spanyol).

Secara sederhana, dalam zaman Patristik, “filsafat teologi”, dengan tanda mampu dibaca sebagai “identik dengan”, “sama sebangun dengan”, “praktis tidak berbeda dengan”. Sementara dalam periode skolastik timur, terdapat beragam interpretasi atas simbul dalam rumusan “filsafat teologi”, dalam periode skolastik barat tidak mempunyai keraguan tentang makna simbul dalam rumusan “filsafat teologi”.

3.1. Periode skolastik timur

Ratus tahun ke-5 s/d ratus tahun ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari utara. Pemikiran filsafati praktis tidak mempunyai. Sebaliknya di Timur Tengah. Sejak sahnya agama Islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, mempunyai perhatian akbar kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa gagasan. Pada awal ratus tahun 8 krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti terancam bagi menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin muncullah deretan panjang berbakat pikir yang berhasrat berbuat sesuatu, berpangkal pada penggunaan kecerdikan dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam.

3.1.1. Mazhab Mu’tazila (725 – 850 – 1025 M) meminjam konsep-konsep pemikiran Yunani dan melihat kecerdikan sebagai pendukung iman. Pengakuan kecerdikan sebagai sumber ilmu (selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena kecerdikan membuat manusia mampu membedakan adun dan buruk, maka berbuat adun adalah wajib. Pemimpin harus mewajibkan umatnya berbuat adun, masing-masing warga menjauhkan diri dari kelakuan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan antar-bangsa, dan hak azasi (kemauan bebas) manusia. Pandangan ini cocok dengan Al Qur’an (Surah 3 ayat 110): “amr bil-a’ruf wa’l nahy an’al-munkar”.

Mazhab Mu’tazila mempunyai pada argumen bahwa Al Qur’an tercipta, gunanya “dirumuskan oleh manusia, dengan latar balik tempat dan zaman yang khusus”. Maka para Mu’tazila membaca Al Qur’an dengan kacamata rasionalis.

3.1.2. Mazhab falsafah pertama (830 – 1037 M), bertujuan neoplatonis dan aristoteles. Kata “falsafah” dipakai bagi mengartikan filsafat hellenis dalam kosakata bahasa Arab, berbakat fikirnya dinamakan “faylasuf” (“falasifa – jamak). Empat tokol besar : al-Kindi (800-870 M), al-Razi (865 – 925 M), al-Farabi (872 – 950 M) dan Ibn-Sina (980 – 1037 M). Menggumuli masalah klasik “perbedaan selang dhat dan wujud” (“distinctio realis inter essentiam et existentiam”). Mereka mempunyai pada argumen, bahwa kecerdikan adalah pendamping iman. Al-Razi menolak ijazu’l Qur’an. Tulis al-Razi: “Tuhan memberi kepada manusia kecerdikan sebagai anugerah terbesar. Dengan kecerdikan kita mengetahui segala apa yang berguna bagi kita dan yang mampu memperbaiki hidup kita. Berkat kecerdikan itu kita mengetahui hal yang tersembunyi dan apa yang akan terjadi. Dengan kecerdikan kita mengenal Tuhan, ilmu tertinggi bagi manusia. Kecerdikan itu menghakimi segala-galanya, dan tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain. Budi pekerti kita harus diputuskan oleh kecerdikan semata-mata”.

3.1.3. Mazhab pemikiran ketiga dinamakan pula Kalam Ash’ari, berpusat di Bagdad, dan bercorak atomisme (yang dicetuskan pertama kali oleh Democritus, 370 sM), dan bergumul dengan soal sebab-musabab, kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan. Para tokohnya: al-Ash’ari (873-935 M), al-Baqillani (?-1035), dan al-Ghazali (1065-1111 M).

Pandangan yang bercorak atomistis berpangkal pada argumen bahwa peristiwa alam dan kelakuan manusia tidak lain daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung dari Tuhan. Daya alami serta hubungan wajib sebab-akibat dalam penciptaan itu tidak mempunyai. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan al-Khaliq, “tiada yang tersembunyi daripadaNya seberat dharahpun” (Al-Qur’an Surat 34 ayat 3). Tiap kejadian terdiri atas deretan terputus-putus atom-atom, tanpa mempunyai hubungan kausal. “Kami menyangkal bahwa makan dan minum menyebabkan kenyang”. Yang mempunyai hanya monokausalitas mutlak illahi. Apabila tampak sesuatu dampak dari suatu aksi, maka itu hanya semu, karena Allah menghendaki hal itu. Tuhan mahakuasa dan mendalangi setiap perkara insani. Manusia tidak memiliki kehendak lepas sama sekali, yang lepas sama sekali itu hanya semua saja. Manusia hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam suntuk. “Bila manusia memerankan adun, itulah diputuskan Allah berdasarkan rahmatNya; bila ia berbuat jahat itu dikehendaki Allah berdasarkan keadilanNya”.

Dalam “Al-Tahafut al-filasifah” al-Ghazali membuat sistematisasi atas filsafat dalam 20 dalil dan membuat kajian dan bantahan yang keras atas tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20 dalil diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai ilmu sesuatu melalui sebab-sebabnya dimungkiri; seluruh ilmu ilmiah adalah sia-sia. Secara singkat “al-aql laysa lahu fi’l-shar’ majal” — bagi kecerdikan tiada tempat dalam agama.

3.1.4. Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur Tengah, di daerah yang dikenal sebagi Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika barat laut, jazirah Andalusia, yaitu Spanyol sekarang) berkembanglah pusat Islam dalam kesenian, ilmu ilmu dan filsafat. Ibn Bajjah (1100-1138 M), Ibn Tufail (? – 1185), dan Ibn Rushd (“Averroes”) (1126-1198 M) merupakan 3 filsuf utama dalam perioda Filsafat Kedua (1100 – 1195 M) ini.

Ciri para filsuf ini biasanya menolak haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah menegaskan adalah tugas seorang filsuf bagi meningkatkan martabat hidupnya dengan merenungkan kenyataan rohani sampai kesudahan hayat. Kecerdikan adalah hal yang sangat bernilai yang dikaruniakan Tuhan kepada abdiNya yang setia.

Ibn Tufayl terkenal oleh buku roman filsafi yang berjudul Risalat HAYY IBN YAQZAN fi asrar al -himah al-mashiriyyah.

Ibn Rushd dikenal oleh 3 kelompok karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis (tentang karya-karya filsafat di daerah timur) dan karangan apologetis (yang membela Islam dari ancaman dari dalam). Tahafut al-tahafut merupakan serangan frontal atas al-Tahafut al-filasifah al-Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya bahwa ilmu secara esensial adalah ilmu sesuatu berdasarkan sebabnya. Kita menanggapi hubungan sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya sebagai nyata dengan kecerdikan. Dengan dampak atau setiap perubahan diciptakan secara langsung oleh iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab tercipta (wasa’ith), seluruh dunia dimerosotkan menjadi kaos dan irasional, tanpa tata-tertib, tanpa nizam atau inayah. Itu bertentangan dengan kecerdikan sehat dan menentang wahyu Qur’an, yang melukiskan dunia sebagai karya teratur Allah yang maha berbakat.

Karya apologetisnya (2 buku yang ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup filsafat dalam Islam, adun sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam teologi. Rushd melihat filsafat sebagai “sahabat al-shari’at w’ahat al-ruzdat”, teman teologi ibarat saudari sesusuan. Filsafat diwajibkan oleh al-Qur’an, supaya manusia mampu memuji karya Tuhan di dunia ini (antara lain Surah 3 ayat 188, Surah 6 ayat 78, Surah 7 ayat 184, Surah 59 ayat 2, dan Surah 88 ayat 17) . Bila studi hukum (fiqh) tidak diiringi studi filsafat, fiqh membuat budi sempit dan memalsukan agama.

Pengaruh Ibn Rushd sang filsuf dari Cordova itu terhadap alam muslihat Islam selanjutnya mungkin tidak seberapa, ia bahkan diistilahkan hanya mewariskan “sekeranjang buku seberat sosok mayatnya”. Tetapi naskahnya populer di Eropa, khususnya di sekitar yang terkait kampus Universitas Paris, dan menyebar dari sana. Dengan karyanya, Aristoteles yang dijuluki “Sang Filsuf” diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh Ibn Rushd yang oleh karena itu mendapat julukan “Sang Komentator”. Sebagai dampaknya, obor perenungan filsafati Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh oleh para filsuf muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada para filsuf Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia. Itulah sumbangan bernilai para filsuf muslim dalam khazanah perenungan tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan realitas di sekelilingnya.

3.2. Perioda skolastik Barat

Awal ratus tahun 13 ditandai dengan 3 hal penting: (1) berdirinya universitas-universitas, (2) munculnya ordo-ordo kebiaraan baru (Fransiskan dan Dominikan), dan (3) diketemukannya filsafat Yunani, melalui komentar Ibn Rushd, yang dipelajari dan dikritik dan diteliti dengan cermat oleh Thomas Aquinas (1225 – 1274 M). Tema filsafat perioda ini adalah hubungan kecerdikan budi dan iman, mempunyainya dan hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik.

Otonomi filsafat yang bertumpu pada kecerdikan, yang merupakan salah satu kodrat manusia, dipertahankan. Menurut Thomas Aquinas, kecerdikan memampukan manusia mengenali kebenaran dalam daerahnya yang alamiah. Sebaliknya teologi memerlukan wahyu adikodrati. Berkat wahyu adikodrati itu teologi mampu mencapai kebenaran yang bersifat misteri dalam guna ketat (misalnya misteri tentang trinitas, inkarnasi, sakramen). Karena itu teologi memerlukan iman, karena hanya mampu dijelaskan dan diterima dalam iman. Dengan iman yang merupakan sikap penerimaan total manusia atas wibawa Allah, manusia mampu mencapai ilmu yang mengatasi kecerdikan. Meski misteri ini mengatasi kecerdikan, ia tidak bertentangan dengan kecerdikan. Meski kecerdikan tidak mampu menemukan (menguak) misteri, kecerdikan mampu meratakan jalan menuju misteri (“prae-ambulum fidei”).

Dengan ini Thomas Aquinas menegaskan mempunyainya dua ilmu yang tidak perlu bertentangan, atau dipertentangkan, tetapi berdiri sendiri berdampingan: ilmu alamiah (yang berpangkal pada kecerdikan budi) dan ilmu iman (yang berasal pada kitab suci dan tradisi keagamaan). Adalah Wihelm Dilthey (1839-1911) yang akhir-akhirnya membedakan dengan tegas “Geisteswissenschaften” = “human sciences” dari “Naturwisensshaften” = “natural sciences”, sementara Max Weber membedakan “erklaeren” sebagai ciri-ciri ilmu alam dari “verstehen” yang merupakan ciri khas ilmu-ilmu kemanusiaan.

Perbedaan dengan Filsafat Barat

Filsafat Barat dan Filsafat Timur tampak amat berbeda sebab berkembang di dalam kecerdikan budi yang amat berbeda, dan sepanjang sejarah tidak terlalu banyak pertemuan di selang keduanya, kecuali di dalam filsafat Islam.[1] Walaupun demikian, bukan berguna tidak mempunyai persamaan di selang keduanya.[1]

Ilmu

Filsafat Barat sejak masa Yunani telah menekankan kecerdikan budi dan pemikiran yang rasional sebagai pusat kodrat manusia.[6] Filsafat Timur semakin menekankan hati daripada kecerdikan budi, sebab hati dipahami sebagai instrumen yang mempersatukan kecerdikan budi dan intuisi, serta intelegensi dan perasaan.[6] Tujuan utama berfilsafat adalah menjadi berbakat dan menghayati kehidupan, dan bagi itu ilmu harus diiringi dengan moralitas.[6]

Sikap Terhadap Alam

Filsafat Barat menjadikan manusia sebagai subyek dan alam sebagai obyek sehingga menghasilkan eksploitasi berkelebihan atas alam.[6] Sementara itu, filsafat Timur menjadikan harmoni selang manusia dengan alam sebagai kunci.[6] Manusia berasal alam namun sekaligus menyadari keunikannya di tengah alam.[6]

Cita-cita Hidup

Kalau filsafat Barat menganggap mengisi hidup dengan melakukan pekerjaan dan bersikap aktif sebagai kebaikan tertinggi, cita-cita filsafat Timur adalah harmoni, ketenangan, dan kedamaian hati.[6] Kehidupan akannya dijalani dengan sederhana, tenang, dan menyelaraskan diri dengan sekitar yang terkait.[6]

Status Manusia

Filsafat Barat amat menekankan status manusia sebagai individu dengan segala kebebasan yang ia miliki, dan masyarakat tidak mampu menghilangkan status seorang manusia dengan kebebasannya.[6] Filsafat Timur menekankan martabat manusia tetapi dengan penekanan yang berbeda, sehingga manusia mempunyai bukan bagi dirinya melainkan mempunyai di dalam solidaritas dengan sesamanya.[6]

Lihat Juga

Referensi

  1. ^ a b c d (Inggris)Oliver Leaman. 2000. Eastern Philosophy: Key Readings. London: Routledge.
  2. ^ Kealpaan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks bagi ref bernama Takwin
  3. ^ (Inggris)Jay Stevenson. 2000. The Complete's Idiot's Guide to Eastern Philosophy. Macmillan: Alpha Books.
  4. ^ (Inggris)Ray Billington. 1997. Understanding Eastern Philosophy. London: Routledge.
  5. ^ (Inggris)Richard King. 1999. Orientalism and Religion: Postcolonial theory, India and ‘the mystic East’. London: Routledge.
  6. ^ a b c d e f g h i j k Tim Redaksi Driyarkara. 1993. Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pranala luar


edunitas.com


Page 4

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Ludwig Wittgenstein- salah satu tokoh filsafat analitik

Filsafat analitik adalah aliran filsafat yang muncul dari kelompok filsuf yang menyebut dirinya lingkaran Wina. Filsafat analitik lingkaran Wina itu menjadi bertambah sempurna dari Jerman hingga ke luar, yaitu Polandia dan Inggris. Pandangan utamanya adalah penolakan terhadap metafisika. Bagi mereka, metafisika tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sah filsafat analitik memang menyerupai dengan filsafat sains.[1]

Di Inggris misalnya, gerakan filsafat analitik ini paling dominan dalam anggota bahasa. Kemunculannya merupakan reaksi keras terhadap pengikut Hegel yang mengusung idealisme total. Dari pemikirannya, filsafat analitik merupakan pengaruh dari rasionalisme Prancis, empirisisme Inggris dan kritisisme Kant. Selain itu berkat empirisme John Locke pada ratus tahun 17 mengenai empirisisme, yang merupakan penyatuan selang empirisisme Francis Bacon, Thomas Hobbes dan rasionalisme Rene Descartes. Teori Locke adalah bahwa rasio selalu dipengaruhi atau didahului oleh pengalaman. Setelah membentuk pengetahuan pengetahuan, maka budaya menjadi pasif. Pengaruh ini kesudahan merambat ke dunia filsafat Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Jerman dan wilayah Eropa lainnya.[2]

Setelah era idealisme dunia Barat yang berpuncak pada Hegel, maka George Edward Moore (1873-1958), seorang tokoh dari Universitas Cambridge mengobarkan anti Hegelian. Bagi Moore, filsafat Hegel tidak memiliki dasar logika, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara muslihat sehat. Kesudahan pengaruhnya menggantikan Hegelian, yang paling terkenal dengan Filsafat bahasa, filsafat analitik atau analisis logik.[2]

Tokoh yang mengembangkan filsafat ini adalah Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein. Mereka mengadakan analisis bahasa kepada memulihkan penggunaan bahasa kepada memecahkan kesalahpahaman yang dilaksanakan oleh filsafat terhadap logika bahasa. Hal inilah yang ditekankan oleh Charlesworth. Penekanan lain oleh Wittgenstein adalah makna kata atau kalimat amat diteguhkan oleh penggunaan dalam bahasa, bukan oleh logika.[2]

Referensi

  1. ^ (Indonesia) Hendrik Rapar., Pustaka Filsafat PENGANTAR FILSAFAT, Yogyakarta: Kanisius, 1996
  2. ^ a b c (Indonesia) Wahyu Wibowo., Berani menulis artikel: ronde baru kiat menulis artikel kepada media massa cetak, Jakarta: Gramedia


edunitas.com


Page 5

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan kebiasaan, yaitu memakai apa yang disebut sbg pendekatan filosofis.[1] Untuk orang yang menganut agama tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya.[1] Sah Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan kebiasaan tentang Tuhan.[1] Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah sbg menemukan Tuhan secara absolut atau mutlak, namun mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan untuk manusia sbg sampai pada kebenaran tentang Tuhan.[2]

Penelitian tentang Allah dalam Ilmu Filsafat

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Tuhan dalam gambaran "kubus" dalam judul Tuhan tidak sah pemain dadu : Tuhan menciptkan lingkungan kehidupan penuh

Penelaahan tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut teologi filosofi.[3] Hal ini bukan menyelidiki tentang Allah sbg obyek, namun eksistensi lingkungan kehidupan semesta, yakni makhluk yang diciptakan, karena Allah dipandang semata-mata sbg kausa pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri, Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise.[3] Sah pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat.[3] Namun pendapat ini tidak diterima oleh para agamawan, karena dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman.[3] Maka ditempuhlah cara ilmiah sbg membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat pautannya (Filsafat manusia, filsafat lingkungan kehidupan dll).[3] Maka para filsuf memberikan definisinya sbg usaha yang dilakukan sbg menilai dengan semakin tidak memihak, dan secara refleksif, realitas sangat tinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan gambaran Allah melewati sekitar diri kita.[3]

Agama : Studi tentang tabiat Allah dan keyakinan

Ide tentang Allah pada orang beragama secara umum kebanyakan dikemukakan dalam tabiat Allah; "Yang Maha Tinggi" (Anselmus mengatakan: "Allah adalah sesuatu yang semakin akbar dari padanya tidak dapat dipikirkan manusia)Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tidak memihak dan sbgnya.[3][4][1] Menurut Anselmus, ajaran-ajaran kristiani bisa dikembangkan dengan rasional, sah tanpa bantuan otoritas pautan (Kitab Suci, wahyu, nasihat Bapa Gereja).[1] Bahkan beliau bisa menjelaskan eksistensi Allah dengan suatu alasan yang bisa diterima bahkan juga oleh mereka yang tidak beriman.[1] Eksistensi Allah dimulai dari pikiran manusia yang menerima begitu saja nasihat agama, namun juga menanyakannya dari siapa dan mengapa dirinya hadir, lingkungan kehidupan lingkungan kehidupan, dan Allah sendiri bisa diterima hadirnya.[2]

Beberapa sikap orang beriman dalam mencari pencerahan akan hadirnya Allah:

  • Manusia yang menerima begitu saja dikarenakan nasihat turun-temurun dari para pendahulunya, manusia ditekankan harus percaya, bahkan tanpa berdiskusi.[2]
  • Manusia mulai berdiskusi mengapa dirinya ada?[2] Mengapa lingkungan kehidupan ada?[2]
  • Akhir menanyakan Allah terkait; siapa, pokoknya, dan mengapa Dia ada?[2]

Semua jawaban itu akan dijawab oleh para mahir dalam anggota yang disebut teologi; theos dan logos, ilmu tentang hubungan manusia dan ciptaan dengan Allah.[2] Jawaban-jawabannya bisa sangat beragam, tergantung agama dan keyakinan yang mana yang memberikan jawaban.[2] Namun setidaknya hadir beberapa kesimpulan yang mereka berikan sbg jawaban:

- Allah hadir, dan hadirnya Allah itu dapat dibuktikan secara rasional juga; - Allah hadir, tetapi tidak dapat dibuktikan adanya; - tidak dapat dikenal apakah Allah benar-benar ada; - Allah tidak masuk, dan kepastian ini dapat dibuktikan juga.[2]

Oleh karenanya filsafat berusaha membuktikan keyakinan-keyakinan manusia itu melewati bermacam jalan; metafisika, empirisme, rasionalisme, positivisme, spiritualisme dan lain-lain.[2]

Teisme

Teisme adalah faham yang mempercayai hadirnya Tuhan.[2] Berasal dari bahasa Yunani Θεός=Teos dan νόμος=hukum=aturan=paham, sah sebuah perhitungan atau mengerti tentang Tuhan atau pengakuan hadirnya Tuhan.[2]

Di bawah ini beberapa pemikir yang mempercayai hadirnya Allah, maka dengan begitu mereka pasti orang beragama:

Santo Agustinus(354-430)

Santo Agustinus percaya bahwa Allah hadir dengan melihat sejarah dari drama penciptaan, yang melibatkan Allah dan manusia.[4] Allah membikin daratan sbg manusia, membikin manusia (Adam) yang berdosa melawan Allah.[4] Lalu Adam dan Hawa tidak diterima dari Taman Eden.[4] Akhir sesudah manusia mengembang, mereka berdosa semakin lagi dan dihukum dengan air bah dalam sejarah Nuh.[4] Orang-orang Yahudi yang diberikan akad Allah ternyata tidak dapat memeliharanya sehingga dihukum melewati bangsa-bangsa pautan.[4] Lalu Allah yang maha kasih menebus manusia melewati Yesus Kristus.[4] Dari sejarah ini Allah dapat selalu hadir di tengah-tengah manusia.[4] Memang Agustinus adalah Bapa gereja, Uskup dari Hippo yang membela eksistensi Allah dari pandangan-pandangan pautan yang mau meruntuhkan mengerti teisme.[4] Tuhan didefinisikan dari sifat-sifatnya; maha kenal, maha hadir, kekal, pencipta segala sesuatu.[4] Namun semakin lagi, Tuhan bukan hadir begitu saja, namun selalu terhubung dalam peristiwa-peristiwa akbar manusia.[4]

Thomas Aquinas (1225-1274)

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Santo Thomas Aquinas

Thomas Aquinas menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan Wahyu Kristen.[4] Kebenaran iman dan rasa pengalaman bukan hanya cocok, namun juga saling melengkapi; beberapa kebenaran, seperti misteri dan inkarnasi dapat dikenal melewati wahyu, sebagaimana ilmu dari wujud benda-benda di lingkungan kehidupan, dapan dikenal melewati rasa pengalaman; seperti kesadaran manusia akan eksistensi Allah, tidak memihak wahyu maupun rasa pengalaman dipakai sbg membentuk persepsi tentang hadirnya Allah.[4]

Thomas Aquinas terkenal dengan lima jalan (dalam Bahasa Latin; quinque viae ad deum) sbg mengetahui bahwa Allah benar-benar hadir.[4]

  • Jalan 1 adalah gerak, bahwa segala sesuatu memperagakan usaha, setiap gerakan pasti hadir yang menggerakkan, namun pasti hadir sesuatu yang menggerakkan sesuatu pautannya, namun tidak digerakkan oleh sesuatu pautannya, Dialah Allah.[4]
  • Jalan 2 adalah karena dampak, bahwa setiap dampak telah tersedia karenanya, namun hadir penyebab yang tidak diakibatkan, Dialah karena pertaman, Allah.[4]
  • Jalan 3 adalah keniscayaan, bahwa di lingkungan kehidupan ini hadir hal-hal yang bisa hadir dan hadir yang bisa tidak masuk (contohnya adalah benda-benda yang dahulu hadir ternyata hadir yang musnah, namun hadir juga yang dulu tidak masuk ternyata sekarang ada), namun hadir yang selalu hadir (niscaya) Dialah Allah.[4]
  • Jalan 4 adalah pembuktian berdasarkan derajat atau gradus melewati perbandingan, bahwa dari sifat-sifat yang hadir di lingkungan kehidupan ( yang baik-baik) ternyata hadir yang sangat tidak memihak yang tidak masuk tandingannya (sifat Allah yang serba maha) Dialah Allah.[4]

Jalan 5 adalah penyelenggaraan, bahwa segala ciptaan berakal budi telah tersedia tujuan yang terarah menuju yang terbaik, semua itu pastilah hadir yang mengaturnya, Dialah Allah.[4]

Descartes (1596-1650)

Rene Descartes memikirkan Tuhan berasal dari prinsip utamanya yang adalah “gabungan sela pietisme Katolik dan sains.[5]Descartes adalah seorang filsuf rasionalis yang terkenal dengan pemikiran ide Allah.[6] Tantangan yang mendorong Descartes adalah keragu-raguan radikalnya, The Methode of Doubt , bahkan menurutnya,"indera bisa saja menipu, Yang Maha Kuasa dalam gambaran kita juga bisa saja menipu, karena kita yang membayangkan". [7][6] Dalam menjawab skeptisisme orang-orang pada masanya, maka dalam tinggalnya di Neubau, akrab kota Ulm - Jerman, disebut sbg “perjalanan menara”, kata pautan dari meditasi yang dilakukan, dia menemukan Cogito, ergo sum tahun 1618.[1][6] Karena orang pada ratus tahunnya meragukan apa yang mereka lihat, maka hal ini dipatahkan oleh Descartes bahwa apa yang dipikirkan saja sebenarnya sudah hadir, minimal di pikiran.[6] Orang bisa menyangkal segala sesuatu, namun beliau tidak bisa menyangkal dirinya sendiri.[1] Sah Allah di sini juga demikian, Allah sudah hadir dengan sendirinya, bahkan semakin jauh Descartes mencari bukti-bukti empiris yang dia warisi dari para pendahulunya.[6]Keterbukaan sbg mengemukakan ide dalam pikiran, maka segala sesuatu yang dapat dipikirkan pasti bisa hadir.[1] Alkitab salah satu bukti eksistensi Allah, akhir juga relasi bahwa manusia, binatang, malaikat, dan obyek-obyek pautan hadir karena natural light yang adalah Allah sendiri.[6]

Filsafat Ketuhanan menurut Descartes adalah berawal dari fungsi iman, yang pada kesudahannya berguna sbg menemukan Allah. Tanpa iman manusia cenderung menolak Allah. Hadir dua hal yang bisa ditempuh supaya Saya sampai pada Allah:

  • Jalan yang pertama adalah karena dampak, bahwa dirinya sendiri (manusia) pasti diakibatkan oleh penyebab pertama, yaitu Allah.[1]
  • Jalan yang kedua adalah secara ontologis, yang diwarisinya dari Anselmus.[1] Allah yang hadir itu tidak mungkin berdiri sendiri, tanpa hadir kaitan dengan suatu entitas pautan, maka Allah pasti hadir dan bereksistensi.[1] Maka Allah yang hadir dalam ide Descartes sempurna sudah, bahwa Dia hadir dan dapat diandalkan dalam relasi dengan entitas pautannya itu.[1]

Imanuel Kant (1724-1804)

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Immanuel Kant dengan kata-kata "Langit berbintang di atasku dan hukum moral di batinku"

Nasihat Kant tentang Allah ditemui dalam hukum moralnya melewati beberapa tahap: 1. Allah adalah suara hati, 2. Allah adalah tujuan moralitas, 3. Allah adalah pribadi yang menjamin bahwa orang yang berperan tidak memihak demi kewajiban moral akan mengalami kebahagiaan sempurna.[1] Menurut Kant hadir tiga jalan sbg membuktikan hadirnya Allah di luar spekulasi belaka, dan hal ini dimungkinkan:

  • dimulai dari menganalisa pengalaman akhir menemui kualitas dari sense lingkungan kehidupan kita, lalu meningkat menjadi bukum kausalitas sampai penyebab di luar lingkungan kehidupan.[8]
  • berdasar hal pertama, kita sedang pada tataran pengalaman yang tidak bisa dikemukakan.[8]
  • di luar konsep-konsep itu, manusia memiliki a priori dalam rasionya, dan itu menjadi penyebab yang memang hadir.[8]

Lalu dari usaha dari pengalaman dianalisa dengan a priori (pemikiran awal sebelum membutktikan sesuatu) dalam otak kita, kita membagi tiga wujud ruang lingkup atas pengalaman; Psikologi-teologi, kosmologi dan ontologi.[8] Dari hal yang dialami (empiris) menuju transendensi; bahwa manusia hanya akan berspekulasi saja.[8] Kritik Kant terhadap Thomas Aquinas juga tentang hal-hal spekulatif, padahal Allah nyata hadirnya.[8] Di sini Kant akhir mengakui bahwa Allah sbg pemberi a priori dan pengalaman itu sendiri tidak terdapat dalam tidak memihak pengalaman maupun a priori, namun melampaui hal itu.[8] Maka Kant sangat terkenal dengan kata-katanya '"Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam batinku".[8] Di sinilah iman diperlukan, karena Allah pada kenyataannya tidak bisa dibuktikan hanya dengan pengalaman inderawi semata.[8] Allah melampaui hal-hal rasio murni.[8]

Hegel (1770-1831)

Hegel juga disebut filsuf idealisme Jerman.[9] Nasihat yang terkenal dari Hegel adalah dialektika, di mana hadir dua hal berlainan (bahkan kontras) yang berjumpa dan membentuk hal baru.[1] Pertama-tama Hegel membedakan sela rasio murni (dalam Kant) sbg kesadaran manusia, namun hadir yang semakin dari itu yaitu intelek. Intelek itu senantiasa mengerjakan kinerja rasio dan intelektualitas sehingga dialektika terus terjadi.[1] Roh Absolut yang adalah intelek itu memperagakan pekerjaan dan menyatakan dirinya dalam ronde sejarah manusia.[1] Pekerjaan Roh itu dapat sampai tujuannya dalam lingkungan kehidupan semesta ketika terjadi dialektika sela subjek dan objek, sela yang terbatas dan tidak terbatas, dan yang sangat bisa dipahami adalah sela yang imanen dan transenden.[1] Hegel berpendapat Allah di dalam agama Kristen juga memperagakan pekerjaan seperti peristiwa reformasi yang sebenarnya adalah peristiwa pemulih atau pengembali kondisi manusia pulih kembali.[1] Dari peristiwa-peristiwa itu maka Allah menurut Hegel dapat diartikan dalam tiga tahap: 1. Segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah adalah ronde perjalanan Roh (Allah) yang menemukan dirinya sendiri 2. Melewati manusia dengan kesadarannya, Roh itu menemukan dirinya (peristiwa revolusi oleh Napoleon misalny) 3. Sehingga terjadi keselarasan arah gerak manusia dan arah gerak Roh dalam emansipasi dan kebebasan manusia, sbg itu Roh akan memakai nama "Ingatan budi".[1] Namun Allah yang dikemukakan Hegel sebenarnya terikat pada manusia yang mengalami ronde dalam sejarah.[1]

Schleiermacher (1768-1834)

Schleiermacher adalah penganut Kant, namun untuknya Allah semakin tidak memihak tidak ditelaah dengan metafisika belaka, namun perlu dihayati kehadirannya, yaitu dengan kontemplasi.[1] Baginya, Allah yang tidak bisa ditangkap inderawi tidak bisa juga dilacak dengan rasio murni.[1] Istilah yang dipakai oleh Schleiermacher sbg Allah adalah "Sang Universum".[1] Bila Kant mengenal Allah sbg pemberi hukum moral yang melampaui rasionya, Schleiermacher menganggap Allah yang dimaksud Kant tidak memadai dalam kehidupan manusia, karena Allah hanya pemberi ganjaran kepada orang yang tidak memihak dan penghukum orang yang kurang tidak memihak.[1] Karena Allah, untuk Schleiermacher tidak mungkin memberi hukuman kekal kepada manusia lantaran beliau tidak sempurna, hal ini dikarenakan bahwa manusia diciptakan Allah bukan supaya beliau sempurna, melainkan supaya beliau berikhtiar sampai kesempurnaan itu.[1]

Scleiermacher mendekati Allah bukan dari teori spekulatif, bukan dengan pendekatan moral-praktis, melainkan pendekatan intuitif-batin, dalam bahasanya melewati kontemplasi dan perasaan.[1] "Di sinilah agama merenungkan Sang Universum, di dalam caranya mengekspresikan diri dan tindakannya, agama mau mendegarkan bisikan suara Sang Universum itu dengan khidmat,.... Dalam kepasifan anak-anak, agama mau ditangkap dan dipenuhi oleh kekuatan pengaruhnya"[1] Agama adalah Sang Universum sendiri.[1] Sang Universum ditangkap dari lingkungan kehidupan lingkungan kehidupan yang mamanifestasikannya.[1] Namun lingkungan kehidupan alam bukanlah Sang Universum yang berdiri sendiri, namun tetap memanifestasikan lingkungan kehidupan.[1] Pembedaan ini melaui dua tahap; 1. Lingkungan kehidupan adalah wahyu Allah, dan ditangkap oleh sanubari manusia, 2. wahyu yang semakin tinggi dan semakin tidak memihak adalah manusia yang menurut Schleiermacher tidak terbagi-bagi dan tidak terbatas, namun bereksistensi.[1] Dalam pokok isi kerangan umat manusia itulah Allah menyatakan diri, lingkungan kehidupan diresapi oleh Yang Ilahi.[1] Namun manusia bukanlah Allah sendiri.[1] Maka pekerjaan agama adalah mencari menemukan Allah yang hadir di luar dirinya.[1] Agama harus tinggal dengan pengalaman-pengalaman langsung sbg mencari Allah dan mencari keterhubungannya secara menyeluruh, bukan berfilosofi.[1]

Alfred North Whitehead (1861-1947)

Alfred North Whitehead dijuluki sbg bapak filsafat maupun teologi ronde.[1] Pemikirannya tergolong niskala karena pengaruh anggota yang digelutinya, matematika dan ilmu empirisme tentang lingkungan kehidupan yang didapatkannya dari fisika terapan.[1] Dalam bukunya tentang Bagaimana Agama Terjadi (1926) dia menyatakan;

"Dogma-dogma agama adalah upaya sbg memformulasikan secara presis kebenaran-kebenaran yang tersibak di dalam pengalaman religius umat manusia. Dengan cara yang sama dogma-dogma fisika (teori-teori, hukum, dan postulat) adalah upaya sbg memformulasikan secara presis kebenaran-kebenaran yang tersingkap di dalam pencerapan inderawi umat manusia. [1]
  • Filsafat Ronde Whitehead.

Filsafat rondenya memakai dua pendekatan; 1. Prinsip ronde, dan 2. Prinsip kreatifitas.[1]

Dari prinsip ini maka ronde dibedakan dalam dua: 1. Prinsip untuk ronde yang bersifat mikrokopis (konkresi) adalah asas yang memungkinkan lahirnya wujud aktual baru dari aktual-aktual lama yang sudah penuh.[1] 2. Prinsip untuk ronde yang bersifat makrokopis (objektifikasi) yang memungkinkan sesuatu yang sudah penuh berubah dan menjadi datum lagi.[1]

Prinsip kreatifitas itu disimpulkan secara logis berdasarkan analisisnya atas satua aktual sbg wujud ciptaannya.[1]

  • Allah dalam Filsafat ronde Whitehead

Ronde kreatifitas dan pembaruan dari satuan aktual-aktual terus terjadi, salah satu partisipannya adalah Allah, namun Dia yang sangat menonjol karena dia adalah yang awali dan yang akhiri.[1] 1. Yang awali : Allah memiliki dua peran sekaligus yaitu sbg dasar awali yangyk hadirnya tatanan dalam seluruh jagat raya dan sbg dasar munculnya kebaruan dalam perwujudan suatu peristiwa aktual.[1] 2. Yang akhiri: Allah sbg penyerta yang tanggap dan menyelamatkan.[1]

Sah Tuhan (Allah) untuk Whitehead memiliki 3 peran yang disebut di atas, dengan begitu dia bisa mengendalikan setiap perubahan yang terjadi atas aktual-aktual pautan dan mengakhirinya dengan tidak memihak.[1]

Deisme

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Deisme dianalogikan seperti Tukang Jam, yang membikin jam secara teratur dan membiarkannya berlanjut sendiri

Deisme adalah pandangan khas tentang Allah di masa Pencerahan, berasal dari deus yang gunanya Allah.[9] Namun pandangan ini berlainan dengan teisme, karena Allah dipercaya hanya pada masa penciptaan, berikutnya tidak mengadakan komunikasi dengan lingkungan kehidupan lagi karena lingkungan kehidupan yang sudah teratur dari semula.[9] Allah dianalogikan seperti pencipta arloji yang bisa berlanjut sangat teratur tanpa campur tangan penciptanya.[9] Sah Deisme hanya percaya Tuhan pertama kali, sesudah itu diasumsikan tidak masuk.[9] Mengerti ini diasumsikan sbg benih dari munculnya pandangan ateisme yang secara buka menyangkal hadirnya Tuhan.[9] Pandangan yang muncul pada seratus tahun 18 di Perancis.[9]

Agnostisisme

Agnostisisme adalah mengerti manusia yang tidak mau kenal atau tidak kenal tentang hadirnya Tuhan.[9] Namun hal ini semakin diakibatkan karena kebuntuan pemikiran sbg memberikan definisi Tuhan.[9] Untuk para filsuf ini, Tuhan di terletak di luar Jangkauan pemikiran manusia.[9]

Ateisme

Ateisme berari penyangkalan hadirnya Allah.[2] Namun guna tentang Allah yang disangkal hadirnya, pautan dengan pandagan semua orang, oleh karenanya guna ateisme berbeda-beda juga.[2] Lima model ateisme yang diuraikan Magnis Suseno adalah ateisme dalam diri Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud dan Jean Paul Sartre.[9]

Scientisme adalah anggota dari Ateisme

Scientisme, berdasarkan dengan dogma rasionalis, memandang inteligensi manusia sebgai ukuran seluruh inteligibilitas, scientisme membatasi rasionalisme sendiri dalam batas-batas ilmu saja, sehingga roh manusia sendiri direduksi sampai dimensi ilmiah saja.[3] Segala sesuatu dipandang sbg obyek yang dapat diukur, bahkan subyek pada kesudahannya nanti dibendakan juga.[3] Maka pada kesudahannya scientisme menolak metafisika, sehingga apa yang dipikirkan secara metafisik dibendakan begitu saja, dan ini adalah wujud ateisme.[3] Problem semakin lanjut adalah scientisme melawan pemikiran agama dan iman.[3] Hal ini terjadi pada masa Galilei yang mengemukakan tentang bumi yang diistilahkan geo-sentris.[3] Hal pautan yang akhir muncul juga pada Charles Darwin dengan teori evolusi yang menyangkal kisah penciptaan manusia dalam naskah Alkitab.[3]

Ludwig Feuerbach

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Ludwig Feuerbach

Ateisme menurut Feuerbach (1804-1872) adalah memandang Tuhan dalam agama hanya sbg proyeksi dari keinginan manusia saja.[9] Dia menolak pandangan Hegel yang menyatakan Tuhan mengungkapkan diri dalam kesadaran manusia.[9] Baginya, yang nyata bukan lah Tuhan, yang nyata adalah manusia.[9] Tuhan hanyalah proyeksi manusia yang mendamba sifat-sifat yang tidak dapat dicapainya.[9] Keinginan manusia sbg berkuasa, serba kenal, hadir di mana-mana, dan bebas masa itu akhir dilemparkannya pada "hal lain" yang adalah Tuhan.[9] Karena ketentuan yang nyata adalah yang dapat di tangkap inderawi, yaitu realitas manusia.[9] Pandangan seperti ini nanti akan masuk dalam filsafat meterialisme.[9] Kegunaan pandangan Feuerbach ini adalah menyatakan hakekat manusia sbg kreatif, berbelas kasih, tidak memihak, saling menyelamatkan dsb-nya.[9] Tidak seperti biasa bila manusia menyembah Tuhan yang adalah dirinya sendiri, maka manusia seharusnya menarik agama ke dalam dirinya sendiri supaya beliau menjadi kuat, tidak memihak, tidak sewenang-wenang dana maha kenal.[9]

Karl Marx

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Karl Marx terkenal dengan Agama adalah candu warga

Menurut Karl Marx, agama adalah candu warga, karena agama, warga menjadi tidak maju dan bersikap rasional.[9]Agama yang dimaksud Marx adalah agama Kristen Ateisme yang diajarkan Marx adalah ateisme modern.[2]Agama yang mengajarkan Tuhan yang serba bisa hanya menipu dan menyesatkan warga.[9] Marx mengkritik Feuerbach yang hanya menyatakan bahwa Tuhan adalah khayalan, namun tidak mencari karenanya.[9] Untuk Marx karena yang diberikan adalah manusia lari kepada Tuhan karena penindasan yang mereka terima dari warga kelas yang dikritiknya.[9] Menurutnya agama hanya menjadi penghalang manusia sbg menyangkal dan menjadikan semakin baik hidupnya yang sedang ditindas, kalau Tuhan dan agama tidak masuk, maka manusia bisa hidup lepas sama sekali dan bermartabat.[9] Di sinilah Tuhan sekiranya dicoret karena tidak diperlukan.[9] Manusia seharusnya menolak kapitalisme yang sedang menindas mereka.[9]

Sigmund Freud

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Sigmund Freud, mencari Tuhan dari psikoanalis

Filsafat Ketuhanan dalam pandangan Sigmund Freud dengan terori psikoanalisnya dimulai dengan pertanyaan, "Apakah keyakinan akan Allah dapat dipertanggungjawabkan?"[2] Hal ini berawal dari analisanya tentang perkembangan manusia yang mempercayai agama yang terkadang tidak mencari kebenaran-kebenaran di dalamnya.[2] Manusia yang hanya menerima begitu saja agama-agama yang diajarkan kepadanya.[2] Ide Allah hanyalah ilusi, namun begitu dibutuhkan manusia seperti seorang manusia yang membutuhkan seorang bapak yang melindunginya.[2] Namun Freud mengajukan pertanyaan berikutnya, "Apakah agama benar-benar tidak memihak untuk manusia?"[2] Jawabannya adalah ambigu.[2] Yang ditekankan olehnya adalah seharusnya manusia berdiskusi akan imannya sehingga dia tidak terjebak dalam bentuk-bentuk infantil dan neurotis.[2] Pendk kata, Freud tidak memperdebatkan realitas Allah, namun semakin mengupas ilusi palsu kesadaran manusia.[2] Karena berdiskusi, maka sesungguhnya penjelasan yang diberitahukan agama tidaklah memadai, Allah tidak bisa dikemukakan dalam intelektual, sehingga perlu tidak diterima juga.[2] Terlebih lagi bila dicari gunanya, agama hanya sbg penghambat perkembangan pribadi, maka harus pula tidak diterima.[2]

Friedrich Nietzsche (1844-1899)

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Friedrich Nietzsche sangat terkenal dengan Sabda Zarathustra (1883) bahwa "Tuhan telah mati".[4] Inilah awal mula penolakannya terhadap Tuhan.[4] Penolakannya terhadap Tuhan sebenarnya berasal dari kebenciannya melihat orang Kristen yang tidak menunjukkan kekristenan yang seharusnya menampilkan kasih.[4] Kebenaran untuk dia sangat subyektif, dipikirkan manusia yang sangat super kekuasaannya terhadap dirinya sendiri.[4] Subyektivitas itu juga dalam hal kebenaran agama, apa yang disebut tidak memihak bisa saja sebenarnya sangat buruk, apa yang disebut buruk bisa saja sebenarnya sangat tidak memihak.[4]Agama Kristen diasumsikan oleh Nietzsche sbg wujud Platonisme baru yang memisahkan sela lingkungan kehidupan, kosmologi, materi dan apa yang dapat ditangkap oleh pancaindera.[3] Dari sini keburukan Kristen kata Nietzsche dipandang meremehkan hal-hal duniawi, terlihat seperti gnosis yang meremehkan hidup (tubuh, lingkungan kehidupan, hawa nafsu) sehingga adalah hasrat akan kehampaan, keinginan akan dekadensi, sbg penyakit, kelesuah dan kepayahan hidup.[3] Hal ini ditujukan kepada agama [Kristen]] yang memiliki label tidak memihak, sebenarnya sangatlah buruk, yaitu dengan ajaran-ajarannya yang sebenarnya membelenggu manusia sbg mengembang.[4] Untuk dia, manusia adalah ukuran segala sesuatu, bukan Tuhan yang disebut agama Kristen.[4] Manusialah tuhan atas ciptaan ini dan yang mampu mengerjakan apa yang dimohonnya.[4] Maka penolakan akan Tuhan adalah hal yang sangat tidak memihak, karena manusia menjadi tidak bergantung pada Allah (Kristen) yang hanya membelenggu manusia itu, katanya.[4]

J. Paul Sartre (1905-1980)

Tuhan di mata Sartre kecil adalah sosok penghukum yang mengawasinya di manapun dia terletak, oleh karenanya dia tidak suka kehadiran Tuhan.[10] Tuhan juga tidak masuk ketika dia mau menemuinya.[10] Oleh karenanya Sartre sudah menolak Tuhan yang tidak nyata semenjak usia 12 tahun.[10] Sartre yang tadi dididik secara Katolik berpindah kepada kesusastraan, yang disebut sbg agama baru untuknya.[10] Namun secara sistematis, dan khas eksistesialis, penolakan atas Tuhan ini dilakukannya karena pemisahan radikal dalam tulisannya Hadir dan Ketiadaan terjemahan dari Being and Nothingness.[10] Baginya, di lingkungan kehidupan ini tidak masuk grand design yang mutlak, manusialah yang bisa mengatur dirinya sendiri dengan eksistensinya.[4] Eksistensi manusia mendahului esensinya; manusia hadir dan akhir menentukan "siapa dirinya".[4] Dia menyangkal Descartes tentang Saya berpikir, maka saya hadir, yang tidak memihak adalah Saya hadir lalu saya berpikir.[4] Dari sinilah dia meneruskannya dalam teori eksistensial fenomenologisnya, bahwa segala sesuatu harus dipisahkan dalam dua bagian; etre en soi / hadir dalam dirinya sendiri atau etre-pour soi / hadir sbg dirinya sendiri.[10] Segala sesuatu yang hadir dalam dirinya sendiri berfaedah tidak pasif, tidak giat, tidak afirmatif juga tidak negatif, hadir begitu saja, tanpa fundamen, tanpa dapat dirutunkan dari sesuatu pautan, tidak mengembang.[10] Sedangkan hadir sbg dirinya sendiri adalah sebuah kesadaran], dan ini khas manusia.[10] Dari pemisahan inilah, dia melabel Tuhan orang Kristen yang tidak berubah itu masuk dalam golongan hadir dalam dirinya sendiri, maka dari itu dia tidak semakin akbar dari manusia yang memiliki kesadaran sbg menentukan esensinya sendiri.[10] Di sinilah penyangkalan Tuhan itu terjadi, dia tidak mengakui Tuhan semakin tinggi dari manusia, maka Tuhan tidak diperlukan lagi.[10] Karena Tuhan tidak lagi hadir, maka manusia menjadi lepas sama sekali dan bisa menentukan kondisi bangsanya.[10] Di sinilah nilai positif Sartre yang akhir menghabiskan seluruh pokok isi kerangan hidupnya sbg kegunaan manusia (gerakan sosial).[10] Bahkan dia pernah memenangi nobel perdamaian karena pengabdiannya terhadap kemanusiaan, namun tidak diterimanya.[10][4]

Lihat juga

  • Daftar Istilah Filsafat
  • Daftar Filsuf
  • Filsafat Indonesia

referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au Tjahyadi. S.P Lili., Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius 2007
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y (Indonesia)Theo Huijbers., Manusia mencari ALLAH suatu Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1977
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o (Indonesia)Louis Leahy., Masalah Ketuhanan Dewasa Ini., Yogyakarta: Kanisius, 1982
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af (Inggris)Moris Engel and Engelica Soldan., The Study of Philosophy, USA: Rowman & Litlefield Publisher, Inc, 2008
  5. ^ John Veitch., A Discourse on Method – Meditation and Principles, Everyman’s Library 1912 halaman vii
  6. ^ a b c d e f (Inggris) The Miracle of Theism, USA; Oxford University Press, 1982
  7. ^ Skirry. Justin., Descartes for the Perplexed, British, 2008 Hlm 24,
  8. ^ a b c d e f g h i j (Inggris)Diogenes Allen and Eric O. Springsted., Primary Readings in Philosophy for Understanding Theology, USA: John Knox Press, 1992
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa (Indonesia)Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius 2006
  10. ^ a b c d e f g h i j k l m (Indonesia) K Bertens., Filsafat Barat Kontemporer - Perancis, Jakarta: Gramedia, 2001


edunitas.com


Page 6

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan kebiasaan, yaitu memakai apa yang disebut sbg pendekatan filosofis.[1] Untuk orang yang menganut agama tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya.[1] Sah Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan kebiasaan tentang Tuhan.[1] Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah sbg menemukan Tuhan secara absolut atau mutlak, namun mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan untuk manusia sbg sampai pada kebenaran tentang Tuhan.[2]

Penelitian tentang Allah dalam Ilmu Filsafat

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Tuhan dalam gambaran "kubus" dalam judul Tuhan tidak sah pemain dadu : Tuhan menciptkan lingkungan kehidupan penuh

Penelaahan tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut teologi filosofi.[3] Hal ini bukan menyelidiki tentang Allah sbg obyek, namun eksistensi lingkungan kehidupan semesta, yakni makhluk yang diciptakan, karena Allah dipandang semata-mata sbg kausa pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri, Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise.[3] Sah pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat.[3] Namun pendapat ini tidak diterima oleh para agamawan, karena dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman.[3] Maka ditempuhlah cara ilmiah sbg membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat pautannya (Filsafat manusia, filsafat lingkungan kehidupan dll).[3] Maka para filsuf memberikan definisinya sbg usaha yang dilakukan sbg menilai dengan semakin tidak memihak, dan secara refleksif, realitas sangat tinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan gambaran Allah melewati sekitar diri kita.[3]

Agama : Studi tentang tabiat Allah dan keyakinan

Ide tentang Allah pada orang beragama secara umum kebanyakan dikemukakan dalam tabiat Allah; "Yang Maha Tinggi" (Anselmus mengatakan: "Allah adalah sesuatu yang semakin akbar dari padanya tidak dapat dipikirkan manusia)Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tidak memihak dan sbgnya.[3][4][1] Menurut Anselmus, ajaran-ajaran kristiani bisa dikembangkan dengan rasional, sah tanpa bantuan otoritas pautan (Kitab Suci, wahyu, nasihat Bapa Gereja).[1] Bahkan beliau bisa menjelaskan eksistensi Allah dengan suatu alasan yang bisa diterima bahkan juga oleh mereka yang tidak beriman.[1] Eksistensi Allah dimulai dari pikiran manusia yang menerima begitu saja nasihat agama, namun juga menanyakannya dari siapa dan mengapa dirinya hadir, lingkungan kehidupan lingkungan kehidupan, dan Allah sendiri bisa diterima hadirnya.[2]

Beberapa sikap orang beriman dalam mencari pencerahan akan hadirnya Allah:

  • Manusia yang menerima begitu saja dikarenakan nasihat turun-temurun dari para pendahulunya, manusia ditekankan harus percaya, bahkan tanpa berdiskusi.[2]
  • Manusia mulai berdiskusi mengapa dirinya ada?[2] Mengapa lingkungan kehidupan ada?[2]
  • Akhir menanyakan Allah terkait; siapa, pokoknya, dan mengapa Dia ada?[2]

Semua jawaban itu akan dijawab oleh para mahir dalam anggota yang disebut teologi; theos dan logos, ilmu tentang hubungan manusia dan ciptaan dengan Allah.[2] Jawaban-jawabannya bisa sangat beragam, tergantung agama dan keyakinan yang mana yang memberikan jawaban.[2] Namun setidaknya hadir beberapa kesimpulan yang mereka berikan sbg jawaban:

- Allah hadir, dan hadirnya Allah itu dapat dibuktikan secara rasional juga; - Allah hadir, tetapi tidak dapat dibuktikan adanya; - tidak dapat dikenal apakah Allah benar-benar ada; - Allah tidak masuk, dan kepastian ini dapat dibuktikan juga.[2]

Oleh karenanya filsafat berusaha membuktikan keyakinan-keyakinan manusia itu melewati bermacam jalan; metafisika, empirisme, rasionalisme, positivisme, spiritualisme dan lain-lain.[2]

Teisme

Teisme adalah faham yang mempercayai hadirnya Tuhan.[2] Berasal dari bahasa Yunani Θεός=Teos dan νόμος=hukum=aturan=paham, sah sebuah perhitungan atau mengerti tentang Tuhan atau pengakuan hadirnya Tuhan.[2]

Di bawah ini beberapa pemikir yang mempercayai hadirnya Allah, maka dengan begitu mereka pasti orang beragama:

Santo Agustinus(354-430)

Santo Agustinus percaya bahwa Allah hadir dengan melihat sejarah dari drama penciptaan, yang melibatkan Allah dan manusia.[4] Allah membikin daratan sbg manusia, membikin manusia (Adam) yang berdosa melawan Allah.[4] Lalu Adam dan Hawa tidak diterima dari Taman Eden.[4] Akhir sesudah manusia mengembang, mereka berdosa semakin lagi dan dihukum dengan air bah dalam sejarah Nuh.[4] Orang-orang Yahudi yang diberikan akad Allah ternyata tidak dapat memeliharanya sehingga dihukum melewati bangsa-bangsa pautan.[4] Lalu Allah yang maha kasih menebus manusia melewati Yesus Kristus.[4] Dari sejarah ini Allah dapat selalu hadir di tengah-tengah manusia.[4] Memang Agustinus adalah Bapa gereja, Uskup dari Hippo yang membela eksistensi Allah dari pandangan-pandangan pautan yang mau meruntuhkan mengerti teisme.[4] Tuhan didefinisikan dari sifat-sifatnya; maha kenal, maha hadir, kekal, pencipta segala sesuatu.[4] Namun semakin lagi, Tuhan bukan hadir begitu saja, namun selalu terhubung dalam peristiwa-peristiwa akbar manusia.[4]

Thomas Aquinas (1225-1274)

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Santo Thomas Aquinas

Thomas Aquinas menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan Wahyu Kristen.[4] Kebenaran iman dan rasa pengalaman bukan hanya cocok, namun juga saling melengkapi; beberapa kebenaran, seperti misteri dan inkarnasi dapat dikenal melewati wahyu, sebagaimana ilmu dari wujud benda-benda di lingkungan kehidupan, dapan dikenal melewati rasa pengalaman; seperti kesadaran manusia akan eksistensi Allah, tidak memihak wahyu maupun rasa pengalaman dipakai sbg membentuk persepsi tentang hadirnya Allah.[4]

Thomas Aquinas terkenal dengan lima jalan (dalam Bahasa Latin; quinque viae ad deum) sbg mengetahui bahwa Allah benar-benar hadir.[4]

  • Jalan 1 adalah gerak, bahwa segala sesuatu memperagakan usaha, setiap gerakan pasti hadir yang menggerakkan, namun pasti hadir sesuatu yang menggerakkan sesuatu pautannya, namun tidak digerakkan oleh sesuatu pautannya, Dialah Allah.[4]
  • Jalan 2 adalah karena dampak, bahwa setiap dampak telah tersedia karenanya, namun hadir penyebab yang tidak diakibatkan, Dialah karena pertaman, Allah.[4]
  • Jalan 3 adalah keniscayaan, bahwa di lingkungan kehidupan ini hadir hal-hal yang bisa hadir dan hadir yang bisa tidak masuk (contohnya adalah benda-benda yang dahulu hadir ternyata hadir yang musnah, namun hadir juga yang dulu tidak masuk ternyata sekarang ada), namun hadir yang selalu hadir (niscaya) Dialah Allah.[4]
  • Jalan 4 adalah pembuktian berdasarkan derajat atau gradus melewati perbandingan, bahwa dari sifat-sifat yang hadir di lingkungan kehidupan ( yang baik-baik) ternyata hadir yang sangat tidak memihak yang tidak masuk tandingannya (sifat Allah yang serba maha) Dialah Allah.[4]

Jalan 5 adalah penyelenggaraan, bahwa segala ciptaan berakal budi telah tersedia tujuan yang terarah menuju yang terbaik, semua itu pastilah hadir yang mengaturnya, Dialah Allah.[4]

Descartes (1596-1650)

Rene Descartes memikirkan Tuhan berasal dari prinsip utamanya yang adalah “gabungan sela pietisme Katolik dan sains.[5]Descartes adalah seorang filsuf rasionalis yang terkenal dengan pemikiran ide Allah.[6] Tantangan yang mendorong Descartes adalah keragu-raguan radikalnya, The Methode of Doubt , bahkan menurutnya,"indera bisa saja menipu, Yang Maha Kuasa dalam gambaran kita juga bisa saja menipu, karena kita yang membayangkan". [7][6] Dalam menjawab skeptisisme orang-orang pada masanya, maka dalam tinggalnya di Neubau, akrab kota Ulm - Jerman, disebut sbg “perjalanan menara”, kata pautan dari meditasi yang dilakukan, dia menemukan Cogito, ergo sum tahun 1618.[1][6] Karena orang pada ratus tahunnya meragukan apa yang mereka lihat, maka hal ini dipatahkan oleh Descartes bahwa apa yang dipikirkan saja sebenarnya sudah hadir, minimal di pikiran.[6] Orang bisa menyangkal segala sesuatu, namun beliau tidak bisa menyangkal dirinya sendiri.[1] Sah Allah di sini juga demikian, Allah sudah hadir dengan sendirinya, bahkan semakin jauh Descartes mencari bukti-bukti empiris yang dia warisi dari para pendahulunya.[6]Keterbukaan sbg mengemukakan ide dalam pikiran, maka segala sesuatu yang dapat dipikirkan pasti bisa hadir.[1] Alkitab salah satu bukti eksistensi Allah, akhir juga relasi bahwa manusia, binatang, malaikat, dan obyek-obyek pautan hadir karena natural light yang adalah Allah sendiri.[6]

Filsafat Ketuhanan menurut Descartes adalah berawal dari fungsi iman, yang pada kesudahannya berguna sbg menemukan Allah. Tanpa iman manusia cenderung menolak Allah. Hadir dua hal yang bisa ditempuh supaya Saya sampai pada Allah:

  • Jalan yang pertama adalah karena dampak, bahwa dirinya sendiri (manusia) pasti diakibatkan oleh penyebab pertama, yaitu Allah.[1]
  • Jalan yang kedua adalah secara ontologis, yang diwarisinya dari Anselmus.[1] Allah yang hadir itu tidak mungkin berdiri sendiri, tanpa hadir kaitan dengan suatu entitas pautan, maka Allah pasti hadir dan bereksistensi.[1] Maka Allah yang hadir dalam ide Descartes sempurna sudah, bahwa Dia hadir dan dapat diandalkan dalam relasi dengan entitas pautannya itu.[1]

Imanuel Kant (1724-1804)

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Immanuel Kant dengan kata-kata "Langit berbintang di atasku dan hukum moral di batinku"

Nasihat Kant tentang Allah ditemui dalam hukum moralnya melewati beberapa tahap: 1. Allah adalah suara hati, 2. Allah adalah tujuan moralitas, 3. Allah adalah pribadi yang menjamin bahwa orang yang berperan tidak memihak demi kewajiban moral akan mengalami kebahagiaan sempurna.[1] Menurut Kant hadir tiga jalan sbg membuktikan hadirnya Allah di luar spekulasi belaka, dan hal ini dimungkinkan:

  • dimulai dari menganalisa pengalaman akhir menemui kualitas dari sense lingkungan kehidupan kita, lalu meningkat menjadi bukum kausalitas sampai penyebab di luar lingkungan kehidupan.[8]
  • berdasar hal pertama, kita sedang pada tataran pengalaman yang tidak bisa dikemukakan.[8]
  • di luar konsep-konsep itu, manusia memiliki a priori dalam rasionya, dan itu menjadi penyebab yang memang hadir.[8]

Lalu dari usaha dari pengalaman dianalisa dengan a priori (pemikiran awal sebelum membutktikan sesuatu) dalam otak kita, kita membagi tiga wujud ruang lingkup atas pengalaman; Psikologi-teologi, kosmologi dan ontologi.[8] Dari hal yang dialami (empiris) menuju transendensi; bahwa manusia hanya akan berspekulasi saja.[8] Kritik Kant terhadap Thomas Aquinas juga tentang hal-hal spekulatif, padahal Allah nyata hadirnya.[8] Di sini Kant akhir mengakui bahwa Allah sbg pemberi a priori dan pengalaman itu sendiri tidak terdapat dalam tidak memihak pengalaman maupun a priori, namun melampaui hal itu.[8] Maka Kant sangat terkenal dengan kata-katanya '"Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam batinku".[8] Di sinilah iman diperlukan, karena Allah pada kenyataannya tidak bisa dibuktikan hanya dengan pengalaman inderawi semata.[8] Allah melampaui hal-hal rasio murni.[8]

Hegel (1770-1831)

Hegel juga disebut filsuf idealisme Jerman.[9] Nasihat yang terkenal dari Hegel adalah dialektika, di mana hadir dua hal berlainan (bahkan kontras) yang berjumpa dan membentuk hal baru.[1] Pertama-tama Hegel membedakan sela rasio murni (dalam Kant) sbg kesadaran manusia, namun hadir yang semakin dari itu yaitu intelek. Intelek itu senantiasa mengerjakan kinerja rasio dan intelektualitas sehingga dialektika terus terjadi.[1] Roh Absolut yang adalah intelek itu memperagakan pekerjaan dan menyatakan dirinya dalam ronde sejarah manusia.[1] Pekerjaan Roh itu dapat sampai tujuannya dalam lingkungan kehidupan semesta ketika terjadi dialektika sela subjek dan objek, sela yang terbatas dan tidak terbatas, dan yang sangat bisa dipahami adalah sela yang imanen dan transenden.[1] Hegel berpendapat Allah di dalam agama Kristen juga memperagakan pekerjaan seperti peristiwa reformasi yang sebenarnya adalah peristiwa pemulih atau pengembali kondisi manusia pulih kembali.[1] Dari peristiwa-peristiwa itu maka Allah menurut Hegel dapat diartikan dalam tiga tahap: 1. Segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah adalah ronde perjalanan Roh (Allah) yang menemukan dirinya sendiri 2. Melewati manusia dengan kesadarannya, Roh itu menemukan dirinya (peristiwa revolusi oleh Napoleon misalny) 3. Sehingga terjadi keselarasan arah gerak manusia dan arah gerak Roh dalam emansipasi dan kebebasan manusia, sbg itu Roh akan memakai nama "Ingatan budi".[1] Namun Allah yang dikemukakan Hegel sebenarnya terikat pada manusia yang mengalami ronde dalam sejarah.[1]

Schleiermacher (1768-1834)

Schleiermacher adalah penganut Kant, namun untuknya Allah semakin tidak memihak tidak ditelaah dengan metafisika belaka, namun perlu dihayati kehadirannya, yaitu dengan kontemplasi.[1] Baginya, Allah yang tidak bisa ditangkap inderawi tidak bisa juga dilacak dengan rasio murni.[1] Istilah yang dipakai oleh Schleiermacher sbg Allah adalah "Sang Universum".[1] Bila Kant mengenal Allah sbg pemberi hukum moral yang melampaui rasionya, Schleiermacher menganggap Allah yang dimaksud Kant tidak memadai dalam kehidupan manusia, karena Allah hanya pemberi ganjaran kepada orang yang tidak memihak dan penghukum orang yang kurang tidak memihak.[1] Karena Allah, untuk Schleiermacher tidak mungkin memberi hukuman kekal kepada manusia lantaran beliau tidak sempurna, hal ini dikarenakan bahwa manusia diciptakan Allah bukan supaya beliau sempurna, melainkan supaya beliau berikhtiar sampai kesempurnaan itu.[1]

Scleiermacher mendekati Allah bukan dari teori spekulatif, bukan dengan pendekatan moral-praktis, melainkan pendekatan intuitif-batin, dalam bahasanya melewati kontemplasi dan perasaan.[1] "Di sinilah agama merenungkan Sang Universum, di dalam caranya mengekspresikan diri dan tindakannya, agama mau mendegarkan bisikan suara Sang Universum itu dengan khidmat,.... Dalam kepasifan anak-anak, agama mau ditangkap dan dipenuhi oleh kekuatan pengaruhnya"[1] Agama adalah Sang Universum sendiri.[1] Sang Universum ditangkap dari lingkungan kehidupan lingkungan kehidupan yang mamanifestasikannya.[1] Namun lingkungan kehidupan alam bukanlah Sang Universum yang berdiri sendiri, namun tetap memanifestasikan lingkungan kehidupan.[1] Pembedaan ini melaui dua tahap; 1. Lingkungan kehidupan adalah wahyu Allah, dan ditangkap oleh sanubari manusia, 2. wahyu yang semakin tinggi dan semakin tidak memihak adalah manusia yang menurut Schleiermacher tidak terbagi-bagi dan tidak terbatas, namun bereksistensi.[1] Dalam pokok isi kerangan umat manusia itulah Allah menyatakan diri, lingkungan kehidupan diresapi oleh Yang Ilahi.[1] Namun manusia bukanlah Allah sendiri.[1] Maka pekerjaan agama adalah mencari menemukan Allah yang hadir di luar dirinya.[1] Agama harus tinggal dengan pengalaman-pengalaman langsung sbg mencari Allah dan mencari keterhubungannya secara menyeluruh, bukan berfilosofi.[1]

Alfred North Whitehead (1861-1947)

Alfred North Whitehead dijuluki sbg bapak filsafat maupun teologi ronde.[1] Pemikirannya tergolong niskala karena pengaruh anggota yang digelutinya, matematika dan ilmu empirisme tentang lingkungan kehidupan yang didapatkannya dari fisika terapan.[1] Dalam bukunya tentang Bagaimana Agama Terjadi (1926) dia menyatakan;

"Dogma-dogma agama adalah upaya sbg memformulasikan secara presis kebenaran-kebenaran yang tersibak di dalam pengalaman religius umat manusia. Dengan cara yang sama dogma-dogma fisika (teori-teori, hukum, dan postulat) adalah upaya sbg memformulasikan secara presis kebenaran-kebenaran yang tersingkap di dalam pencerapan inderawi umat manusia. [1]
  • Filsafat Ronde Whitehead.

Filsafat rondenya memakai dua pendekatan; 1. Prinsip ronde, dan 2. Prinsip kreatifitas.[1]

Dari prinsip ini maka ronde dibedakan dalam dua: 1. Prinsip untuk ronde yang bersifat mikrokopis (konkresi) adalah asas yang memungkinkan lahirnya wujud aktual baru dari aktual-aktual lama yang sudah penuh.[1] 2. Prinsip untuk ronde yang bersifat makrokopis (objektifikasi) yang memungkinkan sesuatu yang sudah penuh berubah dan menjadi datum lagi.[1]

Prinsip kreatifitas itu disimpulkan secara logis berdasarkan analisisnya atas satua aktual sbg wujud ciptaannya.[1]

  • Allah dalam Filsafat ronde Whitehead

Ronde kreatifitas dan pembaruan dari satuan aktual-aktual terus terjadi, salah satu partisipannya adalah Allah, namun Dia yang sangat menonjol karena dia adalah yang awali dan yang akhiri.[1] 1. Yang awali : Allah memiliki dua peran sekaligus yaitu sbg dasar awali yangyk hadirnya tatanan dalam seluruh jagat raya dan sbg dasar munculnya kebaruan dalam perwujudan suatu peristiwa aktual.[1] 2. Yang akhiri: Allah sbg penyerta yang tanggap dan menyelamatkan.[1]

Sah Tuhan (Allah) untuk Whitehead memiliki 3 peran yang disebut di atas, dengan begitu dia bisa mengendalikan setiap perubahan yang terjadi atas aktual-aktual pautan dan mengakhirinya dengan tidak memihak.[1]

Deisme

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Deisme dianalogikan seperti Tukang Jam, yang membikin jam secara teratur dan membiarkannya berlanjut sendiri

Deisme adalah pandangan khas tentang Allah di masa Pencerahan, berasal dari deus yang gunanya Allah.[9] Namun pandangan ini berlainan dengan teisme, karena Allah dipercaya hanya pada masa penciptaan, berikutnya tidak mengadakan komunikasi dengan lingkungan kehidupan lagi karena lingkungan kehidupan yang sudah teratur dari semula.[9] Allah dianalogikan seperti pencipta arloji yang bisa berlanjut sangat teratur tanpa campur tangan penciptanya.[9] Sah Deisme hanya percaya Tuhan pertama kali, sesudah itu diasumsikan tidak masuk.[9] Mengerti ini diasumsikan sbg benih dari munculnya pandangan ateisme yang secara buka menyangkal hadirnya Tuhan.[9] Pandangan yang muncul pada seratus tahun 18 di Perancis.[9]

Agnostisisme

Agnostisisme adalah mengerti manusia yang tidak mau kenal atau tidak kenal tentang hadirnya Tuhan.[9] Namun hal ini semakin diakibatkan karena kebuntuan pemikiran sbg memberikan definisi Tuhan.[9] Untuk para filsuf ini, Tuhan di terletak di luar Jangkauan pemikiran manusia.[9]

Ateisme

Ateisme berari penyangkalan hadirnya Allah.[2] Namun guna tentang Allah yang disangkal hadirnya, pautan dengan pandagan semua orang, oleh karenanya guna ateisme berbeda-beda juga.[2] Lima model ateisme yang diuraikan Magnis Suseno adalah ateisme dalam diri Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud dan Jean Paul Sartre.[9]

Scientisme adalah anggota dari Ateisme

Scientisme, berdasarkan dengan dogma rasionalis, memandang inteligensi manusia sebgai ukuran seluruh inteligibilitas, scientisme membatasi rasionalisme sendiri dalam batas-batas ilmu saja, sehingga roh manusia sendiri direduksi sampai dimensi ilmiah saja.[3] Segala sesuatu dipandang sbg obyek yang dapat diukur, bahkan subyek pada kesudahannya nanti dibendakan juga.[3] Maka pada kesudahannya scientisme menolak metafisika, sehingga apa yang dipikirkan secara metafisik dibendakan begitu saja, dan ini adalah wujud ateisme.[3] Problem semakin lanjut adalah scientisme melawan pemikiran agama dan iman.[3] Hal ini terjadi pada masa Galilei yang mengemukakan tentang bumi yang diistilahkan geo-sentris.[3] Hal pautan yang akhir muncul juga pada Charles Darwin dengan teori evolusi yang menyangkal kisah penciptaan manusia dalam naskah Alkitab.[3]

Ludwig Feuerbach

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Ludwig Feuerbach

Ateisme menurut Feuerbach (1804-1872) adalah memandang Tuhan dalam agama hanya sbg proyeksi dari keinginan manusia saja.[9] Dia menolak pandangan Hegel yang menyatakan Tuhan mengungkapkan diri dalam kesadaran manusia.[9] Baginya, yang nyata bukan lah Tuhan, yang nyata adalah manusia.[9] Tuhan hanyalah proyeksi manusia yang mendamba sifat-sifat yang tidak dapat dicapainya.[9] Keinginan manusia sbg berkuasa, serba kenal, hadir di mana-mana, dan bebas masa itu akhir dilemparkannya pada "hal lain" yang adalah Tuhan.[9] Karena ketentuan yang nyata adalah yang dapat di tangkap inderawi, yaitu realitas manusia.[9] Pandangan seperti ini nanti akan masuk dalam filsafat meterialisme.[9] Kegunaan pandangan Feuerbach ini adalah menyatakan hakekat manusia sbg kreatif, berbelas kasih, tidak memihak, saling menyelamatkan dsb-nya.[9] Tidak seperti biasa bila manusia menyembah Tuhan yang adalah dirinya sendiri, maka manusia seharusnya menarik agama ke dalam dirinya sendiri supaya beliau menjadi kuat, tidak memihak, tidak sewenang-wenang dana maha kenal.[9]

Karl Marx

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Karl Marx terkenal dengan Agama adalah candu warga

Menurut Karl Marx, agama adalah candu warga, karena agama, warga menjadi tidak maju dan bersikap rasional.[9]Agama yang dimaksud Marx adalah agama Kristen Ateisme yang diajarkan Marx adalah ateisme modern.[2]Agama yang mengajarkan Tuhan yang serba bisa hanya menipu dan menyesatkan warga.[9] Marx mengkritik Feuerbach yang hanya menyatakan bahwa Tuhan adalah khayalan, namun tidak mencari karenanya.[9] Untuk Marx karena yang diberikan adalah manusia lari kepada Tuhan karena penindasan yang mereka terima dari warga kelas yang dikritiknya.[9] Menurutnya agama hanya menjadi penghalang manusia sbg menyangkal dan menjadikan semakin baik hidupnya yang sedang ditindas, kalau Tuhan dan agama tidak masuk, maka manusia bisa hidup lepas sama sekali dan bermartabat.[9] Di sinilah Tuhan sekiranya dicoret karena tidak diperlukan.[9] Manusia seharusnya menolak kapitalisme yang sedang menindas mereka.[9]

Sigmund Freud

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Sigmund Freud, mencari Tuhan dari psikoanalis

Filsafat Ketuhanan dalam pandangan Sigmund Freud dengan terori psikoanalisnya dimulai dengan pertanyaan, "Apakah keyakinan akan Allah dapat dipertanggungjawabkan?"[2] Hal ini berawal dari analisanya tentang perkembangan manusia yang mempercayai agama yang terkadang tidak mencari kebenaran-kebenaran di dalamnya.[2] Manusia yang hanya menerima begitu saja agama-agama yang diajarkan kepadanya.[2] Ide Allah hanyalah ilusi, namun begitu dibutuhkan manusia seperti seorang manusia yang membutuhkan seorang bapak yang melindunginya.[2] Namun Freud mengajukan pertanyaan berikutnya, "Apakah agama benar-benar tidak memihak untuk manusia?"[2] Jawabannya adalah ambigu.[2] Yang ditekankan olehnya adalah seharusnya manusia berdiskusi akan imannya sehingga dia tidak terjebak dalam bentuk-bentuk infantil dan neurotis.[2] Pendk kata, Freud tidak memperdebatkan realitas Allah, namun semakin mengupas ilusi palsu kesadaran manusia.[2] Karena berdiskusi, maka sesungguhnya penjelasan yang diberitahukan agama tidaklah memadai, Allah tidak bisa dikemukakan dalam intelektual, sehingga perlu tidak diterima juga.[2] Terlebih lagi bila dicari gunanya, agama hanya sbg penghambat perkembangan pribadi, maka harus pula tidak diterima.[2]

Friedrich Nietzsche (1844-1899)

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Friedrich Nietzsche sangat terkenal dengan Sabda Zarathustra (1883) bahwa "Tuhan telah mati".[4] Inilah awal mula penolakannya terhadap Tuhan.[4] Penolakannya terhadap Tuhan sebenarnya berasal dari kebenciannya melihat orang Kristen yang tidak menunjukkan kekristenan yang seharusnya menampilkan kasih.[4] Kebenaran untuk dia sangat subyektif, dipikirkan manusia yang sangat super kekuasaannya terhadap dirinya sendiri.[4] Subyektivitas itu juga dalam hal kebenaran agama, apa yang disebut tidak memihak bisa saja sebenarnya sangat buruk, apa yang disebut buruk bisa saja sebenarnya sangat tidak memihak.[4]Agama Kristen diasumsikan oleh Nietzsche sbg wujud Platonisme baru yang memisahkan sela lingkungan kehidupan, kosmologi, materi dan apa yang dapat ditangkap oleh pancaindera.[3] Dari sini keburukan Kristen kata Nietzsche dipandang meremehkan hal-hal duniawi, terlihat seperti gnosis yang meremehkan hidup (tubuh, lingkungan kehidupan, hawa nafsu) sehingga adalah hasrat akan kehampaan, keinginan akan dekadensi, sbg penyakit, kelesuah dan kepayahan hidup.[3] Hal ini ditujukan kepada agama [Kristen]] yang memiliki label tidak memihak, sebenarnya sangatlah buruk, yaitu dengan ajaran-ajarannya yang sebenarnya membelenggu manusia sbg mengembang.[4] Untuk dia, manusia adalah ukuran segala sesuatu, bukan Tuhan yang disebut agama Kristen.[4] Manusialah tuhan atas ciptaan ini dan yang mampu mengerjakan apa yang dimohonnya.[4] Maka penolakan akan Tuhan adalah hal yang sangat tidak memihak, karena manusia menjadi tidak bergantung pada Allah (Kristen) yang hanya membelenggu manusia itu, katanya.[4]

J. Paul Sartre (1905-1980)

Tuhan di mata Sartre kecil adalah sosok penghukum yang mengawasinya di manapun dia terletak, oleh karenanya dia tidak suka kehadiran Tuhan.[10] Tuhan juga tidak masuk ketika dia mau menemuinya.[10] Oleh karenanya Sartre sudah menolak Tuhan yang tidak nyata semenjak usia 12 tahun.[10] Sartre yang tadi dididik secara Katolik berpindah kepada kesusastraan, yang disebut sbg agama baru untuknya.[10] Namun secara sistematis, dan khas eksistesialis, penolakan atas Tuhan ini dilakukannya karena pemisahan radikal dalam tulisannya Hadir dan Ketiadaan terjemahan dari Being and Nothingness.[10] Baginya, di lingkungan kehidupan ini tidak masuk grand design yang mutlak, manusialah yang bisa mengatur dirinya sendiri dengan eksistensinya.[4] Eksistensi manusia mendahului esensinya; manusia hadir dan akhir menentukan "siapa dirinya".[4] Dia menyangkal Descartes tentang Saya berpikir, maka saya hadir, yang tidak memihak adalah Saya hadir lalu saya berpikir.[4] Dari sinilah dia meneruskannya dalam teori eksistensial fenomenologisnya, bahwa segala sesuatu harus dipisahkan dalam dua bagian; etre en soi / hadir dalam dirinya sendiri atau etre-pour soi / hadir sbg dirinya sendiri.[10] Segala sesuatu yang hadir dalam dirinya sendiri berfaedah tidak pasif, tidak giat, tidak afirmatif juga tidak negatif, hadir begitu saja, tanpa fundamen, tanpa dapat dirutunkan dari sesuatu pautan, tidak mengembang.[10] Sedangkan hadir sbg dirinya sendiri adalah sebuah kesadaran], dan ini khas manusia.[10] Dari pemisahan inilah, dia melabel Tuhan orang Kristen yang tidak berubah itu masuk dalam golongan hadir dalam dirinya sendiri, maka dari itu dia tidak semakin akbar dari manusia yang memiliki kesadaran sbg menentukan esensinya sendiri.[10] Di sinilah penyangkalan Tuhan itu terjadi, dia tidak mengakui Tuhan semakin tinggi dari manusia, maka Tuhan tidak diperlukan lagi.[10] Karena Tuhan tidak lagi hadir, maka manusia menjadi lepas sama sekali dan bisa menentukan kondisi bangsanya.[10] Di sinilah nilai positif Sartre yang akhir menghabiskan seluruh pokok isi kerangan hidupnya sbg kegunaan manusia (gerakan sosial).[10] Bahkan dia pernah memenangi nobel perdamaian karena pengabdiannya terhadap kemanusiaan, namun tidak diterimanya.[10][4]

Lihat juga

  • Daftar Istilah Filsafat
  • Daftar Filsuf
  • Filsafat Indonesia

referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au Tjahyadi. S.P Lili., Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius 2007
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y (Indonesia)Theo Huijbers., Manusia mencari ALLAH suatu Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1977
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o (Indonesia)Louis Leahy., Masalah Ketuhanan Dewasa Ini., Yogyakarta: Kanisius, 1982
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af (Inggris)Moris Engel and Engelica Soldan., The Study of Philosophy, USA: Rowman & Litlefield Publisher, Inc, 2008
  5. ^ John Veitch., A Discourse on Method – Meditation and Principles, Everyman’s Library 1912 halaman vii
  6. ^ a b c d e f (Inggris) The Miracle of Theism, USA; Oxford University Press, 1982
  7. ^ Skirry. Justin., Descartes for the Perplexed, British, 2008 Hlm 24,
  8. ^ a b c d e f g h i j (Inggris)Diogenes Allen and Eric O. Springsted., Primary Readings in Philosophy for Understanding Theology, USA: John Knox Press, 1992
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa (Indonesia)Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius 2006
  10. ^ a b c d e f g h i j k l m (Indonesia) K Bertens., Filsafat Barat Kontemporer - Perancis, Jakarta: Gramedia, 2001


edunitas.com


Page 7

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan kebiasaan, yaitu memakai apa yang disebut sbg pendekatan filosofis.[1] Untuk orang yang menganut agama tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya.[1] Sah Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan kebiasaan tentang Tuhan.[1] Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah sbg menemukan Tuhan secara absolut atau mutlak, namun mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan untuk manusia sbg sampai pada kebenaran tentang Tuhan.[2]

Penelitian tentang Allah dalam Ilmu Filsafat

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Tuhan dalam gambaran "kubus" dalam judul Tuhan tidak sah pemain dadu : Tuhan menciptkan lingkungan kehidupan penuh

Penelaahan tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut teologi filosofi.[3] Hal ini bukan menyelidiki tentang Allah sbg obyek, namun eksistensi lingkungan kehidupan semesta, yakni makhluk yang diciptakan, karena Allah dipandang semata-mata sbg kausa pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri, Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise.[3] Sah pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat.[3] Namun pendapat ini tidak diterima oleh para agamawan, karena dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman.[3] Maka ditempuhlah cara ilmiah sbg membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat pautannya (Filsafat manusia, filsafat lingkungan kehidupan dll).[3] Maka para filsuf memberikan definisinya sbg usaha yang dilakukan sbg menilai dengan semakin tidak memihak, dan secara refleksif, realitas sangat tinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan gambaran Allah melewati sekitar diri kita.[3]

Agama : Studi tentang tabiat Allah dan keyakinan

Ide tentang Allah pada orang beragama secara umum kebanyakan dikemukakan dalam tabiat Allah; "Yang Maha Tinggi" (Anselmus mengatakan: "Allah adalah sesuatu yang semakin akbar dari padanya tidak dapat dipikirkan manusia)Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tidak memihak dan sbgnya.[3][4][1] Menurut Anselmus, ajaran-ajaran kristiani bisa dikembangkan dengan rasional, sah tanpa bantuan otoritas pautan (Kitab Suci, wahyu, nasihat Bapa Gereja).[1] Bahkan beliau bisa menjelaskan eksistensi Allah dengan suatu alasan yang bisa diterima bahkan juga oleh mereka yang tidak beriman.[1] Eksistensi Allah dimulai dari pikiran manusia yang menerima begitu saja nasihat agama, namun juga menanyakannya dari siapa dan mengapa dirinya hadir, lingkungan kehidupan lingkungan kehidupan, dan Allah sendiri bisa diterima hadirnya.[2]

Beberapa sikap orang beriman dalam mencari pencerahan akan hadirnya Allah:

  • Manusia yang menerima begitu saja dikarenakan nasihat turun-temurun dari para pendahulunya, manusia ditekankan harus percaya, bahkan tanpa berdiskusi.[2]
  • Manusia mulai berdiskusi mengapa dirinya ada?[2] Mengapa lingkungan kehidupan ada?[2]
  • Akhir menanyakan Allah terkait; siapa, pokoknya, dan mengapa Dia ada?[2]

Semua jawaban itu akan dijawab oleh para mahir dalam anggota yang disebut teologi; theos dan logos, ilmu tentang hubungan manusia dan ciptaan dengan Allah.[2] Jawaban-jawabannya bisa sangat beragam, tergantung agama dan keyakinan yang mana yang memberikan jawaban.[2] Namun setidaknya hadir beberapa kesimpulan yang mereka berikan sbg jawaban:

- Allah hadir, dan hadirnya Allah itu dapat dibuktikan secara rasional juga; - Allah hadir, tetapi tidak dapat dibuktikan adanya; - tidak dapat dikenal apakah Allah benar-benar ada; - Allah tidak masuk, dan kepastian ini dapat dibuktikan juga.[2]

Oleh karenanya filsafat berusaha membuktikan keyakinan-keyakinan manusia itu melewati bermacam jalan; metafisika, empirisme, rasionalisme, positivisme, spiritualisme dan lain-lain.[2]

Teisme

Teisme adalah faham yang mempercayai hadirnya Tuhan.[2] Berasal dari bahasa Yunani Θεός=Teos dan νόμος=hukum=aturan=paham, sah sebuah perhitungan atau mengerti tentang Tuhan atau pengakuan hadirnya Tuhan.[2]

Di bawah ini beberapa pemikir yang mempercayai hadirnya Allah, maka dengan begitu mereka pasti orang beragama:

Santo Agustinus(354-430)

Santo Agustinus percaya bahwa Allah hadir dengan melihat sejarah dari drama penciptaan, yang melibatkan Allah dan manusia.[4] Allah membikin daratan sbg manusia, membikin manusia (Adam) yang berdosa melawan Allah.[4] Lalu Adam dan Hawa tidak diterima dari Taman Eden.[4] Akhir sesudah manusia mengembang, mereka berdosa semakin lagi dan dihukum dengan air bah dalam sejarah Nuh.[4] Orang-orang Yahudi yang diberikan akad Allah ternyata tidak dapat memeliharanya sehingga dihukum melewati bangsa-bangsa pautan.[4] Lalu Allah yang maha kasih menebus manusia melewati Yesus Kristus.[4] Dari sejarah ini Allah dapat selalu hadir di tengah-tengah manusia.[4] Memang Agustinus adalah Bapa gereja, Uskup dari Hippo yang membela eksistensi Allah dari pandangan-pandangan pautan yang mau meruntuhkan mengerti teisme.[4] Tuhan didefinisikan dari sifat-sifatnya; maha kenal, maha hadir, kekal, pencipta segala sesuatu.[4] Namun semakin lagi, Tuhan bukan hadir begitu saja, namun selalu terhubung dalam peristiwa-peristiwa akbar manusia.[4]

Thomas Aquinas (1225-1274)

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Santo Thomas Aquinas

Thomas Aquinas menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan Wahyu Kristen.[4] Kebenaran iman dan rasa pengalaman bukan hanya cocok, namun juga saling melengkapi; beberapa kebenaran, seperti misteri dan inkarnasi dapat dikenal melewati wahyu, sebagaimana ilmu dari wujud benda-benda di lingkungan kehidupan, dapan dikenal melewati rasa pengalaman; seperti kesadaran manusia akan eksistensi Allah, tidak memihak wahyu maupun rasa pengalaman dipakai sbg membentuk persepsi tentang hadirnya Allah.[4]

Thomas Aquinas terkenal dengan lima jalan (dalam Bahasa Latin; quinque viae ad deum) sbg mengetahui bahwa Allah benar-benar hadir.[4]

  • Jalan 1 adalah gerak, bahwa segala sesuatu memperagakan usaha, setiap gerakan pasti hadir yang menggerakkan, namun pasti hadir sesuatu yang menggerakkan sesuatu pautannya, namun tidak digerakkan oleh sesuatu pautannya, Dialah Allah.[4]
  • Jalan 2 adalah karena dampak, bahwa setiap dampak telah tersedia karenanya, namun hadir penyebab yang tidak diakibatkan, Dialah karena pertaman, Allah.[4]
  • Jalan 3 adalah keniscayaan, bahwa di lingkungan kehidupan ini hadir hal-hal yang bisa hadir dan hadir yang bisa tidak masuk (contohnya adalah benda-benda yang dahulu hadir ternyata hadir yang musnah, namun hadir juga yang dulu tidak masuk ternyata sekarang ada), namun hadir yang selalu hadir (niscaya) Dialah Allah.[4]
  • Jalan 4 adalah pembuktian berdasarkan derajat atau gradus melewati perbandingan, bahwa dari sifat-sifat yang hadir di lingkungan kehidupan ( yang baik-baik) ternyata hadir yang sangat tidak memihak yang tidak masuk tandingannya (sifat Allah yang serba maha) Dialah Allah.[4]

Jalan 5 adalah penyelenggaraan, bahwa segala ciptaan berakal budi telah tersedia tujuan yang terarah menuju yang terbaik, semua itu pastilah hadir yang mengaturnya, Dialah Allah.[4]

Descartes (1596-1650)

Rene Descartes memikirkan Tuhan berasal dari prinsip utamanya yang adalah “gabungan sela pietisme Katolik dan sains.[5]Descartes adalah seorang filsuf rasionalis yang terkenal dengan pemikiran ide Allah.[6] Tantangan yang mendorong Descartes adalah keragu-raguan radikalnya, The Methode of Doubt , bahkan menurutnya,"indera bisa saja menipu, Yang Maha Kuasa dalam gambaran kita juga bisa saja menipu, karena kita yang membayangkan". [7][6] Dalam menjawab skeptisisme orang-orang pada masanya, maka dalam tinggalnya di Neubau, akrab kota Ulm - Jerman, disebut sbg “perjalanan menara”, kata pautan dari meditasi yang dilakukan, dia menemukan Cogito, ergo sum tahun 1618.[1][6] Karena orang pada ratus tahunnya meragukan apa yang mereka lihat, maka hal ini dipatahkan oleh Descartes bahwa apa yang dipikirkan saja sebenarnya sudah hadir, minimal di pikiran.[6] Orang bisa menyangkal segala sesuatu, namun beliau tidak bisa menyangkal dirinya sendiri.[1] Sah Allah di sini juga demikian, Allah sudah hadir dengan sendirinya, bahkan semakin jauh Descartes mencari bukti-bukti empiris yang dia warisi dari para pendahulunya.[6]Keterbukaan sbg mengemukakan ide dalam pikiran, maka segala sesuatu yang dapat dipikirkan pasti bisa hadir.[1] Alkitab salah satu bukti eksistensi Allah, akhir juga relasi bahwa manusia, binatang, malaikat, dan obyek-obyek pautan hadir karena natural light yang adalah Allah sendiri.[6]

Filsafat Ketuhanan menurut Descartes adalah berawal dari fungsi iman, yang pada kesudahannya berguna sbg menemukan Allah. Tanpa iman manusia cenderung menolak Allah. Hadir dua hal yang bisa ditempuh supaya Saya sampai pada Allah:

  • Jalan yang pertama adalah karena dampak, bahwa dirinya sendiri (manusia) pasti diakibatkan oleh penyebab pertama, yaitu Allah.[1]
  • Jalan yang kedua adalah secara ontologis, yang diwarisinya dari Anselmus.[1] Allah yang hadir itu tidak mungkin berdiri sendiri, tanpa hadir kaitan dengan suatu entitas pautan, maka Allah pasti hadir dan bereksistensi.[1] Maka Allah yang hadir dalam ide Descartes sempurna sudah, bahwa Dia hadir dan dapat diandalkan dalam relasi dengan entitas pautannya itu.[1]

Imanuel Kant (1724-1804)

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Immanuel Kant dengan kata-kata "Langit berbintang di atasku dan hukum moral di batinku"

Nasihat Kant tentang Allah ditemui dalam hukum moralnya melewati beberapa tahap: 1. Allah adalah suara hati, 2. Allah adalah tujuan moralitas, 3. Allah adalah pribadi yang menjamin bahwa orang yang berperan tidak memihak demi kewajiban moral akan mengalami kebahagiaan sempurna.[1] Menurut Kant hadir tiga jalan sbg membuktikan hadirnya Allah di luar spekulasi belaka, dan hal ini dimungkinkan:

  • dimulai dari menganalisa pengalaman akhir menemui kualitas dari sense lingkungan kehidupan kita, lalu meningkat menjadi bukum kausalitas sampai penyebab di luar lingkungan kehidupan.[8]
  • berdasar hal pertama, kita sedang pada tataran pengalaman yang tidak bisa dikemukakan.[8]
  • di luar konsep-konsep itu, manusia memiliki a priori dalam rasionya, dan itu menjadi penyebab yang memang hadir.[8]

Lalu dari usaha dari pengalaman dianalisa dengan a priori (pemikiran awal sebelum membutktikan sesuatu) dalam otak kita, kita membagi tiga wujud ruang lingkup atas pengalaman; Psikologi-teologi, kosmologi dan ontologi.[8] Dari hal yang dialami (empiris) menuju transendensi; bahwa manusia hanya akan berspekulasi saja.[8] Kritik Kant terhadap Thomas Aquinas juga tentang hal-hal spekulatif, padahal Allah nyata hadirnya.[8] Di sini Kant akhir mengakui bahwa Allah sbg pemberi a priori dan pengalaman itu sendiri tidak terdapat dalam tidak memihak pengalaman maupun a priori, namun melampaui hal itu.[8] Maka Kant sangat terkenal dengan kata-katanya '"Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam batinku".[8] Di sinilah iman diperlukan, karena Allah pada kenyataannya tidak bisa dibuktikan hanya dengan pengalaman inderawi semata.[8] Allah melampaui hal-hal rasio murni.[8]

Hegel (1770-1831)

Hegel juga disebut filsuf idealisme Jerman.[9] Nasihat yang terkenal dari Hegel adalah dialektika, di mana hadir dua hal berlainan (bahkan kontras) yang berjumpa dan membentuk hal baru.[1] Pertama-tama Hegel membedakan sela rasio murni (dalam Kant) sbg kesadaran manusia, namun hadir yang semakin dari itu yaitu intelek. Intelek itu senantiasa mengerjakan kinerja rasio dan intelektualitas sehingga dialektika terus terjadi.[1] Roh Absolut yang adalah intelek itu memperagakan pekerjaan dan menyatakan dirinya dalam ronde sejarah manusia.[1] Pekerjaan Roh itu dapat sampai tujuannya dalam lingkungan kehidupan semesta ketika terjadi dialektika sela subjek dan objek, sela yang terbatas dan tidak terbatas, dan yang sangat bisa dipahami adalah sela yang imanen dan transenden.[1] Hegel berpendapat Allah di dalam agama Kristen juga memperagakan pekerjaan seperti peristiwa reformasi yang sebenarnya adalah peristiwa pemulih atau pengembali kondisi manusia pulih kembali.[1] Dari peristiwa-peristiwa itu maka Allah menurut Hegel dapat diartikan dalam tiga tahap: 1. Segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah adalah ronde perjalanan Roh (Allah) yang menemukan dirinya sendiri 2. Melewati manusia dengan kesadarannya, Roh itu menemukan dirinya (peristiwa revolusi oleh Napoleon misalny) 3. Sehingga terjadi keselarasan arah gerak manusia dan arah gerak Roh dalam emansipasi dan kebebasan manusia, sbg itu Roh akan memakai nama "Ingatan budi".[1] Namun Allah yang dikemukakan Hegel sebenarnya terikat pada manusia yang mengalami ronde dalam sejarah.[1]

Schleiermacher (1768-1834)

Schleiermacher adalah penganut Kant, namun untuknya Allah semakin tidak memihak tidak ditelaah dengan metafisika belaka, namun perlu dihayati kehadirannya, yaitu dengan kontemplasi.[1] Baginya, Allah yang tidak bisa ditangkap inderawi tidak bisa juga dilacak dengan rasio murni.[1] Istilah yang dipakai oleh Schleiermacher sbg Allah adalah "Sang Universum".[1] Bila Kant mengenal Allah sbg pemberi hukum moral yang melampaui rasionya, Schleiermacher menganggap Allah yang dimaksud Kant tidak memadai dalam kehidupan manusia, karena Allah hanya pemberi ganjaran kepada orang yang tidak memihak dan penghukum orang yang kurang tidak memihak.[1] Karena Allah, untuk Schleiermacher tidak mungkin memberi hukuman kekal kepada manusia lantaran beliau tidak sempurna, hal ini dikarenakan bahwa manusia diciptakan Allah bukan supaya beliau sempurna, melainkan supaya beliau berikhtiar sampai kesempurnaan itu.[1]

Scleiermacher mendekati Allah bukan dari teori spekulatif, bukan dengan pendekatan moral-praktis, melainkan pendekatan intuitif-batin, dalam bahasanya melewati kontemplasi dan perasaan.[1] "Di sinilah agama merenungkan Sang Universum, di dalam caranya mengekspresikan diri dan tindakannya, agama mau mendegarkan bisikan suara Sang Universum itu dengan khidmat,.... Dalam kepasifan anak-anak, agama mau ditangkap dan dipenuhi oleh kekuatan pengaruhnya"[1] Agama adalah Sang Universum sendiri.[1] Sang Universum ditangkap dari lingkungan kehidupan lingkungan kehidupan yang mamanifestasikannya.[1] Namun lingkungan kehidupan alam bukanlah Sang Universum yang berdiri sendiri, namun tetap memanifestasikan lingkungan kehidupan.[1] Pembedaan ini melaui dua tahap; 1. Lingkungan kehidupan adalah wahyu Allah, dan ditangkap oleh sanubari manusia, 2. wahyu yang semakin tinggi dan semakin tidak memihak adalah manusia yang menurut Schleiermacher tidak terbagi-bagi dan tidak terbatas, namun bereksistensi.[1] Dalam pokok isi kerangan umat manusia itulah Allah menyatakan diri, lingkungan kehidupan diresapi oleh Yang Ilahi.[1] Namun manusia bukanlah Allah sendiri.[1] Maka pekerjaan agama adalah mencari menemukan Allah yang hadir di luar dirinya.[1] Agama harus tinggal dengan pengalaman-pengalaman langsung sbg mencari Allah dan mencari keterhubungannya secara menyeluruh, bukan berfilosofi.[1]

Alfred North Whitehead (1861-1947)

Alfred North Whitehead dijuluki sbg bapak filsafat maupun teologi ronde.[1] Pemikirannya tergolong niskala karena pengaruh anggota yang digelutinya, matematika dan ilmu empirisme tentang lingkungan kehidupan yang didapatkannya dari fisika terapan.[1] Dalam bukunya tentang Bagaimana Agama Terjadi (1926) dia menyatakan;

"Dogma-dogma agama adalah upaya sbg memformulasikan secara presis kebenaran-kebenaran yang tersibak di dalam pengalaman religius umat manusia. Dengan cara yang sama dogma-dogma fisika (teori-teori, hukum, dan postulat) adalah upaya sbg memformulasikan secara presis kebenaran-kebenaran yang tersingkap di dalam pencerapan inderawi umat manusia. [1]
  • Filsafat Ronde Whitehead.

Filsafat rondenya memakai dua pendekatan; 1. Prinsip ronde, dan 2. Prinsip kreatifitas.[1]

Dari prinsip ini maka ronde dibedakan dalam dua: 1. Prinsip untuk ronde yang bersifat mikrokopis (konkresi) adalah asas yang memungkinkan lahirnya wujud aktual baru dari aktual-aktual lama yang sudah penuh.[1] 2. Prinsip untuk ronde yang bersifat makrokopis (objektifikasi) yang memungkinkan sesuatu yang sudah penuh berubah dan menjadi datum lagi.[1]

Prinsip kreatifitas itu disimpulkan secara logis berdasarkan analisisnya atas satua aktual sbg wujud ciptaannya.[1]

  • Allah dalam Filsafat ronde Whitehead

Ronde kreatifitas dan pembaruan dari satuan aktual-aktual terus terjadi, salah satu partisipannya adalah Allah, namun Dia yang sangat menonjol karena dia adalah yang awali dan yang akhiri.[1] 1. Yang awali : Allah memiliki dua peran sekaligus yaitu sbg dasar awali yangyk hadirnya tatanan dalam seluruh jagat raya dan sbg dasar munculnya kebaruan dalam perwujudan suatu peristiwa aktual.[1] 2. Yang akhiri: Allah sbg penyerta yang tanggap dan menyelamatkan.[1]

Sah Tuhan (Allah) untuk Whitehead memiliki 3 peran yang disebut di atas, dengan begitu dia bisa mengendalikan setiap perubahan yang terjadi atas aktual-aktual pautan dan mengakhirinya dengan tidak memihak.[1]

Deisme

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Deisme dianalogikan seperti Tukang Jam, yang membikin jam secara teratur dan membiarkannya berlanjut sendiri

Deisme adalah pandangan khas tentang Allah di masa Pencerahan, berasal dari deus yang gunanya Allah.[9] Namun pandangan ini berlainan dengan teisme, karena Allah dipercaya hanya pada masa penciptaan, berikutnya tidak mengadakan komunikasi dengan lingkungan kehidupan lagi karena lingkungan kehidupan yang sudah teratur dari semula.[9] Allah dianalogikan seperti pencipta arloji yang bisa berlanjut sangat teratur tanpa campur tangan penciptanya.[9] Sah Deisme hanya percaya Tuhan pertama kali, sesudah itu diasumsikan tidak masuk.[9] Mengerti ini diasumsikan sbg benih dari munculnya pandangan ateisme yang secara buka menyangkal hadirnya Tuhan.[9] Pandangan yang muncul pada seratus tahun 18 di Perancis.[9]

Agnostisisme

Agnostisisme adalah mengerti manusia yang tidak mau kenal atau tidak kenal tentang hadirnya Tuhan.[9] Namun hal ini semakin diakibatkan karena kebuntuan pemikiran sbg memberikan definisi Tuhan.[9] Untuk para filsuf ini, Tuhan di terletak di luar Jangkauan pemikiran manusia.[9]

Ateisme

Ateisme berari penyangkalan hadirnya Allah.[2] Namun guna tentang Allah yang disangkal hadirnya, pautan dengan pandagan semua orang, oleh karenanya guna ateisme berbeda-beda juga.[2] Lima model ateisme yang diuraikan Magnis Suseno adalah ateisme dalam diri Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud dan Jean Paul Sartre.[9]

Scientisme adalah anggota dari Ateisme

Scientisme, berdasarkan dengan dogma rasionalis, memandang inteligensi manusia sebgai ukuran seluruh inteligibilitas, scientisme membatasi rasionalisme sendiri dalam batas-batas ilmu saja, sehingga roh manusia sendiri direduksi sampai dimensi ilmiah saja.[3] Segala sesuatu dipandang sbg obyek yang dapat diukur, bahkan subyek pada kesudahannya nanti dibendakan juga.[3] Maka pada kesudahannya scientisme menolak metafisika, sehingga apa yang dipikirkan secara metafisik dibendakan begitu saja, dan ini adalah wujud ateisme.[3] Problem semakin lanjut adalah scientisme melawan pemikiran agama dan iman.[3] Hal ini terjadi pada masa Galilei yang mengemukakan tentang bumi yang diistilahkan geo-sentris.[3] Hal pautan yang akhir muncul juga pada Charles Darwin dengan teori evolusi yang menyangkal kisah penciptaan manusia dalam naskah Alkitab.[3]

Ludwig Feuerbach

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Ludwig Feuerbach

Ateisme menurut Feuerbach (1804-1872) adalah memandang Tuhan dalam agama hanya sbg proyeksi dari keinginan manusia saja.[9] Dia menolak pandangan Hegel yang menyatakan Tuhan mengungkapkan diri dalam kesadaran manusia.[9] Baginya, yang nyata bukan lah Tuhan, yang nyata adalah manusia.[9] Tuhan hanyalah proyeksi manusia yang mendamba sifat-sifat yang tidak dapat dicapainya.[9] Keinginan manusia sbg berkuasa, serba kenal, hadir di mana-mana, dan bebas masa itu akhir dilemparkannya pada "hal lain" yang adalah Tuhan.[9] Karena ketentuan yang nyata adalah yang dapat di tangkap inderawi, yaitu realitas manusia.[9] Pandangan seperti ini nanti akan masuk dalam filsafat meterialisme.[9] Kegunaan pandangan Feuerbach ini adalah menyatakan hakekat manusia sbg kreatif, berbelas kasih, tidak memihak, saling menyelamatkan dsb-nya.[9] Tidak seperti biasa bila manusia menyembah Tuhan yang adalah dirinya sendiri, maka manusia seharusnya menarik agama ke dalam dirinya sendiri supaya beliau menjadi kuat, tidak memihak, tidak sewenang-wenang dana maha kenal.[9]

Karl Marx

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Karl Marx terkenal dengan Agama adalah candu warga

Menurut Karl Marx, agama adalah candu warga, karena agama, warga menjadi tidak maju dan bersikap rasional.[9]Agama yang dimaksud Marx adalah agama Kristen Ateisme yang diajarkan Marx adalah ateisme modern.[2]Agama yang mengajarkan Tuhan yang serba bisa hanya menipu dan menyesatkan warga.[9] Marx mengkritik Feuerbach yang hanya menyatakan bahwa Tuhan adalah khayalan, namun tidak mencari karenanya.[9] Untuk Marx karena yang diberikan adalah manusia lari kepada Tuhan karena penindasan yang mereka terima dari warga kelas yang dikritiknya.[9] Menurutnya agama hanya menjadi penghalang manusia sbg menyangkal dan menjadikan semakin baik hidupnya yang sedang ditindas, kalau Tuhan dan agama tidak masuk, maka manusia bisa hidup lepas sama sekali dan bermartabat.[9] Di sinilah Tuhan sekiranya dicoret karena tidak diperlukan.[9] Manusia seharusnya menolak kapitalisme yang sedang menindas mereka.[9]

Sigmund Freud

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Sigmund Freud, mencari Tuhan dari psikoanalis

Filsafat Ketuhanan dalam pandangan Sigmund Freud dengan terori psikoanalisnya dimulai dengan pertanyaan, "Apakah keyakinan akan Allah dapat dipertanggungjawabkan?"[2] Hal ini berawal dari analisanya tentang perkembangan manusia yang mempercayai agama yang terkadang tidak mencari kebenaran-kebenaran di dalamnya.[2] Manusia yang hanya menerima begitu saja agama-agama yang diajarkan kepadanya.[2] Ide Allah hanyalah ilusi, namun begitu dibutuhkan manusia seperti seorang manusia yang membutuhkan seorang bapak yang melindunginya.[2] Namun Freud mengajukan pertanyaan berikutnya, "Apakah agama benar-benar tidak memihak untuk manusia?"[2] Jawabannya adalah ambigu.[2] Yang ditekankan olehnya adalah seharusnya manusia berdiskusi akan imannya sehingga dia tidak terjebak dalam bentuk-bentuk infantil dan neurotis.[2] Pendk kata, Freud tidak memperdebatkan realitas Allah, namun semakin mengupas ilusi palsu kesadaran manusia.[2] Karena berdiskusi, maka sesungguhnya penjelasan yang diberitahukan agama tidaklah memadai, Allah tidak bisa dikemukakan dalam intelektual, sehingga perlu tidak diterima juga.[2] Terlebih lagi bila dicari gunanya, agama hanya sbg penghambat perkembangan pribadi, maka harus pula tidak diterima.[2]

Friedrich Nietzsche (1844-1899)

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Friedrich Nietzsche sangat terkenal dengan Sabda Zarathustra (1883) bahwa "Tuhan telah mati".[4] Inilah awal mula penolakannya terhadap Tuhan.[4] Penolakannya terhadap Tuhan sebenarnya berasal dari kebenciannya melihat orang Kristen yang tidak menunjukkan kekristenan yang seharusnya menampilkan kasih.[4] Kebenaran untuk dia sangat subyektif, dipikirkan manusia yang sangat super kekuasaannya terhadap dirinya sendiri.[4] Subyektivitas itu juga dalam hal kebenaran agama, apa yang disebut tidak memihak bisa saja sebenarnya sangat buruk, apa yang disebut buruk bisa saja sebenarnya sangat tidak memihak.[4]Agama Kristen diasumsikan oleh Nietzsche sbg wujud Platonisme baru yang memisahkan sela lingkungan kehidupan, kosmologi, materi dan apa yang dapat ditangkap oleh pancaindera.[3] Dari sini keburukan Kristen kata Nietzsche dipandang meremehkan hal-hal duniawi, terlihat seperti gnosis yang meremehkan hidup (tubuh, lingkungan kehidupan, hawa nafsu) sehingga adalah hasrat akan kehampaan, keinginan akan dekadensi, sbg penyakit, kelesuah dan kepayahan hidup.[3] Hal ini ditujukan kepada agama [Kristen]] yang memiliki label tidak memihak, sebenarnya sangatlah buruk, yaitu dengan ajaran-ajarannya yang sebenarnya membelenggu manusia sbg mengembang.[4] Untuk dia, manusia adalah ukuran segala sesuatu, bukan Tuhan yang disebut agama Kristen.[4] Manusialah tuhan atas ciptaan ini dan yang mampu mengerjakan apa yang dimohonnya.[4] Maka penolakan akan Tuhan adalah hal yang sangat tidak memihak, karena manusia menjadi tidak bergantung pada Allah (Kristen) yang hanya membelenggu manusia itu, katanya.[4]

J. Paul Sartre (1905-1980)

Tuhan di mata Sartre kecil adalah sosok penghukum yang mengawasinya di manapun dia terletak, oleh karenanya dia tidak suka kehadiran Tuhan.[10] Tuhan juga tidak masuk ketika dia mau menemuinya.[10] Oleh karenanya Sartre sudah menolak Tuhan yang tidak nyata semenjak usia 12 tahun.[10] Sartre yang tadi dididik secara Katolik berpindah kepada kesusastraan, yang disebut sbg agama baru untuknya.[10] Namun secara sistematis, dan khas eksistesialis, penolakan atas Tuhan ini dilakukannya karena pemisahan radikal dalam tulisannya Hadir dan Ketiadaan terjemahan dari Being and Nothingness.[10] Baginya, di lingkungan kehidupan ini tidak masuk grand design yang mutlak, manusialah yang bisa mengatur dirinya sendiri dengan eksistensinya.[4] Eksistensi manusia mendahului esensinya; manusia hadir dan akhir menentukan "siapa dirinya".[4] Dia menyangkal Descartes tentang Saya berpikir, maka saya hadir, yang tidak memihak adalah Saya hadir lalu saya berpikir.[4] Dari sinilah dia meneruskannya dalam teori eksistensial fenomenologisnya, bahwa segala sesuatu harus dipisahkan dalam dua bagian; etre en soi / hadir dalam dirinya sendiri atau etre-pour soi / hadir sbg dirinya sendiri.[10] Segala sesuatu yang hadir dalam dirinya sendiri berfaedah tidak pasif, tidak giat, tidak afirmatif juga tidak negatif, hadir begitu saja, tanpa fundamen, tanpa dapat dirutunkan dari sesuatu pautan, tidak mengembang.[10] Sedangkan hadir sbg dirinya sendiri adalah sebuah kesadaran], dan ini khas manusia.[10] Dari pemisahan inilah, dia melabel Tuhan orang Kristen yang tidak berubah itu masuk dalam golongan hadir dalam dirinya sendiri, maka dari itu dia tidak semakin akbar dari manusia yang memiliki kesadaran sbg menentukan esensinya sendiri.[10] Di sinilah penyangkalan Tuhan itu terjadi, dia tidak mengakui Tuhan semakin tinggi dari manusia, maka Tuhan tidak diperlukan lagi.[10] Karena Tuhan tidak lagi hadir, maka manusia menjadi lepas sama sekali dan bisa menentukan kondisi bangsanya.[10] Di sinilah nilai positif Sartre yang akhir menghabiskan seluruh pokok isi kerangan hidupnya sbg kegunaan manusia (gerakan sosial).[10] Bahkan dia pernah memenangi nobel perdamaian karena pengabdiannya terhadap kemanusiaan, namun tidak diterimanya.[10][4]

Lihat juga

  • Daftar Istilah Filsafat
  • Daftar Filsuf
  • Filsafat Indonesia

referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au Tjahyadi. S.P Lili., Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius 2007
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y (Indonesia)Theo Huijbers., Manusia mencari ALLAH suatu Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1977
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o (Indonesia)Louis Leahy., Masalah Ketuhanan Dewasa Ini., Yogyakarta: Kanisius, 1982
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af (Inggris)Moris Engel and Engelica Soldan., The Study of Philosophy, USA: Rowman & Litlefield Publisher, Inc, 2008
  5. ^ John Veitch., A Discourse on Method – Meditation and Principles, Everyman’s Library 1912 halaman vii
  6. ^ a b c d e f (Inggris) The Miracle of Theism, USA; Oxford University Press, 1982
  7. ^ Skirry. Justin., Descartes for the Perplexed, British, 2008 Hlm 24,
  8. ^ a b c d e f g h i j (Inggris)Diogenes Allen and Eric O. Springsted., Primary Readings in Philosophy for Understanding Theology, USA: John Knox Press, 1992
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa (Indonesia)Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius 2006
  10. ^ a b c d e f g h i j k l m (Indonesia) K Bertens., Filsafat Barat Kontemporer - Perancis, Jakarta: Gramedia, 2001


edunitas.com


Page 8

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan kebiasaan, yaitu memakai apa yang disebut sbg pendekatan filosofis.[1] Untuk orang yang menganut agama tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya.[1] Sah Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan kebiasaan tentang Tuhan.[1] Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah sbg menemukan Tuhan secara absolut atau mutlak, namun mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan untuk manusia sbg sampai pada kebenaran tentang Tuhan.[2]

Penelitian tentang Allah dalam Ilmu Filsafat

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Tuhan dalam gambaran "kubus" dalam judul Tuhan tidak sah pemain dadu : Tuhan menciptkan lingkungan kehidupan penuh

Penelaahan tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut teologi filosofi.[3] Hal ini bukan menyelidiki tentang Allah sbg obyek, namun eksistensi lingkungan kehidupan semesta, yakni makhluk yang diciptakan, karena Allah dipandang semata-mata sbg kausa pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri, Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise.[3] Sah pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat.[3] Namun pendapat ini tidak diterima oleh para agamawan, karena dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman.[3] Maka ditempuhlah cara ilmiah sbg membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat pautannya (Filsafat manusia, filsafat lingkungan kehidupan dll).[3] Maka para filsuf memberikan definisinya sbg usaha yang dilakukan sbg menilai dengan semakin tidak memihak, dan secara refleksif, realitas sangat tinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan gambaran Allah melewati sekitar diri kita.[3]

Agama : Studi tentang tabiat Allah dan keyakinan

Ide tentang Allah pada orang beragama secara umum kebanyakan dikemukakan dalam tabiat Allah; "Yang Maha Tinggi" (Anselmus mengatakan: "Allah adalah sesuatu yang semakin akbar dari padanya tidak dapat dipikirkan manusia)Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tidak memihak dan sbgnya.[3][4][1] Menurut Anselmus, ajaran-ajaran kristiani bisa dikembangkan dengan rasional, sah tanpa bantuan otoritas pautan (Kitab Suci, wahyu, nasihat Bapa Gereja).[1] Bahkan beliau bisa menjelaskan eksistensi Allah dengan suatu alasan yang bisa diterima bahkan juga oleh mereka yang tidak beriman.[1] Eksistensi Allah dimulai dari pikiran manusia yang menerima begitu saja nasihat agama, namun juga menanyakannya dari siapa dan mengapa dirinya hadir, lingkungan kehidupan lingkungan kehidupan, dan Allah sendiri bisa diterima hadirnya.[2]

Beberapa sikap orang beriman dalam mencari pencerahan akan hadirnya Allah:

  • Manusia yang menerima begitu saja dikarenakan nasihat turun-temurun dari para pendahulunya, manusia ditekankan harus percaya, bahkan tanpa berdiskusi.[2]
  • Manusia mulai berdiskusi mengapa dirinya ada?[2] Mengapa lingkungan kehidupan ada?[2]
  • Akhir menanyakan Allah terkait; siapa, pokoknya, dan mengapa Dia ada?[2]

Semua jawaban itu akan dijawab oleh para mahir dalam anggota yang disebut teologi; theos dan logos, ilmu tentang hubungan manusia dan ciptaan dengan Allah.[2] Jawaban-jawabannya bisa sangat beragam, tergantung agama dan keyakinan yang mana yang memberikan jawaban.[2] Namun setidaknya hadir beberapa kesimpulan yang mereka berikan sbg jawaban:

- Allah hadir, dan hadirnya Allah itu dapat dibuktikan secara rasional juga; - Allah hadir, tetapi tidak dapat dibuktikan adanya; - tidak dapat dikenal apakah Allah benar-benar ada; - Allah tidak masuk, dan kepastian ini dapat dibuktikan juga.[2]

Oleh karenanya filsafat berusaha membuktikan keyakinan-keyakinan manusia itu melewati bermacam jalan; metafisika, empirisme, rasionalisme, positivisme, spiritualisme dan lain-lain.[2]

Teisme

Teisme adalah faham yang mempercayai hadirnya Tuhan.[2] Berasal dari bahasa Yunani Θεός=Teos dan νόμος=hukum=aturan=paham, sah sebuah perhitungan atau mengerti tentang Tuhan atau pengakuan hadirnya Tuhan.[2]

Di bawah ini beberapa pemikir yang mempercayai hadirnya Allah, maka dengan begitu mereka pasti orang beragama:

Santo Agustinus(354-430)

Santo Agustinus percaya bahwa Allah hadir dengan melihat sejarah dari drama penciptaan, yang melibatkan Allah dan manusia.[4] Allah membikin daratan sbg manusia, membikin manusia (Adam) yang berdosa melawan Allah.[4] Lalu Adam dan Hawa tidak diterima dari Taman Eden.[4] Akhir sesudah manusia mengembang, mereka berdosa semakin lagi dan dihukum dengan air bah dalam sejarah Nuh.[4] Orang-orang Yahudi yang diberikan akad Allah ternyata tidak dapat memeliharanya sehingga dihukum melewati bangsa-bangsa pautan.[4] Lalu Allah yang maha kasih menebus manusia melewati Yesus Kristus.[4] Dari sejarah ini Allah dapat selalu hadir di tengah-tengah manusia.[4] Memang Agustinus adalah Bapa gereja, Uskup dari Hippo yang membela eksistensi Allah dari pandangan-pandangan pautan yang mau meruntuhkan mengerti teisme.[4] Tuhan didefinisikan dari sifat-sifatnya; maha kenal, maha hadir, kekal, pencipta segala sesuatu.[4] Namun semakin lagi, Tuhan bukan hadir begitu saja, namun selalu terhubung dalam peristiwa-peristiwa akbar manusia.[4]

Thomas Aquinas (1225-1274)

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Santo Thomas Aquinas

Thomas Aquinas menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan Wahyu Kristen.[4] Kebenaran iman dan rasa pengalaman bukan hanya cocok, namun juga saling melengkapi; beberapa kebenaran, seperti misteri dan inkarnasi dapat dikenal melewati wahyu, sebagaimana ilmu dari wujud benda-benda di lingkungan kehidupan, dapan dikenal melewati rasa pengalaman; seperti kesadaran manusia akan eksistensi Allah, tidak memihak wahyu maupun rasa pengalaman dipakai sbg membentuk persepsi tentang hadirnya Allah.[4]

Thomas Aquinas terkenal dengan lima jalan (dalam Bahasa Latin; quinque viae ad deum) sbg mengetahui bahwa Allah benar-benar hadir.[4]

  • Jalan 1 adalah gerak, bahwa segala sesuatu memperagakan usaha, setiap gerakan pasti hadir yang menggerakkan, namun pasti hadir sesuatu yang menggerakkan sesuatu pautannya, namun tidak digerakkan oleh sesuatu pautannya, Dialah Allah.[4]
  • Jalan 2 adalah karena dampak, bahwa setiap dampak telah tersedia karenanya, namun hadir penyebab yang tidak diakibatkan, Dialah karena pertaman, Allah.[4]
  • Jalan 3 adalah keniscayaan, bahwa di lingkungan kehidupan ini hadir hal-hal yang bisa hadir dan hadir yang bisa tidak masuk (contohnya adalah benda-benda yang dahulu hadir ternyata hadir yang musnah, namun hadir juga yang dulu tidak masuk ternyata sekarang ada), namun hadir yang selalu hadir (niscaya) Dialah Allah.[4]
  • Jalan 4 adalah pembuktian berdasarkan derajat atau gradus melewati perbandingan, bahwa dari sifat-sifat yang hadir di lingkungan kehidupan ( yang baik-baik) ternyata hadir yang sangat tidak memihak yang tidak masuk tandingannya (sifat Allah yang serba maha) Dialah Allah.[4]

Jalan 5 adalah penyelenggaraan, bahwa segala ciptaan berakal budi telah tersedia tujuan yang terarah menuju yang terbaik, semua itu pastilah hadir yang mengaturnya, Dialah Allah.[4]

Descartes (1596-1650)

Rene Descartes memikirkan Tuhan berasal dari prinsip utamanya yang adalah “gabungan sela pietisme Katolik dan sains.[5]Descartes adalah seorang filsuf rasionalis yang terkenal dengan pemikiran ide Allah.[6] Tantangan yang mendorong Descartes adalah keragu-raguan radikalnya, The Methode of Doubt , bahkan menurutnya,"indera bisa saja menipu, Yang Maha Kuasa dalam gambaran kita juga bisa saja menipu, karena kita yang membayangkan". [7][6] Dalam menjawab skeptisisme orang-orang pada masanya, maka dalam tinggalnya di Neubau, akrab kota Ulm - Jerman, disebut sbg “perjalanan menara”, kata pautan dari meditasi yang dilakukan, dia menemukan Cogito, ergo sum tahun 1618.[1][6] Karena orang pada ratus tahunnya meragukan apa yang mereka lihat, maka hal ini dipatahkan oleh Descartes bahwa apa yang dipikirkan saja sebenarnya sudah hadir, minimal di pikiran.[6] Orang bisa menyangkal segala sesuatu, namun beliau tidak bisa menyangkal dirinya sendiri.[1] Sah Allah di sini juga demikian, Allah sudah hadir dengan sendirinya, bahkan semakin jauh Descartes mencari bukti-bukti empiris yang dia warisi dari para pendahulunya.[6]Keterbukaan sbg mengemukakan ide dalam pikiran, maka segala sesuatu yang dapat dipikirkan pasti bisa hadir.[1] Alkitab salah satu bukti eksistensi Allah, akhir juga relasi bahwa manusia, binatang, malaikat, dan obyek-obyek pautan hadir karena natural light yang adalah Allah sendiri.[6]

Filsafat Ketuhanan menurut Descartes adalah berawal dari fungsi iman, yang pada kesudahannya berguna sbg menemukan Allah. Tanpa iman manusia cenderung menolak Allah. Hadir dua hal yang bisa ditempuh supaya Saya sampai pada Allah:

  • Jalan yang pertama adalah karena dampak, bahwa dirinya sendiri (manusia) pasti diakibatkan oleh penyebab pertama, yaitu Allah.[1]
  • Jalan yang kedua adalah secara ontologis, yang diwarisinya dari Anselmus.[1] Allah yang hadir itu tidak mungkin berdiri sendiri, tanpa hadir kaitan dengan suatu entitas pautan, maka Allah pasti hadir dan bereksistensi.[1] Maka Allah yang hadir dalam ide Descartes sempurna sudah, bahwa Dia hadir dan dapat diandalkan dalam relasi dengan entitas pautannya itu.[1]

Imanuel Kant (1724-1804)

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Immanuel Kant dengan kata-kata "Langit berbintang di atasku dan hukum moral di batinku"

Nasihat Kant tentang Allah ditemui dalam hukum moralnya melewati beberapa tahap: 1. Allah adalah suara hati, 2. Allah adalah tujuan moralitas, 3. Allah adalah pribadi yang menjamin bahwa orang yang berperan tidak memihak demi kewajiban moral akan mengalami kebahagiaan sempurna.[1] Menurut Kant hadir tiga jalan sbg membuktikan hadirnya Allah di luar spekulasi belaka, dan hal ini dimungkinkan:

  • dimulai dari menganalisa pengalaman akhir menemui kualitas dari sense lingkungan kehidupan kita, lalu meningkat menjadi bukum kausalitas sampai penyebab di luar lingkungan kehidupan.[8]
  • berdasar hal pertama, kita sedang pada tataran pengalaman yang tidak bisa dikemukakan.[8]
  • di luar konsep-konsep itu, manusia memiliki a priori dalam rasionya, dan itu menjadi penyebab yang memang hadir.[8]

Lalu dari usaha dari pengalaman dianalisa dengan a priori (pemikiran awal sebelum membutktikan sesuatu) dalam otak kita, kita membagi tiga wujud ruang lingkup atas pengalaman; Psikologi-teologi, kosmologi dan ontologi.[8] Dari hal yang dialami (empiris) menuju transendensi; bahwa manusia hanya akan berspekulasi saja.[8] Kritik Kant terhadap Thomas Aquinas juga tentang hal-hal spekulatif, padahal Allah nyata hadirnya.[8] Di sini Kant akhir mengakui bahwa Allah sbg pemberi a priori dan pengalaman itu sendiri tidak terdapat dalam tidak memihak pengalaman maupun a priori, namun melampaui hal itu.[8] Maka Kant sangat terkenal dengan kata-katanya '"Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam batinku".[8] Di sinilah iman diperlukan, karena Allah pada kenyataannya tidak bisa dibuktikan hanya dengan pengalaman inderawi semata.[8] Allah melampaui hal-hal rasio murni.[8]

Hegel (1770-1831)

Hegel juga disebut filsuf idealisme Jerman.[9] Nasihat yang terkenal dari Hegel adalah dialektika, di mana hadir dua hal berlainan (bahkan kontras) yang berjumpa dan membentuk hal baru.[1] Pertama-tama Hegel membedakan sela rasio murni (dalam Kant) sbg kesadaran manusia, namun hadir yang semakin dari itu yaitu intelek. Intelek itu senantiasa mengerjakan kinerja rasio dan intelektualitas sehingga dialektika terus terjadi.[1] Roh Absolut yang adalah intelek itu memperagakan pekerjaan dan menyatakan dirinya dalam ronde sejarah manusia.[1] Pekerjaan Roh itu dapat sampai tujuannya dalam lingkungan kehidupan semesta ketika terjadi dialektika sela subjek dan objek, sela yang terbatas dan tidak terbatas, dan yang sangat bisa dipahami adalah sela yang imanen dan transenden.[1] Hegel berpendapat Allah di dalam agama Kristen juga memperagakan pekerjaan seperti peristiwa reformasi yang sebenarnya adalah peristiwa pemulih atau pengembali kondisi manusia pulih kembali.[1] Dari peristiwa-peristiwa itu maka Allah menurut Hegel dapat diartikan dalam tiga tahap: 1. Segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah adalah ronde perjalanan Roh (Allah) yang menemukan dirinya sendiri 2. Melewati manusia dengan kesadarannya, Roh itu menemukan dirinya (peristiwa revolusi oleh Napoleon misalny) 3. Sehingga terjadi keselarasan arah gerak manusia dan arah gerak Roh dalam emansipasi dan kebebasan manusia, sbg itu Roh akan memakai nama "Ingatan budi".[1] Namun Allah yang dikemukakan Hegel sebenarnya terikat pada manusia yang mengalami ronde dalam sejarah.[1]

Schleiermacher (1768-1834)

Schleiermacher adalah penganut Kant, namun untuknya Allah semakin tidak memihak tidak ditelaah dengan metafisika belaka, namun perlu dihayati kehadirannya, yaitu dengan kontemplasi.[1] Baginya, Allah yang tidak bisa ditangkap inderawi tidak bisa juga dilacak dengan rasio murni.[1] Istilah yang dipakai oleh Schleiermacher sbg Allah adalah "Sang Universum".[1] Bila Kant mengenal Allah sbg pemberi hukum moral yang melampaui rasionya, Schleiermacher menganggap Allah yang dimaksud Kant tidak memadai dalam kehidupan manusia, karena Allah hanya pemberi ganjaran kepada orang yang tidak memihak dan penghukum orang yang kurang tidak memihak.[1] Karena Allah, untuk Schleiermacher tidak mungkin memberi hukuman kekal kepada manusia lantaran beliau tidak sempurna, hal ini dikarenakan bahwa manusia diciptakan Allah bukan supaya beliau sempurna, melainkan supaya beliau berikhtiar sampai kesempurnaan itu.[1]

Scleiermacher mendekati Allah bukan dari teori spekulatif, bukan dengan pendekatan moral-praktis, melainkan pendekatan intuitif-batin, dalam bahasanya melewati kontemplasi dan perasaan.[1] "Di sinilah agama merenungkan Sang Universum, di dalam caranya mengekspresikan diri dan tindakannya, agama mau mendegarkan bisikan suara Sang Universum itu dengan khidmat,.... Dalam kepasifan anak-anak, agama mau ditangkap dan dipenuhi oleh kekuatan pengaruhnya"[1] Agama adalah Sang Universum sendiri.[1] Sang Universum ditangkap dari lingkungan kehidupan lingkungan kehidupan yang mamanifestasikannya.[1] Namun lingkungan kehidupan alam bukanlah Sang Universum yang berdiri sendiri, namun tetap memanifestasikan lingkungan kehidupan.[1] Pembedaan ini melaui dua tahap; 1. Lingkungan kehidupan adalah wahyu Allah, dan ditangkap oleh sanubari manusia, 2. wahyu yang semakin tinggi dan semakin tidak memihak adalah manusia yang menurut Schleiermacher tidak terbagi-bagi dan tidak terbatas, namun bereksistensi.[1] Dalam pokok isi kerangan umat manusia itulah Allah menyatakan diri, lingkungan kehidupan diresapi oleh Yang Ilahi.[1] Namun manusia bukanlah Allah sendiri.[1] Maka pekerjaan agama adalah mencari menemukan Allah yang hadir di luar dirinya.[1] Agama harus tinggal dengan pengalaman-pengalaman langsung sbg mencari Allah dan mencari keterhubungannya secara menyeluruh, bukan berfilosofi.[1]

Alfred North Whitehead (1861-1947)

Alfred North Whitehead dijuluki sbg bapak filsafat maupun teologi ronde.[1] Pemikirannya tergolong niskala karena pengaruh anggota yang digelutinya, matematika dan ilmu empirisme tentang lingkungan kehidupan yang didapatkannya dari fisika terapan.[1] Dalam bukunya tentang Bagaimana Agama Terjadi (1926) dia menyatakan;

"Dogma-dogma agama adalah upaya sbg memformulasikan secara presis kebenaran-kebenaran yang tersibak di dalam pengalaman religius umat manusia. Dengan cara yang sama dogma-dogma fisika (teori-teori, hukum, dan postulat) adalah upaya sbg memformulasikan secara presis kebenaran-kebenaran yang tersingkap di dalam pencerapan inderawi umat manusia. [1]
  • Filsafat Ronde Whitehead.

Filsafat rondenya memakai dua pendekatan; 1. Prinsip ronde, dan 2. Prinsip kreatifitas.[1]

Dari prinsip ini maka ronde dibedakan dalam dua: 1. Prinsip untuk ronde yang bersifat mikrokopis (konkresi) adalah asas yang memungkinkan lahirnya wujud aktual baru dari aktual-aktual lama yang sudah penuh.[1] 2. Prinsip untuk ronde yang bersifat makrokopis (objektifikasi) yang memungkinkan sesuatu yang sudah penuh berubah dan menjadi datum lagi.[1]

Prinsip kreatifitas itu disimpulkan secara logis berdasarkan analisisnya atas satua aktual sbg wujud ciptaannya.[1]

  • Allah dalam Filsafat ronde Whitehead

Ronde kreatifitas dan pembaruan dari satuan aktual-aktual terus terjadi, salah satu partisipannya adalah Allah, namun Dia yang sangat menonjol karena dia adalah yang awali dan yang akhiri.[1] 1. Yang awali : Allah memiliki dua peran sekaligus yaitu sbg dasar awali yangyk hadirnya tatanan dalam seluruh jagat raya dan sbg dasar munculnya kebaruan dalam perwujudan suatu peristiwa aktual.[1] 2. Yang akhiri: Allah sbg penyerta yang tanggap dan menyelamatkan.[1]

Sah Tuhan (Allah) untuk Whitehead memiliki 3 peran yang disebut di atas, dengan begitu dia bisa mengendalikan setiap perubahan yang terjadi atas aktual-aktual pautan dan mengakhirinya dengan tidak memihak.[1]

Deisme

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Deisme dianalogikan seperti Tukang Jam, yang membikin jam secara teratur dan membiarkannya berlanjut sendiri

Deisme adalah pandangan khas tentang Allah di masa Pencerahan, berasal dari deus yang gunanya Allah.[9] Namun pandangan ini berlainan dengan teisme, karena Allah dipercaya hanya pada masa penciptaan, berikutnya tidak mengadakan komunikasi dengan lingkungan kehidupan lagi karena lingkungan kehidupan yang sudah teratur dari semula.[9] Allah dianalogikan seperti pencipta arloji yang bisa berlanjut sangat teratur tanpa campur tangan penciptanya.[9] Sah Deisme hanya percaya Tuhan pertama kali, sesudah itu diasumsikan tidak masuk.[9] Mengerti ini diasumsikan sbg benih dari munculnya pandangan ateisme yang secara buka menyangkal hadirnya Tuhan.[9] Pandangan yang muncul pada seratus tahun 18 di Perancis.[9]

Agnostisisme

Agnostisisme adalah mengerti manusia yang tidak mau kenal atau tidak kenal tentang hadirnya Tuhan.[9] Namun hal ini semakin diakibatkan karena kebuntuan pemikiran sbg memberikan definisi Tuhan.[9] Untuk para filsuf ini, Tuhan di terletak di luar Jangkauan pemikiran manusia.[9]

Ateisme

Ateisme berari penyangkalan hadirnya Allah.[2] Namun guna tentang Allah yang disangkal hadirnya, pautan dengan pandagan semua orang, oleh karenanya guna ateisme berbeda-beda juga.[2] Lima model ateisme yang diuraikan Magnis Suseno adalah ateisme dalam diri Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud dan Jean Paul Sartre.[9]

Scientisme adalah anggota dari Ateisme

Scientisme, berdasarkan dengan dogma rasionalis, memandang inteligensi manusia sebgai ukuran seluruh inteligibilitas, scientisme membatasi rasionalisme sendiri dalam batas-batas ilmu saja, sehingga roh manusia sendiri direduksi sampai dimensi ilmiah saja.[3] Segala sesuatu dipandang sbg obyek yang dapat diukur, bahkan subyek pada kesudahannya nanti dibendakan juga.[3] Maka pada kesudahannya scientisme menolak metafisika, sehingga apa yang dipikirkan secara metafisik dibendakan begitu saja, dan ini adalah wujud ateisme.[3] Problem semakin lanjut adalah scientisme melawan pemikiran agama dan iman.[3] Hal ini terjadi pada masa Galilei yang mengemukakan tentang bumi yang diistilahkan geo-sentris.[3] Hal pautan yang akhir muncul juga pada Charles Darwin dengan teori evolusi yang menyangkal kisah penciptaan manusia dalam naskah Alkitab.[3]

Ludwig Feuerbach

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Ludwig Feuerbach

Ateisme menurut Feuerbach (1804-1872) adalah memandang Tuhan dalam agama hanya sbg proyeksi dari keinginan manusia saja.[9] Dia menolak pandangan Hegel yang menyatakan Tuhan mengungkapkan diri dalam kesadaran manusia.[9] Baginya, yang nyata bukan lah Tuhan, yang nyata adalah manusia.[9] Tuhan hanyalah proyeksi manusia yang mendamba sifat-sifat yang tidak dapat dicapainya.[9] Keinginan manusia sbg berkuasa, serba kenal, hadir di mana-mana, dan bebas masa itu akhir dilemparkannya pada "hal lain" yang adalah Tuhan.[9] Karena ketentuan yang nyata adalah yang dapat di tangkap inderawi, yaitu realitas manusia.[9] Pandangan seperti ini nanti akan masuk dalam filsafat meterialisme.[9] Kegunaan pandangan Feuerbach ini adalah menyatakan hakekat manusia sbg kreatif, berbelas kasih, tidak memihak, saling menyelamatkan dsb-nya.[9] Tidak seperti biasa bila manusia menyembah Tuhan yang adalah dirinya sendiri, maka manusia seharusnya menarik agama ke dalam dirinya sendiri supaya beliau menjadi kuat, tidak memihak, tidak sewenang-wenang dana maha kenal.[9]

Karl Marx

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Karl Marx terkenal dengan Agama adalah candu warga

Menurut Karl Marx, agama adalah candu warga, karena agama, warga menjadi tidak maju dan bersikap rasional.[9]Agama yang dimaksud Marx adalah agama Kristen Ateisme yang diajarkan Marx adalah ateisme modern.[2]Agama yang mengajarkan Tuhan yang serba bisa hanya menipu dan menyesatkan warga.[9] Marx mengkritik Feuerbach yang hanya menyatakan bahwa Tuhan adalah khayalan, namun tidak mencari karenanya.[9] Untuk Marx karena yang diberikan adalah manusia lari kepada Tuhan karena penindasan yang mereka terima dari warga kelas yang dikritiknya.[9] Menurutnya agama hanya menjadi penghalang manusia sbg menyangkal dan menjadikan semakin baik hidupnya yang sedang ditindas, kalau Tuhan dan agama tidak masuk, maka manusia bisa hidup lepas sama sekali dan bermartabat.[9] Di sinilah Tuhan sekiranya dicoret karena tidak diperlukan.[9] Manusia seharusnya menolak kapitalisme yang sedang menindas mereka.[9]

Sigmund Freud

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Sigmund Freud, mencari Tuhan dari psikoanalis

Filsafat Ketuhanan dalam pandangan Sigmund Freud dengan terori psikoanalisnya dimulai dengan pertanyaan, "Apakah keyakinan akan Allah dapat dipertanggungjawabkan?"[2] Hal ini berawal dari analisanya tentang perkembangan manusia yang mempercayai agama yang terkadang tidak mencari kebenaran-kebenaran di dalamnya.[2] Manusia yang hanya menerima begitu saja agama-agama yang diajarkan kepadanya.[2] Ide Allah hanyalah ilusi, namun begitu dibutuhkan manusia seperti seorang manusia yang membutuhkan seorang bapak yang melindunginya.[2] Namun Freud mengajukan pertanyaan berikutnya, "Apakah agama benar-benar tidak memihak untuk manusia?"[2] Jawabannya adalah ambigu.[2] Yang ditekankan olehnya adalah seharusnya manusia berdiskusi akan imannya sehingga dia tidak terjebak dalam bentuk-bentuk infantil dan neurotis.[2] Pendk kata, Freud tidak memperdebatkan realitas Allah, namun semakin mengupas ilusi palsu kesadaran manusia.[2] Karena berdiskusi, maka sesungguhnya penjelasan yang diberitahukan agama tidaklah memadai, Allah tidak bisa dikemukakan dalam intelektual, sehingga perlu tidak diterima juga.[2] Terlebih lagi bila dicari gunanya, agama hanya sbg penghambat perkembangan pribadi, maka harus pula tidak diterima.[2]

Friedrich Nietzsche (1844-1899)

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Friedrich Nietzsche sangat terkenal dengan Sabda Zarathustra (1883) bahwa "Tuhan telah mati".[4] Inilah awal mula penolakannya terhadap Tuhan.[4] Penolakannya terhadap Tuhan sebenarnya berasal dari kebenciannya melihat orang Kristen yang tidak menunjukkan kekristenan yang seharusnya menampilkan kasih.[4] Kebenaran untuk dia sangat subyektif, dipikirkan manusia yang sangat super kekuasaannya terhadap dirinya sendiri.[4] Subyektivitas itu juga dalam hal kebenaran agama, apa yang disebut tidak memihak bisa saja sebenarnya sangat buruk, apa yang disebut buruk bisa saja sebenarnya sangat tidak memihak.[4]Agama Kristen diasumsikan oleh Nietzsche sbg wujud Platonisme baru yang memisahkan sela lingkungan kehidupan, kosmologi, materi dan apa yang dapat ditangkap oleh pancaindera.[3] Dari sini keburukan Kristen kata Nietzsche dipandang meremehkan hal-hal duniawi, terlihat seperti gnosis yang meremehkan hidup (tubuh, lingkungan kehidupan, hawa nafsu) sehingga adalah hasrat akan kehampaan, keinginan akan dekadensi, sbg penyakit, kelesuah dan kepayahan hidup.[3] Hal ini ditujukan kepada agama [Kristen]] yang memiliki label tidak memihak, sebenarnya sangatlah buruk, yaitu dengan ajaran-ajarannya yang sebenarnya membelenggu manusia sbg mengembang.[4] Untuk dia, manusia adalah ukuran segala sesuatu, bukan Tuhan yang disebut agama Kristen.[4] Manusialah tuhan atas ciptaan ini dan yang mampu mengerjakan apa yang dimohonnya.[4] Maka penolakan akan Tuhan adalah hal yang sangat tidak memihak, karena manusia menjadi tidak bergantung pada Allah (Kristen) yang hanya membelenggu manusia itu, katanya.[4]

J. Paul Sartre (1905-1980)

Tuhan di mata Sartre kecil adalah sosok penghukum yang mengawasinya di manapun dia terletak, oleh karenanya dia tidak suka kehadiran Tuhan.[10] Tuhan juga tidak masuk ketika dia mau menemuinya.[10] Oleh karenanya Sartre sudah menolak Tuhan yang tidak nyata semenjak usia 12 tahun.[10] Sartre yang tadi dididik secara Katolik berpindah kepada kesusastraan, yang disebut sbg agama baru untuknya.[10] Namun secara sistematis, dan khas eksistesialis, penolakan atas Tuhan ini dilakukannya karena pemisahan radikal dalam tulisannya Hadir dan Ketiadaan terjemahan dari Being and Nothingness.[10] Baginya, di lingkungan kehidupan ini tidak masuk grand design yang mutlak, manusialah yang bisa mengatur dirinya sendiri dengan eksistensinya.[4] Eksistensi manusia mendahului esensinya; manusia hadir dan akhir menentukan "siapa dirinya".[4] Dia menyangkal Descartes tentang Saya berpikir, maka saya hadir, yang tidak memihak adalah Saya hadir lalu saya berpikir.[4] Dari sinilah dia meneruskannya dalam teori eksistensial fenomenologisnya, bahwa segala sesuatu harus dipisahkan dalam dua bagian; etre en soi / hadir dalam dirinya sendiri atau etre-pour soi / hadir sbg dirinya sendiri.[10] Segala sesuatu yang hadir dalam dirinya sendiri berfaedah tidak pasif, tidak giat, tidak afirmatif juga tidak negatif, hadir begitu saja, tanpa fundamen, tanpa dapat dirutunkan dari sesuatu pautan, tidak mengembang.[10] Sedangkan hadir sbg dirinya sendiri adalah sebuah kesadaran], dan ini khas manusia.[10] Dari pemisahan inilah, dia melabel Tuhan orang Kristen yang tidak berubah itu masuk dalam golongan hadir dalam dirinya sendiri, maka dari itu dia tidak semakin akbar dari manusia yang memiliki kesadaran sbg menentukan esensinya sendiri.[10] Di sinilah penyangkalan Tuhan itu terjadi, dia tidak mengakui Tuhan semakin tinggi dari manusia, maka Tuhan tidak diperlukan lagi.[10] Karena Tuhan tidak lagi hadir, maka manusia menjadi lepas sama sekali dan bisa menentukan kondisi bangsanya.[10] Di sinilah nilai positif Sartre yang akhir menghabiskan seluruh pokok isi kerangan hidupnya sbg kegunaan manusia (gerakan sosial).[10] Bahkan dia pernah memenangi nobel perdamaian karena pengabdiannya terhadap kemanusiaan, namun tidak diterimanya.[10][4]

Lihat juga

  • Daftar Istilah Filsafat
  • Daftar Filsuf
  • Filsafat Indonesia

referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au Tjahyadi. S.P Lili., Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius 2007
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y (Indonesia)Theo Huijbers., Manusia mencari ALLAH suatu Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1977
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o (Indonesia)Louis Leahy., Masalah Ketuhanan Dewasa Ini., Yogyakarta: Kanisius, 1982
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af (Inggris)Moris Engel and Engelica Soldan., The Study of Philosophy, USA: Rowman & Litlefield Publisher, Inc, 2008
  5. ^ John Veitch., A Discourse on Method – Meditation and Principles, Everyman’s Library 1912 halaman vii
  6. ^ a b c d e f (Inggris) The Miracle of Theism, USA; Oxford University Press, 1982
  7. ^ Skirry. Justin., Descartes for the Perplexed, British, 2008 Hlm 24,
  8. ^ a b c d e f g h i j (Inggris)Diogenes Allen and Eric O. Springsted., Primary Readings in Philosophy for Understanding Theology, USA: John Knox Press, 1992
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa (Indonesia)Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius 2006
  10. ^ a b c d e f g h i j k l m (Indonesia) K Bertens., Filsafat Barat Kontemporer - Perancis, Jakarta: Gramedia, 2001


edunitas.com


Page 9

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Ludwig Wittgenstein- salah satu tokoh filsafat analitik

Filsafat analitik adalah aliran filsafat yang muncul dari kelompok filsuf yang menyebut dirinya lingkaran Wina. Filsafat analitik lingkaran Wina itu menjadi bertambah sempurna dari Jerman hingga ke luar, yaitu Polandia dan Inggris. Pandangan utamanya adalah penolakan terhadap metafisika. Bagi mereka, metafisika tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sah filsafat analitik memang menyerupai dengan filsafat sains.[1]

Di Inggris misalnya, gerakan filsafat analitik ini paling dominan dalam anggota bahasa. Kemunculannya merupakan reaksi keras terhadap pengikut Hegel yang mengusung idealisme total. Dari pemikirannya, filsafat analitik merupakan pengaruh dari rasionalisme Prancis, empirisisme Inggris dan kritisisme Kant. Selain itu berkat empirisme John Locke pada ratus tahun 17 mengenai empirisisme, yang merupakan penyatuan selang empirisisme Francis Bacon, Thomas Hobbes dan rasionalisme Rene Descartes. Teori Locke adalah bahwa rasio selalu dipengaruhi atau didahului oleh pengalaman. Setelah membentuk pengetahuan pengetahuan, maka budaya menjadi pasif. Pengaruh ini kesudahan merambat ke dunia filsafat Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Jerman dan wilayah Eropa lainnya.[2]

Setelah era idealisme dunia Barat yang berpuncak pada Hegel, maka George Edward Moore (1873-1958), seorang tokoh dari Universitas Cambridge mengobarkan anti Hegelian. Bagi Moore, filsafat Hegel tidak memiliki dasar logika, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara muslihat sehat. Kesudahan pengaruhnya menggantikan Hegelian, yang paling terkenal dengan Filsafat bahasa, filsafat analitik atau analisis logik.[2]

Tokoh yang mengembangkan filsafat ini adalah Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein. Mereka mengadakan analisis bahasa kepada memulihkan penggunaan bahasa kepada memecahkan kesalahpahaman yang dilaksanakan oleh filsafat terhadap logika bahasa. Hal inilah yang ditekankan oleh Charlesworth. Penekanan lain oleh Wittgenstein adalah makna kata atau kalimat amat diteguhkan oleh penggunaan dalam bahasa, bukan oleh logika.[2]

Referensi

  1. ^ (Indonesia) Hendrik Rapar., Pustaka Filsafat PENGANTAR FILSAFAT, Yogyakarta: Kanisius, 1996
  2. ^ a b c (Indonesia) Wahyu Wibowo., Berani menulis artikel: ronde baru kiat menulis artikel kepada media massa cetak, Jakarta: Gramedia


edunitas.com


Page 10

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Ludwig Wittgenstein- salah satu tokoh filsafat analitik

Filsafat analitik adalah aliran filsafat yang muncul dari kelompok filsuf yang menyebut dirinya lingkaran Wina. Filsafat analitik lingkaran Wina itu menjadi bertambah sempurna dari Jerman hingga ke luar, yaitu Polandia dan Inggris. Pandangan utamanya adalah penolakan terhadap metafisika. Bagi mereka, metafisika tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sah filsafat analitik memang menyerupai dengan filsafat sains.[1]

Di Inggris misalnya, gerakan filsafat analitik ini paling dominan dalam anggota bahasa. Kemunculannya merupakan reaksi keras terhadap pengikut Hegel yang mengusung idealisme total. Dari pemikirannya, filsafat analitik merupakan pengaruh dari rasionalisme Prancis, empirisisme Inggris dan kritisisme Kant. Selain itu berkat empirisme John Locke pada ratus tahun 17 mengenai empirisisme, yang merupakan penyatuan selang empirisisme Francis Bacon, Thomas Hobbes dan rasionalisme Rene Descartes. Teori Locke adalah bahwa rasio selalu dipengaruhi atau didahului oleh pengalaman. Setelah membentuk pengetahuan pengetahuan, maka budaya menjadi pasif. Pengaruh ini kesudahan merambat ke dunia filsafat Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Jerman dan wilayah Eropa lainnya.[2]

Setelah era idealisme dunia Barat yang berpuncak pada Hegel, maka George Edward Moore (1873-1958), seorang tokoh dari Universitas Cambridge mengobarkan anti Hegelian. Bagi Moore, filsafat Hegel tidak memiliki dasar logika, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara muslihat sehat. Kesudahan pengaruhnya menggantikan Hegelian, yang paling terkenal dengan Filsafat bahasa, filsafat analitik atau analisis logik.[2]

Tokoh yang mengembangkan filsafat ini adalah Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein. Mereka mengadakan analisis bahasa kepada memulihkan penggunaan bahasa kepada memecahkan kesalahpahaman yang dilaksanakan oleh filsafat terhadap logika bahasa. Hal inilah yang ditekankan oleh Charlesworth. Penekanan lain oleh Wittgenstein adalah makna kata atau kalimat amat diteguhkan oleh penggunaan dalam bahasa, bukan oleh logika.[2]

Referensi

  1. ^ (Indonesia) Hendrik Rapar., Pustaka Filsafat PENGANTAR FILSAFAT, Yogyakarta: Kanisius, 1996
  2. ^ a b c (Indonesia) Wahyu Wibowo., Berani menulis artikel: ronde baru kiat menulis artikel kepada media massa cetak, Jakarta: Gramedia


edunitas.com


Page 11

Apa yang kalian pahami tentang filsafat Timur?

Ludwig Wittgenstein- salah satu tokoh filsafat analitik

Filsafat analitik adalah aliran filsafat yang muncul dari kelompok filsuf yang menyebut dirinya lingkaran Wina. Filsafat analitik lingkaran Wina itu menjadi bertambah sempurna dari Jerman hingga ke luar, yaitu Polandia dan Inggris. Pandangan utamanya adalah penolakan terhadap metafisika. Bagi mereka, metafisika tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sah filsafat analitik memang menyerupai dengan filsafat sains.[1]

Di Inggris misalnya, gerakan filsafat analitik ini paling dominan dalam anggota bahasa. Kemunculannya merupakan reaksi keras terhadap pengikut Hegel yang mengusung idealisme total. Dari pemikirannya, filsafat analitik merupakan pengaruh dari rasionalisme Prancis, empirisisme Inggris dan kritisisme Kant. Selain itu berkat empirisme John Locke pada ratus tahun 17 mengenai empirisisme, yang merupakan penyatuan selang empirisisme Francis Bacon, Thomas Hobbes dan rasionalisme Rene Descartes. Teori Locke adalah bahwa rasio selalu dipengaruhi atau didahului oleh pengalaman. Setelah membentuk pengetahuan pengetahuan, maka budaya menjadi pasif. Pengaruh ini kesudahan merambat ke dunia filsafat Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Jerman dan wilayah Eropa lainnya.[2]

Setelah era idealisme dunia Barat yang berpuncak pada Hegel, maka George Edward Moore (1873-1958), seorang tokoh dari Universitas Cambridge mengobarkan anti Hegelian. Bagi Moore, filsafat Hegel tidak memiliki dasar logika, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara muslihat sehat. Kesudahan pengaruhnya menggantikan Hegelian, yang paling terkenal dengan Filsafat bahasa, filsafat analitik atau analisis logik.[2]

Tokoh yang mengembangkan filsafat ini adalah Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein. Mereka mengadakan analisis bahasa kepada memulihkan penggunaan bahasa kepada memecahkan kesalahpahaman yang dilaksanakan oleh filsafat terhadap logika bahasa. Hal inilah yang ditekankan oleh Charlesworth. Penekanan lain oleh Wittgenstein adalah makna kata atau kalimat amat diteguhkan oleh penggunaan dalam bahasa, bukan oleh logika.[2]

Referensi

  1. ^ (Indonesia) Hendrik Rapar., Pustaka Filsafat PENGANTAR FILSAFAT, Yogyakarta: Kanisius, 1996
  2. ^ a b c (Indonesia) Wahyu Wibowo., Berani menulis artikel: ronde baru kiat menulis artikel kepada media massa cetak, Jakarta: Gramedia


edunitas.com