Apa yang akan kamu lakukan jika dalam keluargamu memiliki adat-istiadat yang bertentangan dengan

Apa yang akan kamu lakukan jika dalam keluargamu memiliki adat-istiadat yang bertentangan dengan

Apa yang akan kamu lakukan jika dalam keluargamu memiliki adat-istiadat yang bertentangan dengan
Lihat Foto

THINKSTOCKS/ANNASUNNY

Ilustrasi keberagaman

KOMPAS.com - Saat ini, seringkali anak tidak suka dengan temannya hanya gara-gara perbedaan. Perbedaan ini bisa dicontohkan karena beda warna kulit atau hal-hal lain.

Sikap tak menghargai perbedaan dan keragaman bisa terjadi pada anak-anak kita. Karena itulah menjadi kewajiban orangtua untuk membimbingnya.

Sebagai warga negara Indonesia, kita sudah terbiasa dan seharusnya hidup dalam keragaman. Baik keragaman agama, adat istiadat, suku, budaya, dan bahasa.

Karena itu, penting sekali mengenalkan anak pada keragaman yang dapat dimulai sejak usia dini. Baik di lingkungan rumah maupun di lingkungan sekolah.

Baca juga: Hasil Survei: Berikut 3 Masalah Orangtua Dampingi Anak BDR

Ada beberapa cara atau tips yang bisa dilakukan orangtua untuk melatih agar anak menghormati perbedaan dan keragaman dalam lingkungan. Melansir laman Sahabat Keluarga Kemendikbud, berikut ini tipsnya:

1. Ajak bersosialisasi

Orang tua harus mengajak anak untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Bersosialisasi bisa di sekolah maupun di rumah.

Beri kebebasan kepada anak untuk berteman dengan siapapun tanpa memandang agama, suku maupun ras. Berkomunikasilah dengan guru tentang perkembangan sosial anak di sekolah.

Ajak anak bersosialisasi dengan lingkungan di rumah dengan cara mengundang anak-anak di sekitar rumah untuk bermain ke rumah atau sebaliknya. Ini akan membawa dampak pada perkembangan sosial anak.

2. Berpikir kritis

Apa yang akan kamu lakukan jika dalam keluargamu memiliki adat-istiadat yang bertentangan dengan

Perbedaan adalah suatu keberagaman, yang bisa kita lakukan adalah menerima perbedaan tersebut dan menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan. Perbedaan bukan justru kita jadikan sumber konflik melainkan sebisa mungkin kita jadikan tolak kekuatan untuk membangun kehidupan yang harmonis, damai dan penuh toleransi. Sehingga kedamaian di dunia bisa betul-betul terwujud.

Indonesia adalah salah satu negara yang banyak memiliki keberagaman, Perbedaan yang beragam seperti suku, ras, etnik, agama, budaya ,bahasa ,dan adat istiadat di dalamnya. Perbedaan yang dimiliki bangsa Indonesia sesungguhnya merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya. Hal ini karena tak banyak negara yang memilikinya.

Salah satu cara menjaga dan merawat perbedaan yang beragam tersebut adalah dengan Bhinneka Tunggal Ika, Bhineka Tunggal Ika (berbeda beda tetapi tetap satu jua) merupakan semboyan negara indonesia yang dijadikan sebagai dasar unuk mewujudkan persatuan dan kesatuan negara indonesia dimana kita harus menerapkannya dalam kehidupan sehari hari, yakni dengan cara hidup saling menghargai satu samalain. Maka dari itu kita sebagai rakyat Indonesia harus tetap menjaga keutuhan dalam kebersamaan membangun Negara kesatuan yang majemuk.

Indonesia dengan hadirnya masyarakat yang majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda beda di bawah naungan sebuah system nasional yang mengandung beberapa unsur pemerintahan yang menjalankan suatu proses pembentukan masyarakat Indonesia tanpa membedakan keberagaman budaya ,bahasa ,agama ,suku ,ataupun strata social demi mewujudkan tujuan suatu Negara, yakni seperti yang telah di maksud dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Bhinneka Tunggal Ika sangat memiliki peran penting bagi Indonesia, salah satunya digunakan sebagai pemersatu bangsa demi meningkatkan derajat Negara Indonesia. Kemudian salahsatu usaha yang harus di tempuh yakni meningkatkan kesadaran pola fikir masyarakat Indonesia untuk menggunakan hak konstitusi dalam berkumpul maupun berserikat, dan juga mendorong masyarakat untuk lebih menggunakan dasar agama sebagai landasan kehidupan dalam bersosialisasi yang juga menegaskan bahwa tuhanlah tujuan hidup mereka seperti yang tertera dalam agama yang di anut setiap individu masyarakat.

Seiring berkembangnya zaman, pengamalan Bhinneka Tunggal Ika semakin lama semakin meredup. Bhinneka Tunggal Ika tidak cukup hanya sebatas semboyan atau konsep pengembangan suatu Negara saja, Perlu ada suatu cara baru yang lebih menyesuaikan dengan kehidupan di jaman sekarang. Salahsatu cara yang bisa di lakukan adalah dengan mengadakan perayaan, perayaan adalah salah satu langkah untuk bagaimana masyarakat bisa memaknai dan mengamalkan Bhineka Tunggal Ika dengan cara turut aktif dalam sebuah perayaan.

Contohnya mengadakan Festival di berbagai daerah dengan menunjukkan kebudayaan daerah mereka masing masing. Dengan demikian masyarakat kembali di sadarkan akan beragamnya kebudayaan daerah di Indonesia yang perlu di lestarikan dan begitu berharganya kebudayaan-kebudayaan tersebut. Perayaan tersebut bertujuan untuk membangun keakraban dan kebersamaan di tengah-tengah perbedaan antar masyarakat.

Disetiap Negara pasti memiliki aturan-aturan tertentu, begitu juga dengan Negara Indonesia. Yang memiliki berbagai aturan yang mengatur setiap individu masyarakat jadi sudah selayaknya kita menjaga keutuhan Bhinneka Tunggal Ika dengan  mentaati peraturan peraturan yang di tentukan dalam Negara Indonesia.

Maka dari itu Bhinneka Tunggal Ika harus di jaga keutuhannya karena telah disadari begitu pentingnya Bhinneka Tunggal Ika bagi Indonesia, maka sudah menjadi kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia untuk memeliharanya. Keutuhan suatu wilayah lah yang menjadi kekuatan utama dalam bernegara, disusul dengan saling menghormati perbedaan satu samalain karna memang benar adanya bahwa Negara Indonesia ini menggandung beragam perbedaan didalamnya maka dari itu saling menghormatilah yang menjadi pondasi Bhinneka Tunggal Ika.

Dengan demikian menjaga, memaknai, menyebarkan dan mengamalkan Bhineka Tunggal Ika adalah kewajiban kita semua agar kedamaian dan kerukunan bisa betul-betul terwujud di bumi Indonesia.

Penulis Widi Ayu Novita S / Mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum Angktan 2016
Editor

Oleh : Ansori

(Katib Syuriyah PCNU Kab. Banyumas)

A. ‘Urf (Adat) Sebagai dasar Hukum

Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama’ Usul Fikih (ushuliyyun) bahwa sumber /dasar/dalil hukum Islam ada 2 (dua) yaitu sumber naqly (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan aqly (akal). Sunber / dalil hukum yang didasarkan atas akal, dalam metodologi hukum Islam (Usul Fikih), dikonstruksi oleh ulama dengan istilah Ijtihad. Salah satu metode ijtihad adalah ‘urf (penetapan hukum yang didasarkan atas kebiasaan/tradisi/adat setempat). Penetapan hukum yang didasarkan atas kebiasaan setempat (‘urf) ini tentu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat  dan hanya digunakan dalam bidang muamalah (diluar persoalan ibadah mahdhah/ritual)

Penyerapan adat ke dalam hukum (Islam) dilakukan juga terhadap adat/tradisi Arab sebelum Islam. Penyerapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

    1. تهميل (adaptive-complement)

Tahmil atau apresiatif diartikan sebagai sikap menerima atau membiarkan berlakunya sebuah tradisi. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang menerima dan melanjutkan keberadaan tradisi tersebut serta menyempurnakan aturannya. Apresiasi tersebut tercermin dalam ketentuan atau aturan yang bersifat umum dan tidak mengubah paradigma keberlakuannya. Bersifat umum, artinya ayat-ayat yang mengatur

_____________________________

*Makalah disampaikan dalam kajian ASWAJA di UNU Purwokerto pada hari   Jumat tanggal 16 Oktober 2020

tidak menyentuh masalah yang mendasar dan nuansanya berupa

anjuran dan bukan perintah. Disisi lain, aturannya lebih banyak menyangkut etika yang sebaiknya dilakukan tetapi tidak mengikat.

Contoh dalam masalah ini adalah perdagangan dan penghormatan bulan-bulan haram.

Tahrim diartikan sebagai sikap yang menolak keberlakuan sebuah tradisi masyarakat. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya pelarangan terhadap kebiasaan atau tradisi dimaksud oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Pelarangan terhadap praktik tersebut juga dibarengi dengan ancaman bagi yang melakukannya. Termasuk dalam kategori ini dalah kebiasaan berjudi, minuman khamr, praktik riba, dan perbudakan.

    1. تغيير (adaptive-reconstructive)

Taghyir adalah sikap Al-Qur’an yang menerima tradisi Arab, tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya. Al-Qur’an tetap menggunakan simbol-simbol atau pranata sosial yang ada, namun keberlakuannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, sehingga karakter aslinya berubah. Al-Qur’an mentransformasikan nilai-nilainya ke dalam tradisi yang ada dengan cara menambah beberapa ketentuan dalam tradisi tersebut. Di antara adat istiadat Arab yang termasuk dalam kelompok ini adalah : pakaian dan aurat perempuan, hukum-hukum yang terkait dengan perkawinan (keluarga), anak angkat, hukum waris, dan qishash-diyat

B. Prinsip “Segala Sesuatu Boleh Dilakukan”

Metode berfikir  di kalangan madzhab Syafi’i antara lain berpijak pada kaidah  الأصل في الأشياء الإباحة (Hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh). Sedangkan  dikalangan madzhab Hanafi menggunakan kaidah sebaliknya yaitu الأصل في الأشياء التحريم  (Hukum asal dalam segala sesuatu adalah dilarang) Dalam perkembangannya dua kaidah yang kontradiktif tersebut diberikan peran masing-masing dengan cara membedakan wilayah kajiannya. Kaidah الأصل في الأشياء الإباحة ditempatkan dalam kajian bidang muamalah (selain ibadah mahdhah/ritual) dan kemudian muncul kaidah    الأصل في المعاملة الإباحة إلا أن يدل الدليل على التحريم (Hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh dilakukan, selain hal-hal yang telah ditentukan haram oleh dalil/nash)  Sedangkan kaidah  الأصل في الأشياء التحريم  ditempatkan dalam wilayah kajian ibadah mahdhoh / ritual dan kemudian muncul kaidah  الأصل في العبادة التحريم إلا أن يدل الدليل على الإباحة (Hukum asal dalam urusan ibadah adalah tidak boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang memperbolehkan/memerintahkan)

Memahami dan mencermati dua prinsip kaidah tersebut sangat penting untuk menilai apakah tradisi/kebiasaan/adat yang ada di masyarakat tersebut boleh atau tidak, bid’ah atau tidak bid’ah. Prinsip yang pertama, dalam urusan/wilayah/bidang  muamalah (selain ibadah)  adalah “segala sesuatu boleh dilakukan walaupun tidak ada perintah, asalkan tidak ada larangan”, atau lebih jelasnya “seseorang boleh melakukan sesuatu, meskipun tidak ada dalil yang memerintahkannya, yang penting tidak ada dalil yang melarangnnya. Sedangkan prinsip kedua, seseorang tidak boleh melakukan ibadah kalau tidak ada perintah, atau lebih jelasnya “seseorang boleh melakukan suatu ibadah kalau ada perintah, walaupun tidak ada larangan”.

Oleh karena itu, tradisi/kebiasaan/adat apapun yang ada dimasyarakat, selagi tidak ada kaitannya dengan persoalan ibadah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat (tidak ada nash yang melarang) adalah boleh saja dilakukan (ibahah).

Bahkan suatu tradisi/kebiasaan/adat tertentu bisa dijadikan dasar penetapan (legitimasi) hukum dan sekaligus  sebagai dasar (legitimasi) penyelesaian persengketaan hukum , terutama dalam bidang jual beli (transaksi atau akad). Prinsip ini ada dalam kaidah : العادة محكمة (adat dapat dijadikan dasar penetapan hukum). Hal ini disebabkan karena persoalan muamalah tidak semuanya dan tidak mungkin diatur secara detail dalam nash (yang diatur secara rinci dalam nash sangat terbatas, sebagian besar yang lain adalah prinsip-prisip dasarnya saja yang diatur), tidak demikian halnya dalam masalah ibadah, sebagian besar diatur secara detail termasuk teknis pelaksanaannya.

C. Prinsip Kemaslahatan/Kemanfaatan

Salah satu prinsip penting lain yang digunakan dalam menetapkan hukum atau menilai “sesuatu” adalah kemaslahatan atau kemnfaatan riil. Metode ini dalam hukum Islam (Usul Fikih) disebut istishlah atau maslahah mursalah. Oleh karena itu salah satu paramerter untuk menilai tradisi/kebiasaan/adat yang ada di masyarakat baik atau tidak, boleh atau tidak boleh, bid’ah atau tidak bid’ah adalah apakah bermanfaat/ada nilai maslahat (kebaikan) nya atau tidak. Apabila tradisi/kebiasaan/adat itu ada manfaat/ maslahatnya atau tidak mengakibatkan madharat (efek negatif), maka minimal hukumnya boleh (ibahah). Sekali lagi selama tradisi/kebiasaan/adat tersebut tidak berkaitan dengan ibadah atau masuk dalam sistem/teknis ibadah, dan selama tidak ada nash qath’iy yang melarangnya, maka tidak dilarang.