Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam. Maksud gerakanya ialah Da’wah Islam danAmar Ma'ruf Nahi Munkar yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan masyarakat. Da’wah Islam danAmar Ma'ruf nahi Munkar pada bidang pertama terbagi kepada dua golongan: Kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli dan murni; dan yang kedua kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam. Adapun Da'wah Islam danAmar Ma'ruf Nahi Munkar bidang kedua ialah kepada masyarakat, bersifat kebaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan dasar taqwa dan mengharap keridlaan Allah semata-mata. Dengan melaksanakan Da’wah Islam danAmar Ma'ruf Nahi Munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuannya, ialah "Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya". Dasar dan Amal Usaha Muhammadiyah Dalam perjuangan melaksanakan usahanya menuju tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dimana kesejahteraan, kebaikan, dan kebahagiaan luas-merata, Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, yaitu: 1. Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah. 2. Hidup manusia bermasyarakat. 3. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan berkeyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat. 4. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada kemanusiaan. 5. Ittiba'kepada langkah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW. 6. Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban organisasi. Pedoman Amal Usaha dan Perjuangan Muhammadiyah Menilik dasar prinsip tersebut di atas, maka apapun yang diusahakan dan bagaimanapun cara perjuangan Muhammadiyah untuk mencapai tujuan tunggalnya, harus berpedoman: "Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasul-Nya, bergerak membangun di segenap bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridlai Allah". Sifat Muhammadiyah[1] Menilik: (a) apakah Muhammadiyah itu, (b) dasar amal usaha Muhammadiyah, dan (c) pedoman amal usaha dan perjuangan Muhammadiyah, maka Muhammadiyah memiliki dan wajib memelihara sifat-sifatnya, terutama yang terjalin di bawah ini: 1. Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan. 2. Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah. 3. Lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam. 4. Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan. 5. Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah. 6. Amar ma'ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik. 7. Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan, sesuai dengan ajaran Islam. 8. Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya. 9. Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT. Bersifat adil serta kolektif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.
[1]Sifat Muhammadiyah ini dijelaskan tersendiri dalam Sifat Kepribadian Muhammadiyah. Muhammadiyah (bahasa Arab: محمدية, pengikut Muhammad); juga dikenal sebagai Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebuah organisasi non-pemerintah Islam besar di Indonesia.[2] Organisasi ini didirikan pada tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan di kota Yogyakarta sebagai gerakan sosial-keagamaan reformis, yang menganjurkan ijtihad - interpretasi individu terhadap Al-Qur'an dan Sunnah, sebagai lawan dari Taqlid - sesuai dengan interpretasi tradisional yang dikemukakan oleh para ulama.[3] Muhammadiyah memainkan peran penting dalam perluasan Salafisme di Indonesia.[4] Sejak didirikan, Muhammadiyah telah mengadopsi platform reformis yang memadukan pendidikan agama dan sekuler,[5] terutama sebagai cara untuk mempromosikan mobilitas Muslim ke atas menuju komunitas 'modern' dan untuk memurnikan Islam Indonesia dari praktik sinkretis lokal.[5] Muhammadiyah terus mendukung budaya lokal dan mempromosikan toleransi beragama di Indonesia, sementara beberapa perguruan tinggi sebagian besar dimasuki oleh non-Muslim, terutama di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua. Kelompok ini juga menjalankan rantai besar rumah sakit amal,[2] dan mengoperasikan 128 universitas pada akhir 1990-an.[6]
Wilayah layanan IndonesiaJumlah anggota 50 jutaKetua Umum Prof. Dr. KH. Haedar Nashir, M.Si.Situs webmuhammadiyah.or.idPada tahun 2008, Muhammadiyah dianggap sebagai organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia dengan 29 juta anggota.[3] Meskipun para pemimpin dan anggota Muhammadiyah sering terlibat aktif dalam membentuk politik di Indonesia, Muhammadiyah bukanlah sebuah partai politik. Muhammadiyah telah mengabdikan dirinya untuk kegiatan sosial dan pendidikan. Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al-Qur'an, di antaranya surat Ali 'Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya. Pusat Dakwah Muhammadiyah di Jakarta Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta Pada tanggal 18 November 1912, Ahmad Dahlan—pejabat pengadilan Keraton Yogyakarta[7] dan seorang Ulama Muslim terpelajar dari Mekah—mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta. Ada beberapa motif yang melatarbelakangi berdirinya gerakan ini. Di antara yang penting adalah keterbelakangan masyarakat Muslim dan penetrasi agama Kristen. Ahmad Dahlan, yang banyak dipengaruhi oleh reformis Mesir Muhammad Abduh, menganggap modernisasi dan pemurnian agama dari praktik sinkretis sangat vital dalam reformasi agama ini. Oleh karena itu, sejak awal Muhammadiyah sangat perhatian dalam memelihara tauhid dan menyempurnakan monoteisme di masyarakat. Dari tahun 1913 hingga 1918, Muhammadiyah mendirikan lima sekolah Islam. Pada tahun 1919 sebuah sekolah menengah Islam, Hooge School Muhammadiyah didirikan.[8] Dalam mendirikan sekolah, Muhammadiyah menerima bantuan yang signifikan dari Boedi Oetomo, sebuah gerakan nasionalis penting di Indonesia pada paruh pertama abad kedua puluh, yang menyediakan guru.[9] Muhammadiyah pada umumnya menghindari politik. Tidak seperti mitra tradisionalisnya, Nahdatul Ulama, Muhammadiyah tidak pernah membentuk partai politik. Sejak didirikan, ia telah mengabdikan dirinya untuk kegiatan pendidikan dan sosial. Pada tahun 1925, dua tahun setelah wafatnya Dahlan, Muhammadiyah hanya memiliki 4.000 anggota tetapi telah membangun 55 sekolah dan dua klinik di Surabaya dan Yogyakarta.[10] Setelah Abdul Karim Amrullah memperkenalkan organisasi kepada etnis Minangkabau, sebuah komunitas Muslim yang dinamis, Muhammadiyah berkembang pesat. Pada tahun 1938, organisasi tersebut mengklaim 250.000 anggota, mengelola 834 masjid, 31 perpustakaan, 1.774 sekolah, dan 7.630 ulama. Pedagang Minangkabau menyebarkan organisasi ke seluruh Indonesia.[11] Selama pergolakan dan kekerasan politik 1965–1966, Muhammadiyah menyatakan bahwa pemusnahan Partai Komunis Indonesia merupakan Perang Suci, pandangan yang didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya.[12] (Lihat juga: Pembantaian di Indonesia 1965–1966). Selama peristiwa seputar jatuhnya Presiden Suharto tahun 1998, beberapa bagian Muhammadiyah mendesak pimpinan untuk membentuk sebuah partai. Oleh karena itu, pimpinan, termasuk ketua Muhammadiyah, Amien Rais, mendirikan Partai Amanat Nasional. Meski mendapat dukungan besar dari anggota Muhammadiyah, partai ini tidak memiliki hubungan resmi dengan Muhammadiyah. Pimpinan Muhammadiyah mengatakan anggota organisasinya bebas untuk bersekutu dengan partai politik pilihan mereka, asalkan partai tersebut memiliki nilai-nilai yang sama dengan Muhammadiyah.[13] Pada tahun 2008, dengan 29 juta anggota, Muhammadiyah adalah organisasi Muslim terbesar kedua di Indonesia, setelah Nahdlatul Ulama. Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).[14] Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang menurut anggapannya, banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hogere School Moehammadijah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Moehammadijah (sekarang dikenal dengan Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta khusus laki-laki, yang bertempat di Jalan S Parman No. 68 Patangpuluhan, kecamatan Wirobrajan dan Madrasah Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta khusus perempuan, di Suronatan Yogyakarta yang keduanya sekarang menjadi Sekolah Kader Muhammadiyah) yang bertempat di Yogyakarta dan dibawahi langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui salat istikharah (Darban, 2000: 34).[15] Pada masa kepemimpinan Kyai Dahlan (1912–1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, sekitar daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatra Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatra Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia. Doktrin sentral Muhammadiyah adalah Islam Sunni. Namun, ia menekankan otoritas Qur'an dan Hadis sebagai hukum Islam tertinggi yang berfungsi sebagai dasar yang sah dari interpretasi keyakinan agama dan praktik. Ini kontras dengan praktik tradisional di mana hukum syariah ditanamkan di sekolah-sekolah agama oleh ulama. Fokus utama gerakan Muhammadiyah adalah untuk meningkatkan rasa tanggung jawab moral masyarakat, menyucikan iman mereka ke Islam yang benar. Secara teologis, Muhammadiyah menganut doktrin Salafiyah; menyerukan secara langsung kembali ke Qur'an dan Sunnah dan pemahaman para Imam Salaf (generasi awal), termasuk eponim dari empat Mazhab Sunni. Ini menganjurkan pemurnian iman dari berbagai adat istiadat setempat yang mereka anggap takhayul, sesat dan bentuk syirik (politeisme). Muhammadiyah secara langsung menelusuri warisan keilmuannya pada ajaran Mūhammād Râsyīd Rīdâ (w. 1935 M / 1354 H), Muhammad bin 'Abdul Wahhab (w. 1792 / 1206 AH), dan para teolog abad pertengahan Ahmad Ibnu Taimiyyah (w. 1328 M / 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 1350 / 751 H).[16][17] Muhammadiyah sangat tidak menentang sinkretisme, di mana Islam telah menyatu dengan animisme (pemujaan roh) pada jaman sejarah penyebaran agama Islam dan tidak mengakui dengan ada nya unsur-unsur Hindu-Budha yang tersebar di kalangan masyarakat dari masa pra-Islam. Muhammadiyah tidak juga menentang tradisi Sufisme yang memungkinkan seorang pemimpin Sufi (syekh) menjadi otoritas formal atas umat Islam. Pada tahun 2006, organisasi tersebut dikatakan telah "belok tajam ke arah Islam yang lebih konservatif" di bawah kepemimpinan Din Syamsuddin ketua Majelis Ulama Indonesia.[18] Namun, beberapa faksi Muhammadiyah cenderung mendukung gerakan modernis dari Muhammad 'Abduh daripada Doktrin Salafi dari Rasyīd Rîdá; yang dideskripsikan sebagai "kaku dan konservatif".[19] Muhammadiyah tercatat sebagai organisasi Reformisme adalah keyakinan bahwa perubahan secara bertahap melalui serta di dalam institusi yang ada, secara pasti dapat mengubah sistem ekonomi dan struktur politik fundamental masyaraka. Kegiatan utamanya adalah pengamalan dan pendidikan agama. Ia telah membangun sekolah Islam modern, berbeda dari pesantren tradisional. Beberapa sekolahnya juga terbuka untuk non-Muslim.[20] Pada tahun 2006 ada sekitar 5.754 sekolah milik Muhammadiyah.[21] Muhammadiyah juga berfungsi sebagai organisasi amal yang terlibat dalam pelayanan kesehatan. Pada 2016, memiliki beberapa ratus klinik dan rumah sakit nirlaba di seluruh Indonesia.[2] Pada 2006, aktif mengkampanyekan bahaya flu burung di Indonesia.[22]
Muhammadiyah juga memiliki beberapa organisasi otonom, yaitu:[24]
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|