Apa yang dimaksud dengan peristiwa the boston tea party

Peristiwa The Boston Tea Party diawali ketika Inggris mendatangkan teh ke Amerika, dan untuk itu penduduk harus membayar pajak. Ketentuan tersebut tentu saja bertentangan dengan semangat kebebasan dalam perdagangan. Rakyat Amerika yang menyamar sebagai suku Indian kemudian melempar teh dari tiga buah kapal Inggris ke pelabuhan Boston.

Apa yang dimaksud dengan peristiwa the boston tea party
Peristiwa The Boston Tea Party

Dengan peristiwa tersebut Inggris sangat marah dan mengeluarkan undang-undang baru yang dianggap sebagai sebagai “undang-undang paksa” (coercive act) oleh penduduk Amerika.

Akibatnya terjadi penyerangan terhadap penduduk Boston, dan terjadi pembelaan dari penduduk di daerah lain. Kejadian tersebut yang menjadi sumber pemicu pecahnya Perang Kemerdekaan Amerika pada tahun 1774.

Tujuan awal terjadinya Perang Kemerdekaan Amerika adalah untuk menentang pemerintah Inggris yang dianggap semena-mena. Pada saat itu belum ada tujuan untuk mencapai kemerdekaan. Pertempuran pertama terjadi di Lexington, kemudian menyebar ke Boston.

Inggris meminta kepada penduduk Kanada yang juga koloni Inggris untuk membantunya melawan penduduk koloni Amerika. Namun permintaan itu ditolak, karena perasaan senasib sebagai penduduk koloni. Bahkan paksaan Inggris terhadap penduduk Kanada malah menimbulkan sikap menentang kepada Inggris.

Keadaan seperti itu dimanfaatkan oleh Bangsa Amerika untuk menyiapkan pasukan yang dipimpin oleh George Washington yang pernah berjasa kepada Inggris dalam Perang Tujuh Tahun.

Pada tahun 1776, Thomas Paine mengutarakan pendapatnya dalam sebuah karangan berjudul “Common Sense” (Akal sehat). Tulisan tersebut berisi gagasan kemerdekaan, pendapat Paine itu menyadarkan penduduk koloni Amerika untuk mengubah tujuan perjuangan mereka dari hanya menentang kebijakan pemerintah Inggris menjadi perjuangan mencapai kemerdekaan.

Selanjutnya diadakan kongres di Philadelphia yang dihadiri oleh wakil-wakil 13 daerah (negara bagian). Mereka sepakat untuk menandatangani sebuah deklarasi yang dikenal dengan “Declaration of Independence” yang telah disusun oleh Thomas Jefferson.

Deklarasi tersebut ditandatangani pada tanggal 4 Juli 1776, dan hari tersebut dijadikan sebagai Hari Kemerdekaan Amerika (Independence Day). Kongres pun kemudian menyepakati adanya “Articles of Confederation” sehingga terbentuklah United States of Amerika (USA).

Perjuangan kemerdekaan Amerika ditempuh dengan dua cara yaitu dengan perjuangan fisik dan diplomasi. Perjuangan diplomasi dengan mengirimkan Benjamin Franklin ke Eropa. Prancis sebagai lawan utama Inggris segera mengakui berdirinya negara Amerika pada tahun 1778.

Prancis kemudian mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Lafayette untuk membantu perjuangan rakyat Amerika. Sekitar 7.000 pasukan Inggris yang dipimpin Comwallis menyerah kepada George Washington dan Lafayette di Kota Yorktown pada tahun 1783.

Akhirnya Inggris mengakui kemerdekaan Amerika dalam Perjanjian Paris tahun 1783. Declaration of Independence yang dikumandangkan pada tanggal 4 Juli 1776 sebagai pernyataan kemerdekaan Amerika terhadap Inggris mengandung nilai-nilai penghargaan terhadap hak asasi manusia (human right).

Baca juga: Latar belakang Revolusi Amerika

Human Right dimasukkan ke dalam UUD menjadi Bill of Right pada tahun 1788. Dalam perkembangannya human right ikut mempengaruhi Revolusi Prancis tahun 1789, terutama ketika Dewan Nasional mengumumkan Pernyataan Hak Asasi Manusia dan Warga.

Selanjutnya : Pengaruh Revolusi Amerika bagi Indonesia

tirto.id - 16 Desember 1773, tepat hari ini 246 tahun silam, puluhan orang yang berpakaian ala suku Indian menyerang kapal-kapal milik Inggris di Pelabuhan Boston, Amerika Serikat.

Pelaku banyak yang tergabung dalam organisasi rahasia Sons of Liberty. Mereka membuang ratusan peti kayu dari atas kapal sebagai bentuk protes terhadap monopoli serta penetapan pajak tinggi.

Peristiwa yang dikenang sebagai Boston Tea Party itu berujung dengan kemerdekaan Amerika Serikat pada tiga tahun setelahnya. Akar persoalannya bisa dilacak pada obsesi warga Inggris terhadap komoditas dalam peti yang ramai-ramai dibuang ke laut itu: daun Camellia sinensis, alias teh.

Markman Ellis dan kawan-kawan dalam bukunya Empire of Tea: The Asian Leaf that Conquered the World (2015) mencatat bahwa orang Eropa mula-mula mencicipi teh pada abad ke-17.

Di Britania Raya, popularitasnya meledak mulai abad ke-18. Sejak saat itu pula Inggris menjadi salah satu negara peminum teh terbesar di dunia. Rata-ratanya mencapai 1,9 kg per kapita.

Markman menegaskan, teh tidak akan populer di Inggris jika tidak terjadi peningkatan pasokan yang membuatnya lebih mudah diakses.

Inggris mengandalkan produksinya dari wilayah koloni seperti Cina dan India. Kegiatan mengimpor teh dilakukan oleh korporasi bernama British East India Company. Pada awal hingga pertengahan 1700-an, aktivitas impor mereka tercatat mengalami peningkatan hingga empat kali lipat.

Pada satu titik, Parlemen Inggris bahkan sampai melarang impor tekstil siap pakai dari Asia agar bisa fokus mengimpor teh. Kebijakan ini lambat laun mengganti popularitas mengonsumsi kopi yang harganya kian mahal, sementara harga teh makin terjangkau terutama pada era 1750-an.

Konsumsi teh berkembang di kalangan kelas menengah Inggris setelah penemuan gula. Tak lama setelahnya, meminum teh menjadi semacam kegiatan khusus yang terasa elite, bahkan patriotik.

Problem muncul saat konsumsi teh mulai meningkat di wilayah koloni, yakni ditandai dengan kemunculan korporasi-korporasi pesaing East India Company. Beberapa korporasi asal Belanda dikenal menjual teh selundupan ke Eropa maupun Amerika dengan harga jauh lebih murah. Pengepul maupun pedagang lebih menyukai transaksi dengan mereka, dan otomatis mengganggu dominasi Inggris.

Untuk menjaga praktik monopolinya, pada tahun 1721 Parlemen Inggris mengesahkan undang-undang yang mengatur jual beli teh di wilayah koloni hanya boleh dilakukan melalui barang impor dari Britania Raya.

Baca juga: Sejarah Hidup George Washington, Tuan Tanah yang Jadi Presiden AS

Namun, aturan ini tidak menuai hasil yang diharapkan karena penjualan teh selundupan dari Belanda tetap berjaya di pasaran. Ditambah kondisi keuangan kerajaan Inggris yang mulai bobrok. Parlemen Inggris kemudian membuat dan menjalankan Undang-undang Townshend sebagai solusi.

Benjamin Woods Labaree dalam buku klasiknya yang berjudul The Boston Tea Party (1979) menjelaskan, Undang-undang Townshend adalah aturan penetapan pajak pertama yang Inggris tetapkan di wilayah koloni dengan tujuan untuk menambah kas kerajaan.

Undang-undang ini ditentang kelompok patriot Amerika seperti Whigs. Mereka berargumen bahwa Undang-undang tersebut adalah pelanggaran konstitusi Inggris yang menyatakan pajak hanya bisa dikenakan jika koloni memiliki perwakilan di parlemen—yang hingga saat itu belum terwujud.

Kelak argumen ini dikokohkan melalui slogan “no taxation without representation" (menolak pajak tanpa perwakilan), dan menjadi basis filososi para patriot yang menghendaki kemerdekaan ke-13 koloni Amerika.

Saat protes anti-Undang-undang tersebut kian meluas, Parlemen Inggris mencabutnya pada tahun 1770. Namun, mereka tetap mempertahankan sub-pasal mengenai cukai teh. Parlemen beralasan bahwa kerajaan Inggris memang punya hak untuk menetapkan pajak kepada rakyat Amerika.

Cukai ditarik saat peti-peti teh mendarat di Pelabuhan Boston yang menjadi pusat importir teh kolonial terbesar di dunia. Sementara penyelundupan teh ilegal tetap terjadi di Pelabuhan New York dan Philadelphia.

Aturan cukai teh hanya bertahan hingga tahun 1772. Oleh karena itu Parlemen Inggris segera mengesahkan Undang-undang Teh untuk melanggengkan penetapan cukai teh.

Rakyat Amerika yang makin muak karena tingkat kerugian semakin besar kemudian memulai aksi-aksi protes yang lebih luas. Whigs, yang kadang menyebut diri sebagai Sons of Liberty, menjadi kelompok pelopor. Mereka menggalang kampanye di pelabuhan-pelabuhan untuk sosialisasi sekaligus merekrut para korban kebijakan pemerintah Inggris.

Di koloni-koloni lain, massa aksi mampu memaksa kapal pengangkut teh untuk kembali ke Britania Raya. Misi yang sama tidak bisa terwujud di Massachussetts karena gubernurnya bersikeras menjalankan aturan Undang-undang Teh.

Baca juga: Gara-Gara Pajak, 13 Koloni Berontak dan Lahirlah Amerika Serikat

Apa yang dimaksud dengan peristiwa the boston tea party

Infografik Mozaik Pesta Teh Boston

Minum Teh Tidak Patriotik, Ganti dengan Kopi

John K. Alexander dalam buku Samuel Adams: America's Revolutionary Politician (2002) menerangkan situasi itu mendorong pentolan Sons of Liberty, Samuel Adams, untuk menggagas semacam petisi bagi gubernur agar menjalankan tuntutan warga koloni.

Petisi lambat laun berubah menjadi ultimatum. Saat sang gubernur tidak mau merealisasikan tuntutan hingga 15 Desember 1773, keesokan harinya Adams dan kawan-kawan menginisiasi Boston Tea Party.

Aksi dijalankan menjelang malam hari. Massa yang tergabung dalam Sons of Liberty memakai kostum suku Indian, lebih tepatnya orang Mohawk, agar tidak dikenali karena aksi bersifat ilegal.

Kostum Indian juga diniatkan sebagai simbol perlawanan karena Sons of Liberty mengasosiasikan diri sebagai patirot asli Amerika—yang juga ironis sebab yang suku Indian lawan adalah pendatang kulit putih Eropa.

Total ada 342 peti berisi teh yang dibuang ke laut dari tiga kapal: Dartmouth, Eleanor, dan Beaver. Peristiwa berlangsung selama tiga jam. Terdapat kesimpangsiuran jumlah pelaku. Sejarawan memberikan perkiraan yang tidak spesifik: antara 30 hingga 130 orang.

Keesokan harinya, Samuel Adams muncul ke publik untuk membela aksi tersebut. Ia berargumen bahwa aksi tersebut bukan jenis gerombolan tanpa hukum (lawless mob), melainkan bentuk protes yang didasarkan pada prinsip yang jelas, serta jalan satu-satunya untuk mempertahankan hak konstitusional rakyat Amerika.

Parlemen Inggris meresponsnya dengan menerbitkan Undang-undang Tindakan yang Tak Bisa Dimaklumi (Intolerable Act). Undang-undang ini ditujukan untuk menghukum koloni Massachussetts. Tapi terbitnya Undang-undang tersebut justru makin mengobarkan semangat perlawanan dari para aktivis di 13 koloni.

Sejarawan bersepakat dalam menetapkan Boston Tea Party sebagai batu loncatan dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Amerika Serikat, hingga benar-benar terwujud melalui deklarasi tanggal 4 Juli 1776.

Uniknya, banyak orang Amerika yang menghentikan konsumsi teh pasca peristiwa Boston Tea Party. Minum teh dianggap sebagai perilaku yang tidak patriotik. Keputusan ini berdampak pada makin lesunya perdagangan teh di berbagai pelabuhan di pesisir pantai timur Amerika.

Presiden AS ke-2, John Adams, mendukung gerakan tersebut. Melalui surat kepada istrinya, Abigail, ia menyatakan akan mengganti minuman panasnya dengan kopi. Dan bisa ditebak: penjualan kopi di AS pun meningkat pada awal berdirinya negara tersebut.

Baca juga artikel terkait BRITANIA RAYA atau tulisan menarik lainnya Akhmad Muawal Hasan
(tirto.id - awa/irf)


Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Irfan Teguh

Subscribe for updates Unsubscribe from updates