Candi Jago. TEMPO/Abdi Purnomo
TEMPO.CO, Malang — Suasana Candi Jago di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, yang biasanya hening menjadi semarak dari siang hingga sore pada Senin, 9 April 2012,Penyebabnya adalah tarian yang disajikan sejumlah seniman dari Malang, Solo, Klaten, Yogyakarta, dan Bali. Mereka menarikan cerita klasik Arjunawiwaha dan Kunjarakarna untuk menandai perhelatan Tahun Kunjungan Candi Jago 2012 yang digagas oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang. Cerita wayang Arjunawiwaha aslinya berbentuk kakawin (tembang atau semacam pantun) karya Empu Kanwa yang hidup pada masa Raja Airlangga (1019-1042). Kecuali para penari Kunjarakarna, semua penari di kisah Arjunawiwaha tidak mengenakan topeng Malang. Tarian kisah Kunjarakarna memang ditarikan dengan gaya topeng malangan, sedangkan tarian cerita Arjunawiwaha lebih banyak menampilkan unsur gerak dan mantra tanpa topeng. "Ditambah sentuhan gaya kontemporer,” kata Suryadi, juru kunci Candi Jago yang merangkap Koordinator Wilayah Malang Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur, kepada Tempo. Menurut Suryadi, tarian Arjunawiwaha dan Kunjarakarna bersumber dari lima cerita klasik yang tertera pada relief-relief di tiga lapis dinding Candi Jago. Ia menjelaskan, pada kaki candi terdapat relief yang mengisahkan cerita Kunjarakarna dan Pancatantra. Cerita Kunjarakarna bertutur tentang seorang tokoh raksasa bernama Kunjarakarna yang taat beribadah menyembah sang Buddha. Suatu saat, Kunjarakarna ditunjukkan para dewa keadaan mengerikan di neraka, tempat bagi orang-orang yang berdosa dan tidak taat pada ajaran Buddha. Kunjarakarna memiliki teman bernama Purnawijaya yang telah masuk neraka. Kunjarakarna meminta tolong pada para dewa untuk menyelamatkan Purnawijaya. Para dewa mengabulkan permintaan Kunjarakarna berkat kebaikan hati dan ketaatan Kunjarakarna pada sang Buddha.Cerita Pancatantra ingin menguatkan kesan keutamaan sikap kebaikan seperti cerita Kunjarakarna. Namun, Pancatantra merupakan cerita klasik fabel (bertema binatang), mengisahkan seekor kerbau menolong seekor buaya yang tertimpa pohon tumbang. Namun, setelah ditolong, buaya malah ingin memangsa kerbau. Sekuat tenaga sang kerbau menanduk buaya hingga ke daratan. Lalu, penduduk di sekitarnya secara beramai-ramai datang dan membunuh buaya yang tak tahu berterima kasih pada si kerbau. Relief dinding tingkat kedua mengisahkan cerita Parthayajna dan Arjunawiwaha. Kisah ini bersambungan, yaitu mengisahkan tokoh-tokoh Pandawa yang diusir dari istana dan dibuang ke hutan selama 12 tahun akibat kalah bermain dadu melawan Kurawa. Salah satu tokoh Pandawa, Arjuna, melakukan tapa brata. Pada saat bertapa Arjuna mendapat senjata sakti dari Dewa Siwa. Dengan senjata ini Pandawa berhasil memenangkan Perang Bharatayudha melawan Kurawa. Relief dinding tingkat ketiga Candi Jago mengisahkan cerita Kresnayana dengan tokoh Kresna pada masa muda. Ia juga tokoh utama selain Pandawa dalam cerita Mahabharata dari India. Kresna muda selalu nakal. Dan, karena kenakalannya, ia dikejar-kejar oleh raksasa bernama Kalayawana. Kresna lalu berlindung kepada pendeta sakti Resi Mucukunda. Kalayawana terus memburu Kresna. Karena tak tahu sopan santun di hadapan Resi Mucukunda, akhirnya Kalayawana mati terbakar api yang keluar dari jari Sang Resi.“Kalau berdasarkan relief-relief yang ada, memang sulit memahami semua cerita cerita klasik di tiga lapis dinding Candi Jago. Namun, dengan imajinasi dan kerja keras, alur cerita di masing-masing dinding bisa lebih dipahami. Setidaknya pengunjung bisa memahami moral ceritanya,” kata pria 52 tahun itu.ABDI PURNOMO Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, nama candi ini yang sebenarnya adalah Jajaghu. Dalam pupuh 41 gatra ke-4 Negarakertagama dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yang memerintah Singasari menganut agama Syiwa Buddha, yaitu suatu aliran keagamaan yang merupakan perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha. Aliran tersebut berkembang selama masa pemerintahan Kerajaan Singasari, sebuah kerajaan yang letaknya sekitar 20 km dari Candi Jago. Jajaghu, yang artinya adalah 'keagungan', merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci. Masih menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, pembangunan Candi Jago berlangsung sejak tahun 1268 M sampai dengan tahun 1280 M, sebagai penghormatan bagi Raja Singasari ke-4, yaitu Sri Jaya Wisnuwardhana. Walaupun dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Singasari, disebut dalam kedua kitab tersebut bahwa Candi Jago selama tahun 1359 M merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Keterkaitan Candi Jago dengan Kerajaan Singasari terlihat juga dari pahatan padma (teratai), yang menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya. Motif teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan Singasari. Yang perlu dicermati dalam sejarah candi adalah adanya kebiasaan raja-raja zaman dahulu untuk memugar candi-candi yang didirikan oleh raja-raja sebelumnya. Diduga Candi Jago juga telah mengalami pemugaran pada tahun 1343 M atas perintah Raja Adityawarman dari Melayu yang masih memiliki hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk. Bangunan candi menghadap ke barat, berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 m dan kaki candi yang terdiri atas 3 teras bertingkat. Makin ke atas, teras kaki candi makin mengecil sehingga pada lantai pertama dan kedua terdapat selasar yang dapat dilewati untuk mengelilingi candi. Garba ghra (ruang utama) terletak bergeser agak ke belakang. Untuk naik ke lantai yang lebih atas, terdapat dua tangga sempit di sisi kiri dan kanan bagian depan (barat). Lantai yang terpenting peranannya dan tersuci adalah yang paling atas, dengan bangunan yang letaknya sedikit bergeser ke belakang. Ajaran Buddha tercermin dalam relief cerita Tantri Kamandaka dan cerita Kunjarakarna yang terpahat pada teras paling bawah. Pada dinding teras kedua terpahat lanjutan cerita Kunjarakarna dan petikan kisah Mahabarata yang memuat ajaran agama Hindu, yaitu Parthayajna dan Arjuna Wiwaha. Teras ketiga dipenuhi dengan relief lanjutan cerita Arjunawiwaha. Dinding tubuh candi juga dipenuhi dengan pahatan relief cerita Hindu, yaitu peperangan Krisna dengan Kalayawana. Di tengah pelataran depan, sekitar 6 m dari kaki candi, terdapat batu besar yang dipahat menyerupai bentuk tatakan arca raksasa, dengan diameter batu sekitar 1 m. Di puncaknya terdapat pahatan bunga padma yang menjulur dari bonggolnya. Di sisi barat halaman candi terdapat arca Amoghapasa berlengan delapan dilatarbelakangi singgasana berbentuk kepala raksasa yang saling membelakangi. Kepala arca tersebut telah hilang dan lengan-lengannya telah patah. Sekitar 3 m di selatan arca ini terdapat arca kepala rasaksa setinggi sekitar 1 m. Tidak didapat informasi apakah benda-benda yang terdapat di pelataran candi tersebut memang aslinya berada di tempatnya masing-masing.
Candi Jago terletak 22 kilometer di sebelah timur Kota Malang, tepatnya di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang Jawa Timur. Merupakan candi peninggalan kerajaan singasari yang dibangun pada sekitar abad ke-13 Masehi. Candi ini dibangun untuk menghormati Raja Sri jaya Wisnuwardhana (1248 – 1268) yaitu raja ke-4 kerajaan Singasari oleh anaknya dan sekaligus raja yang memerintah saat itu, yaitu raja kertanegara. Selain disebut sebagai candi Jago, candi ini juga terkadang disebut candi Tumpang, karena berada di desa Tumpang, dan warga sekitar terkadang juga menyebutnya Cungkup. Dalam kitab negarakertagama dan juga kitab pararaton, Sejarah Candi Jago ini disebut dengan Jajaghu yang memiliki arti “keagungan”, dimana jajaghu biasa digunakan untuk menyebut tempat yang suci. Bagian atas candi hanya bersisa setengahnya saja, karena dari penuturan masayarakat sekitar, bagian atas candi yang rusak diakibatkan karena terkena pertir. Di Candi ini juga terdapat relief Pancatantra dan kunjarakarana. Pancatantra merupakan relief yang menceritakan seorang brahmana yang sedang mengajarkan tentang kehidupan dan kebijaksanaan dunia kepada pangeran yang tidak bisa mendengar. Sedangkan Kunjakarana sendiri merupakan relief yang menceritakan seorang raksasa yang taat terhadap ajaran agama Budha yang ingin bereinkarnasi agar dia terlahir kembali sebagai manusia yang memiliki paras yang baik. Hampir semua bangunan candi jago menggunakan bahan baku andesit. Di candi ini juga terdapat Arca manjusri yang ditempatkan oleh Ardityawarman seperti yang tercantum pada prasasti Manjusri. Saat ini arca ini disimpan di Museum Nasional. Sejarah Candi Jago Dalam kitab Negarakertagama dan kitab pararaton, Sejarah Candi Jago dibangun sejak tahun 1268 Masehi, dan baru selesai pada tahun 1280 Masehi. Candi ini dibangun untuk menghormati Raja Singasari yang ke IV yaitu Sri Jaya Wisnuwardhana. Selama pemerintahan kerajaan Majapahit yaitu pada tahun 1343 Masehi, candi ini dipugar atas perintah dari Adityawarman, yaitu seorang raja dari Mataram Kuno. Dimana Adityawarman masih memiliki hubungan darah dengan Hayam wuruk, Raja Majapahit yang memerintah saat itu sebagaimana yang tercantum dalam prasasti Manjusri. Candi jago juga merupakan salah satu candi yang sering dikunjungi Hayam Wuruk hingga tahun 1359 Masehi. Dimana Hayam Wuruk masih memiliki hubungan darah dengan beberapa raja dari Singasari. Hal ini ditunjukkan pada ukiran bunga teratai yang menjulur dari pangkal hingga ke atas. Ukiran teratai seperti ini merupakan ukiran populer dan ciri khas dari candi-candi dari kerajaan Singasari. Arsitektur Candi Jago Candi Jago memilliki ukuran panjang total adaah 23,71 meter, dengan lebar 14 meter dan tinggi 9,97 meter. Pada bagian dasar candi Jago memiliki desain dengan teras berundak atau bersusun dengan semakin keatas semakin mengecil. Beberapa bagian dari candi ini sudah tidak lengkap lagi, yang bisa anda lihat saat ini hanya tersisa kaki candi dan beberapa bagian badan candi. Terdapat tiga penyanngga badan candi. Dan candi Jago juga memiliki teras yang lebih menjorok keluar,dimana badan candi berdiri di bagian teras ketiga. Pada bagian atap candi Jago sudah tidak terlihat bentuk aslinya, karena memang saat ini dalam kondisi yang rusak. Menurut penuturan dari warga sekitar, bahwa kerusakan pada atap candi Jago disebabkan karena tersambar petir. Meskipun begitu, para ahli menyimpulkan bentuk atap dari candi Jago mirip seperti Pagoda atau meru. Di kaki candi bagian luar, terdapat relief yang menggambarkan berbagai cerita dan untuk membacanya, anda bisa memutari kaki candi searah dengan jarum jam atau yang biasa disebut pradaksiana. Relief-relief tersebut adalah: Ketika hari pernikahan tiba, Dewi Rukmini tak tinggal diam, dia bertapa agar diberikan jalan supaya bisa menikah dengan kresna. Hingga dia memperoleh wangsit agar menyamar menjadi seorang petapa. Dan rencana dewi rukmini berhasil untuk melarikan diri dari pernikahan dan berhasil menuju kepada Kresna. Hal itu diketahui oleh Raja Cedi, sehingga pada saati itu juga mencari kresna dan ingin membunuh Kresna. Rukma kakak dari Dewi Rukmini lah juga ikut mencari Kresna dalam upaya membantu Raja Cedi. Waktu itu, Raja Cedi dihadang oleh pasukan Kresna, dan berhasil dikalahkan oleh pasukan Kresna. Sedangkan Rukma bertemu dengan Kresna, namun Rukma pun juga tidak bisa menandingi kesaktian kresna. Dan akhirnya Kresna dan Dewi Rukmini bisa hidup bersama. Dari situ dia mendapat kabar bahwa tidak lama lagi temanya akan meninggal dan akan masuk di neraka selama ratusan tahun. Kemudian Kunkarakaran meminta wairocana agar diberikan keringanan hukuman kepada temanya. Dan akhirnya kunjarakarna diperbolehkan untuk memberitahu temanya perihal kematianya. Akhirnya temanya juga mati namun hanya 10 hari disiksa dineraka, lalu dihidupkan kembali. Dan Akhir dari cerita ini adalah kunjarakarna dan temanya bertapa di gunung Semeru. Relief ini menceritakan seorang brahmana yang mengajarkan ilmu kehidupan dan kebijaksanaan kepada tiga pangeran yang tidak bisa mendengar. Dan ilmu yang dipelajari terdapat lima ajaran, yang juga disebut Pancatantra, dimana kelima ajaran tersebut adalah Mitrabedha (Perbedaan); Mitraprapti (Kedatangan); Kakolukiya (Peperangan dan Perdamaian); Landhansa (Kehilangan dan keberuntungan) dan Apariksitakaritwa (tindakan terburu-buru). Biasanya Pancatantra digambarkan dalam bentuk cerita fable dancerita berbingkai. Kura-kura pun akhirnya bisa terbang dengan bantuan bangau. Namun sesampainya di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan segerombolan serigala di bawah yang sedang menertawakan kura-kura. Karena kura-kura banyak bicara, dia membalas cemoohan serigala. Ketika kura-kura berbicara dia membuka mulutnya dan melepas gigitan pada ranting yang dibawa oleh bangau. Dan pada saat itu pula kura-kura pun terjatuh karena melepas gigitanya, dan menjadi makanan dari serigala. Dari cerita fable diatas juga mengajarkan kita pada kehidupan,dimana kita harus bersabar dan tetap teguh terhadap pendirian ketika mengejar mimpi kita, tanpa harus mendengar cemoohan dari orang lain.
Relief ini menceritakan mengenai Pandawa yang kalah oleh kurawa karena kelicikan Sengkuni. Karena itu, Para pandawa hidup sebagai seorang biasa di dalam hutan. Kemudian, salah satu dari pandawa, yaitu arjuna pergi bertapa dan meninggalkan saudara- saudaranya. Arjuna meminta kepada dewa syiwa agar memberikan senjata kepadanya untuk mengalahkan kurawa. Dewa syiwa memberikan senjata kepada arjuna berupa panah pasopati, namun dengan syarat arjuna harus ikut membantu mengalahkan raksasa Niwatkaca yang sedang mengamuk di Kahyangan. Alasan Nitwakaca mengamuk kahyangan adalah karena lamaranya kepada Dewi Supraba, salah satu bidadari di kahyangan ditolak oleh para dewa, sehingga membuat Nitwakaca murka. Arjuna pun menyanggupi permintaan dari dewa syiwa, dan ternyata Arjuna bisa mengalahakan Nitwakaca dan mendapatkan panah pasopati dan juga dinikahkan dengan Dewi Supraba. Namun, Arjunapun juga tidak lupa dengan misi utamanya, dia kemudian berpamitan untuk membantu sanudara-saidaranya untuk mengalahkan kurawa. Relief Kalawayana masih berhubungan dengan cerita pada relief Kresnayana, dimana menceritakan peperanagan antara raja kalawayana dan Kresna. Pada bagian atap candi dulunya diperkirakan terbuat dari ijuk/kayu, namun sekarang sudah tidak bersisa lagi. Tidak jauh dari bangunan candi ditemukan nya sebuah Patung Manjusri yang saat ini disimpan di museum nasional Indonesia. Pada bagian belakang patung ini terdapat sebuah tulisan yang menjelaskan bahwa Candi ini didirikan oleh raja kertanegara untuk menghormati sang Ayah yang sudah wafat yang juga pernah menjadi raja Singasari, yaitu Raja Wisnuwardhana. Dan menurut penafsiran dari Bosch, dari prasasati itu juga terdapat informasi mengenai Adityawarman yang melakukan renovasi total pada candi ini karena pada saat itu candi sudah dalam keadaan rusak. Patung Majusri sendiri dianggap sebagai perwujudan dari kebijaksanaan. Arca ini menduduki bunga padma atau bunga teratai yang bergemerlapan, dimana di tangan kanan dari sang arca memegang pedang yang memiliki makna perlawanan terhadap kegelapan. Pada tangan kirinya terdapat buku yang berupa naskah daun palem. Serta pada dada arca ini terdapat tali yang melingkarinya. Selain arca manjusri disekitar candi Jago juga ditemukan arca dewiBrukhti yang memiliki banyak tangan.a Lokasi candi Jago Candi Jago terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur dan hanya berjarak 22 kilometer dari kota Malang. Terletak pada titik Koordinat 8°0′20,81″Lintang Utara dan 112°45′50,82″ Bujur Timur, tepatnya di dukuh Jago, Desa tumpang, kecamatan tumpang, Kabupaten Malang, jawa timur. Selain candi jago, anda juga bisa menuju ke kidal untuk mempelajari juga sejarah candi Kidal yang juga merupakan peniggalan kerajaan Singasari. Untuk menuju Candi Jago tidaklah terlalu sulit,karena Candi Jago terletak di jalur wisata menuju Gunung semeru dan gunung Bromo. Jika anda dari Jakarta atau Surabaya berhentilah di terminal Arjosari dikota Malang. Setelah itu, anda bisa menaiki Angkutan kota yang berwarna putih (TA) dan turun di Pasar Tumpang. Dari Pasar tumpang anda hanya cukup berjalan kaki saja karena jarak candi Jago dengan pasar Tumpang tidaklah terlalu jauh.
=Kompas.com, Tempo.co, dan Kpu.go.id Menangkan 02 ?
|