Apa tujuan karya pembaharuan allah

Pendahuluan

Apa tujuan karya pembaharuan allah
Saya diminta oleh MS. GMIT menjadi pemandu bagi kita untuk mendalami teks Wahyu 21:1-8. Bagi saya pendalaman ini penting karena dengan semakin mendalami dan memahami teks ini, maka teks ini akan menuntun kita dalam membuat, merumuskan dan menetapkan program pelayanan 2017 yang pada akhirnya dapat memperbaharui diri, pelayanan bergereja dan bermasyarakat. Untuk itu, pendalaman akan teks ini akan dibuat dengan sistimatika sebagai berikut: pembahasan latar belakang wahyu, pendalaman teks dan Pendalaman Makna dan Implementasinya

Latar Belakang Kitab Wahyu

Kitab Wahyu adalah kitab yang unik dalam banyak hal. Ia adalah satu-satunya buku PB yang bergantung sepenuhnya pada nubuatan. Hampir seluruh perbandingannya dihubungkan dengan tokoh-tokoh yang ada dalam kitab-kitab nubuat PL dan sebagian besar isinya berupa ramalan, yang menyangkut masa depan (22:6). Karena itu kitab Wahyu tergolong sebagai kitab apokaliptik.

Biasanya kepustakaan apokaliptik dihasilkan pada masa penindasan dan penganiayaan sebagai cara untuk membesarkan hati mereka yang tengah menderita demi iman mereka. Untuk dapat mengenali apakah apokaliptik atau tidak, maka Tenney[1] menyebutkan 5 ciri, yaitu:

  1. Keputusasaan yang besar menghadapi keadaan yang berlangsung dan pengharapan yang sama kuat akan campur tangan ilahi di masa depan.
  2. Penggunaan bahasa simbolik, impian-impian dan penglihatan.\
  3. Ditampilkannya kuasa sorgawi dan kuasa iblis sebagai utusan perantara dalam perkembangan rencana Allah.
  4. Nubuat tentang malapetaka hebat yang akan mengenai orang-orang fasik dan yang secara ajaib akan melewati orang-orang yang benar.
  5. Adakalanya terjadi pemalsuan nama-nama penulisnya dengan tokoh-tokoh sejarah kitab suci yang menonjol.

Dari pembagian ini, jika kita perhatikan 5 ciri ini, 4 ciri itu melekat pada kitab Wahyu, kecuali yang kelima. Sebagai kitab apokaliptik, kitab Wahyu ini adalah penggambaran akan sebuah pergumulan jemaat Kristus yang sedang menghadapi sebuah persoalan besar, berhubungan dengan iman mereka, pertumbuhan gereja dan keadaan hidup mereka waktu itu. Karena itu pertanyaannya adalah, apakah yang sesungguhnya terjadi saat itu?

Jika dilihat dari isi pesan kepada jemaat-jemaat, maka tersirat bahwa adanya persoalan besar itu berhubungan dengan bahaya-bahaya penindasan yang tengah mengancam atau sudah terjadi di jemaat-jemaat. Misalnya, jemaat di Smirna diperingatkan akan “apa yang harus engkau derita” dan akan”beroleh kesusahan selama sepeluh hari” (2:10). Antipas telah mati sahid di Pergamun (2:13), Di jemaat Filadelfia akan dilepaskan dari “hari percobaan” (3:10) dsb.

Nama-nama jemaat ini  menunjuk pada nama-nama propinsi Asia di bawah kekaisaran Romawi. Selain nama, ada juga penyebutan tanda-tanda atau simbol-simbol yang mengisyaratkan pada kekaisaran Romawi, seperti “binatang yang diberi kuasa atas setia suku dan umat bahasa dan bangsa” yang punya kemiripan dengan wawasan universal Romawi (13:17). “Tanda” yang harus dibawa oleh setiap orang yang akan membeli atau menjual (13:16-17) sebagai isitilah yang berkenaan dengan meterai kekaisaran untuk keperluan dagang, dokumen, wasiat agar mendapatkan legitimasi hukum, dan sejumlah informasi lainnya.

Artinya, kalau kita mau pahami kitab Wahyu, maka haruslah menghubungkannya dengan kekaisaran Romawi[2]. Romawi adalah kerajaan yang berjaya pada saat kitab ini ditulis. Kaisar-kaisarnya memerintah dalam keangkuhan dan kemewahan dalam pesta pora, yang menyebabkan daerah-daerah taklukkannya tertindas, menderita dan sengasara. Pada masa itu kekristenan juga mengalami penindasan. Mengapa? Pada tahun 81-96 M, saat Domitianus keluarlah sebuah maklumat kaisar yang mengharuskan orang menyembahnya sebagai Tuhan. Sebagai kasiar, ia juga tampil sebagai seorang pemimpin yang dkitator yang sangat membenci kekristenan, karena penolakan kekristenan atas maklumatnya[3].

Makna Teks: Upaya Memahami Teks

Menurut Tenney[4], teks ini adalah bagian ketiga dari 6 pembagian yang ia buat atas isi kitab Wahyu, yaitu:

  1. Kata Pembuka: Pemberitaan Kristus, yang meliputi pasal 1:1-8.
  2. Penglihatan I: Kristus di Dalam Gereja: Kristus Yang Hidup. Tempat penglihatan di Patmos, yang meliputi pasal 1:9-3:22.
  3. Penglihatan II: Kristus di Alam Semesta: Sang Penebus. Tempat penglihatan di Sorga, yang meliputi pasal 4:1-16:21.
  4. Penglhatan III: Kristus Menang Perang: Medan Pertempuran. Tempat penglihatan di Padang Gurun, yang meliputi pasal 17:1-21:8
  5. Penglihatan IV: Kristus Dalam Kegenapan Rencana Allah: Anak Doma. Tempat penglihatan di sebuah gunung, yang meliputi pasal 21:9-22:5.
  6. Kata Penutup: Himbauan Kristus, yang meliputi pasal 22:6-21.

Sebagai penglihatan ke-3, maka pesan yang hendak disampaikan oleh penulis kitab Wahyu adalah sebuah rencana Allah bagi keberlangsungan gereja dan keselamatan umat manusia yang diwujudkan melalui Kristus atau yang lebih sering disebut sebagai sebuah pendekatan Kristologi (berpusat pada Kristus), dimana Kristus menjadi pusat dari upaya kita memahami kitab Wahyu ini[5].

Jika dipilah ayat per-ayat, maka tek ini dimulai dari sebuah pernyataan penulis tentang hadirnya langit baru dan bumi yang baru, setelah langit dan bumi yang pertama itu berlalu dan lautpun tidak ada lagi. Sebagai sebuah tulisan apokaliptik, yaitu sebagai cara untuk membesarkan hati jemaat yang tengah menderita demi iman jemaat, maka pernyataan pertama dalam pasal 21:1 ini merupakan sebuah proklamasi dari penulis yang melihat rencana Allah atas jemaat, yang berisikan pengharapan, kemenangan dan  keselamatan bahwa semua penganiayaan dan penderitaan itu akan segara berakhir dengan kemenangan, pengharapan dan keselamatan.

Pernyataan itu didasarkan pada satu hal, yaitu bahwa Allah ada dan berdiam bersama-sama jemaat. Ia akan menjadi Allah bagi jemaat dan jemaat menjadi UmatNya. Ini semua terungkap dalam ayat 3, “Lihatlah kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan berdiam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umatNya dan Ia akan menjadi Allah mereka.” KehadiranNya, oleh penulis bertujuan untuk menghapus air mata, meniadakan maut, menghilangkan perkabungan, dukacita, ratap dan tangisan, sebab segala yang lama, yaitu yang menyebabkan jemaat menderita itu telah berlalu, (ayat 4).

Allah yang mendatangi umatNya itu adalah Allah yang akan menjadikan segala sesuatu menjadi baru (ayat 5). Ia adalah Alfa dan Omega (ayat 6), yang menang (ayat 7) dan yang akan memberikan penghakiman dengan adil terhadap mereka yang tidak percaya kepadaNya, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 8.

Teks ini menjadi sebuah teks yang coba mengingatkan pembaca kembali pada apa yang telah Kristus buat dalam kehadiranNya di tengah-tengah manusia. Kristus yang datang ke dalam kehidupan manusia adalah Kristus yang membawa dan menghadirkan perubahan dan pembaharuan bagi manusia, ketika manusia karena dosa, hidup dalam berbagai-bagai persoalan, harus menderita, harus kehilangan keselamatan dan berhadapan dengan maut dan kuasanya, kehilangan pengharapan, maka Kristus yang hadir di tengah-tengah manusia itu hadir dan membuat manusia memiliki pengharapan baru untuk diselamatkan, sebab Kristus itu tidak hanya hadir dalam panggung sejarah kehidupan umat, tetapi Ia juga berkarya, berperang mengalahkan maut ganti kita, untuk meniadakan dosa dan kuasa maut lewat kematian dan kebangkitanNya sehingga kita beroleh kehidupan kekal.

Jadi kehadiran Kristus menghadirkan kekuasaan Allah yang berlaku atas kehidupan kita. Kuasa Allah melalui karya Kristus itu mengandung kuasa pemulihan, kuasa pembaharuan untuk menghadirkan pengharapan baru dan keselamatan bagi umatNya. Pertanyaannya adalah seperti apa kuasa itu?

Penulis Wahyu dalam ayat 5 menegaskan bagi kita, bahwa Allah yang hadir di tengah-tengah manusia itu adalah Allah yang menjadikan segala sesuatu baru. Kata menjadikan dalam ayat ini berasal dari kata kaino (ĸᾶiνω). Arti Kaino, menjadikan ini hendak melaksanakan dua hal, yaitu Renewal dan Transformation.

Renewal itu menunjuk pada adanya sebuah upaya untuk memperbaharui sesuatu yang semula sudah ada, sudah dikerjakan tetapi setelah beberapa waktu ia mengalami sesuatu hal yang menyebabkan ia kehilangan “warna, tujuan” dari yang semula dan karena itu supaya ia bisa kembali ke keadaan yang semula, maka ia harus di-renewal (diperbaharui lagi).

Makna ini juga sama dengan transformation (transformatif), dimana perubahan itu berlangsung secara menyeluruh, yakni kuantitas (jumlah) dan kualitas (mutu). Tidak setengah-setengah (atau tambal sulam, dimana ada yang rusak maka bagian itu saja yang diperbaiki). Dan pembaharuan seperti ini adalah pembaharuan yang hanya mampu dilakukan oleh Allah dalam Roh Kudus (Titus 3:5).

Pembaharuan itu hanya mampu dilakukan oleh Allah sendiri. namun melibatkan juga manusia. Mengapa? Sebelum kita membahas lebih mendalam tentang 3 jenis pembaharuan, marilah sejenak kita berdiskusi kenapa melibatkan manusia juga.

Pendamaian Allah, Karya Pembaharuan: Justification, Sanctification dan Vocation

Kristus sebagaimana yang sudah kita percakapkan tadi adalah Allah yang berkarya untuk menyelamatkan kita. Karya penyelematan Kristus itu dimulai dengan tindakan pendamaian Allah dan pendamaian itu berlangsung dalam 3 tahap, yaitu pembenaran, pengudusan dan penugasan. Mari bersama kita membahasnya.

Istilah Inggris untuk bentuk pertama ini adalah justification. Maksudnya adalah bahwa semua yang dikerjakan Kristus dimaksudkan untuk membenarkan kita. Manusia berdosa itu dibenarkan oleh Allah karena Yesus Kristus. Tindakan pembenaran itu terjadi pertama dengan cara segala hukuman atas manusia berdosa itu telah ditimpakan kepada Yesus Kristus. Hasil dari hukuman itu ialah kematian Yesus. Ia mati bagi manusia dan bersama-sama manusia, sehingga tuntutan hukuman atas dosa sudah dilunasi.

selanjutnya, Yesus Kristus bangkit dari antara orang mati sebagai yang sulung dari semua yang meninggal (I Kor. 15:20). Kebangkitan itu menyebabkan manusia juga ikut bangkit bersama Kristus. Ketika manusia juga dibangkitkan karena kebangkitan Yesus, manusia yang telah bebas dari hukuman atas dosa, sehingga manusia diterima kembali oleh Allah.[6] Di sinilah proses pembenaran itu terjadi, yakni dihukum mati sekaligus dibangkitkan dan diterima kembali.

Luther, bapak reformasi gereja menggunakan istilah simul peccator et iustus. Allah membenarkan manusia dengan cara berikut: Ia memukul manusia lama itu sampai mati dan sesudah itu Ia membangkitkan manusia itu kepada hidup yang baru. Manusia lama digantikan dengan manusia baru. Kemanusiaan baru yang diterima manusia itu bersifat eskatologis. Artinya, itu bukan melulu urusan masa depan melainkan masa depan yang sudah harus diwujudkan dalam masa kini, maksudnya kemanusiaan baru itu perlu terus-menerus kita wujudkan dalam hidup dan aktivitasnya.

Aspek kedua dari karya pendamaian adalah pengudusan (sanctification). Kalau tadi dalam pembenaran kita menemukan bahwa pembenaran itu berlangsung karena anugrah Allah semata. Pembenaran itu terjadi di luar persetujuan manusia, mau atau tidak, maka karya lanjutan dari pembenaran itu adalah pengudusan.

Pengudusan ini merupakan karya Allah yang juga di dalamnya melibatkan manusia sebagai suatu tugas, suatu wujud bahwa ia menerima tindakan pembenaran itu dengan hidup di dalam pengudusan. Karena itu pengudusan merupakan a life-movement to a higher ground, satu gerakan dalam kehidupan yang makin hari makin mendaki ke puncak.[7]

Jika dalam pembenaran Allah mengangkat manusia keluar dari dosa, maka dalam pengudusan Allah yang membenarkan itu memberikan kepada manusia bentuk hidup yang baru, dimana manusia itu ditetapkan sebagai orang kudus (sancto dan sancta) supaya ia layak untuk menjadi sekutu Allah kudus. Penetapan manusia sebagai orang kudus dimaksud untuk memungkinkan manusia itu sebagai partner Allah dalam perjanjian.[8]

Penetapan itu adalah karya Allah, tetapi sekaligus juga karya manusia. Artinya keberadaan manusia sebagai sancto dan sancta atau keberadaan sebagai sekutu Allah yang kudus harus diwujudkan secara konkret dalam pola hidup yang disebut imitatio Christi, yakni menjalani hidup begitu rupa sehingga kekudusan Kristus terpancar dari kehidupan kita.

Imitatio Christi tidak berarti bahwa manusia itu berubah menjadi malaikat atau setengah Allah. Tidak! Ia tetaplah seorang manusia biasa, yang masih tergoda oleh dosa. Tetapi yang selalu berusaha untuk tidak tergoda dan jatuh dalam godaan dosa dan yang selalu datang kepada Allah dalam doa: untuk meminta kekuatan dari Allah melawan godaan dosa dan selalu berkata “Allah Bapa Tuhan, tolong kami lawan dosa atau berdoa, Ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Mt. 6:12).

Selanjutnya, Allah yang membenarkan dan menguduskan manusia sekaligus juga adalah Allah yang menugaskan. Manusia itu dibenarkan dan dikuduskan oleh Allah bukan sekedar untuk ia menikmati keselamatan. Itu memang penting tetapi bukan tujuan karya pendamaian.

Pembenaran dan pengudusan manusia bertujuan kepada penugasannya, yakni ia disuruh Allah menjadi saksi dalam dunia, yakni memperlihatkan pembenaran dan pengudusan kepada mereka masih hidup dalam perseteruan dengan Allah untuk ambil bagian dalam persekutuan dengan Allah.

Isi dari penugasan itu adalah menperdengarkan Injil, yang dilaksanakan bukan hanya sebagai sebuah tindakan verbal, tetapi juga sebagai kekuatan Allah yang menyelamatkan dalam bentuk seperti yang dikatakan Yesus: “Orang-orang miskin mendengarkan kabar baik; orang-orang tawanan dilepaskan, orang-orang buta melihat. Mereka yang tertindas dibebaskan.

Hal memperdengarkan Injil itu adalah memperlihatkan bahwa tahun rahmat Tuhan telah datang (Lk. 4:18-19). Karena itu, memperdengarkan Injil artinya mendirikan tanda-tanda kerajaan Allah di bumi. Inilah penugasan orang-orang yang dibenarkan dan dikuduskan. Tugas ini dikerjakan selama masa kenaikan Kristus ke sorga dan kedatanganNya kembali.

Dalam masa ini, manusia yang dibenarkan dan dikuduskan itu tidak bekerja sendiri. Yesus memang telah naik ke sorga, namun Ia tetap ambil bagian aktif dalam tugas kesaksian yang dikerjakan umat milikNya melalui Roh Kudus yang tidak lain adalah Kristus yang hadir secara baru dalam dunia (2 Kor. 3:17-18).[9]

Ia bekerja melalui Roh Kudus dan orang-orang tebusanNya (Gal. 2:20). Melalui Roh Kudus, Ia memperlengkapi manusia yang dibenarkan dan dikuduskan dengan berbagai karunia. Mereka juga dipimpin, dikuatkan dan dilindungi untuk melaksanakan penugasan itu.

Masa penugasan itu mesti dilaksanakan dengan memperlihatkan solidaritas dengan dunia untuk membangun tanda-tanda Kerajaan Allah itu. Hidup dalam penugasan tidak identik dengan sikap memusuhi dunia, mengembangkan apa yang Barth sebut sebagai sacro egoismus,[10] mengurung dalam ruang kontemplasi untuk steril dari berbagai persoalan. Sebaliknya, hidup dalam penugasan artinya berada di antara sesama untuk menjadi garam dan terang sebagaimana Yesus Kristus Tuhan adalah terang bagi bangsa-bangsa (Lk. 2:32).[11]

Pertanyaannya adalah bagaimana perubahan dan pembaharuan yang dikerjakan Allah itu? Kitab-kitab Injil dan tulisan-tulisan Paulus menolong kita untuk memahami bagaimana karya Allah itu.

Dalam kitab-kitab injil, karya Allah itu kita temukan dalam karya Kristus. Karya pembaharuan Kristus dilakukan dalam hubungan dengan Kerajaan Allah. Pembaharuan Kristus itu bukan menggantikan semua yang pernah ada, tetapi menolong umat untuk melihat sebuah perubahan dalam memahami kehendak Allah, lepas dari cara melihat yang telah diajarkan kepada mereka oleh para pemimpin umat mereka (Imam-Imam, Ahli Taurat dan Kaum Farisi). Perubahan yang dimaksudkan itu antara lain dalam hal ajaran tentang kasih.

Kasih ini, demikian kata injil adalah kasih tanpa sekat (misalnya, cerita tentang orang Samaria Yang Murah Hati). Kasih ini bukan berdasarkan golongan, kepangkatan atau status sosial. Kasih itu mestilah kasih yang menyeluruh, yang keluar dari hati (tergerak oleh belas kasihan…kata ini selalu menjadi awal yang menggerakkan Yesus menolong orang yang terabaikan oleh lingkungan). Ia tidak munafik dan mengada-ngada. Kasih seperti ini mesti terjadi kepada Allah, yang berwujud dalam kasih kepada manusia (coba lihat rumusan kasih yang Yesus ajarkan, lihat Matius 25).

Kita bisa dapati hal ini dalam banyak karya dan pengajaran Yesus. Ia melakukan tindakan-tindakan yang berada di luar kelaziman dari praktek yang berlaku pada masa itu. Ini bukan mau menunjukkan bahwa Yesus itu gemar untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari yang lazim, melainkan untuk menunjukkan bahwa kasih kita kepada Allah dalam wujud kepada sesama itu janganlah sampai tidak bisa kita lakukan karena kita terlalu kaku dan mengikuti yang lazim diperbuat padahal itu tidak menolong seseorang untuk berubah untuk berjalan di jalan Allah.

Misalnya, menurut hukum agama Yahudi, adalah haram bagi seorang laki-laki untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan seorang perempuan di tempat terbuka (Yohanes 4:27). Tapi dalam pelayananNya, Yesus justru melakukan percakapan dengan perempuan Samaria. Dengan melakukan itu sebenarnya menurut hukum Yahudi, Yesus sudah meng-haram-kan diriNya. Akan tetapi dengan jalan itu, perempuan yang oleh masyarakat dianggap haram justru memperoleh keselamatan karena dengan jalan itu terjadi pembaharuan dalam diri perempuan itu.

Ada juga contoh lainnya, misalnya hukum Yahudi mengatakan adalah najis jika seseorang bertemu dan berbincang-bincang dengan seorang kusta (Imamat 13-14). Hukum ini oleh Yesus tidak dijadikan alasan untuk menolong orang lain, termasuk si kusta. Menurut Markus 1:41, ketika bertemu seorang kusta, Ia bukan saja berbincang tetapi juga menjamah orang itu.

Ini sebuah tindakan yang membuatNya tidak tahir/najis menurut hukum Yahudi. Yesus tahu hal itu, akan tetapi Ia melakukannya karena Ia mau memberikan kesembuhan bagi orang itu. Dampaknya bukan saja orang itu sembuh, ia malah menjadi saksi Kristus dan ia juga mengalami perubahan dan pembaharuan dalam kehidupannya.

Artinya, untuk sebuah pelayanan yang memperbaharui, yang bercermin pada Kristus, maka pelayanan yang memperbaharui itu bukanlah didasarkan pada prasyarat-prasyarat dan pahala-pahala, tetapi mesti dijalankan dengan penuh cinta kasih dan berbela rasa terhadap manusia, terutama mereka yang terusir dalam masyarakat[12]. Pembaharuan yang Yesus lakukan dalam pelayananNya adalah pembaharuan yang bersifat renewal dan transformatif, yang sudah ada dan yang berlangsung atas jasmani (kesembuhan sakit fisik) dan rohani (mendapatkan sukacita dan terjadi re-new-orientation dalam melihat kehadiran dan perbuatan Allah sehingga membuatnya bertobat) orang yang ditemuiNya.

Berdasarkan Karya Kristus Yang Memperbaharui, Kita Berkarya Untuk Pembaharuan Diri, Gereja dan Masyarakat

Karya pelayanan Yesus ini akhirnya menjadi model pelayanan para murid Yesus. Paulus, misalnya. Dalam kesaksiannya kepada jemaat Roma dan Efesus ia memberikan tekanan yang kuat pada karya pembaharuan itu.

Hal Paulus tuliskan dalam Roma 12:2, “janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Selanjutnya dalam Efesus 2:15, makna pembaharuan itu Paulus sebutkan sebagai,”sebab dengan matiNya sebagai manusia Ia telah membatalkkan Hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diriNya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera.”

Pembaharuan yang dimaksudkan baik dalam konteks Roma ataupun Efesus adalah pembaharuan yang berlangsung dalam diri (budimu), yang dihubungkan dengan karya Kristus (menjadikan kita manusia baru) atau dengan kata lain pembaharuan diri untuk mengadakan damai sejahtera karena kita mampu mengenal kehendak Allah dengan baik dan melakukannya.

Pembaharuan dari dalam diri ini adalah pembaharuan yang dimulai dari hati, pikiran kita, yang mau untuk menjadikan Kristus sebagai pusatnya. Pembaharuan seperti ini akan menuntun kita untuk tahu kehendak Allah dan hidup dalam kehendak Allah, yang dampaknya akan juga terjadi sampai pada persekutuan dimana kita berada, di gereja dan di masyarakat sehingga akhirnya kita dan pelayanan yang kita kerjakan adalah meneladani Kristus.

Karena itu kata menjadikan yang bermakna pembaharuan, seperti yang dimunculkan dalam Wahyu 21:5, mengandung pengertian bahwa pembaharuan itu haruslah terjadi dan berlangsung dalam pembaharuan diri, Gereja dan Masyarakat.

Pertanyaan Untuk Pendalaman Teks

Peserta persidangan yang terkasih!

Inilah beberapa catatan pengantar saya untuk pendalaman teks ini bersama-sama. Karena itu, untuk pendalaman teks ini bersama, saya merumuskan beberapa pertanyaan, yaitu:

  1. Sebagai gereja yang besar di Indonesia, baik dalam hal jumlah jemaat, luasnya medan pelayanan, maupun kompleksnya pelayanan kita, hari-hari belakangan ini kita diperhadapkan dengan persoalan relasi di antara para pelayan. Bukan rahasia umum lagi bila ternyata relasi pendeta-dengan pendeta dalam 1 jemaat tidak harmonis. Penuh kerikil tajam, yang berdampak pada kehidupan persekutuan jemaat yang terpecah-pecah.

Bukan hanya itu saja, sering munculnya protes dan kelehuhan jemaat terhadap bentuk pelayanan kita sebagai pendeta yang tidak maksimal, jika tidak mau dikatakan kehilangan makna panggilan waktu baru mau masuk teologi atau tahbisan pendeta sehingga muncul istilah pendeta SMS, STH, Presbiter SMS, STH[13]. Banyak juga soal yang muncul dalam hubungan personil di mana proses mutasi terhambat karena faktor pendeta yang enggan dimutasi atau juga soal perilaku pendeta yang tidak lagi menjaga kekudusan jabatan karena terlibat kekerasan seksual, mabuk, perselingkuhan dsb. Keadaan ini menuntun kita pada sebuah pertanyaan refleksi, apa yang harus kita buat sebagai tindakan kongkrit kita atas keadaan seperti ini supaya perubahan dan pembaharuan diri kita berlangsung ke arah yang dikehendaki Kristus?

  1. Kita akan merayakan 500 tahun gerakan reformasi Luther dan 70 tahun kehadiran kita sebagai GMIT di bumi Flobamora, NTB dan Batam tercinta. Kita hadir sebagai gereja dalam semangat reformasi, yaitu gereja yang selalu mau untuk memperbaharui diri dan pelayanan. Kehadiran kita sebagai gereja adalah kehadiran dalam melakukan misi Allah yang terwujud dalam being dan doing, yakni being untuk menunjuk pada identitas, siapakah gereja itu dan doing berhubungan dengan apa yang dikerjakan gereja. Banyak kali being kita dipertanyakan ketika sebagai gereja kita tidak peka pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Masa bodoh atau menganggap itu tidak ada. di media sosial, bermunculan pertanyaan dan kritik terhadap pelayanan bergeraja kita, yang lebih banyak pada pembangunan gedung fisik jemaat ketimbang pembangunan jemaat. Kita masih terlibat dalam “pertengkaran” dengan denominasi kristen karena persoalan pindah anggota tapi lupa membekali anggota dalam hal ajaran dan pemberitaan firman dengan baik. Karena kalau sekaran kita sudah 500 tahun sebagai gereja reformasi dan 70 tahun usia bergerja kita sebagai GMIT, maka baiklah kita bersama-sama memikirkan perubahan dan pembaharuan pelayanan bergereja seperti apakah yang harus kita buat bersama supaya kehadiran kita menjadikan jemaat dan sesama di sekeliling kita merasakan kehadiran Allah di dalam kehidupan mereka.
  2. GMIT adalah gereja Kristus di dunia ini. Konteks pelayanan kita bukan di Sorga, tetapi di dunia ini, yang kian hari-kian berubah dan kompleks permasalahannya. Kita bisa mencatat beberapa di antaranya, yaitu masalah kemiskinan, kita propinsi ke-3 termiskin di Indonesia (diumumkan di akhir tahun 2016). Kita juga propinsi yang paling banyak kirim TKI-TWK dan banyak di antara mereka jadi korban perdagangan orang, kekerasan, kekerasan seksual dan ketidakadilan lainnya. Kita sebagai gereja juga bergumul dengan tingginya kekerasan pada anak dan perempuan. Kematian akibat gizi buruk dan kematian ibu-anak, masalah gagal tanam dan panen di mana-mana bahkan jika curah hujan yang tinggi seperti tahun ini juga kita berhadapan dengan bencana ekologi, seperti longsor dan banjir di daerah pemukiman. Selain itu sebagai gereja, banyak kalangan juga mempertanyakan sikap gereja berhadapan dengan kekuasaan dan politik yang tidak sehat yang berpotensi memecah belah persekutuan jemaat. Ini semua bawa kita pada pertanyaan, kalau kaino yang akan dikerjakan Allah di tengah-tengah kehidupan manusia, maka kaino kita untuk perubahan dan pembaharuan masyarakat seperti apakah yang mesti kita hadirkan dalam lakukan dalam kehadiran kita sebagai gereja Kristus di dalam masyarakat? Bagaimana kita bersikap terhadap kekuasaan dan pemerintah yang korup dan diskriminatif?

Inilah beberapa pertanyaan penuntun kita mendalami teks Wahyu 21:1-8 bagi pelayanan kita tahun ini dan dampaknya di masa kini dan yang akan  datang. Dan karena waktu kita terbatas, maka sekiranya tidak tersedia penambahan waktu, biarlah pikiran-pikiran yang ada dituliskan dan dibahas atau disampaikan dalam persidangan komisi nanti. Dan karena itu saya membatasi respon kita hanya 8 responden, yaitu 2 dari kiri saya, 2 dari kanan saya, 2 dari depan saya dan 2 dari unsur MS. GMIT.

Selamat ber-PA, Imanuel

[1] Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas, 2001. Hal. 473-474.

[2] Ibid, hal, 475.

[3] Ibid, Hal. 476.

[4] Tenney, Opcit, hal. 485-487.

[5] Ibid, hal. 483.

[6] E.I. Nuban Timo. The Eschatological Dimension In Karl Barth’s Thingking and Speaking About The Future, Kampen: Durkkerij van de Berg, 2001.  hlm. 180.

[7] Ibid.  hlm. 184.

[8] Ibid. hlm. 182.

[9] Ebehaizer I Nuban Timo. Aku Memahami Yang Aku Imani. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 20. hlm. 19.

[10] E.I. Nuban Timo. Allah Menahan Diri, Tetapi Pantang Berdiam Diri Suatu Upaya Berdogmatika Kontekstual di Indonesia. Jakarta:BPK. GM. 2015.

[11] E.I. Nuban Timo. Opcit. hlm. 189.

[12] Marcus J. Borg, Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali. Yesus Sejarah dan Hakekat Iman Kristen Masa Kini. Jakarta: BPK. GM. 1997, Hal. 70.

[13] Dalam beberapa kesempatan, istilah SMS ini disebutkan beberapa anggota jemaat dan MJ kepada pendeta yang tidak menetap di jemaat. ada pelayanan baru datang. SMS (sekedar mampir saja, Sabtu Minggu Senin). Selain istilah ini, Ketua Sinode 2007 -2011 dalam suatu khotbah penahbisan pendeta GMIT juga meminta pendeta GMIT menjadi Pdt SSi, yang belau maksudkan adalah saya di sini (es i: bahasa Timor Dawan) ketika pendeta dibutuhkan pelayanannya karena ada bersama jemaat. Waktu masih studi di FTH, UKAW Kupang. Dr. A. A. Yewangoe juga mengingatkan kita kalau jadi pendeta bentuk pelayanan kita jangan STH, yaitu Suka Terlambat  Hadir karena Sudah Tinggi Hati.