Statistika Terapan Show 2. Dosen menutup pertemuan dengan memberikan pesan moral kepada mahasisiwa Kegiatan Tindak Lanjut ( 5 menit) Dosen memberitahu materi di pertemuan minggu selanjutnya. Bahan dan Alat1. LCD 2. Laptop 3. Power point 4. Bahan bacaan (Uraian Materi) 5. Spidol 6. Kertas Plano Uraian MateriJENIS KESALAHAN TIPE I DAN II,HIPOTESIS DAN KAITANNYADENGAN UJI ONE TAIL ATAU TWO TAIL1. Jenis Kesalahan Tipe I dan II Untuk pengujian hipotesis, penelitian dilakukan, sampel acak diambil, nilai statistik uji perlu dihitung kemudian dibandingkan – menggunakan kriteria tertentu – dengan hipotesis. Jika hasil yang didapat dari penelitian itu, dalam artian peluang, jauh berbeda dari hasil yang diharapkan terjadi berdasarkan hipotesis, maka hipotesis ditolak. Jika terjadi sebaliknya, hipotesis diterima. Perlu dijelaskan disini bahwa meskipun berdasarkan penelitian kita telah menerima atau menolak hipotesis, tidak berarti bahwa kita telah membuktikan atau tidak membuktikan kebenaran hipotesis. Yang kita perlihatkan hanyalah menerima atau menolak hipotesis saja1. Dalam melakukan pengujian hipotesis, ada dua jenis kesalahan yang dapat terjadi, dikenal dengan nama-nama : 1. Kesalahan tipe I : adalah menolak hipotesis yang seharusnya diterima 2. Kesalahan tipe II : adalah menerima hipotesis yang seharusnya ditolak 1Sudjana. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito, 2005. Statistika Terapan Untuk mengingat hubungan antara hipotesis, kesimpulan dan tipe kesalahan, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 5.1 Tipe Kesalahan Ketika Membuat Kesimpulan tentang Hipotesis KESIMPULAN KEADAAN SEBENARNYA HIPOTESIS BENAR HIPOTESIS SALAH Terima Hipotesis BENAR KELIRU (kekeliruan tipe II atau β) Tolak Hipotesis KELIRU (kekeliruan tipe I atau α ) BENAR Ketika merencanakan suatu penelitian dalam rangka pengujian hipotesis, jelas kiranya bahwa kedua tipe kesalahan itu harus dibuat sekecil mungkin. Agar penelitian dapat dilakukan maka kedua tipe kesalahan itu kita nyatakan dalam peluang. Peluang membuat kesalahan tipe I biasa dinyatakan dengan α (alfa) dan peluang membuat kesalahan tipe II dinyatakan β (beta). Berdasarkan ini, kesalahan tipe I dinamakan pula kesalahan α dan kesalahan tipe II dikenal dengan kesalahan β. Dalam penggunaannya, α disebut pula taraf signifikan atau taraf arti atau sering disebut pula taraf nyata. Besar kecilnya α dan β yang dapat diterima dalam pengambilan kesimpulan bergantung pada akibat-akibat atas diperbuatnya kekeliruan-kekeliruan itu. Selain daripada itu perlu pula dikemukakan bahwa kedua kesalahan itu saling berkaitan. Jika α diperkecil, maka β menjadi besar dan demikian sebaliknya. Pada dasarnya, harus dicapai hasil pengujian hipotesis yang baik, ialah pengujian yang bersifat bahwa diantara semua pengujian yang dapat dilakukan dengan harga α yang sama besar, ambilah sebuah yang mempunyai kesalahan β paling kecil. Adapun sifat-sifat kesalahan jenis I dan jenis II diantaranya: 1. Kesalahan jenis I dan kesalahan jenis II saling terkait. Sehingga, menurunkan peluang salah satu jenis kesalahan berakibat naiknya peluang jenis kesalahan lainnya. 2. Ukuran wilayah kritis αdapat diperkecil dengan mengubah nilaikritisnya. 3. Nilai αdanβdapat diperkecil secara serentak denganmemperbesar ukuran contoh acak. 4. Jika H0 salah, βmencapai maksimum apabila nilai parameterStatistika Terapan Semakin besar jarak antara nilai parameter sesungguhnya dengan nilai parameter hipotesa, βsemakin kecil.Untuk keperluan praktis, kecuali dinyatakan lain, α akan diambil lebih dahulu dengan biasa harga yang biasa digunakan, yaitu α = 0,01 atau α = 0,05. Dengan α = 0,05 misalnya, atau sering pula disebut taraf nyata menolak hipotesis 5%, berarti kira-kira 5 dari tiap 100 kesimpulan bahwa kita akan menolak hipotesis yang seharusnya diterima. Dengan kata lain kira-kira 95% yakin bahwa kita telah membuat kesimpulan yang benar. Dalam hal demikian dikatakan bahwa hipotesis telah ditolak pada taraf nyata 0,05 yang berarti kita mungkin salah dengan peluang 0,05. 2. Hipotesis 1. Pengertian Hipotesis Hipotesis pada dasarnya merupakan suatu proposisi atau anggapan yang mungkin benar dan sering digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan/pemecahan persoalan ataupun untuk dasar penelitian lebih lanjut. Anggapan atau asumsi dari suatu hipotesis juga merupakan data, akan tetapi karena kemungkinan bisa salah, maka apabila akan digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan harus diuji terlebih dahulu dengan menggunakan data hasil observasi. Pengujian hipotesis statistik ialah prosedur yang memungkinkan keputusan dapat dibuat, yaitu keputusan untuk menolak atau tidak menolak hipotesis yang sedang dipersoalkan / diuji. Untuk menguji hipotesis, digunakan data yang dikumpulkan dari sampel, sehingga merupakan data perkiraan (estimate). Itulah sebabnya, keputusan yang dibuat dalam menolak/tidak menolak hipotesis mengandung ketidakpastian (uncertainty), maksudnya keputusan bisa benar dan bisa juga salah. Adanya unsur ketidakpastian menyebabkan risiko bagi pembuatan keputusan. Besar kecilnya risiko dinyatakan dalam nilai probabilitas. Pengujian hipotesis erat kaitannya dengan pembuatan keputusan. Dalam “menerima” atau “menolak” suatu hipotesis yang kita uji ada satu hal yang harus dipahami, bahwa penolakan suatu hipotesis berarti menyimpulkan bahwa hipotesis itu salah, sedangkan menerima suatu hipotesis semata-mata mengimplikasikan bahwa kita tidak mempunyai bukti untuk mempercayai sebaliknya. Karena pengertian ini, statistikawan Statistika Terapan atau peneliti seringkali mengambil sebagai hipotesisnya suatu pernyataan yang diharapkan akan ditolaknya. Hipotesis yang dirumuskan dengan harapan akan ditolak membawa penggunaan istilah hipotesis nol. Penolakan hipotesis nol (dilambangkan dengan 𝐻𝐻0) mengakibatkan penerimaan suatu hipotesis alternatif, yang dilambangkan dengan 𝐻𝐻1 Hipotesis nol mengenai suatu parameter harus didefinisikan sedemikian rupa sehingga menyatakan dengan pasti sebuah nilai bagi parameter itu, sementara hipotesis alternatifnya membolehkan beberapa kemungkinan lainnya. Jadi bila 𝐻𝐻0 menyatakan bahwa probabilitas suatu pendugaan adalah 0,5 maka hipotesis alternatifnya 𝐻𝐻1 dapat berupa p > 0,5 , p < 0,5 atau p ≠ 0,52. Contoh : a) Apakah uang saku mahasiswa mempengaruhi prestasi belajar siswa H0 : Uang saku tidak mempengaruhi prestasi belajar siswa H1 : Uang saku mempengaruhi prestasi belajar siswa b) Apakah prestasi belajar siswa dengan metode mengajar A sama dengan prestasi belajar dengan metode mengajar B, maka diuji hipotesis dapat ditulis sebagai berikut : H0 : Prestasi belajar dengan metode mengajar A = prestasi belajar dengan metode belajar B H1 : Prestasi belajar dengan metode mengajar A > prestasi belajar dengan metode belajar B c) Apakah prestasi belajar siswa dengan metode mengajar A sama dengan prestasi belajar dengan metode mengajar B sama dengan prestasi belajar dengan metode C, maka diuji hipotesis dapat ditulis sebagai berikut : H0 : prestasi belajar dengan metode mengajar A = prestasi belajar dengan metode belajar B = metode C H1 : minimal ada satu yang berbeda
Type I error adalah kesalahan yang dibuat oleh peneliti karena menolak hipotesis nol (H0), padahal hipotesis nol itu benar. Sedangkan type II error adalah kesalahan yang dibuat oleh peneliti karena menolak hipotesis alternatif (Ha), padahal hipotesis alternatif itu benar atau dengan kata lain adalah kesalahan karena gagal menolak H0 (maksudnya, menerima H0), padahal hipotesis nol itu salah. Konkretnya sebagai berikut. Hipotesis nol adalah hipotesis kondisi ideal suatu kejadian. Misalnya, seorang peneliti ingin memastikan bahwa bumi berbentuk bulat. Kondisi idealnya, dengan demikian, adalah bahwa bumi bulat, sehingga hipotesis nol berbunyi: “Bumi berbentuk bola”. Hipotesis alternatif adalah hipotesis bahwa suatu fenomena tidak dalam kondisi ideal. Dengan demikian, untuk contoh di atas, hipotesis alternatif berbunyi: “Bumi berbentuk kubus”. Kesalahan tipe I, menolak hipotesis nol padahal hipotesis itu benar, adalah jika peneliti, berdasarkan pengamatannya menggunakan instrumen-instrumen yang ia miliki, menolak menyimpulkan bahwa bumi berbentuk bola. Sebaliknya, kesalahan tipe II adalah jika peneliti menolak temuan bahwa bumi berbentuk kubus, padahal, memang, bumi berbentuk kubus. Pertanyaan, mana yang lebih besar risiko atau biayanya? Kesalahan tipe I atau tipe II? Yang kita ketahui bumi memang berbentuk bola. Nah, kalau kita menolak bumi berbentuk, berarti bumi berbentuk kubus. Sedangkan, jika kita menolak bumi berbentuk kubus, berarti bumi berbentuk bola. Jelas di sini bahwa kesalahan tipe I lebih “mahal” dibandingkan dengan kesalahan tipe II. Jika si peneliti menolak menyimpulkan bumi berbentuk kubus—artinya sama dengan mendukung simpulan bahwa bumi berbentuk bola, maka kesalahannya menyimpulkan itu tidak “mahal” sama sekali karena bumi memang berbentuk bola. Artinya, walaupun ia menolak Ha, kesalahannya tidak berbahaya sama sekali. Contoh lain misalnya masalah titik didih air. Fakta yang ada menunjukkan bahwa air mendidih pada suhu 100 derajat C. Seorang peneliti ingin tahu apakah ada air yang mendidih pada suhu di bawah 100 derajat C. Hipotesis nol adalah: “Air mendidih pada suhu 1000C”; hipotesis alternatif, “Air mendidih pada suhu di bawah 100 derajat C. Risiko atau biaya kesalahan tipe I, menolak air fakta bahwa air mendidih pada suhu 100 derajat C, lebih besar daripada kesalahan tipe II, menolak air mendidih pada suhu di bawah 100 derajat C. Nah, jadi jelas bahwa kesalahan tipe I lebih “berbahaya” daripada kesalahan tipe II. Apakah selalu demikian? Sekarang mari kita lihat fakta berikut. Manusia pada dasarnya memiliki kejujuran, namun ada manusia yang tidak jujur. Jika dibuat menjadi hipotesis penelitian, maka hipotesis nol, “Setiap manusia bersifat jujur”; sedangkan hipotesis alternatif, “Ada manusia yang tidak jujur”. Mana yang lebih besar risikonya, mengatakan manusia jujur sebagai manusia tidak jujur, ataukah mengatakan manusia yang tidak jujur sebagai manusia jujur? Jelas yang kedua yang lebih berbahaya! Yang pertama, mengatakan manusia jujur sebagai manusia yang tidak jujur, berarti menolak hipotesis nol. Sehingga, kesalahan menolak hipotesis nol adalah kesalahan tipe I. Sedangkan yang kedua, mengatakan manusia yang tidak jujur sebagai manusia jujur, berarti menolak hipotesis alternatif. Artinya, kesalahan menolak hipotesis alternatif adalah kesalahan tipe II. Contoh lain. Manusia secara kodrati adalah makhluk yang setia kepada pasangannya. Namun, selalu ada manusia yang tidak setia kepada pasangannya. Hipotesis nol, “Setiap manusia setia kepada pasangannya”; hipotesis alternatif, “Ada manusia yang tidak setia kepada pasangannya”. Mana yang lebih berbahaya, tidak jadi mengawini seseorang yang sebenarnya setia (menolak hipotesis nol) ataukah mengawini seseorang yang sebenarnya tidak setia (hipotesis alternatif)? Jelas lebih baik tidak mengawini siapapun daripada harus mengawini orang yang tidak setia sama sekali! Apa yang bisa disimpulkan di sini? Dua contoh yang pertama tentang bumi dan air terjadi di bidang ilmu alam sedangkan yang dua contoh terakhir terjadi di bidang ilmu sosial. Pelajaran di sini adalah bahwa, ternyata, kedua cabang ilmu itu tidak bisa dipandang dengan kacamata yang sama. Seorang peneliti di ilmu alam: fisika, biologi, kimia, dll, akan berusaha menghindari kesalahan tipe I karena risiko atau konsekuensinya lebih mahal dibandingkan dengan kesalahan tipe II. Sebaliknya, peneliti di ilmu sosial: ekonomika, bisnis, psikologi, dll, lebih memilih menghindari kesalahan tipe II karena biayanya lebih mahal dibandingkan dengan kesalahan tipe I. Namun, simpulan itu tidak sepenuhnya sesuai untuk ilmu hukum terutama jika terjadi di pengadilan. Kesalahan tipe I adalah jika hakim menilai si terdakwa yang tidak bersalah sebagai orang yang bersalah dan, dengan demikian, memenjarakannya. Sebaliknya, kesalahan tipe II adalah jika hakim menilai si penjahat tidak melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan dan, kemudian, membebaskan si penjahat. Jika kita selisik dengan baik, kesalahan tipe I adalah kesalahan yang berat karena hakim bisa saja menghukum mati, misalnya, seseorang yang tidak bersalah. Jelas kesalahan ini mahal harganya. Sebaliknya, kesalahan tipe II juga bisa menjadi kesalahan yang berat, karena hakim bisa saja membebaskan seorang pembunuh berdarah dingin. Menurut saya, setiap pembuat kebijakan di level manapun harus paham dengan kesalahan tipe I dan tipe II dan mana di antara mereka yang lebih mahal dibandingkan dengan yang lain. Mana yang lebih mahal menyimpulkan bahwa rakyat sedang tidak mengalami kesulitan ketika mereka benar-benar tidak bisa membeli segenggam beras (kesalahan tipe II) daripada menyimpulkan bahwa mereka mampu membeli kebutuhan mereka (kesalahan tipe I) jika pertumbuhan ekonomi menunjukkan peningkatan? Mana yang lebih mahal menyimpulkan bahwa banjir bandang bukan disebabkan oleh penggundulan hutan (kesalahan tipe II) dibandingkan dengan menyimpulkan bahwa bencana hanya semata-mata bencana (kesalahan tipe I) ketika penggundulan hutan memang terjadi? Mana yang lebih mahal biayanya, menyimpulkan bahwa angkatan perang kita masih bisa menghadang ancaman dari luar negeri (kesalahan tipe I) dibandingkan dengan menyimpulkan bahwa angkatan perang kita tidak kuat menghadapi ancaman dari luar negeri (kesalahan tipe II)? Mana yang lebih mahal biayanya, salah menyimpulkan bahwa ada anggota DPR kompeten (kesalahan tipe I) dibandingkan dengan menyimpulkan bahwa ada anggota DPR yang tidak kompeten (kesalahan tipe II)? Nah, oleh karena itu, menurut saya, seorang pembuat kebijakan, harus paham dengan kedua tipe kesalahan ini. Setidaknya, ia harus dibantu oleh orang yang benar-benar paham dengan risiko masing-masing tipe kesalahan ini. Terakhir, mana yang lebih mahal memberi gelar doktor ekonomi kepada orang yang tidak mengerti sama sekali tentang ilmu ekonomi daripada tidak memberikan gelar tersebut kepadanya? (Yang saya maksud di sini, terutama, IPB dan Unand.)Sleman, Maret 2008 Page 2
|