Apa saja ciptaan allah yang termasuk makhluk hidup

Allah SWT tidak hanya menciptakan makhluk yang tampak saja. Tetapi, Allah SWT juga menciptakan makhluk yang tidak nyata, atau makhluk gaib. Seperti malaikat, jin, iblis, dan syaitan.

Sebagai makhluk gaib, wujudnya tidak dapat dilihat, didengar, diraba, dicium, dan dirasakan oleh manusia. Dengan kata lain, tidak dapat dijangkau oleh panca indera, kecuali jika menampakkan diri dalam rupa tertentu, seperti rupa manusia. Dari keempat makhluk gaib tersebut, terdapat perbedaan-perbedaan baik dari asal penciptaan maupun sifat-sifatnya.

Beriman Kepada Malaikat Allah

Beriman kepada malaikat adalah salah satu dari rukun iman. Beriman akan adanya malaikat adalah wajib. Iman kepada malaikat ini, masuk ke dalam iman kepada sesuatu yang gaib. Orang yang mengingkari akan adanya hal ini berarti mengingkari keterangan al-Qur’an dan Rasul.

Malaikat merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT dari cahaya (nur) dan bisa berupa berbagai bentuk. Malaikat tidak digolongkan baik laki-laki atau perempuan. Sehingga, malaikat sangat patuh dan taat kepada perintah Allah SWT dalam menjalankan tugasnya.

Dari Aisyah diriwayatkan, bahwa telah bersabda Rasulullah Saw: “Malaikat itu telah diciptakan  dari nur, dan jin diciptakan dari api. Sedangkan manusia diciptakan dari apa yang telah diterangkan kepada kalian (para sahabat).” (HR. Muslim)

Jumlah malaikat yang wajib kita yakini berjumlah 10, yaitu:

Pertama, malaikat Jibril, bertugas menyapaikan wahyu kepada Nabi dan Rasul Allah. Malaikat Jibril adalah penghubung antara Allah dengan Nabi dan Rasul-Nya. (QS. Al-Baqarah: 97)

Kedua, malaikat Mikail, bertugas memberi rejeki kepada manusia. (QS. al-Baqarah: 98)

Ketiga, malaikat Israfil, bertugas meniup terompet sangkakala pada hari kiamat. (QS. al-An’am: 73)

Keempat, malaikat Izrail, bertugas sebagai pencabut nyawa. (QS. as-Sajdah: 11)

Baca Juga  Syarat Bahagia di Akhirat adalah Baik di Dunia

Kelima, malaikat Munkar, bertugas menanyakan dan melakukan pemeriksaan manusia di alam kubur tentang amal perbuatan mereka saat masih hidup. (HR. Tirmidzi)

Keenam, malaikat Nakir, bertugas menanyakan dan melakukan pemeriksaan manusia di alam kubur tentang amal perbuatan mereka saat masih hidup. (HR. Tirmidzi)

Ketujuh, malaikat Raqib, bertugas mencatat segala amal baik yang dilakukan manusia. (QS. Qaaf: 17-18)

Kedelapan, malaikat Atid, bertugas mencatat segala amal buruk yang dilakukan manusia. (QS. Qaaf: 17-18)

Kesembilan, malaikat Malik, bertugas menjaga pintu neraka dan menyambut ahli neraka. (QS. az-Zukhruf: 77)

Kesepuluh, malaikat Ridwan, bertugas menjaga pintu surga dan menyambut ahli surga. (QS. ar-Ra’d: 23)

Memahami Makhluk Gaib Allah Lainnya

Selain malaikat, Allah juga menciptakan makhluk gaib lainnya seperti yang sering kita dengar atau kita ketahui, yaitu jin, iblis, dan syaitan. Keberadaan jin, iblis, dan syaitan masih menyisakan kontroversi hingga kini. Namun yang jelas, eksistensi mereka diakui dalam syariat. Sehingga, jika masih ada dari kalangan muslim yang meragukan keberadaan mereka, teramat pantas jika diragukan keimanannya.

Jin, yang Terbagi Menjadi 2 Golongan

Jin diciptakan oleh Allah dari api yang sangat panas, berasal dari bahasa Arab yang berarti menutupi atau merahasiakan. Terdapat 2 golongan jin, yaitu:

Jin kafir, yaitu jin yang membangkan terhadap perintah Allah. Jin kafir adalah jin yang tidak memurnikan keEsaan Allah. Sehingga, dalam kekafiran jin itu bermacam-macam. Ada yang menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi, penyembah berhala, dan lain-lain.

Jin muslim, yaitu jin yang mengakui keEsaan Allah. Jin Islam yang mendengar ayat-ayat al-Qur’an, mereka langsung mengatakan bahwa al-Qur’an itu menakjubkan dan dapat memberikan petunjuk kejalan yang benar. (QS. Jin 1-3)

Baca Juga  Saat Islam Menjadi Agama Oposisi

Iblis, yang Telah Dilaknat Oleh Allah SWT

Iblis berasal dari bahasa Arab (ablasa), yang artinya putus dari rahmat Allah atau kasih sayang Allah. Menurut riwayat, dahulu terdapat iblis bernama Naail, atau sebagian riwayat mengatakan Azazil. Setelah dikutuk Allah, ia dipanggil dengan nama iblis.

Jadi, iblis merupakan nama sesosok makhluk. Ia adalah nenek moyang dari bangsa jin, sebagaimana Adam merupakan nenek moyang umat manusia. Seperti jin yang lain, iblis diciptakan Allah dari nyala api (QS. al-A’raaf: 12). Jadi, iblis sebangsa dengan jin sebagaimana firman Allah, “Dia (iblis) adalah dari golongan jin.” (QS. al-Kahfi: 50)

Ketika Allah mengatakan, ada di antara makhluknya yang akan menjadi iblis, seluruh malaikat meminta kepada Naail agar didoakan tidak dijadikan Allah menjadi Iblis. Ia mendoakan seluruh malaikat, namun lupa mendoakan dirinya sendiri. Akhirnya, dirinyalah yang ternyata menjadi Iblis.

Naail inilah yang dilaknat dan diusir dari surga karena membangkang kepada Allah ketika diperintahkan sujud kepada Adam (QS. al-Baqarah: 34). Setelah dilaknat, ia diberi nama iblis.

Jin iblis ini dikenal sebagai jin yang angkuh, pembangkang, dan kafir kepada Allah. Hal ini diceritakan dalam al-Qur’an: 

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Kahfi: 50)

Syaitan, Sifat dari Iblis

Syaitan berasal dari bahasa Arab (syaithona) yang artinya jauh, yang mana maksudnya adalah syaitan itu sangat jauh dari kebajikan. Adapun setan merupakan sifat dari iblis. Setan bukanlah makhluk, melainkan sifat. Sama halnya dengan kata munafik atau fasik.

Baca Juga  Jodoh: Takdir yang Tergantung Ikhtiar Manusia

Jadi, sebutan setan tidak hanya berasal dari golongan jin saja, tetapi juga dari golongan manusia. Sebagaimana firman Allah, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi musuh, yaitu setan dari jenis manusia dan jin.” (QS. al-An’am: 112)

Makna Beriman Kepada Makhluk Gaib Allah

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa beriman kepada malaikat itu erat kaitannya dengan keimanan kepada Allah SWT, dan kebenaran wahyu-Nya yang diterima oleh para Rasul untuk diteruskan kepada umat manusia.

Dari mengetahui asal dan karakter mahluk tersebut,sebagai makhluk ciptaan Allah, kita wajib mengimani adanya makhluk gaib ciptaan-Nya, yaitu malaikat dan makhluk gaib lainnya. Wallahu a’lam.

Apa saja ciptaan allah yang termasuk makhluk hidup

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat dzalim dan sangat bodoh”

(QS al-Ahzab [33]: 72)

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Dengan segala potensi yang dimiliki manusia mampu menciptakan (baca: menghasilkan) berbagai macam teknologi modern. Dengan segala kemampuannya manusia mampu menembus ruang angkasa yang jauh di sana atas kekuasaan Allah Yang Maha Mulia sebagaimana dalam firman-Nya, “Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (teknologi)”. (QS al-Rahmân [55]: 33).

Berkat karunia Tuhan manusia bisa memperoleh berbagai pengetahuan yang sangat berguna untuk kemaslahatannya di dunia. Dengan predikatahsanu taqwim (sebaik-baik ciptaan) yang ada padanya manusia berbeda dengan semua makhluk lain. Satu aspek penting yang membedakan manusia dengan yang lainnya adalah manusia dikaruniai akal sedangkan tidak demikian dengan makhluk lainnya. Sehingga menjadi sebuah keniscayaan jika manusia harus memaksimalkan potensi otaknya (akal) untuk mengarungi lautan kehidupan di dunia yang fana ini. Dengan demikian kesempurnaan manusia sebagai hamba Tuhan terealisasi dan termanifestasi melalui berbagai macam prestise dan pencapaian yang diperoleh.

Sebagai khalifah di muka bumi (khalifatun fi al-ardh) ini tentu manusia memiliki tanggung jawab yang besar. Manusia-lah yang mengatur kehidupannya di dunia ini, mereka yang berusaha melestarikan alam, tetapi tidak sedikit juga yang malah melakukan kerusakan (fasad). Semua itu akan dipertanggungjawabkan di sisi Tuhan kelak pada waktu perhitungan amal. Sedangkan makhluk selain manusia bebas dari tanggung jawab karena mereka hidup di dunia tanpa karunia akal dan apa yang mereka lakukan adalah sesuai dengan kehendak Allah (dalam kendali-Nya). Andaikata tidak ada hidup setelah mati, tidak ada tanggung jawab dibalik tindakan yang kita lakukan maka pasti kehidupan di dunia ini penuh dengan huru-hara, hampa dari kebenaran dan kebaikan. Namun karena pada hakikatnya manusia itu sadar akan tanggung jawab yang akan diperoleh di akhirat kelak maka dalam setiap perbuatannya, manusia memikirkan baik buruknya. Jika dinilai baik maka ia lakukan dan balasan kebaikan pula yang akan diperoleh dan sebaliknya jika dirasa buruk dan menimbulkan mudharat (bahaya) maka akan berusaha dijauhi dan ditinggalkan.

Manusia Makhluk yang Paling Ampuh

Ketika Allah menanyakan kepada langit, bumi dan pegunungan apakah mereka sanggup mengemban amanah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Tak satupun dari mereka yang meng-iyakan bahkan mereka khawatir tidak sanggup memikul amanah itu. Namun akhirnya manusia yang bersedia memikul amanah itu dan nantinya akan dipertanggungjawabkan di yaumul qiyamah (hari pembalasan). Hal ini terjadi sebelum penciptaan manusia, ketika Adam a.s ditanya, “Wahai Adam, apakah engkau sanggup memikul amanah itu (hidup dengan penuh ketaatan di jalan Allah) dan sanggup menjaganya dengan penjagaan yang sempurna (himayah tammah)?” tanya Allah Subhanuahu wa ta’ala. Lalu apa jawab Adam, “Maka tidak ada pilihan lain bagiku kecuali sanggup menerima amanah itu.” Jawab Adam. Kemudian Allah pun berkata, “Jika engkau berbuat baik, manaati perintahku dan memelihara amanat itu maka disisiku adalah kemulian, keutamaan, balasan yang baik (surga/jannah) tetapi jika engkau berbuat maksiat, tidak engkau jaga amanat itu, dan justru engkau menodainya maka sesungguhnya Aku akan mengadzab dan menghukum kalian (manusia) dengan aku masukkan ke neraka.” Lalu Adam a.s menjawab, “Aku ridha dengan putusan itu.” (terjemahan bebas dari tafsir Ibnu Katsir karangan Abu al-Fida’ ‘Ismail bin Katsir). Dengan demikian manusia-lah yang akhirnya mengemban amanah yang berat itu dari Allah SWT.

Disinilah sebenarnya letak keampuhan (kehebatan) manusia, manakala semua makhluk Tuhan tidak sanggup menerima amanat dari Tuhan karena khawatir tidak sanggup menjalankannya justru manusia menerima itu dengan segala konsekuensinya. Ketika semua makhluk Tuhan menolak untuk dijadikan khalifah di muka bumi, manusia datang dengan siap dan berkata bahwa ia sanggup mengemban amanah itu. Padahal kita tahu bahwa tabiat manusia tidak selamanya mengarah kepada kebaikan, pikiran mereka tidak selamanya tertuju kepada hal-hal positif, tindakan meraka tak selalu baik dan sesuai dengan aturan agama. Terkadang ia sadar akan amanat dan tanggung jawab yang ia emban dengan selalu berbuat kebajikan namun di sisi lain ia melalaikan itu dengan berbuat maksiat yang justru menjauhkan dirinya dari rahmat Tuhan.

Hal ini merupakan sesuatau yang wajar sebab manusia selain memiliki insting ilahiyah juga mewarisi sifat-sifat bahimiyah (hewan) dansyaithaniyah (setan). Sesuai dengan konsep iman yang dikemukakan oleh kaum salafiyah (salafiyyun) bahwa al-imanu yazidu wa yanqusu, yazidu bil al-thâ’ah wa yanqusu bi al-ma’shiyah (iman itu akan bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan). Maka akan wajar manakala manusia itu selalu berbuat baik dan ketaatan derajatnya akan lebih tinggi dari malaikat sekalipun ketika berbuat kemaksiatan bisa saja lebih hina dan nista dari hewan bahkan setan.

Di akhir surat al-Ahzab [33] ayat 72 di atas Allah SWT berfirman bahwa sesungguhnya manusia itu sangatlah dzalim dan bodoh (dhaluman jahulan). Hal ini karena kesedian manusia menerima amanah Tuhan yang sesungguhnya begitu berat untuk dilaksanakan sebab kita tahu akibatnya akan fatal andai saja manusia tidak bisa menjalankannya yaitu akan disiksa di neraka. Padahal seluruh makhluk yang ada di dunia menolak penawaran itu, manusia dengan lugunya ridha dengan putusan itu. Hingga sampai saat ini pun manusia masih tetap eksis di dunia dengan beragam tindakan dan perilaku mereka. Dan perlu direnungkan kembali bahwa nantinya perbuatan itu akan dipertanggungjawabkan di akhirat dan tak seorang manusiapun luput dari hisab (balasan amal manusia selama di dunia) itu.

Semua individu akan merasakan balasan amalnya di dunia, baik yang ia kerjakan kebaikan pula yang diterima, buruk yang ia kerjakan keburukan juga yang akan didapatkan. Begitulah kira-kira hal ihwal balasan amal manusia di akhirat nanti. Allah Maha Adil dalam segala sesuatunya dan tidak akan pernah mendzalimi hambanya, prinsip ini yang perlu kita pegang dan dijadikan pedoman. Sehingga predikat dzalim dan bodoh itu sedikit demi sedikit akan tereduksi dan yang tertinggal adalah adil pintar, bijak dan arif dalam segala hal dan tindakan.

Dalam kondisi tertentu Allah SWT memuji manusia (Muhammad SAW) karena keluhuran budi pekerti yang dimiliki namun di sisi lain mencela manusia karena kelalaian dan kebodohannya. Artinya memang pujian dan celaan itu ibarat dua sisi mata uang yang tiada pernah dapat dipisahkan, dimana kita temukan satu sisi mata uang disitu pula kita dapatkan sisi yang lain. Hal ini sesuai dengan sunnatullah (ketetapan Allah) yang menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan, misalnya dalam konsep jodoh yang disana benar-benar terlihat sisi kebesaran Tuhan. Terkadang orang yang secara fisik jelek menikah dengan orang yang tampan atau cantik, tidak bisa kita kritisi karena memang itulah jodoh. Kalau kita paksakan orang tampan mesti menikah dengan wanita cantik, padahal jodohnya adalah wanita yang tidak cantik, sampai kapanpun tidak akan bisa karena sekali lagi itu bukan pasangannya (jodohnya), dan ini akan menyalahi kodrat Allah. Mungkin justru dengan wanita yang tidak cantik itu membuat hati sang pria tenang dan justru mampu menciptakan keluarga yang harmonis. Ini lagi-lagi merupakan salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah yang menciptakan sesuatu selalu berpasangan (azwajan) sekaligus sebagai bukti bahwa manusia itu adalah makhluk yang diistimewakan. Hal ini tentu akan memotivasi kita untuk tidak hanya sekadar merenung (kontemplasi) tetapi juga berintrospeksi diri (muhasabah)terhadap semua amal yang telah kita perbuat. Sudahkah kita menunaikan amanah yang diberikan Allah kepada kita atau justru selama ini kita lalai akan amanah itu.

Epilog

Manusia sebagai kita fahami dari uraian di atas adalah makhluk Tuhan yang paling ampuh, sebaik-baik ciptaan Tuhan dengan segala kelebihan dan keutaman yang diberikan Allah. Satu-satunya makhluk yang sanggup menerima amanah Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu marilah kita gunakan potensi yang diberikan Allah ini untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. Jangan sampai nantinya kita menyesal karena telah berbuat kemaksiatan di dunia dan lalai akan amanah itu. Mulai saat ini kita renungkan baik-baik bahwa kita hidup di dunia ini tiada lain kecuali hanyalah untuk beribadah kepada Allah sesuai dengan amanah yang kita emban. Semua yang kita lakukan pasti ada akibatnya dan akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Dan mari kita jadikan amanah yang telah diberikan Tuhan kepada kita sebagai motivasi untuk terus mengabdi dan mengabdi demi sebuah kebahagian di dunia dan di akhirat serta memperoleh ridha Allah Yang Maha Agung. Semoga kita termasuk golongan orang yang selalu sadar akan amanah yang kita bawa dan dapat mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak. Allahumma, hassin a’malana wa balligh ha ila imtiyaziha, amin ya Allah, ya mujiba du’ais sailin. Wallahu a’lamu bi al-shawâb[]

Samsul Zakaria, Mahasiswa Prodi Hukum Islam FIAI dan Santri PonPes UII angkatan 2009 loves-samsharing.blogspot.com,

Artikel ini dipublikasikan dalam Al-Rasikh Lembar Jumat Masjid Ulil Albab terbitan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Edisi 23 April 2010. Artikel dapat diakses di link ini.

Unduh Artikel