Apa yang dimaksud hukum positif

Saat ini tidak ada satu bangsa pun yang tidak memiliki hukumnya sendiri. Jika dalam Bahasa Indonesia mempunyai tata bahasa, begitu juga dalam hukum dikenal dengan tata hukum. Indonesia mempunyai tata hukum Indonesia yang berlaku sekarang di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum yang sedang berlaku di Indonesia dipelajari dan d?adikan objek dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang objeknya hukum yang sedang berlaku dalam suatu negara, disebut ilmu pengetahuan hukum positif (ius constitutum).

Tata hukum berasal dari kata dalam bahasa Belanda “recht orde”, ialah susunan hukum yang artinya memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum. Yang dimaksud dengan “memberikan tempat yang sebenarnya”, yaitu menyusun dengan baik dan tertib aturan-aturan hukum dalam pergaulan hidup supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap peristiwa hukum yang terjadi. Tata atau susunan itu pelaksanaannya berlangsung selama ada pergaulan hidup manusia yang berkembang. Karenanya, dalam tata hukum ada aturan hukum yang berlaku pada saat tertentu di tempat tertentu yang disebut juga hukum positif atau ius constitutum. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa tata hukum Indonesia merupakan hukum positif di mana terdapat aturan-aturan hukum tertentu yang pernah berlaku dan sudah diganti dengan aturan hukum baru yang sejenis dan berlaku sebagai hukum positif baru.

Sumber: C.S.T.Kansil dan Christine S.T.Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafi ka, 2009)

illustration from google and belong to the owner

Apa itu hukum positif, Hukum positif merupakan sederet asas dan kaidah hukum yang berlaku saat ini, berbentuk kedalam lisan maupun tulisan yang keberlakuan hukum tersebut mengikat secara khusus dan umum yang diegakkan oleh lembaga peradilan atau pemerintahan yang hidup dalam suatu negara. Meskipun hukum positif yang dijelaskan merupakan hukum yang berlaku pada saat ini akan tetapi tidak meninggalkan hukum yang berlaku pada masa lalu.

Hukum positif disebut juga ius constitutum yang berarti kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat. Memasukkan hukum yang pernah berlaku sebagai hukum positif dapat pula dikaitkan dengan pengertian keilmuan yang membedakan antara ius constitutum dan ius constituendum. Ius constituendum lazim didefinisikan sebagai hukum yang diinginkan atau yang dicita-citakan, yaitu hukum yang telah didapati dalam rumusan-rumusan hukum tetapi belum berlaku: Berbagai rancangan peraturan perundang-undangan (RUU, RPP, R.Perda, dan lain-lain rancangan peraturan) adalah contoh-contoh dari ius constituendum.

Termasuk juga ius constituendum adalah peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan tetapi belum berlaku, misalnya, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah menjadi Undang-Undang pada tahun 1986, tetapi baru dijalankan lima tahun kemudian (1991). Hukum yang pernah berlaku adalah ius constitution walaupun tidak berlaku lagi, karena tidak mungkin dimasukkan sebagai ius constituendum. Dalam kajian ini, hukum positif diartikan sebagai aturan hukum yang sedang berlaku atau sedang berjalan, tidak termasuk aturan hukum di masa lalu .

secara terperinci dijelaskan oleh situs resmi Mahkamah agung Republik Indonesia. Hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang ada pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam Negara Indonesia. Hukum positif dapat diklasifikasi kedalam berbagai macam pengelompokan, yaitu antara lain dilihat dari sumbernya, bentuknya, isi materinya dan lain sebagainya.

Sumber Hukum Positif

Sumber hukum dapat diartikan sebagai-bahan yang digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus perkara. Menurut Sudikno,kata sumber hukum sering digunakan dalam beberapa arti, yaitu:

  • Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum,
    misalnya kehendak Tuhan, akal manusia jiwa bangsa dan sebagainya.
  • Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan kepada hukum
    sekarang yang berlaku, seperti hukum Perancis, hukum Romawi.
  • Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara
    formal kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat).
  • Sebagai sumber darimana kita dapat mengenal hukum, misalnya
    dokumen, undan-undang, lontar, batu bertulis, dan sebagainya.
  • Sebagai sumber hukum. Sumber yang menimbulkan aturan hukum.

Sumber hukum sendiri diklasifikasikan kedalam dua dua bentuk yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil menjadi determain formil membentuk hukum (formele determinanten van de rechtsvorming), menentukan berlakunya hukum. Sedangkan sumber- sumber hukum materiil membentuk hukum (materiele determinanten van de rechtsvorming), menentukan isi dari hukum. Sumber hukum yang formil adalah:

[AdSense-B]

1. Undang-undang

Undang-undang adalah suatu peraturan yang mempunyaikl kekuatan hukum mengikat yang dipelihara oleh penguasa negara. Contohnya Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan perundang-undangan dan sebagainya. Undang-undang sering digunakan dalam 2 pengertian, yaitu Undang-undang dalam arti formal dan Undang-undang dalam arti material. Undang-undang dalam arti formal adalah keputusan atau ketetapan yang dilihat dari bentuk dan cara pembuatannya disebut undang-undang. Dilihat dari bentuknya, Undang-undang berisi
konsideran dan dictum (amar putusan).

2. Adat dan Kebiasaan

Peranan kebiasaan dalam kehidupan hukum pada masa sekarangini  memang sudah banyak merosot. Sebagaimana telah diketahui,kebiasaan merupakan tidak lagi sumber yang penting sejak ia didesak
oleh perundang-undangan dan sejak sistem hukum semakin didasarkan pada hukum perundang-undangan atau jus scriptum. Dalam buku Mengenal Hukum yang menguraikan mengenai perbedaan kebiasaan dan adat sebagaimana yang dikutip oleh Sudikno:

kebiasaan merupakan pola tingkah laku yang ajeg, tetap, normal atau adat dalam masyarakat atau pergaulan tertentu. Pergaulan hidup ini merupakan lingkungan yang sempit seperti desa, tetapi dapat luas juga yakni meliputi masyarakat Negara yang berdaulat. Perilaku yang tetap atau ajeg berarti merupakan perilaku manusia yang diulang. Perilaku yang diulang itu mempunyai kekuatan normative, mempunyai kekuatan mengikat. Karena diulang oleh banyak orang maka mengikat orang lain untuk melakukan hal yang sama, karenanya menimbulkan keyakinan atau kesadaran, bahwa hal itu memang patut dilaksanakan, bahwa itulah adat.

3. Traktat

Merupakan perjanjian yang diadakan dua negara atau lebih. Biasanya memuat peraturan-peraturan hukum. Jenis-jenis traktat diantaranya yaitu:

  • Traktat Bilateral, yaitu traktat yang terjadi antara dua negara saja.
  • Traktat Multirateral yaitu traktat yang dibuat oleh lebih dari dua
    negara.
  • Traktat Kolektif, yaitu traktat multirateral yang membuka kesempatan bagi mereka yang tidak ikut dalam perjanjian itu untuk

    menjadi anggotanya.

Itulah tadi penjelasan mengenai apa itu hukum positif dan sumber hukumnya. semoga dapat bermanfaat.

Catatan Kamisan saya kali ini kembali didedikasikan untuk merespons isu hukum yang sedang aktual di Tanah Air. Dalam beberapa waktu terakhir, politik hukum kita diwarnai dengan diskusi soal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Di antara banyak fatwa yang sudah diterbitkan, dua Fatwa MUI yang lebih menyita perhatian akhir-akhir ini adalah terkait “Pernyataan Basuki Tjahaja Purnama” tanggal 11 Oktober 2016 tentang videonya di Kepulauan Seribu; dan “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim” tanggal 14 Desember 2016.

Catatan ini dibuat berdasar kajian hukum tata negara, yang hingga kini masih terus saya pelajari. Agar jelas, perlu ditegaskan, bahwa catatan ini tidak bermaksud untuk memberikan penilaian benar ataupun salah terkait isi fatwa itu sendiri.

Karena, untuk menilai isi fatwa itu, tentulah para alim ulama lebih punya kompetensi dan ilmu untuk melakukannya. Sekaligus, saya meminta maaf jika tulisan kali ini dirasa sangat teknis dan mendasar dari sisi ilmu hukum, suatu hal yang saya sengaja, dan memang tidak terhindarkan.

Sebagai pendapat hukum tata negara, mungkin saja kajian ini menguntungkan salah satu kelompok. Yang pasti saya menuliskannya dengan bekal pengetahuan yang saya miliki, dan tidak bermaksud kajian ini menjadi instrumen partisan ataupun alat politik bagi beberapa pihak yang sedang memperdebatkan keberadaan Fatwa MUI tersebut.

Video Rekomendasi

Apa yang dimaksud hukum positif

Salah satu isu yang mengemuka dengan Fatwa MUI adalah kaitannya dengan hukum positif. Saya memahami hukum positif sebagai hukum yang berlaku saat ini.

Maka, hukum positif Indonesia artinya adalah hukum yang saat ini berlaku di Indonesia. Hukum positif di sini mencakup aturan perundangan yang berlaku umum (regelling), ataupun keputusan yang berlaku khusus (beschikking), yang pelaksanaannya dikawal oleh aparatur negara dan dunia peradilan.

Meski saya berbeda pandangan, ada yang menganggap bahwa makna hukum positif juga mencakup aturan yang pernah berlaku—dan sekarang tidak lagi. Yang pasti, hukum positif bukanlah aturan hukum yang belum berlaku, atau diinginkan berlaku pada masa yang akan datang.

Dalam bahasa Latin hukum positif disebut sebagai ius constitutum yang membedakannya dengan hukum yang dicita-citakan, hukum yang belum berlaku, hukum yang masih diangankan berlaku, atau disebut ius constituendum. Untuk membedakannya dengan hukum positif, saya menyebut hukum yang masih dicita-citakan tersebut sebagai hukum aspiratif.

Sebagai hukum yang berlaku di suatu negara, yang pelaksanaannya dikawal oleh aparatur negara dan dunia peradilan, maka tidak sembarang lembaga dapat menghasilkan hukum positif. Singkatnya, hukum positif hanya dapat dihasilkan oleh organ negara yang memang diberikan kewenangan untuk itu.

Tentang pembentukan peraturan perundangan, hukum positif yang sekarang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pasal 7 UU tersebut mengatur jenis dan hirarki peraturan perundangan adalah: UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Udang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Perpres, Perda Provinsi atau Kabupaten/Kota.

Di luar itu, peraturan perundangan yang berlaku adalah yang ditetapkan oleh organ negara (contohnya: MPR hingga Bank Indonesia). UU itu juga mengakui regulasi yang diterbitkan oleh anggota kabinet seperti Peraturan Menteri.

Sedangkan untuk badan, lembaga, dan komisi negara lainnya, hanya diakui berwenang membuat hukum positif jika keberadaannya “dibentuk dengan undang-undang, atau Pemerintah atas perintah undang-undang” (Pasal 8 Ayat (1) UU No 12/2011).