Apa maksud diadakanya aqdul amal


ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH TUJUH BELAS: MENGANTARKAN, MENGUSUNG, DAN MENGIRINGI JENAZAH Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengantarkan, meng¬ usung dan mengiringi jenazah, yaitu: 1. Hukum mengusung dan mengantarkan jenazah adalah fardhu kifayah. Bila hal itu telah dilakukan oleh orang yang memenuhi syarat, maka gugur- hadits: "... dan apa yang tertinggal oleh kalian, maka sempurnakanlah.” Namun Ibnu Qudamah lebih mengedepankan pendapat bahwa jika dia tidak menyempurnakannya, maka itu pun diperbolehkan. Kemudian, dia mengatakan pendapat yang lebih benar bahwa jika dia menyempurnakannya, maka dia melakukan takbir berturut-turut tanpa disertai bacaan bersamanya, demikianlah yang dikatakan oleh Ahmad. Ia meriwayatkan pendapat ini dari Ibrahim. Ia berkata: (Makmum masbuq) segera membaca takbir secara berurutan, namun jika dia belum mengangkat (tangan untuk takbir,' pen ) maka dia menyempurnakan takbir yang tertinggal. Bila dia mendapati imam tengah berdo’a untuk jenazah, maka hendaknya makmum yang masbuq mengikutinya, lalu, jika imam telah salam, dia bertakbir dan membaca surat al-Faatihah, kemudian bertakbir dan membaca shalawat kepada Nabi, lalu bertakbir dan salam. Asy-Syafi’i berkata: “Kapan saja makmum masbuq mendapati shalat; maka dia memulai¬ nya dengan bacaan surat al-Faatihah, kemudian dia membaca shalawat pada takbir yang kedua. Alasan pertama: Makmum masbuq dalam semua jenis shalat wajib membaca surat al- Faatihah dan surat berdasarkan raka’at/takbir yang tertinggal olehnya, demikian pula di sini (shalat Jenazah), ia harus membaca sesuai dengan raka’at yang tertinggal olehnya. Wallaahu alam .” Apabila makmum masbuq mendapati imam tengah di antara dua takbir, maka diriwayatkan dari Ahmad: Makmum tersebut menunggu imam agar dia bertakbir bersamanya. Pendapat ini diungkapkan oleh Abu Hanifah, ats-Tsauri dan Ishaq, karena takbir-takbir itu seperti raka’at-raka’at (pada shalat lainnya). Seandainya ada satu raka’at yang tertinggal, dia tidak di¬ sibukkan dengan menyempurnakannya, demikian halnya jika ada satu takbir yang tertinggal olehnya. Yang lain berpendapat: Makmum masbuq , bertakbir tanpa perlu menunggu imam dan ini adalah pendapat asy-Syafi’i. Karena, dalam semua shalat, kapan saja dia mendapati imam, maka dia ikut bertakbir bersamanya, tidak perlu menunggu, hal ini bukanlah termasuk menyibukkan diri dengan menyempurnakan takbir yang tertinggal olehnya. Ia hanyalah melakukan shalat bersama imam pada takbir yang didapati, dan dengan hal itu ia dianggap (telah mendapati imam* ed ), seperti halnya orang yang bertakbir setelah imam atau dia terlambat sedikit darinya. Ibnul Mundzir berkata: ‘Ahmad mempermudah dalam kedua pendapatnya. Kapan saja makmum masbuq mendapati imam pada takbir pertama, hendaknya dia bertakbir dan segera mulai membaca surat al-Faatihah. Kemudian, bila imam takbir sebelum dia menyelesaikan bacaan surat al-Faatihah, dia pun langsung bertakbir dan mengikuti imam serta memutus bacaan surat al-Faatihahnya, seperti halnya makmum masbuq dalam shalat lainnya, yaitu jika imam telah ruku’ sebelum dia menyelesaikan bacaan surat al-Faatihah. (Lihat: alMughni karya Ibnu Qudamah [III/423-425], asy-Syarbul Kabiir yang dicetak bersama kitab al-Muqni i dan kitab allnsbaaf [VI/173-176 ], Fataawaa Ibnu f Utsaimin [XVII/135-138], Fataawaa Ibnu Baz [XIII/148-150], dan al-Kaafi karya Ibnu Qudamah [11/29]). 458 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH lah dosa dari lainnya, 895 2. Ada tiga hal yang termasuk proses mengantarkan jenazah, yaitu: 1) Menshalatinya kemudian pulang. Orang yang melakukannya akan men¬ dapatkan pahala satu qiraath, berdasarkan hadits yang akan disebutkan kemudian. 2) Mengiringinya sampai ke kubur, kemudian berdiri menunggu hingga di kuburkan. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa dia pernah mendengar Rasulullah «H bersabda: Oli' tfjj p dfelP \pp JA pp- IP )) j^rj p \& jU -p'j ^ £ “Barang siapa keluar bersama jenazah dari kediaman jenazah dan men¬ shalatinya kemudian mengiringinya hingga di kuburkan, dia akan men¬ dapatkan pahala dua qiraath, dan setiap qiraath seperti gunung Uhud. Dan barang siapa menshalatinya kemudian dia pulang, dia akan mendapatkan pahala seperti gunung Uhud.” 896 3) Berdiri setelah penguburan seraya berdo’a memohonkan ampunan bagi jenazah dan memohon kepada Allah semoga dia diberi keteguhan (dalam menjawab pertanyaan Malaikat, pen ). Sebagaimana hadits ‘Utsman bin ‘Affan , dia berkata: “Setelah selesai dari penguburan jenazah, Nabi s|§ berdiri di dekatnya, lalu bersabda: ((.Jhj di ccLlSi i 13L3 )) ✓ / ' ^ ^ 'S ' ' 'Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian dan mohonkanlah ke¬ teguhan baginya, karena sekarang ini dia sedang ditanya (oleh Malaikat Munkar dan Nakir,‘ pen ).” 897 Mengerjakan semua ini akan lebih menyempurnakan besarnya pahala dan lebih mengikuti sunnah. ms Al-Kaafi karya Ibnu Qudamah (11/55). %96 Muttafaq ‘alaib: al-Bukhari (no. 1323) dan Muslim (no. 945). Takbrij-nya. telah disebutkan pada pembahasan mengenai keutamaan menshalati jenazah. 897 Abu Dawud, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “al-Istighfaar ‘indal Qabri lil Mayyit fii Waqtil Inshiraaf” (no. 3221), al-Hakim dan lafazh hadits ini miliknya (1/370), dan al-Baihaqi (IV/56). Sanadnya dishahihkan oleh al-Hakim dan al-Albani dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 198). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 459 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH 3. Keutamaan mengantarkan jenazah Diriwayatkan secara shahih dalam hadits dari Abu Hurairah <£5» terdahulu bahwa Nabi j|§ bersabda: cL^IIp ^j bLlcu>-!j l5L«_d ojlL>r y* cA>-l jL -l?l^ J-^ J^ ^ ^ J? ^ ‘Barang siapa mengantarkan jenazah seorang Muslim karena keimanan dan mencari pahala, dan hal itu selalu menyertainya hingga dia menshalatinya dan selesai dari menguburkannya, dia pulang dengan membawa pahala sebesar dua qiraath dan setiap qiraath seperti gunung Uhud. Barang siapa menshalatinya kemudian pulang sebelum jenazah itu di kuburkan, dia pulang dengan membawa satu qiraath. ,m% Dalam salah satu lafazh disebutkan: “Ada yang bertanya: ‘Apa yang di¬ maksud dua qiraath ?’ Beliau menjawab: jh )) “Seperti dua buah gunung yang sangat besar.” Disebutkan dalam lafazh Muslim: “Ada yang bertanya: ‘Apa yang dimaksud dua qiraath}” Beliau menjawab: •’f ^1° , / ’ • f ((.Jb-I Ji. )) f y “Yang paling kecil dari keduanya seperti gunung Uhud.” 899 Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah, dia berkata: “Rasulullah j|§ pernah bertanya: ‘Siapakah di antara kalian yang pada pagi hari ini berpuasa?’ Abu Bakr menjawab: ‘Saya.’ Beliau kembali bertanya: ‘Siapakah di antara kalian yang pada pagi hari ini telah mengantarkan jenazah?’ Abu Bakr menjawab: ‘Saya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Siapakah di antara kalian yang pada pagi hari ini menjenguk orang sakit?’ Abu Bakr menjawab: ‘Saya.’ Lalu Rasulullah s§| bersabda: “Tidaklah ke¬ tiganya terdapat pada diri seseorang, melainkan dia akan masuk Surga.” 900 i9i Mu.ttafaq ‘alaib: al-Bukhari, Kitab “al-Iimaan,” Bab “Ittibaa’ul Janaa-iz minal Iimaan” (no. 47) dan Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Fadhl Ittibaa’il Janaa-iz” (no. 1323) dan Bab “Man Intazhara hatta Tudfan” (no. 1325) dan Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Fadhlush Shalaah ‘alal Janaazah wa Ittibaa’ihaa” (no. 945). m Muttafaq 'alaib-. al-Bukhari (no. 47) dan Muslim (no. 945). Hadits ini telah disebutkan dalam pembahasan mengenai keutamaan menshalati jenazah. 900 Muslim, Kitab “az-Zakaah”, Bab “Fadhlu Man Dhamma ilash Shadaqah Ghairahaa min 460 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Dalam lafazh al-Bukhari pada kitab al-AdabulMufrad disebutkan: ((.4^J! J^O VI J Jrj J JU2>Jl W S ^-1 L )) “Tidaklah perkara-perkara ini terdapat pada seorang laki-laki pada satu hari, melainkan dia akan masuk Surga.” 901 4. Mengantarkan jenazah adalah kewajiban seorang Muslim terhadap saudaranya sesama Muslim Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah 4*> > dia berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah jjj| bersabda: : Jli l: jk U :JP (( JL- jUldl jUldl )) / / c a! iitpo li|j cAlIp jJJLU aiISJ lil )) oU lijj coAx 5 Jp jA lilj cAiLii aUl lilj “Hak seorang Muslim terhadap saudaranya yang Muslim ada enam.” Sahabat bertanya: “Apa saja wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apabila engkau bertemu dengannya, ucapkanlah salam: jika ia mengundangmu, penuhilah; jika ia meminta nasihat, maka nasihatilah; jika ia bersin dan memuji Allah (mengucapkan: alhamdulillaah ), ucapkan: (yarhamukallaah ); jika ia sakit, jenguklah; dan jika ia mati; antarkanlah jenazahnya.” 902 Diriwayatkan dari al-Barra’ bin ‘ Azib, dia berkata: “Rasulullah m meme¬ rintahkan kami agar melakukan tujuh hal dan melarang kami dari tujuh hal, yaitu: Beliau memerintahkan kami untuk mengantarkan jenazah, menjenguk orang sakit, memenuhi undangan, menolong orang yang dizhalimi, menepati sumpah, menjawab salam, dan mengucapkan ‘ yarhamukallaah ’ kepada orang yang bersin ....” 903 Juga berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri > y an g ia riwayatkan secara marfu-. Anwaa’il Birr” (no. 1028). 901 Al-Adabul Mufrad (no. 515). Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahiih Adabil Mufrad (hlm. 195, no. 400/515). 902 Muttafaq ‘alaib dan lafazh ini milik Muslim: al-Bukhari (no. 1240) dan Muslim (no. 2162). Disebutkan dalam lafazh Muslim: “Ada lima hal yang menjadi kewajiban seorang Muslim terhadap saudaranya ....” Takbrij- nya telah disebutkan pada pembahasan mengenai adab menjenguk orang sakit. Muttafaq ‘ alaib. al-Bukhari (no. 1239) dan Muslim (no. 2066). Takbrij- nya telah disebutkan dalam pembahasan mengenai adab menjenguk orang sakit. Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 461 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH “Jenguklah orang sakit dan antarkanlah jenazah, maka hal itu akan meng¬ ingatkan kalian akan akhirat.” 904 5. Jenazah dibawa sesuai dengan kondisi dan kemudahan Seseorang tidak dibebani dengan sesuatu yang tidak ada keterangannya dalam sunnah yang shahih. Jadi, masalah ini sebenarnya cukup luwes. 905 904 Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Musbannaf(LV/73 ), al-Bukhari dalam kitab al-AdabulMufrad (no. 518), Ahmad (111/27, 28, 32), dan lain-lain. Sanadnya dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 87) dan dia menyebutkan satu hadits penguat baginya yang terdapat pada ath-Thabrani yang dicantumkan oleh al-Haitsami dalam kitab Majmauz Zawaa - id (11/299). Dishahihkan juga oleh al-Albani dalam kitab Shahiih Adabil Mufrad (hlm. 196). 905 Imam al-Kharaqi menyebutkan dengan ucapannya: “Tarbii 3 adalah meletakkan jenazah di atas pundak kanan seorang laki-laki dan di atas pundak kiri seorang laki-laki lainnya.” Imam Ibnu Qudamah berkata dalam kitab al-Mughni (III/402): “Tarbii 3 adalah memegang keempat sisi keranda jenazah dan hal ini adalah sunnah dalam membawa jenazah, berdasarkan ucapan Ibnu Mas’ud: ‘Barang siapa mengiringi jenazah, hendaklah dia membawanya pada sisi keranda, karena hal itu adalah sunnah/ Kemudian, jika dia mau, dia melakukan hal tersebut hingga akhir, namun jika tidak, dia boleh meninggalkannya.” (Ibnu Majah, no. 1478). Ibnu Qudamah berkata: “Sifat tarbii 3 yang disunnahkan adalah dimulai dengan meletak¬ kan penyangga keranda yang kiri di atas pundak yang kanan dari sisi kepala jenazah, kemudian meletakkan penyangga yang kiri yang ada di sisi kaki (jenazah) di atas pundak yang kanan pula, lantas beralih ke penyangga yang kanan yang ada sisi kepalanya, dengan meletakkannya di atas pundak yang kiri, lalu beralih ke penyangga yang kanan yang berada di sisi kakinya. Demikianlah pendapat Abu Hanifah dan asy-Syafi’i. Diriwayatkan dari Ahmad: Ia mengurutkannya dengan cara memulainya dari bagian kaki kiri, lalu bagian kaki kanan, kemudian bagian depan (kepala' ed ). Ini adalah madzhab Ishaq, dan pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Sa’id bin Jubair, dan Ayyub, dan karena hal itu lebih ringan. Adapun alasan pendapat yang pertama: Hal itu merupakan salah satu dari kedua sisinya, sehingga sebaiknya dimulai dari bagian depannya, seperti (memulai bilangan) pertama. Apabila membawa jenazah di antara kedua penyangga, maka Ibnul Mundzir berkata: “Kami meriwayatkan dari ‘Utsman, Sa’id bin Malik, Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, dan Ibnu Zubair bahwa mereka membawa jenazah di antara kedua tiang dipan.” Ini adalah pendapat asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir. Namun, hal itu dimakruhkan oleh an-Nakha’i, al- Hasan, Abu Hanifah, dan Ishaq, sementara yang shahih adalah pendapat yang pertama, karena para Sahabat telah melakukannya dan pada diri mereka terdapat teladan yang baik. Malik berkata: “Tidak ada ketentuan dalam membawa jenazah, boleh membawanya sebagaimana yang dikehendaki.” Pendapat yang sama disampaikan oleh al-Auza’i, namun mengikuti para Sahabat pada apa yang telah mereka lakukan dan mereka katakan, tentu lebih baik dan lebih utama.” (Al-Mughni [III/403]). Saya (penulis) katakan: “Tidak ada keraguan bahwa hal itu lebih baik dan lebih utama, tetapi jika tidak ditetapkan dalam riwayat yang shahih, hal itu menjadi sesuatu yang bersifat luwes, sebagaimana telah disebutkan. Sementara hadits dari Ibnu Mas’ud mengenai tarbii 3 , mendapat komentar dari al-Albani dalam kitab Ahkaamul]anaa-iz (hlm. 154): “Hadits ini tidak shahih, karena diriwayatkan secara munqathi’, yang Abu ‘Ubaidah tidak pernah bertemu dengan ayahnya ...” Mengenai keterangan tentang membawa jenazah di antara kedua tiang 462 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 463 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH 7. Disyari’atkan berdiri ketika jenazah lewat Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar dari ‘Amir bin Rabi’ah dari Nabi «!§, beliau bersabda: ii&y J>■ iiiU jd ou Zjfe <jlj \i \ t )) ; o ^ / / ji 't s * 't JL>cj ot jl “Jika salah seorang dari kalian melihat jenazah seseorang (dibawa ed ), bila dia tidak berjalan mengiringinya, hendaklah dia berdiri hingga berlalu membelakangi jenazah itu (atau jenazah itu belalu membelakanginya); atau hingga jenazah itu diletakkan sebelum jenazah itu berlalu mem¬ belakanginya.” Dalam salah satu lafazh disebutkan: (jj jl \y>yti ojlUJt ^X>Xj )) “Jika kalian melihat jenazah seseorang (dibawa-), maka berdirilah hingga jenazah itu berlalu membelakangi kalian, 912 atau hingga ia diletakkan.” 913 Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri dari Nabi $||, beliau ber¬ sabda: “Apabila kalian melihat jenazah (dibawa), maka berdirilah. Barang siapa yang mengiringi jenazah, janganlah dia duduk hingga jenazah itu diletak¬ kan.” 914 Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah u^, dia bercerita: “Jenazah sese¬ orang pernah dibawa melintasi kami, lalu Nabi <|| berdiri untuknya. Kami memberitahu beliau: ‘Wahai Rasulullah, itu adalah jenazah seorang Yahudi.’ Beliau bersabda: «•i ‘yfi Sj&di 1S1» artinya meninggalkan kalian di belakangnya. Nailul Authaar (11/759). 9l3 Muttafaq alaih: al-Bukhari, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “al-Qiyaam lil Janaazah” (no. 1307) dan Bab “Mataa Yaq’udu idzaa Qaama lil Janaazah” (no. 1308) dan Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “al-Qiyaam lil Janaazah” (no. 958). 9XA Muttafaq 'alaih : al-Bukhari, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Man Tahi’al Janaazah fa laa Yaq’ud hattaa Tuudha’a ‘an Manaakibir Rijaal fa in Qa’ada Umira bil Qiyaam” (no. 1310) dan Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “al-Qiyaam lil Janaazah” (no. 959). 464 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH ‘Jika kalian melihat jenazah (dibawa), maka berdirilah.” 915 Dalam lafazh Muslim disebutkan: ((.Ij^AS djllsJl lili Oj^Jl jj )) “Sesungguhnya kematian itu sangat menakutkan, sehingga jika kalian melihat jenazah, maka berdirilah.” Diriwayatkan dari Sahi bin Hanif dan Qais bin Sa’ad bin Abi Laila, bahwa keduanya pernah duduk di Qadisiyah. Lalu para penduduk melintasi keduanya dengan membawa jenazah seseorang. Keduanya pun berdiri, lantas keduanya pun diberitahu: “Sesungguhnya itu adalah jenazah seorang kafir ahli dzimmah.” Kemudian, keduanya menceritakan: “Sesungguhnya Nabi s|| pernah dilewati oleh jenazah seseorang, lantas beliau berdiri, setelah itu diberitahukan kepadanya: “Sesungguhnya itu adalah jenazah seorang Yahudi.” Beliau bersabda: “Bukankah dia itu juga jiwa manusia.” 9 ((.Lli uLllSI )) Yang benar adalah: Hadits-hadits ini menunjukkan, disyari’atkannya berdiri bagi orang yang sedang duduk bila ada jenazah yang melintas, karena Nabi 3§| telah memerintahkan hal itu dan karena beliau juga telah mempraktikkannya. Sedangkan, hadits dari ‘Ali bin Abi Thalib 4^ bahwa Nabi berdiri kemudian duduk, dan dalam salah satu lafazh disebutkan: “Kami melihat Rasulullah berdiri, lalu kami pun berdiri; kemudian beliau duduk, lalu kami pun duduk—yaitu mengenai jenazah.” 917 Sehingga hadits ini menunjukkan bahwa perintah untuk berdiri bagi jenazah (yang lewat) adalah sunnah. Mengenai perihal duduk, ia menunjukkan bahwa hal itu pun diperbolehkan. Setelah menyebutkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama, Imam an-Nawawi berkata: “Maka, perintah (berdiri^ 11 ) itu menunjukkan bahwa hal tersebut adalah sunnah, sementara duduk (yang diterangkan dalam hadits, pen ) merupakan keterangan mengenai diperbolehkannya hal itu. Dan dalam kasus seperti ini, klaim nasakh (penghapusan hukum," pen ), merupakan sesuatu yang tidak dapat dibenarkan, karena nasakh itu hanya terjadi ketika tidak mung kin lagi untuk menggabungkan di antara hadits-hadits, sementara dalam masalah ini, hal tersebut bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Wallaahu a’lam. 91 *” 919 9X5 Muttafaq 'alaih: al-Bukhari, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Man Qaama li Janaazah Yahuudiy” (no. 1311) dan Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “al-Qiyaam lil Janaazah” (no. 961). 9X6 Muttafaq 'alaih-. al-Bukhari, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Man Qaama h Janaazah Yahuudiy” (no. 1312) dan Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “al-Qiyaam lil Janaazah” (no. 961). 917 Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Naskhul Qiyaam lil Janaazah” (no. 962). 9l& Syarhun Nawawi ‘alaa ShahiihMuslim (VII/32). 919 Komentar an-Nawawi selengkapnya: “Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 465 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Imam Ibnul Qayyim lebih memilih pendapat an-Nawawi dalam hal meng¬ gabungkan di antara hadits-hadits tersebut. 920 Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz, berkata: “Hal ini menunjukkan disunnahkannya berdiri untuk jenazah (yang lewat), sekali pun itu adalah jenazah seorang kafir, karena kematian itu merupakan sesuatu yang menakutkan. Dan berdiri, dalam hal ini adalah sunnah, bukan wajib. Karena, Nabi i|§ pernah berdiri dan pernah juga duduk. Maka hal itu menunjukkan bahwa berdiri itu tidak wajib, namun dia adalah sunnah.” 921 8. Barang siapa mengiringi jenazah, janganlah dia duduk hingga jenazah diletakkan di atas tanah sabda: Hal im t) crd 3 .s 3 .rk 3 .il hadits dan Abu. Sa ld <^5 dan Ndbi beliau bcr~ “Apabila kalian melihat jenazah (dibawa), maka berdirilah. Barang siapa yang mengiringi jenazah, janganlah dia duduk hingga jenazah itu di¬ letakkan.” 922 Malik, Abu Hanifah, dan asy-Syafi’i berpendapat: ‘Hukum berdiri telah di -nasakh' Ahmad, Ishaq, Ibnu Habib al-Maliki, dan Ibnul Majisyun al-Maliki berkata: ‘Ia diperbolehkan memilih (berdiri atau duduk,' pen ).” An-Nawawi melanjutkan: “Dan mereka pun berbeda pendapat mengenai berdirinya orang yang mengiringi jenazah di sisi kubur. Sejumlah Sahabat dan ulama salaf berkata: ‘Ia tidak duduk hingga jenazah itu diletakkan.’ Menurut mereka: ‘ Nasakh itu hanyalah terdapat pada berdirinya orang yang dilintasi oleh jenazah.’ Inilah yang menjadi pendapat al-Auza’i, Ahmad, Ishaq, dan Muhammad bin al-Hasan.” An-Nawawi melanjutkan: “Dan mereka berbeda pendapat mengenai perihal berdiri di sisi kubur hingga jenazah di kuburkan. Sekelompok ulama tidak menyukainya, namun sekelompok ulama lainnya mengamalkannya. Hal ini diriwayatkan dari ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, dan lainnya, dan ini adalah pendapat al-Qadhi. Sedangkan yang masyhur dalam madzhab kami (Syafi’i) adalah bahwa berdiri itu tidak disunnahkan. Mereka (ulama madzhab Syafi’i) berkata: ‘Hadits ini telah di -nasakh oleh hadits ‘Ali.’ Al-Mutawalli, seorang pengikut madzhab kami (Syafi’i), lebih memilih pendapat bahwa berdiri itu disunnahkan. Dan inilah pendapat yang dipilih. Jadi, perintah berdiri itu menunjukkan kesunnahan, sedangkan duduk merupakan ke¬ terangan diperbolehkannya. Dan dalam hal seperti ini, tidak sah mengklaim adanya nasakh (penghapusan hukum,' pen ), karena nasakh itu hanya terjadi ketika tidak mungkin lagi untuk menggabungkan di antara hadits-hadits, sedangkan dalam masalah ini tidaklah demikian. Wallaahu a’lam . (Syarhun Nawawi [VII/31-32]). 920 Zaadul Ma’aad (1/521). Imam Ibnul Qayyim berkata: “Ada yang berpendapat: Kedua hal itu boleh dilakukan. Praktik beliau merupakan keterangan tentang kesunnahannya dan meninggalkannya merupakan keterangan tentang diperbolehkannya. Dan ini lebih utama daripada menganggap adanya nasakh (penghapusan hukum).” 921 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Muntaqal Akhbaar, hadits (no. 1882- 1888). Lihat pula: Nailul Authaar karya asy-Syaukani (11/760). 922 Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari (no. 1310) dan Muslim (no. 959). Takhrij-nyz telah disebutkan 466 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH Imam al-Bukhari menafsirkan sabda Rasulullah yaitu: “hingga jenazah itu diletakkan,” dengan perkataannya: “Bab tentang orang yang mengiringi jenazah hingga diletakkan dari pundak-pundak kaum laki-laki (yang membawanya). Jika dia duduk, maka dia diperintahkan untuk berdiri.” 923 Dan hal ini menjelaskan makna sabda beliau: “hingga jenazah itu diletakkan,” yaitu di atas tanah sebelum dimasukkan ke liang lahad. Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, berkata: “Dan yang benar adalah ketika jenazah telah di¬ letakkan di tanah, maka mereka (yang mengantarkannya^ duduk, yaitu sebelum dimasukkan ke liang lahad.” 924 Mengenai hadits dari ‘Ali > bahwa Nabi *|§ berdiri kemudian duduk, hal itu menunjukkan, bahwa berdiri hingga jenazah diletakkan hukumnya ada¬ lah sunnah. Guru kami, Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, berkata: “Disunnahkan bagi orang yang mengiringi jenazah agar tidak duduk hingga jenazah diletakkan di atas tanah dari pundak-pundak kaum laki-laki. Mengenai hal kepulangan orang yang mengabarkannya, yang disyari’atkan bagi mereka yang mengiringi jenazah adalah agar tidak pulang sampai jenazah diletakkan di dalam kubur hingga selesai dari penguburan. Semua ini hukumnya sunnah ....” 925 9. Kaum perempuan tidak boleh mengiringi jenazah, namun boleh menshalatinya Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu ‘Athiyah i, dia berkata: “Kami dilarang mengiringi jenazah, namun hal itu tidak ditegaskan atas kami.” 926 Guru kami, Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, berkata: “Yang dimaksud dengan larangan (di sini) adalah larangan mengiringi jenazah hingga ke pemakaman. Sedangkan, mengenai shalat Jenazah, hal itu disyari’atkan bagi kaum laki-laki dan bagi kaum perempuan. Dahulu, kaum perempuan pun ikut menshalati jenazah bersama Nabi. Dan dipahami (dari ucapan Ummu ‘Athiyah: ‘Dan hal itu tidak ditegaskan atas kami’), bahwa larangan tersebut baginya tidak ditegaskan, padahal hukum asal dari sebuah larangan adalah pengharaman, berdasarkan sabda Nabi ji§: ^ o J> * / / o ^ 0 t 0 I 1 ^ ° I o-f • 0 ^ ~ o f l'""' O Ji ' 0 . » tos e S* 0 ' ' I ✓ 4JL* 1jjL$ 4j +S SJ y* 1 CO L9 4JLP L4 dalam pembahasan mengenai berdiri untuk jenazah ketika melintas. 923 Al-Bukhari, Kitab “al-J anaa-iz”, Bab “Man Tabi’a Janaazah fa laa Yaq’udu hatta Tuudha’a ‘an Manaakibir Rijaal fa-in Qa’ada Umira bil Qiyaam.” 924 Saya (penulis) mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Muntaqal Akhbaar, hadits (no. 1878-1880). 925 Majmuu Fataawaa Ibnu Baz (XIII/177-178). 92 ^Muttafaq \alaih : al-Bukhari, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Ittibaa’un Nisaa’ al-Janaazah” (no. 1278) dan Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Nahyun Nisaa 5 £ an Ittibaa’il Janaa-iz” (no. 938). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 467 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT ALOUR-AN DAN AS-SUNNAH “Apa saja yang aku larang bagi kalian, jauhilah ia; dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian.” 927 Hal itu menunjukkan haramnya kaum perempuan mengiringi jenazah hingga ke pemakaman. Sedangkan, mengenai shalat Jenazah, hal itu disyari’atkan bagi mereka, seperti halnya terhadap kaum laki-laki. Aliahlah yang memberi petunjuk. 10. Disyari’atkan untuk mempercepat membawa jenazah, namun tanpa disertai dengan berlari-lari kecil Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah 4*5 dari Nabi $||, bahwa beliau bersabda: y* (dJj Ojj ufjj ols I yy t' ' O'' ^ ^ 3 J yU» dJJi “Bersegeralah dalam mengurus jenazah, karena jika dia orang yang shalih, hal itu adalah kebaikan yang kalian segerakan untuknya. Namun, jika dia tidak demikian, maka hal tersebut adalah keburukan yang kalian letakkan dari pundak-pundak kalian.” 928 Juga berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri , dia berkata: “Rasulullah j|§ bersabda: £>JUs> jli llpl JdjllaJl 13})) / / ' z'' / ' ' s OL^Jjj L> ;cJlS 'Js* lMj ;cJ15 ^ ' s — ' ' ** ' ' oLU^l Lg. t jLu'yi 927 Muttafaq ( alaih\ al-Bukhari, Kitab “al-Ftishaam,” Bab “al-Iqtidaa’ bi Sunan Rasuulillaah (no. 7288) dan Muslim, Kitab “al-Hajj”, Bab “Fardhul Hajj Marrah fil £ Umr” (no. 1337). Lafazh hadits yang terdapat pada al-Bukhari: j ~ f / s y 9 * > y s* * ) / # ^ ''a*' s') s' f ' “Jika aku melarang kalian dari sesuatu, jauhilah ia; dan jika aku perintahkan kalian dengan sesuatu, kerjakanlah ia semampu kalian.” Dan lafazh Muslim: ((.Jjpjii tilj u £* l/u ^ I '4 )) “Jika aku perintahkan kalian dengan sesuatu, laksanakanlah ia semampu kalian; dan jika aku melarang kalian dari sesuatu, tinggalkanlah ia.” 928 Muttafaq ( alaih\ al-Bukhari (no. 1315) dan Muslim (no. 944). 468 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH ‘Ketika jenazah telah diletakkan (di keranda), kaum laki-laki pun akan me¬ manggulnya di atas pundak-pundak mereka. Jika dia orang yang shalih, dia akan berkata: ‘Segeralah kalian bawa aku, segeralah kalian bawa aku!’ Namun, jika dia bukan orang yang shalih, maka dia akan berkata: ‘Aduh celakanya, mau dibawa ke mana jasad itu?’ Semua makhluk dapat mendengar suaranya kecuali manusia, dan seandainya manusia dapat mendengarnya, niscaya dia akan pingsan.’” 929 Guru kami, Imam bin Baz, berkata mengenai maksud dari mempercepat jenazah: “Maksudnya adalah berjalan, dan termasuk juga menshalatinya, me¬ mandikannya dan cepat dalam mempersiapkannya. Zhahir hadits ini mencakup semuanya dari segi makna.” 930 Saya (penulis) pun pernah mendengar beliau berkata: “Maksud dari di- sunnahkan mempercepat dalam membawa jenazah adalah berjalan dengan cepat namun tanpa disertai dengan berlari-lari kecil, agar jenazah tersebut segera diantarkan kepada kebaikan, jika dia memang jenazah seorang yang shalih.” 931 11. Orang yang berjalan kaki dalam mengiringi jenazah, boleh berjalan pada sisi yang dia kehendaki, sedangkan bagi yang berkendaraan, mengiringi di belakang jenazah Hal ini berdasarkan hadits dari al-Mughirah bin Syu’bah dari Nabi «H bahwa beliau bersabda: ^ j, o o^o cJa-L>- )) 44aIp ^Lv2J JlaJsJIj (l^-^ 4^ J* cUjL-O cLg-4^ { J ^J clplalJ j oJ jj) “Bagi yang berkendaraan, mengiringi di belakang jenazah; sedangkan bagi yang berjalan kaki, berjalan di sisi mana saja yang dia kehendaki darinya (di belakangnya, di depannya, di sisi kanannya, atau di sisi kirinya, atau pun juga yang dekat dengannya). Jenazah anak kecil dishalati, (dan kedua orang tuanya dido’akan semoga mendapatkan ampunan dan rahmat).” 932 929 Al-Bukhari (no. 1314). Takbrij-nya telah disebutkan pada pembahasan mengenai hal me¬ renungi ketika jenazah dibawa di atas pundak. 930 Majmuu 3 Fataawaa Ibnu Baz (XIII/182). 931 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Muntaqal Akbbaar, hadits (no. 1866). 932 Abu Dawud (no. 3180), at-Tirmidzi (no. 1031), Ahmad (IV/240, 249), an-Nasa-i (IV/55). Di- shahihkan oleh al-Albani dalam kitab AhkaamulJanaa-iz (hlm. 95). Takhrij-nya telah disebut¬ kan pada pembahasan mengenai memandikan jenazah. Sedangkan tambahan-tambahan (yang terdapat dalam kurung) dihimpun oleh al-Albani dari berbagai riwayat. Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 469 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Syaikh bin Baz, berkata: “Dan disunnahkan berjalan kaki bagi siapa saja yang mampu. Namun, diperbolehkan menaiki kendaraan jika diperlukan. Bagi yang berkendaraan, mengiringi di belakang jenazah; sedangkan bagi yang berjalan kaki, boleh mengiringi di depan jenazah, di sisi kanannya, di sisi kirinya (atau di belakangnya).” 933 12. Mengiringi jenazah dengan berjalan kaki lebih utama daripada menaiki kendaraan Hal ini berdasarkan hadits dari Tsauban 4*s bahwa Rasulullah s§§ pernah dibawakan seekor hewan tunggangan ketika beliau sedang mengiringi jenazah. Namun, beliau menolak untuk menaikinya. Tatkala telah selesai (dari prosesi pemakaman), beliau ditawarkan seekor hewan tunggangan, lalu beliau menaiki¬ nya. Hal itu pun ditanyakan kepadanya. Beliau menjawab: <5yu; cSjH °jt\ JLiir u\ Si)) ((■^.O “Sesungguhnya para Malaikat berjalan, sehingga aku tidak ingin menaiki kendaraan, sementara para Malaikat berjalan. Dan tatkala mereka telah kembali, aku pun menaiki kendaraan.” 934 Diperbolehkan menaiki kendaraan ketika pulang dari mengantarkan jenazah, sebagaimana hadits dari Jabir bin Samurah > ^ia berkata: " ^ LS 4 ;' CSl c/D* 4 ; Wj LSf' LS 4 ; . 4 J y>- j “Nabi pernah dibawakan seekor kuda tanpa pelana, 935 lalu beliau menaiki¬ nya ketika beliau pulang dari mengantarkan jenazah Abud Dahdah, sementara kami berjalan di sisi beliau.” Disebutkan dalam lafazh yang lain: jij aUp yju. <y' p J\ j* $U y 1 J^ » 933 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Muntaqal Akhbaar, hadits (no. 1866-1872). 934 Abu Dawud, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “ar-Rukuub fil Janaazah” (no. 3177). Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shabiib Sunan Abu Dawud (11/293). 935 Muraura, berasal dari kata ‘uraa. Ahli bahasa berkata: artinya aku menaiki kuda tanpa pelana. {Syarhun Nawawi [VII/36]). 470 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH j Jl£5 I J15 J 4 j Jl*s**3 4 4^ 'j* i/ — J.^- 4 j' — ,j* j*5”)) : J15 ^5l o} : “Rasulullah menshalati jenazah Abud Dahdah, kemudian beliau dibawa¬ kan seekor kuda tanpa pelana, yang dipegang 936 oleh seorang laki-laki, lalu beliau menaikinya. Beliau mengendarainya dengan langkah-langkah kecil, 937 sementara kami mengikutinya dengan berjalan kaki di belakang beliau.” Jabir berkata: “Lalu, seorang laki-laki dari mereka berkata: ‘Se¬ sungguhnya Nabi j|§ telah bersabda: ‘Betapa banyaknya tandan anggur yang digantung di Surga untuk Ibnud Dahdah, atau Syu’bah berkata: untuk Abud Dahdah.” 938 Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Syaikh bin Baz -&M, berkata: “Disunnahkan berjalan bagi orang yang mampu, namun diperbolehkan menaiki kendaraan jika diperlukan.” 939 Jadi, hadits Tsauban dan hadits Jabir bin Samurah menunjukkan bahwa menaiki kendaraan ketika pulang dari mengantarkan jenazah, hukumnya adalah boleh. 940 13. Disunnahkan membawa jenazah dengan memanggulnya di atas pundak, jika hal itu memang mudah dilakukan Juga dibolehkan membawa jenazah dengan menggunakan mobil, karena alasan-alasan yang dibenarkan, seperti jauhnya pemakaman; bila membawanya dengan dipanggul tentu akan memberatkan. (Adanya persyaratan demikian) karena membawa jenazah dengan mobil atau sarana lainnya, akan menghilang¬ kan tujuan dari membawa dan mengiringi jenazah, yaitu mengingatkan akan akhirat, sebagaimana disabdakan oleh Nabi j|§: \j*J\j )) S \ s' s' / '* 936 ‘Allaqabu, artinya memegangnya untuk (seseorang) atau menahannya. (Syarhun Nawawi [VII/36]). 937 Yatawaqqashu bib, di sini artinya mengendarainya dengan langkah-langkah kecil. (Syarhun Nawawi [VII/37]). 938 Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Rukuubul Mushalli ‘alal Janaazah idzaa Insharafa” (no. 965). 939 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab al-Muntaqa , hadits (no. 1866-1872). 940 Asy-Syarhul Kabiir yang dicetak bersama kitab alMuqni 3 dan kitab al-Inshaaf (VI/308) dan al-Mugbni karya Ibnu Qudamah (III/399). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 471 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH “Dan iringilah jenazah, karena hal itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat.” 941 Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin berkata: “Yang paling utama adalah membawa jenazah di atas pundak, karena hal itu merupakan tindakan langsung dalam membawa jenazah. Selain itu, jika iring-iringan jenazah melalui orang-orang yang ada di pasar, mereka akan mengetahui bahwa itu adalah jenazah, sehingga mereka pun mendo’akannya. Juga karena hal itu lebih menjauhkan diri dari rasa bangga dan kebesaran, kecuali jika terdapat suatu keperluan atau darurat, maka diperbolehkan membawanya di atas mobil. Seperti, di saat hujan atau panas yang menyengat; dingin yang menusuk atau minimnya orang yang mengantarkan jenazah.” 942 14. Meletakkan mukibbah (tutup keranda berbentuk cekung seperti kubah, p*" ) di atas keranda perempuan lalu ditutupi dengan kain agar jenazah perempuan tertutup dari pandangan manusia Mukibbah dibuat dari batang kayu atau pelepah kurma atau batang tumbuhan, melengkung seperti kubah di atas keranda dan di atasnya ditutupi kain. Imam Ibnu Qudamah berkata: “Disunnahkan meletakkan sesuatu di atas keranda jenazah perempuan yang terbuat dari batang pohon atau pelepah kurma, berbentuk seperti kubah dan di atasnya diletakkan kain. Tujuannya, agar hal itu dapat lebih menutupi jasadnya. Telah diriwayatkan bahwa Fathimah, puteri Rasulullah <§§, adalah perempuan pertama yang dibuatkan penutup keranda seperti kubah tersebut atas perintahnya sendiri. 943 ” 944 Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin pernah mengutip pen¬ dapat para ulama madzhab yang empat, yaitu mereka semua memberitahukan bahwa hal itu lebih menutupi bagi jenazah perempuan, dan hal itu adalah di¬ sunnahkan 945 . 946 941 Al-Bukhari dalam kitab al-AdabulMufrad, no. 518 dan Ahmad (111/27). Dishahihkan oleh al- Albani dalam kitab Shahiih al-Adabil Mufrad (hlm. 196) dan dia menghasankannya di dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 87). Takhrij- nya telah disebutkan dalam pembahasan mengenai hal mengiringi jenazah. 942 Majmuu’ Rasaa-il Ibnu ‘Utsaimin (XVII/166). 9,3 Usudul Ghaabah (VII/220), dan lihat pula: Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Qaaluu fil Janaazah kaifa Yushna’u bis Sariir, Yurfa’u lahu Syai’ am laa? Wa Maa Yushna’u fiihi bil Mar-ah” (III/270). 944 Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (III/484) dan ar-RaudbulMurbi’ ma’a Haasyiyab Ibn Qaasim (n/iio). 945 Beliau menyarankan untuk merujuk ke beberapa referensinya yang sangat bagus: kitab ar-RaudulMurbi’ma’a Haasyiyab Ibn Qaasim, fikih madzhab Hanbali (II/110), fauharul Ikliil Syarh Mukhtashar Kbaliil, fikih madzhab Maliki (1/111) cetakan al-Halabi, al-Majmuu ’ Syarbul Muhadzdzab, fikih madzhab Syafi’i (V/221) cetakan Daarul ‘Uluum lith Thibaa’ah, dan 472 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH DELAPAN BELAS: PENGUBURAN JENAZAH SEBAGAI SALAH SATU NIKMAT ALLAH KEPADA HAMBA-HAMBA-NYA Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penguburan jenazah: 1. Hukum menguburkan jenazah adalah fardhu kifayah Apabila hal itu telah dilakukan oleh orang yang memenuhi syarat, gugur¬ lah dosa dari yang lainnya; namun jika mereka semua meninggalkannya, mereka semua berdosa. 947 Hal ini berdasarkan firman Allah H§ : {^5 ^AjLaI ^ “Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur. ” (QS. ‘Abasa: 21) Maksudnya, sesungguhnya Allah telah memuliakan hamba-hamba-Nya dengan penguburan jasadnya dan tidak membiarkannya dimangsa oleh binatang buas dan burung-burung (pemakan bangkai). Ini merupakan penghormatan yang diberikan kepada manusia yang tidak diberikan kepada binatang. Allah berfirman: i © 'fed © iSiir>jVT jdf > “Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul, orang-orang hidup dan orang-orang mati. ” (QS. Al-Mursalaat: 25-26) Allah @H pun telah menunjuki Qabil untuk menguburkan saudaranya, Habil. c-*" * t'* f’ *\ . -iFT i^i • "'l x ' ' s ' ' M i * 11 t'- " 'T’ ' uC TL f ( Sj'j 13 yi^i Ioia JL o/» o' y^' y>r' _/ y-~^ y 4 ^ y y r* fjr' y y \ (j? ^ I Kitaabul Fiqhi ‘alal Madzaahibil Arba’ah karya ‘Abdurrahman al-Jazairi bagian tentang madzhab Hanafi (1/531). 946 Majmuu*RasaadlIbnu ‘Utsaimin (XVII/168 dan 175-177). 947 Ar-Raudhul Murbi 3 ma’a Haasyiyah ‘Abdirrabman al-Qaasim (11/28). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 473 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH "Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan jasad saudaranya. Berkata Qabil: Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini lalu aku dapat menguburkan jasad saudaraku ini’ Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. ” (QS. Al-Maa-idah: 31) Peristiwa ini merupakan awal dari kebiasaan bagi ummat manusia (dalam menguburkan jasad <d ). Dan dikarenakan membiarkan bangkai manusia dapat mengganggu manusia lainnya serta menodai kehormatannya, maka jasad manusia wajib untuk di kuburkan. 948 2. Keutamaan menguburkan jenazah Diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Rasulullah bersabda: 4J 'jka- i y*J (.ojy» 't) aWl 'jkS' CAllp ULIa {j* )) p cudt J\ ps pk P (jp ZPi '' S ' ' Z' X ✓ Jplj ( jA AaIIaJI ' ' ' * ' ' ' “Barang siapa memandikan (jenazah) seorang Muslim lalu ia merahasia¬ kan (aibnya), Allah akan memberikan ampunan sebanyak empat puluh kali kepadanya; dan barang siapa menggali liang lahad lalu menimbuni- nya, ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang memberikan tempat tinggal kepadanya (jenazah) sampai hari Kiamat; dan barang siapa mengkafaninya, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pada hari Kiamat dengan pakaian dari sundus (sutera tipis) dan istibraq (sutera tebal) Surga.” 949 Diriwayatkan pula oleh Abu Hurairah ^5 secara marfu-. tlglip ip^-l 4*A (jkJ J 0 jll>r jj t ' 94S Haasyiyah ‘Abdirrahman al-Qaasim ‘alar Raudhil Murbi (11/28). 949 Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubraa (III/395), al-Hakim (1/354), ath-Thabrani dalam al- Kabiir (1/315, no. 929). Al-Hakim mengatakan: "Shahih berdasarkan syarat Muslim” dan hal itu disetujui oleh adz-Dzahabi. Al-‘Allamah al-Albani, dalam al-Janaa-iz (hlm. 69) berkata: "Derajat hadits itu seperti yang mereka berdua katakan.” Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id mengatakan: "Para perawinya adalah para perawi hadits shahih.” (III/21). Ibnu Hajar dalam ad-Dirayab (140) mengatakan: “Sanadnya kuat.” Saya katakan: “Hadits tersebut memiliki penguat dari hadits Abu Umamah > yang dihadirkan oleh ath-Thabrani dalam aUKabiir (no. 8077 dan 8078). 474 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH * } £ f s yQ y y o y jJ-\ jL JS" ^ £y> “Barang siapa mengiringi jenazah seorang Muslim karena keimanan dan mencari pahala, dan hal itu selalu menyertainya hingga dia menshalatinya dan selesai dari menguburkannya, dia pulang dengan membawa pahala sebesar dua qiraath dan setiap qiraath seperti gunung Uhud ...” 950 3. Jenazah tidak dikuburkan pada tiga waktu yang dilarang, yang jangka waktu tersebut sangat singkat, kecuali karena darurat Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Uqbah bin ‘Amir secara marfu\ <j! jl JjLai 01 j 015^ od pU ‘C? °-S ^ ^ 'JJ6 cjy~3 Jl Jl-J “Ada tiga waktu yang kami dilarang oleh Rasulullah ;!§ untuk melakukan shalat atau menguburkan orang-orang yang meninggal di antara kami pada waktu-waktu tersebut, yaitu ketika matahari baru mulai terbit hingga benar-benar terbit, ketika pertengahan hari hingga matahari condong sedikit ke arah barat, dan ketika matahari mulai akan terbenam hingga benar-benar terbenam.” 951 4. Jenazah seorang Muslim tidak boleh dikubur bersama mayat orang kafir atau sebaliknya Jenazah seorang Muslim harus di kuburkan di pemakaman kaum Muslimin, sementara mayat orang kafir ditimbun bersama di pekuburan orang-orang musyrik. Hal ini mengacu kepada beberapa hadits, di antaranya: Hadits dari Abu Thalhah , bahwa pada saat Perang Badar, Nabi $|| memerintahkan agar ke 24 jasad orang Quraisy itu dilemparkan ke salah satu sumur di daerah Badar yang kotor dan menjijikkan. 952 950 Muttafaq 'alaih: al-Bukhari (no. 47) dan Muslim (no. 945). Takhrij-nya telah disebutkan pada pembahasan mengenai hal menshalati jenazah. 95 Muslim (no. 831) dan takhrij -nya telah disebutkan dalam pembahasan mengenai shalat Sunnah. 9S1 Muttafaq 4 alaih : al-Bukhari (no. 3976) dan Muslim (no. 2875). Takhrij-nyz. telah disebutkan pada pembahasan mengenai peringatan tentang siksa kubur. Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 475 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Juga kepada hadits Basyir, maula Rasulullah s||, dia berkata: “Ketika saya sedang berjalan bersama Rasulullah J|§, beliau melintasi kuburan orang- orang musyrik. Beliau berkata: ‘Sungguh, orang-orang itu telah tertinggal oleh kebaikan yang banyak.’ Kemudian beliau mengatakannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau melintasi pemakaman kaum Muslimin, dan bersabda: ‘Sungguh mereka telah mendapatkan kebaikan yang banyak.’ Tiba-tiba, pandangan Rasulullah tertuju kepada seorang laki-laki yang berjalan di antara pekuburan dengan mengenakan sepasang sandal. Beliau berkata: ‘Wahai pemilik sepasang sandal sibtiyyah (yang terbuat dari kulit yang telah disamak), celaka engkau! Lemparkanlah sepasang sandalmu itu.’ Laki-laki itu pun menoleh. Tatkala dia mengetahui bahwa itu adalah Rasulullah |f§, dia pun melepaskan sandalnya, lalu melemparkannya. ” 953 Juga berdasarkan hadits dari ‘Ali «gi» , dia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah J|§: ‘Sesungguhnya pamanmu (Abu Thalib, ayah dari ‘Ali sendiri, pen ) adalah seorang yang sesat, dia telah meninggal dunia, lalu siapa yang akan menguburkannya?’ Beliau menjawab: o ^ ^ y s ^ ^ 'y j ilLI jlji )) ‘Pergilah, lalu kuburkanlah ayahmu, dan janganlah engkau melakukan sesuatu apa pun hingga engkau kembali kepadaku.’ Kemudian aku menguburkan ayahku, setelah itu aku kembali mendatangi beliau, lantas Rasulullah m menyuruhku mandi dan beliau mendo’akanku hingga beliau membaca sebuah do’a yang tidak aku hafal.” 954 5. Disunnahkan menguburkan jenazah di pemakaman Hal ini, karena Nabi «!§ telah menguburkan orang-orang yang meninggal dunia di pemakaman Baqi’, sebagaimana hal itu telah diterangkan dalam hadits- hadits mutawatir. Selain itu, tidak pernah diriwayatkan dari seorang ulama salaf pun tentang perihal menguburkan jenazah selain di pemakaman, kecuali riwayat mutawatir yang menjelaskan bahwa Nabi di kuburkan di kamar beliau, dan hal itu merupakan kekhususan bagi beliau. 955 953 Abu Dawud, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “al-Masy-yu fin Na’l bainal Qubuur” (no. 3230), an-Nasa-i, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Karaahiyatul Masy-yi bainal Qubuur fin Ni’aal as-Sabtiyyah” (no. 2047), Ibnu Majali, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fii Khal’in Na’lain bainal Maqaabir” (no. 1568), dan Ahmad (V/83). Dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahiibun Nasa-i (11/70) dan Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 173). 954 An-Nasa-i, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Muwaaraatul Musyrik” (no. 2005). Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahiibun Nasa-i (11/59). 955 Lihat: Ahkaamul Janaa-iz, al-‘Allamah al-Albani (hlm. 173-175) dan al-Albani menyebutkan beberapa dalil mengenai hal itu di kitab ini. Lihat pula: asy-SyarhulKabiir (VI/238). 476 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH 6. Para syuhada dikuburkan di medan peperangan, tempat mereka syahid, tidak boleh dipindahkan ke pemakaman Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah > dia berkata: “Rasu¬ lullah j|| keluar dari kota Madinah untuk memerangi orang-orang musyrik. Ayahku, ‘Abdullah, berkata: ‘Hai Jabir bin ‘Abdillah, tetaplah kamu berada di kelompok orang-orang yang menjaga kota Madinah hingga engkau mengetahui apa yang akan terjadi pada kami. Karena, demi Allah! Seandainya aku tidak meninggalkan beberapa orang anak perempuan, niscaya aku akan senang jika engkau terbunuh di hadapanku.’ Jabir melanjutkan ceritanya: ‘Ketika aku bersama orang-orang yang menjaga kota Madinah, tiba-tiba bibiku datang dengan membawa jenazah ayah dan pamanku. Ia mengikat keduanya 956 di atas unta penyiram air, lalu membawa keduanya masuk ke kota Madinah agar ia dapat menguburkan keduanya di pemakaman kami. Tiba-tiba, seorang laki-laki menyusul dan berseru: ‘Ketahuilah, sesungguhnya Nabi memerintahkan kalian agar membawa kembali orang-orang yang mati syahid untuk kalian kuburkan di tempat mereka telah mati syahid.’ Lalu kami kembali membawa keduanya hingga kami menguburkannya di tempat keduanya telah mati syahid.” 957 7. Menguburkan jenazah pada malam hari Terdapat beberapa perincian mengenai hal ini. Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah > bahwa pada suatu hari, Nabi 2 §§ pernah menyampaikan khutbah. Tiba-tiba, diceritakan ada seorang laki-laki dari Sahabat beliau telah meninggal dunia, namun dia telah dikafani dengan kain kafan yang tidak panjang dan di kuburkan pada malam harinya. Maka, Nabi me¬ larang laki-laki tersebut di kubur pada malam hari hingga dia dishalati, kecuali jika seseorang terpaksa melakukan hal itu. Nabi «§| bersabda: ((.'U eX^-\ Jj>-I )) “Jika salah seorang dari kalian mengkafani saudaranya, hendaklah dia memperindah kafannya.” 958 956 Di dalam teks asli ( ) yang artinya mengikat keduanya di atas kedua sisi unta, seperti dua timbangan. An-Nihaayab (III/191). 957 Ahmad dalam al-Musnad (III/397-398). Al-‘Allamah al-Albani berkata: “(Diriwayatkan) Dengan sanad shahih. Sebagian hadits terdapat pada Abu Dawud dan lainnya secara ringkas ...” Takbrij hadits, ringkasnya telah disebutkan pada pembahasan mengenai hal-hal yang wajib dan disunnahkan bagi orang yang menghadiri wafatnya seorang Muslim. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud (no. 3165), at-Tirmidzi (no. 1717), an-Nasa-i (no. 2005), Ibnu Majah (no. 1516) dan lainnya. Lihat pula: asy-Syarhul Kabiir (VI/239) dan al-Mughni karya Ibnu Qudamah (III/442). 958 Muslim (no. 943). Takbrij -nya telah disebutkan pada pembahasan mengenai perihal mengkafani jenazah pada poin keenam. Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 477 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas , dia berkata: “Seseorang yang pernah dijenguk oleh Rasulullah «§§ (ketika sakitnya, pen ) telah meninggal dunia pada malam hari. Lalu mereka menguburkannya pada malam itu juga. Tatkala memasuki pagi hari, mereka memberitahukannya kepada Rasulullah i|§. Beliau pun bertanya: “Mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku?” Mereka menjawab: “Kami tidak ingin mengganggumu pada malam tadi—dan ketika itu malam sangat gelap—, lalu beliau mendatangi kuburnya dan shalat di sisinya.” 959 Diriwayatkan dari ‘Aisyah , dia berkata: “Kami tidak mengetahui (tempat, p 6 ") penguburan Rasulullah jj§j hingga kami mendengar suara orang- orang yang melintas di akhir malam Rabu ....” 960 Imam an-Nawawi berkata:“Para ulama berbeda pendapat seputar masalah menguburkan jenazah di malam hari. Al-Hasan al-Bashri memakruhkan hal tersebut, kecuali karena darurat.” Jumhur ulama dari kalangan salaf dan kbalaf berkata: “Hal itu tidak dimakruhkan.” Mereka berargumen bahwa Abu Bakr dan sejumlah ulama salaf di kuburkan pada malam hari tanpa ada yang mengingkari perbuatan tersebut. Juga berdasarkan hadits tentang seorang perempuan kulit hitam dan seorang laki-laki yang biasa membersihkan masjid yang meninggal dunia pada malam hari. Lalu mereka menguburkannya pada malam hari itu juga. Nabi pun menanyakan hal tersebut kepada mereka. Mereka menjawab: “Ia telah meninggal dunia pada malam hari, lalu kami menguburnya pada malam itu juga.” Rasulullah j|§ bertanya: “Mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku?” Mereka menjawab: “Ketika itu malam sangat gelap.” Namun demikian, beliau tidak mengingkari perbuatan mereka. Para ulama menanggapi tentang hadits ini, 961 bahwa larangan itu ditujukan kepada perbuatan meninggalkan shalat Jenazah (di malam hari), namun beliau tidak melarang menguburkan jenazah pada malam hari. Beliau hanyalah melarang meninggalkan shalat Jenazah, atau karena sedikitnya jumlah orang yang menshalatinya, atau melarang memberikan kain kafan yang buruk atau melarang keseluruhan, yang telah disebutkan sebelumnya ...” 962 Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, mengomentari hadits-hadits yang berbicara tentang hal ini: “Hadits-hadits 959 Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “al-Idzn bil Janaazah” (no. 1247), Bab “ash-Shufuuf ‘alal Janaazah” (no. 1319), Bab “Shufuufush Shibyaan ma’ar Rijaal” (no. 1321), Bab “Sunnatush Shalaah ‘alal Janaazah” (no. 1322), Bab “Shalaatush Shibyaan ma’an Naas ‘alal Janaa-iz” (no. 1326), Bab “ad-Dafnu bil Lail” (no. 1340), dan penggalan pertama (no. 857), dan Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “ash-Shalaah ‘alal Qabr” (no. 956). 960 Ahmad (VI/274). 961 Hadits Jabir di atas yang terdapat dalam Muslim. 962 Syarbun Nawawi (VII/14). 478 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT ALOUR-AN DAN AS-SUNNAH ini menunjukkan dibolehkannya menguburkan jenazah pada malam hari. Sedangkan hadits yang melarang hal itu, maka larangan ini ditunjukkan jika di dalam pelaksanaannya terdapat kekurangan dalam menshalatinya. Dan karena hal ini disebutkan dalam Sbahiih Muslim bahwa Nabi J§§ melarang penguburan jenazah di malam hari hingga dishalati. Kesimpulannya, jika terdapat kekurangan pada pemenuhan hak-hak jenazah, baik pada memandikan, mengkafaninya, atau menshalatinya, maka dia tidak boleh di kuburkan pada malam hari. Namun jika hak-haknya telah terpenuhi secara utuh, dia boleh di kuburkan pada malam hari.” 963 Pada kesempatan yang lain, saya mendengar beliau berkata: “Adapun mengenai riwayat Muslim, yang disebutkan di dalamnya bahwa Nabi *§§ me¬ larang menguburkan jenazah seseorang hingga dia dishalati, hal itu berkenaan dengan penundaan (penguburan) jenazah untuk dishalati, ketika penundaan itu dipandang lebih utama, karena dapat memperbanyak jamaah. Kesimpulannya, bahwa kumpulan hadits tersebut memberikan faedah bahwa yang lebih utama adalah menunda shalat Jenazah, jika penundaan itu dapat lebih menyempurnakan (pengurusan jenazah). Namun, jika jenazah telah dishalati pada waktu Isya’ atau Maghrib, maka (menguburkannya pada malam hari‘ ed ) tidak dimakruhkan. Di antara yang menunjukkan tentang hal ini adalah hadits yang terdapat dalam riwayat Muslim: “Ada tiga waktu yang kami dilarang oleh Rasulullah *§§ untuk melakukan shalat atau menguburkan orang-orang yang meninggal di antara kami pada waktu-waktu tersebut, yaitu ketika matahari baru mulai terbit hingga benar-benar terbit, ketika pertengahan hari hingga matahari condong sedikit ke arah barat, dan ketika matahari baru mulai terbenam hingga benar-benar terbenam.” Riwayat ini menunjukkan bahwa ketika matahari telah terbenam, maka pelarangan itu pun hilang, dan menshalati serta menguburkannya setelah waktu itu adalah diperbolehkan. Selain itu, Nabi 0% juga di kuburkan pada malam hari, demikian pula Abu Bakr ash-Shiddiq, ‘Umar, dan ‘Utsman , mereka di kuburkan pada malam hari.” 964 Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Diperbolehkan menguburkan jenazah pada malam hari, jika kewajiban terhadapnya telah dilaksanakan, baik itu memandikan, mengkafani dan menshalatinya (jika hal-hal tersebut telah di¬ penuhi), maka boleh menguburkannya di malam hari. 965 ” 966 963 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Muntaqal Akhbaar, hadits-hadis (no. 1914-1916). 964 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Buluughul Maraam, hadits (no. 615). Lihat pula: Majmuu’ Fataawaa Ibnu Baz (XIII/213-214). 965 Majmuu’Rasaa-ilIbnu ‘Utsaimin (XVII/180). Lihat pula: al-Mughni, Ibnu Qudamah (III/503- 504). 966 Lihat pembahasan panjang yang cukup bermanfaat dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz, al-Albani (hlm. 176-181) dan lihat juga: asy-Syarhul Kabiir yang dicetak bersama kitab al-Muqni’ dan al-Inshaaf (VI/250-251). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 479 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH 8. Diperbolehkan menguburkan dua jasad atau lebih dalam satu kubur karena kondisi darurat, atau karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak Hal ini berdasarkan dari hadits Jabir S& > bahwa Rasulullah jjj§ mengubur¬ kan dua orang laki-laki yang gugur dalam Perang Uhud dalam satu helai kain kafan, kemudian beliau bertanya: ‘Siapakah di antara keduanya yang paling banyak hafalan al-Qur-annya?’ Setelah ditunjukkan salah satunya kepada beliau, ia pun mendahulukannya di dalam liang lahad. Lalu beliau bersabda: ‘Aku adalah saksi bagi mereka.’ Rasulullah «|§ memerintahkan agar mengubur jasad mereka bersama bekas darahnya, dan beliau tidak menshalati, dan tidak pula memandikan mereka.” 967 Diriwayatkan dari Hisyam bin ‘ Amir, dia berkata: “Kami pernah mengadu kepada Rasulullah j|§ pada waktu Perang Uhud. Kami mengutarakan: ‘Wahai Rasulullah, satu lubang kubur untuk setiap jenazah telah memberatkan kami.’ Rasulullah s|§ menjelaskan: ‘Galilah, perdalamlah, baguskanlah, dan kuburkan- lah dua atau tiga jasad dalam satu kubur.’ Mereka bertanya: ‘Lalu, siapakah yang kami dahulukan, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Dahulukanlah orang yang paling banyak hafalan al-Qur-annya di antara mereka.’ Hisyam menambahkan: “Maka, jasad ayahku adalah yang ketiga dari tiga jasad yang di kubur dalam satu lubang tersebut.” 968 Hal ini dilakukan pada kondisi darurat atau karena suatu keperluan mendesak yang menuntut akan hal tersebut, seperti banyaknya orang yang meninggal karena peperangan, karena penyakit tha’un, atau karena sesuatu yang menyebabkan kematian massal. Namun, ketika adanya kemampuan, maka setiap satu jasad di kubur untuk satu lubang kubur. 969 Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Yang disyari’atkan, yaitu setiap satu jenazah di kubur untuk satu lubang kubur, sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan kaum Muslimin, dahulu hingga sekarang. Tetapi, jika ada tuntutan yang mendesak atau karena darurat sehingga harus menguburkan dua jasad atau lebih dalam satu lubang, hal itu diperbolehkan ... Sebagian ahli fikih berkata: ‘Sebaiknya dibuatkan pembatas dari tanah di antara dua jasad.’” 970 967 Al-Bukhari (no. 1343, 1345, 1346 dan 1347). Takhrij-nya telah disebutkan sebelumnya. 968 An-Nasa-i, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Yustahabbu min I’maaqil Qabri” (no. 2009) dan Bab “Maa Yustahabbu min Tausii’il Qabri” (no. 2010), Abu Dawud, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Fii Ta’miiqil Qabri” (no. 3215), Ibnu Majah, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fii Hafril Qabri” (no. 1560), dan at-Tirmidzi, Kitab “al-Jihaad,” Bab “Maa Jaa-a fii Dafnisy Syahiid” (no. 1713). Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Sbabiih Sunan Abu Dawud (11/304) dan lainnya, dan di dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil (no. 743). 969 Majmuu’Fataawaa Ibnu Baz (XIII/212). 970 Majmuu’Rasaa-il Ibnu ‘Utsaimin (XVII/214). 480 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Imam Ibnu Qudamah berkata: “Dua jasad tidak boleh di kubur dalam satu lubang kubur, kecuali karena darurat.” 971 9. Mengumpulkan beberapa orang yang meninggal yang masih ada ikatan kekerabatan dalam satu pemakaman adalah baik Hal ini berdasarkan hadits dari al-Muthallib, dia berkata: “Tatkala ‘Utsman bin Mazh’un meninggal dunia, jenazahnya dibawa untuk di kuburkan. Kemudian Nabi m memerintahkan salah seorang laki-laki untuk membawakan sebuah batu (besar), namun dia tidak mampu untuk membawanya. Lalu Rasulullah berdiri menuju batu tersebut dan beliau menyingkap kedua lengan (baju)nya.” Katsir berkata: al-Muthallib menambahkan: “Orang yang mengabariku tentang hal itu dari Rasulullah «H, berkata: ‘Seakan-akan aku melihat putih kedua lengan Rasulullah <|§ ketika beliau menyingkap kedua lengan bajunya. Selanjutnya beliau membawa dan meletakkannya di sisi kepala dari (kubur) ‘Utsman, seraya bersabda: ((•^' dr* 'J? ^ii )) “Aku memberi tanda dengan batu ini untuk kuburan saudaraku, dan di sinilah akan di kuburkan orang yang meninggal dari keluargaku.” 972 Imam Ibnu Qudamah berkata: “Mengumpulkan beberapa orang yang meninggal yang masih ada ikatan kekerabatan dalam satu pemakaman adalah baik. Hal ini berdasarkan sabda Nabi *|§ tatkala menguburkan ‘Utsman bin Mazh’un: ‘Di sinilah akan di kuburkan orang yang meninggal dari keluarganya (Nabi j|§).” 973 Selain karena hal itu lebih memudahkan untuk menziarahi kubur mereka dan memperbanyak do’a semoga mereka diberikan kasih sayang dan rahmat ,...” 974 10. Memberikan nasihat di sisi kubur adalah suatu hal yang dibolehkan Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Ali 4*5 > dia berkata: “Ketika kami sedang berada di Baqi’ al-Gharqad, Nabi mendatangi kami, lalu beliau duduk dan kami pun duduk di sekitar beliau. Beliau membawa mikbsharah (tongkat kecil) 975 971 Al-Mughni (III/513). 972 Abu Dawud, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Jam’ul Mautaa fii Qabr wal Qabru Yu’allam” (no. 3206). Dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahiih Sunan Abu Dawud (11/301). Imam asy- Syaukani berkata dalam kitab Nailul Autbaar (11/773): “Al-Hafizh berkata: ‘Dan sanadnya hasan.’” 973 Disebutkan dalam kitab aslinya, Sunan Abu Dawud, dengan lafazh ahlii (keluargaku). 974 Al-Mughni (III/442), dan asy-SyarhulKabiir yang dicetak bersama kitab al-Muqni’ dan al-Inshaaf (VI/239). 975 Mikbsharah, yaitu adalah tongkat kecil yang dijadikan untuk sandaran dan biasanya berada di bawah pinggang. Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 481 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH (dalam satu riwayat: ‘uud (tongkat)), 976 lantas beliau mengangguk-anggukkan kepalanya seraya membuat garis 977 (di tanah) dengan tongkat kecilnya. Kemudian beliau bersabda: ‘Tidak ada seorang pun di antara kalian (dan) 978 tidak ada satu jiwa pun yang diciptakan, melainkan (sungguh) 979 telah ditetapkan tempatnya di Surga atau di Neraka; dan juga telah ditetapkan, celaka atau bahagianya.’ Lalu seorang laki-laki berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah kita tidak bertawakal saja kepada takdir kita dan meninggalkan beramal. Barang siapa di antara kita yang termasuk orang yang berbahagia, maka dia akan beramal dengan amalan orang yang berbahagia, sedangkan barang siapa di antara kita yang termasuk orang yang sengsara, maka dia akan beramal dengan amalan orang yang sengsara.’ Kemudian beliau s|§ bersabda: ioUJUl J-aI (ya Oli"" ya^ \ 5 >\ (aJ L«J ^4-» JSo )) ajLLiJl JlAI (ya jli" ya ) UI J lOiULUl JlA| / S S ((.sjilsJi (Ja') ‘(Tidak), 980 (tetapi, beramallah! Karena masing-masing dipermudah untuk melakukan sesuatu yang dia diciptakan untuknya). 981 Adapun (mereka yang termasuk) 982 orang-orang yang akan berbahagia, mereka akan dimudah¬ kan untuk beramal dengan amal perbuatan orang-orang yang berbahagia. Sedangkan, (mereka yang termasuk) orang-orang yang sengsara, mereka dimudahkan untuk beramal dengan amal perbuatan (orang-orang) yang sengsara.” Kemudian beliau membaca: / / * S* ' a 9 i *• 9 ^ ^ \ a» aa[^ ) t 7 X ii* X Cp (Cp t>’3 {J* 7 0 oiTj 0 ji ly dfj 0 976 Lafazh «W (tongkat) berasal dari potongan hadits (no. 4946). 977 Pada teks hadits tertulis ( dil; \), kata nakasa , berarti mengangguk-angguk dan me¬ nundukkan kepala beliau ke dalam tanah, seperti orang yang sedang bingung. Kata Yankutu , berarti membuat garis tipis berkali-kali. Ini adalah perbuatan orang yang sedang berfikir dan gelisah. 978 Berasal dari potongan hadits (no. 4946). 979 Berasal dari potongan hadits (no. 4946). 980 Berasal dari potongan hadits (no. 4947). 981 Berasal dari potongan hadits (no. 4949). 982 Berasal dari potongan hadits (no. 4949). 482 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan hertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. ” (QS. Al-Lail: 5-10) 983 Imam al-Bukhari berkata dalam penjelasan hadits ini: “Bab tentang nasihat orang yang berbicara di sisi kubur dan duduknya teman-temannya di sekelilingnya.” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkomentar: “Seakan-akan al-Bukhari mengisyarat¬ kan kepada adanya perbedaan antara kondisi-kondisi duduk (di pekuburan). Bila hal itu karena suatu kemaslahatan yang berkaitan dengan orang yang masih hidup atau orang yang telah meninggal dunia, maka hal itu tidak dimakruhkan.” 984 Di antara hadits yang menunjukkan bolehnya memberikan nasihat di sisi kubur adalah hadits dari al-Barra’ bin ‘Azib yang cukup panjang. Disebutkan pada awal hadits tersebut: “Kami keluar bersama Nabi untuk mengantarkan jenazah seorang laki-laki dari kaum Anshar. Ketika kami tiba di pekuburan, jenazah tersebut belum dimasukkan ke liang lahad. Kemudian, Rasulullah duduk menghadap kiblat dan kami pun duduk di sekitar beliau, seakan-akan di atas kepala kami ada seekor burung. Di tangan beliau terdapat sebatang kayu yang beliau pukul-pukulkan ke tanah. Lalu beliau memandang ke langit dan ke bumi. Beliau mengangkat pandangan lalu dan menundukkannya sebanyak tiga kali. Lantas beliau bersabda: J\ fji')) : Jli P c&i jf Jdp (( jl Jl ^ )) ** "’V ’ ^ s s s S s s s J Oir b! ^jIJ! j&Jl 01 : Jli p J&\ Alij JjLijj LJjJl 2JL> \ ^ l j}& oli" OJ-L 4 c ^ *** aL*J1 A^JbJl :J yps a^Ij oIp aIIp 9 ^Muttafaq \alaih : al-Bukhari, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Mau’izhatul Muhaddits ‘indal Qabri wa Qu 5 uud Ash-haabih Haulah” (no. 1362) dan Muslim, Kitab “al-Qadr,” Bab “Kaifa Khuliqal Aadami fii Bathni Ummihi wa Kitaabatu Rizqihi wa Ajalihi wa ‘Amalihi wa Syaqaawatihi wa Sa’aadatihi” (no. 2647). 9M Fat-hul Baari bi Syarb Shahiihul Bukhari (III/225). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 483 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH aIoKJi (Jiii ‘Berlindunglah kepada Allah dari siksa kubur’—sebanyak dua kali atau tiga kali—lalu beliau berdo’a sebanyak tiga kali: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur’—, kemudian beliau bersabda: ‘Sesungguhnya ketika seorang hamba yang Mukmin akan berpisah dengan dunia dan menghadap ke akhirat, maka para Malaikat yang berwajah putih akan turun kepadanya dari langit, seakan-akan wajah mereka itu adalah matahari. Mereka membawa kain kafan dan hanuut dari Surga, kemudian mereka duduk sejauh mata memandang. Lalu datanglah Malaikat Maut dia duduk di sisi kepalanya, seraya berkata: ‘Wahai jiwa yang baik—dalam satu riwayat: “yang tenang”—keluarlah menuju ampunan dan keridhaan dari Allah’ ...” 985 Guru kami, Imam bin Baz, berkata: “Sungguh telah disebutkan lebih dari sekali di dalam hadits shahih, dari Nabi j|§ bahwa beliau pernah memberikan nasihat kepada para Sahabat di sisi kubur sambil menunggu penguburan. Dari sini diketahui bahwa nasihat/ceramah di sisi kubur adalah suatu hal yang disyari’atkan dan telah dilakukan oleh Nabi <!§. Karena hal itu merupakan peng¬ ingat kematian, Surga, Neraka, dan urusan-urusan akhirat lainnya, serta mampu memotivasi untuk mempersiapkan saat pertemuan dengan Allah.” 986 Al-‘Allamah al-Albani berkata: “Diperbolehkan duduk di sisi kubur di sela-sela penguburan untuk mengingatkan orang-orang yang hadir akan kematian dan hal-hal yang ada setelahnya, berdasarkan hadits al-Barra’ bin ‘Azib ....” 987 Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin berkata: “ ... dan maksud dari hadits tersebut adalah bahwa Nabi «p mendatangi pemakaman Baqi’, sementara di sana terdapat orang-orang yang sedang menunggu dimasukkannya jenazah ke dalam liang lahad untuk menguburkannya. Lalu Rasulullah j§§ duduk dan para Sahabat pun ikut duduk di sekeliling beliau, lantas beliau mulai memberikan peringatan kepada mereka sambil duduk, bukan untuk berkhutbah. Demikian pula, ketika beliau berada di pemakaman. Beliau bersabda: jlll) oJJuL »j 0 JjLL» Jjjj Ia )) 985 Abu Dawud (no. 3212, 4753, 4754), al-Hakim (1/37-40), dan Ahmad (IV/287, 288, 295, 296, dan 1834). Takhrij -nya telah disebutkan pada pembahasan mengenai merenungi keadaan orang-orang yang sedang menghadapi sakaratul maut. 986 Majmuu Fataawaa Ibnu Baz (XIII/210). 987 AhkaamulJanaaaz (hlm. 198). 484 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH “Tidak ada seorang pun di antara kalian, melainkan telah ditetapkan tempatnya di Surga atau di Neraka ,„. 988 ” 989 11. Memperdalam dan memperluas lubang kubur Hal ini berdasarkan hadits dari Hisyam bin ‘ Amir, dia berkata: “Pada Perang Uhud, kaum Anshar mendatangi Rasulullah J|§, seraya mengungkapkan: ‘Kami terkena luka dan menderita kepayahan, lalu bagaimana engkau memerintahkan kami?’ Beliau bersabda: ((.^i j S&S13 iyLu-13 iyL-313 » ((.LT> )) :JU ‘Galilah, perluaslah, (perdalamlah), dan masukkan dua atau tiga jasad laki- laki dalam satu lubang kubur.’ Ada yang bertanya: ‘Lalu, siapakah yang kami dahulukan?’ Beliau menjawab: ‘Orang yang paling banyak hafalan al-Qur-annya di antara mereka.’” 990 Juga berdasarkan riwayat dari salah seorang laki-laki dari kaum Anshar, dia berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah ji|| untuk mengantarkan jenazah seorang laki-laki dari kaum Anshar. Ketika itu, aku adalah seorang anak kecil (dan pergi) bersama ayahku. Lalu, Rasulullah duduk di sisi lubang kubur sambil berwasiat kepada orang yang menggalinya: A 5 (iip o? •o-fy cP )) “Perluaslah pada sisi kepala dan sisi kedua kakinya. Betapa banyaknya tangkai buah yang disediakan untuknya di Surga.” 991 Imam Ibnu Qudamah menyebutkan dari Imam Ahmad bahwa kubur itu diperdalam hingga (setinggi) dada. Jenazah laki-laki dan perempuan sama 988 Takhrij-nya telah disebutkan pada awal poin kesepuluh. 989 Majmuu Rasaa-il Ibnu ‘Utsaimin (XVII/131). "°An-Nasa-i (no. 2009, 2010), Abu Dawud (no. 3215), Ibnu Majah (no. 1560), dan at-Tirmidzi (no. 1713). Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil (no. 743). Takhrij-nyz telah disebutkan dalam pembahasan mengenai penguburan dua jenazah atau lebih dalam satu kubur. 991 Ahmad dan lafazhnya ini darinya (V/408), dan Abu Dawud tanpa menyebutkan ‘Betapa banyaknya tangkai buah untuknya di Surga,’ Kitab “al-Buyuu”’, Bab “Fi Ijtinaabisy Syubuhaat” (no. 3332). Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahiib Sunan Abu Dawud (11/335) dan Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 181). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 486 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah fiXS > C^PCgC N B£»S I ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH asy-Syaqq ? Sampai-sampai mereka membicarakan hal tersebut dengan suara meninggi. Lalu ‘Umar berkata: ‘Janganlah kalian berteriak di sisi Rasulullah, baik ketika beliau masih hidup atau pun setelah meninggal dunia’ (atau ucapan semisalnya). Mereka pun mengirim utusan untuk menemui pembuat asy-syaqq dan pembuat liang lahad secara bersamaan. Namun, yang datang terlebih dahulu adalah pembuat liang lahad. Maka, dibuatkanlah liang lahad untuk Rasulullah J|§, kemudian beliau di kuburkan.” 996 Diriwayatkan dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash berkata ketika sakit, menjelang kematiannya: “Buatkanlah liang lahad untukku dan dirikanlah batu bata di atas kuburku, sebagaimana yang telah dilakukan terhadap Rasulullah H§.” 997 Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dia berkata: “Rasulullah s|§ ber¬ sabda: ((.LId )) ‘Liang lahad itu untuk kita dan liang asy-syaqq untuk selain kita.” 998 Diriwayatkan juga dari Jarir bin ‘Abdullah al-Bajali, bahwa Rasulullah -j|§ bersabda: ((.Lj llj )) “Liang lahad itu untuk kita dan liang asy-syaqq untuk selain kita.” 999 Liang lahad adalah galian pada sisi dinding kubur ketika telah mencapai dasar liang kubur—sisi yang mengarah ke kiblat—seukuran tempat yang dapat memuat jasad, namun tidak dalam sehingga jasad tidak terlalu turun ke dalamnya, tetapi seukuran jasad dapat menempel dengan batu bata. Hal ini berlaku jika tanahnya keras, namun jika tanahnya gembur, maka dibuatkan sesuatu dari batu atau semisalnya, yang dapat menopangnya di liang kubur dan tidak dibuatkan liang lahad untuknya, agar tanah tidak jatuh ke arah jasad. 996 Ibnu Majah, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fisy Syaqq” (no. 1558). Dihasankan oleh al- Albani dalam kitab Shahiih Ibnu Majah (11/33). 997 Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Fil Lahd wa Nashbil Labin ‘alal Mayyit” (no. 966). 998 Ibnu Majah, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fii Istihbaabil Lahd” (no. 1554), Abu Dawud, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Fil Lahd” (no. 3208), at-Tirmidzi, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa- a fii Qaulin Nabi jg ‘al-lahdu lanaa wasy Syaqq li ghairinaa’” (no. 1045). An-Nasa-i, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “al-Lahd wasy Syiqq” (no. 2008), dan Ahmad (IV/359). Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahiihun Nasa-i (II/60) dan lainnya. 999 Ibnu Majah, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fii Istihbaabil Lahd” (no. 1555), dan Ahmad (IV/357). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih Ibnu Majah (11/32). Lihat pula: Ahkaamul Janaa-iz karya al-Albani (hlm. 182-184). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Sedangkan, liang asy-syaqq adalah galian memanjang di tengah kubur seperti sungai dan di kedua sisinya diletakkan batu bata, atau semisalnya, atau galian yang dibuat dengan membelah bagian di tengah kubur sehingga galian itu menjadi seperti telaga. Kemudian jasad diletakkan di dalamnya dan di atasnya diberi atap berupa batu dan semisalnya, dan atap tersebut sedikit diangkat seukuran ia tidak menyentuh jenazah. 1000 Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa liang lahad itu lebih utama, karena Allah telah memilihkannya untuk Rasul-Nya. Namun, liang asy-syaqq pun tetap dibolehkan ketika dibutuhkan. Imam an-Nawawi berkata: “Liang lahad adalah sesuatu yang telah dikenal, yaitu membuat belahan di sisi kubur yang mengarah ke arah kiblat. Hadits ini merupakan dalil bagi madzhab asy-Syafi’i dan mayoritas ulama, bahwa menguburkan jenazah di liang lahad, itu lebih utama daripada liang asy-syaqq, jika liang lahad itu memungkinkan. Namun demikian, mereka bersepakat dalam teks ijma’ bahwa baik liang lahad maupun liang asy- syaqq, keduanya boleh ....” 1001 Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Syaikh bin Baz, berkomentar mengenai hadits tentang liang lahad: “Hadits ini menunjukkan bahwa membuat liang lahad itu lebih utama, karena Allah telah memilihkannya untuk Rasul-Nya ....” Beliau juga berkata: "... dan perbuatan para Sahabat serta kaum Muslimin menunjukkan bahwa, baik liang lahad ataupun liang asy-syaqq, hukumnya adalah jaaiz (boleh). An-Nawawi -S&M menyebutkan adanya ijma’ para ulama bahwa kedua hal tersebut hukumnya boleh. Di Madinah, terdapat penggali liang lahad dan liang asy-syaqq, tetapi liang lahad itu lebih utama. Namun, jika liang asy-syaqq itu dibutuhkan, maka ia diperbolehkan, sebagaimana pada tanah yang gembur.”' 002 13. Jenazah dimasukkan ke dalam kubur oleh kaum laki-laki Hal tersebut, berdasarkan apa yang biasa dilakukan pada masa Nabi j|§ yang berlaku di kalangan kaum Muslimin sepanjang masa, hingga zaman kita sekarang ini, juga karena kaum laki-laki itu lebih kuat untuk melakukan hal itu. Selain itu, seandainya kaum perempuan mengerjakan hal tersebut, tentu akan menyebabkan tersingkapnya bagian tubuhnya di hadapan kaum laki-laki lain (yang bukan mahram); dan ini hukumnya adalah haram. 1003 1000 An-Nibaayah fii GhariibilHadiits (III/ 81 dan IV/236), dan ar-RaudhulMurbi’ma’a Haasyiyah ‘Abdirrahman al-Qaasim (II/ 117-118). 1001 Syarhun Nawawi ‘alaa Shahiib Muslim (VII/38). 1002 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Buluughul Maraam, hadits (no. 600) dan ketika beliau menjelaskan kitab Muntaqal Akbbaar, hadits (no. 1891). 'o°3 AbkaamulJanaa-iz karya al-Albani (hlm. 186), dan al-Majmuu’ karya an-Nawawi (V/289). 488 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT ALOUR-AN DAN AS-SUNNAH 14. Kubur jenazah perempuan ditutup ketika menurunkannya ke dalam lubang kubur Tujuannya, agar tidak ada sedikit pun dari bagian dan bentuk tubuhnya yang terlihat. Hal ini berdasarkan atsar yang diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali, Anas, ‘Abdullah bin Yazid, dan al-Hasan. 1004 Imam al-Kharaqi berkata: “Kubur jenazah perempuan ditutupi dengan kain.” Imam Ibnu Qudamah berkata: “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat mengenai kesunnahan hal ini di kalangan para ulama ....” Kemudian, setelah menuturkan beberapa atsar , Imam Ibnu Qudamah berkata: “... karena perempuan itu adalah aurat, sehingga tidak ada jaminan jika tidak ada sedikit pun yang tampak darinya, sehingga orang-orang yang hadir dapat melihatnya.” 1005 Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Syaikh bin Baz, berkata: “Di¬ letakkan kain di atas jenazah perempuan ketika memasukkannya ke dalam kubur, dengan kain tebal atau semisalnya, hingga tidak ada satu pun dari bagian tubuhnya yang tampak.” 1006 Beliau pun menjelaskan ketika ditanya mengenai hukum menutup kubur dalam kaitannya dengan pemakaman jenazah perempuan? Maka beliau menjawab: “Hal ini lebih utama.” 1007 1004 Mushannaf Ibn Abi Syaibab (III/326), Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Qaaluu fii Maddits Tsaubi ‘alal Qabri.” Ibnu Abi Syaibah berkata: “Sufyan telah menceritakan kepada kami dari Abu Ishaq, dia berkata: ‘Aku menyaksikan pemakaman jenazah al-Harits. Mereka membentangkan kain di atas kuburnya, lalu ‘Abdullah bin Yazid menyingkapnya dan berkata: ‘Sesungguhnya dia itu adalah seorang laki-laki/” Atsar ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Ruwiya fii Satril Qabri bi Tsaub,” dengan sanad yang sampai ke Ishaq as-Subai’i bahwa dia menghadiri pemakaman jenazah al-Harits al-A’war, lalu ‘Abdullah bin Yazid menolak bila dibentangkan kain di atasnya dan ber¬ kata: ‘Sesungguhnya dia itu seorang laki-laki/ ‘Abdullah bin Yazid sendiri pernah melihat Nabi gg. Ini adalah sanad yang shahih sekali pun mauquf, yang diriwayatkan oleh sekelompok ulama dari Abu Ishaq/ Begitulah komentar Imam al-Baihaqi (IV/54). Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Autbaar (11/769): “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih hingga ke Abu Ishaq as-Subai’i ....” Kemudian, al-Baihaqi (IV/54) menyebutkan dengan sanadnya hingga ke ‘Ali, dia berkata: “Diriwayatkan dari seorang laki-laki dari penduduk Kufah dari ‘Ali bin Abi Thalib bahwa dia pernah mendatangi mereka. Laki-laki itu berkata: ‘Kami menguburkan jenazah dengan membentangkan kain di atas kuburnya, lalu Ali menarik kain tersebut dan berkata: ‘Sesungguhnya hal ini dilakukan terhadap jenazah perempuan/” Kemudian, al-Baihaqi menyebutkan atsar lain dari ‘Ali kemudian dia berkata: “Atsar ini dihukumi munqathi\ karena tidak diketahuinya identitas seorang laki-laki dari penduduk Kufah tersebut.” (IV/54). Sedangkan, atsar al-Hasan disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah (II1/326). 1005 Al-Mughni (III/431) dan Imam Ibnu Qudamah menyebutkan sebuah atsar dari ‘Umar, atsar lain dari ‘Ali, dan yang ketiga dari Anas ^. 1006 Saya (penulis) mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Muntaqal Akhbaar, hadits (no. 1896). 1007 Majmuu 3 Fataawaa Ibnu Baz (XIII/191). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 4*9 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Al-’Allamah Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan: “Hal ini termasuk sesuatu yang telah dilakukan oleh ulama Salaf, dan para ulama pun menganjurkannya. Karena, hal ini lebih dapat menutupi jenazah perempuan dan agar bentuk tubuhnya tidak terlihat, tetapi hal ini tidaklah wajib. Menutup dan melindungi semacam ini berlangsung hingga batu bata disusun di atas jenazahnya.” 1008 15. Wali orang yang meninggal lebih berhak untuk menurunkannya ke dalam kubur Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah ffil: "... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah...” (QS. Al-Anfaal: 75) Juga berdasarkan hadits ‘Ali , dia berkata: “Aku memandikan jenazah Nabi j||, lalu aku melihat-lihat apa saja yang biasa ada pada jasad, namun aku tidak melihat (aib) apa pun padanya, tubuh beliau sangat baik ketika masih hidup maupun sesudah meninggal.” Yang menguburkan serta menutupi beliau dari pandangan orang-orang ada empat orang, yaitu ‘Ali, al-’Abbas, al-Fadhal, dan Shalih, maula Rasulullah s|§. Selanjutnya jenazah Rasulullah dimasukkan ke dalam liang lahad dan di atasnya ditegakkan batu bata.” 1009 Diriwayatkan dari ‘Amir, dia berkata: “Rasulullah «H dimandikan oleh ‘Ali, al-Fadhal, dan Usamah bin Zaid; merekalah yang telah menurunkan jasad beliau ke dalam kubur beliau. Perawi berkata: ‘Marhab—atau Abu Marhab—telah menceritakan kepada kami bahwa mereka telah memasukkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf bersama mereka, setelah selesai, ‘Ali berkata: ‘Sesungguhnya yang mengurusi seseorang itu adalah keluarganya.’” 1010 Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Abza, dia bercerita bahwa aku pernah menshalati jenazah Zainab binti Jahsy bersama ‘Umar bin al-Khaththab 1008 Majmuu’Rasaa-il Ibnu ‘Utsaimin (XVII/173-174). Lihat juga Nailul Authaar karya asy- Syaukani (11/768-769). 1009 Al-Hakim (1/362) dan al-Baihaqi meriwayatkan dari 'Ali (TV/53 dan HI/388). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Dalam kitab AhkaamulJanaa-iz (hlm. 187), Al-Albani berkata: “Dengan sanad shahih.” Dia berkata: "Hadits ini memiliki hadits penguat dari hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad (no. 39 dan 3358), Ibnu Sa’ad (II/II/72) dan al-Baihaqi (III/407). Ahkaamul Janaa-iz karya al-Albani (hlm. 183). Saya (penulis) berkata: “Hadits ini juga memiliki beberapa hadits penguat lainnya yang telah disebutkan oleh al-Albani dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 183 dan 187). 1010 Abu Dawud, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Kam Yudkhilul Qabra” (no. 3209 dan 3210). Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahiih Abu Dawud (11/302). 490 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH di Madinah, lalu ‘Umar bertakbir sebanyak empat kali. Kemudian ‘Umar me¬ ngirim seorang utusan kepada isteri-isteri Nabi (untuk menanyakannya), siapa¬ kah yang akan mereka perintahkan untuk menurunkannya ke dalam kubur? ‘Abdurrahman berkata: “Dan ‘Umar ingin sekali seandainya dialah yang akan melakukan hal itu. Lalu mereka (isteri-isteri Nabi) mengirim seorang utusan kepada ‘Umar untuk menyampaikan pesan: “Lihatlah, barang siapa yang pernah melihat Zainab ketika masih hidup, hendaklah dia yang memasukkannya ke dalam kubur.” Lalu ‘Umar berkata: “Mereka benar. 1011 ” 1012 16. Seorang suami boleh menurunkan jenazah isterinya ke dalam kuburnya Hal ini berdasarkan hadits ‘ Aisyah , dia berkata: “Rasulullah 5 §§ pernah mengunjungiku pada hari pertama beliau sakit, lalu aku berkata: ‘Aduh, kepalaku terasa sakit.’ Lalu beliau berkata: ‘Aku senang jika engkau meninggal ketika aku masih hidup, aku akan mengurus jenazahmu dan aku yang akan menguburmu.’ ‘Aisyah berkata: ‘Lalu aku berkata dengan rasa cemburu: ‘Seakan-akan pada hari itu, aku ini adalah pengantin baru bersamamu di samping isteri-isterimu!’ Kemudian beliau mengeluh: $ i&r jk> c&\ Ja 1JU13 iiui ^ iSutyj u \j )) Jtj JJP <3ll jfej l Js\i J yu (1)1 ((■A d V! “Dan aku juga. Aduh! Kepalaku terasa sakit. Panggillah ayah dan saudara¬ mu hingga aku menuliskan sebuah surat (wasiat' ed ) untuk Abu Bakr. Karena aku khawatir bila ada orang yang berangan-angan berkata: ‘Aku lebih berhak.’ Padahal, Allah dan orang-orang Mukmin menolak, kecuali (kepada-) Abu Bakr.” 1013 17. Jenazah perempuan diturunkan ke kuburnya oleh orang yang tidak bersetubuh pada malam sebelumnya Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik > dia berkata: “Aku me¬ nyaksikan (pemakaman jenazah) puteri Rasulullah jH, sementara Rasulullah 3§§ 1011 Ath-Thahawi (HI/304-305), Ibnu Sa'ad (VIII/111-112), dan al-Baihaqi (III/53). Al-Albani ber¬ kata dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 187): “(Diriwayatkan) dengan sanad shahih.” 1012 Sebagian besar dari dalil-dalil ini telah disebutkan sebelumnya pada pembahasan mengenai, siapakah yang lebih utama memandikan jenazah. 1013 Ahmad (VI/144). Al-Albani berkata dalam kitab Ahkaamul ]anaa-iz (hlm. 188): “Hadits ini diriwayatkan) dengan sanad shahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim.” Ia juga berkata: “Hadits ini terdapat dalam Shahiihul Bukhari dan lainnya (no. 5666 dan 7217), dan *embahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 491 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH duduk di sisi kubur. Aku melihat kedua mata beliau meneteskan air mata. Beliau bertanya: ‘Apakah di antara kalian ada yang tidak bersetubuh tadi malam?’ Abu Thalhah menjawab: ‘Saya.’ Beliau bersabda: ‘Kalau begitu, turunlah ke dalam kuburnya.’ (Dia pun turun ke dalam kuburnya), lalu menguburkannya ....” 1014 Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang: Bolehnya menangis sebagaimana telah diterangkan (oleh Imam al- BukharU 1 ); bolehnya kaum laki-laki menurunkan jenazah perempuan ke dalam kuburnya, karena mereka lebih kuat untuk melakukan hal tersebut daripada kaum perempuan; dan lebih mendahulukan orang yang sudah lama tidak merasakan kenikmatan (hubungan suami isteri) dalam menguburkan jenazah—bila jenazah itu adalah seorang perempuan—atas ayah dan suaminya. Ada yang mengatakan: Sesungguhnya Rasulullah lebih mendahulukan Abu Thalhah untuk melakukan hal tersebut dengan alasan karena jenazah itu adalah puteri beliau sendiri. Namun pendapat ini masih perlu ditinjau kembali, karena zhahir redaksi hadits itu menyatakan bahwa Nabi *|§ lebih memilih Abu Thalhah untuk melakukan hal tersebut, karena pada malam harinya dia tidak melakukan hubungan badan. Sebagian ulama berargumentasi tentang hal tersebut, yaitu bahwa: Ketika itu dia aman dari gangguan syaitan yang mengingatkannya dari apa yang ia lakukan pada malam tersebut. Ibnu Habib menceritakan: “Rahasia bahwa Nabi lebih mendahulukan Abu Thalhah daripada ‘Utsman (padahal dia adalah suami dari puteri Rasulullah tersebut, pen ) adalah bahwa pada malam tersebut, ‘Utsman telah bersetubuh dengan sebagian budak perempuannya, lalu Nabi s|§ memberitahukannya dengan ramah dan tidak langsung melarangnya untuk menurunkan jenazah isterinya. 1015 Dan disebutkan dalam riwayat Hammad yang lalu bahwa ‘Utsman tidak turun ke dalam kubur. Di dalam hadits tersebut juga terdapat penjelasan mengenai dibolehkannya duduk di tepi lubang kubur ketika menguburkan jenazah.” 1016 18. Jenazah diturunkan dari sisi kedua kaki kubur Hal ini berdasarkan hadits Abu Ishaq, dia berkata: “Al-Harits berwasiat agar dia dishalati oleh ‘Abdullah bin Zaid. Maka, dia pun menshalatinya, kemudian Muslim (VII/110) secara ringkas.” Ia juga berkata: “Hadits ini memiliki beberapa jalur periwayatan lain dari ‘Aisyah yang telah disebutkan dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 67).” Saya (penulis) telah menjelaskan takhrij sebagian dari jalur-jalur ini pada pembahasan mengenai jenazah laki-laki tidak boleh dimandikan kecuali oleh kaum laki-laki, atau isteri¬ nya, atau budak perempuannya; sedangkan jenazah perempuan tidak boleh dimandikan kecuali oleh kaum perempuan atau suaminya.” 1014 Al-Bukhari, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Man Yadkhulu Qabral Mar’ah” (no. 1342) dan Bab “Ziyaaratul Qubuur” (no. 1285) dan lafazh yang ada di antara dua kurung berasal dari bab ini. 1015 Al-Hafizh dalam Fat-hul Baari (III/158) lebih membenarkan pendapat bahwa wanita itu adalah Ummu Kultsum sgsS > puteri Nabi jg dan sekaligus isteri ‘Utsman 4» . 1016 Fat-hul Baari karya Ibnu Hajar (III/159). 492 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH memasukkannya ke dalam kubur, dari sisi kedua kaki kubur dan dia berkata: ‘Ini adalah sunnah 1017 .’” 1018 Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Imam bin Baz, berkata: “Hadits ini adalah hadits yang paling hasan yang menjelaskan mengenai hal tersebut, padahal mengenai cara tersebut telah diriwayatkan dengan dua macam cara yang lain, yaitu: pertama, dimasukkan dari sisi kiblat; kedua, dimasukkan dari sisi kepala kubur. Namun terdapat keluwesan dalam hal ini. Tetapi penjelasan terbaik yang menerangkan mengenai hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Zaid, karena ucapannya; ‘termasuk sunnah’, memiliki hukum marfu menurut para ulama.” 1019 19. Ketika memasukkan jenazah ke dalam kubur, membaca: Bismillaah wa ‘alaa millati Rasuulillaah, atau membaca: Bismillaah wa ‘alaa sunnati Rasuulillaah Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa ketika meletakkan jenazah ke dalam kubur, Nabi ig membaca: "(Dengan nama Allah, dan atas ajaran Rasulullah 1017 Abu Dawud, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Fil Mayyit Yudkhalu min Rijlaih” (no. 3211). Di- shahihkan oleh al-Albani dalam Sbabiih Sunan Abu Dawud (11/302). 1018 At-Tirmidzi berkata dalam kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fidDafni bil Lail” (no. 1057), dari Ibnu 'Abbas ^ bahwa Nabi pernah memasuki pekuburan pada malam hari, lalu beliau diberikan lampu penerang. Maka, beliau memulainya dari sisi kiblat, dan beliau bersabda: “Semoga Allah merahmatimu, jika dahulu kamu adalah orang yang bernapas panjang sambil membaca al-Qur-an.” Setelah itu beliau bertakbir sebanyak empat kali. Di dalam sabdanya terdapat al-Hajjaj bin Artha-ah dari ‘Atha’. At-Tirmidzi berkata: “Hadits Ibnu ‘Abbas adalah hadits hasan dan sebagian ulama berpegang kepada hadits ini dengan berkata bahwa jenazah dimasukkan dari sisi kiblat. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa dia dimasukkan seperti biasa 'Abdul Qadir al-Arna-uth dalam tahqiqnya terhadap kitab Jaami’ul Ushuul (XI/142) berkata: “Dan hadits ini adalah hadits hasan.” Tetapi hadits ini didha’ifkan oleh sebagian ulama, di antaranya al-Albani dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 190). Al-Mubarakfuri berkata: “... Jenazah dimasukkan dari sisi kepala, yaitu dengan meletakkan kepala jenazah di atas bagian akhir (kaki) kubur, kemudian jenazah dimasukkan ke kubur. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas ulama, inilah pendapat yang paling kuat dan lebih benar dalilnya.” (Tubfatul Abwadzi [IV/164]) Al-Albani menuturkan dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 190-191) tiga cara menurunkan jenazah ke dalam kubur, yaitu: a. Memasukkan jenazah dari sisi kedua kakinya, al-Albani menshahihkan cara ini. b. Memasukkan jenazah dari sisi kiblat, al-Albani mendha’ifkannya. c. Memasukkan jenazah dari sisi kepalanya, al-Albani mendha’ifkannya. 1019 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Buluughul Maraam, hadits (no. 596). Lihat pula Subulus Salaam , ash-Shan’ani (III/372) dan al-Mughni , Ibnu Qudamah (III/425). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 493 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT ALOUR-AN DAN AS-SUNNAH Do’a ini adalah lafazh dari Abu Dawud, sedangkan lafazh dari at-Tirmidzi: “Ketika Nabi «g§ memasukkan jenazah ke dalam kubur,—Abu Khalid (perawi) terkadang berkata: ‘Ketika meletakkan jenazah ke dalam liang lahadnya,—Nabi s|§ membaca, dalam suatu kesempatan: N & s \ \ (JaLa A)j( )) s s S S S s S \ s s “Dengan nama Allah dan dengan (pertolongan) Allah, dan atas agama Rasulullah.” Dan—pada kesempatan lainnya—beliau mengucapkan: ((.* &\ Jyi;, sli Ji-) ‘^3 “i' r- 1 - )) ^ / * * s * ' s “Dengan nama Allah dan dengan (pertolongan) Allah, serta atas ajaran Rasulullah |8|.” Sementara dalam lafazh Ibnu Majah: “Ketika memasukkan jenazah ke dalam kubur, Nabi jl§ membaca: ((.Aill <J'L» Aill )) ‘Dengan nama Allah dan atas agama Rasulullah.’” Disebutkan pula dalam salah satu lafazh darinya: “Ketika meletakkan jenazah ke dalam liang lahad, beliau !§§ membaca: aill J) ‘Dengan nama Allah dan atas ajaran Rasulullah.’” Dalam lafazh lainnya disebutkan: ^ Jj-'"J (Jir* )) ^ ' ' " ' ' ~ ' ' s' “Dengan nama Allah, di jalan Allah, dan atas agama Rasulullah.” 1020 20. Jenazah diletakkan dalam kuburnya di atas sisi kanannya (miring ke kanan), wajahnya menghadap kiblat, kepalanya ke arah kanan kiblat dan kedua kakinya ke arah kiri kiblat 1020 Abu Dawud, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “ad-Du’aa’ lil Mayyit idzaa Wudhi’a fii Qabrih” (no. 3213), at-Tirmidzi, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Yaquulu idzaa Udkhilal Mayyitu al-Qabra” (no. 1046), Ibnu Majah, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fii Idkhaalil Mayyit al-Qabra” (no. 1660), dan Ahmad (11/40). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih kitab-kitab Sunan yang telah disebutkan di atas dan dalam Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 192). 494 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazal ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Inilah yang telah diamalkan oleh ummat Islam sejak zaman Rasulullah hingga zaman sekarang, dan demikianlah setiap kubur yang ada di atas permukaan bumi. 1021 Disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi J|j§ bahwa beliau bersabda: Baitul Haram adalah kiblat kalian, baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal dunia.” 1022 Sebaiknya jenazah disandarkan ke dinding kubur yang ada di arah kiblat (di depannya) agar tidak terbalik ke depan dan sebaiknya dari belakang punggung¬ nya ditopang dengan tanah agar tidak berbalik ke belakang 1023 . 1024 21. Melepaskan tali ikatan kafan jenazah, sementara jasad telah diletakkan di dalam kubur miring ke arah kanan 1025 Imam al-Kharaqi berkata: “Dan ikatan jenazah dilepaskan.” Imam Ibnu Qudamah berkata: “Melepas tali ikatan yang terdapat pada kepala dan kedua kaki jenazah adalah sunnah, karena tujuan mengikatnya adalah dikhawatirkan bila (kain kafan yang menutup‘ ed ) anggota tubuhnya terlepas. Namun, kekhawatiran itu hilang setelah ia diletakkan di dalam kubur.” 1021 Al-Muhalla karya Ibnu Hazm (V/173) dan Ahkaamul Janaa-iz karya al-Albani (hlm. 192). 1022 Abu Dawud (no. 2875). Dihasankan oleh al-Albani dalam Shahiih Sunan^lfc* Dawud (11/209) dan takhrij- nya telah disebutkan pada pembahasan mengenai perihal menghadapkan orang yang sedang sakaratul maut ke arah kiblat. 1023 Ar-RaudhulMurbi maa Haasyiyah Abdirrahman al-Qaasim (II/122). Lihat pula: asy-Syarhul Kabiir yang dicetak bersama dengan kitab al-Muqni dan kitab al-Inshaaf (VI/223) 1024 Ada yang berpendapat: Di bawah kepalanya diletakkan batu bata, namun jika tidak ada, maka dengan batu; dan jika tidak ada juga, dengan sedikit tanah, sebagaimana (bantal' ed ) yang diletakkan pada orang yang masih hidup. Namun, jika tidak dilakukan, itu pun tidak mengapa. Ada juga yang berpendapat tidak perlu melakukannya, hal itu tidaklah mengapa. Asy-Syarhul Kabiir (VI/223 dan 224), dan al-Mugbni (III/428). Dalam asy-Syarhul Mumti (V/455), Ibnu ‘Utsaimin lebih memilih pendapat bahwa tidak ada sesuatupun yang diletak¬ kan di bawah kepala jenazah, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. 1025 Mushannaflbn Abi Syaibah, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Qaaluu fii Hallil ‘Aqdi ‘anil Mayyit” (III/326), Ibnu Abi Syaibah berkata: “Khalaf bin Khalifah telah menceritakan kepada kami dari ayahnya, aku beranggapan bahwa dia telah mendengarnya dari Ma’qil dari Nabi bahwa beliau memasukkan Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i ke dalam kubur dan melepaskan tali ikatan-ikatannya.” Pada pembahasan ini disebutkan juga dari Abu Hurairah dan dari Abu Bakr bin ‘ Ayyasy, dari Mughirah, dari Ibrahim, dia berkata: “Jika jenazah telah dimasukkan ke dalam kubur, maka semua ikatannya dilepaskan.” Diriwayatkan dari Jabir dari ‘Amir, dia berkata: “Tali ikatan-ikatan jenazah dilepaskan dan adh-Dhahhak berwasiat agar ikatan-ikatannya (nanti) dilepaskan.” Diriwayatkan dari Ibnu Sirin, dia berkata: “Tali ikatan-ikatan dilepaskan dari jenazah.” (Al-Mushannaf [III/326]). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 495 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Diriwayatkan bahwa tatkala memasukkan Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i ke dalam kubur, Nabi «|§ melepaskan tali ikatan-ikatannya dengan menggunakan mulutnya. 1026 Hadits serupa diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud dan Samurah binjundab 1027 .” 1028 Guru kami, Syaikh bin Baz, berkata mengenai perihal melepas tali ikatan jenazah di dalam kubur: “Inilah yang lebih utama, berdasarkan perbuatan para Sahabat. 1029 ” 1030 22. Memasang batu bata di atas celah liang lahad Yaitu, dengan menyusunnya di atas lubang liang lahad dari arah belakang jasad lalu menegakkannya dengan rapat serta menyumpal celah-celah yang ada di antara batu bata tersebut dengan potongan-potongan batu bata. Jika benar-benar telah kokoh, diletakkan tanah liat di atas itu semua agar dapat menyumpal celah- celah tersebut dengan lebih baik, sehingga tanah tidak sampai ke jenazah. Namun, jika tidak ada batu bata, maka dengan meletakkan batu atau yang semisalnya, dan dilekatkan dengan tanah liat agar susunannya melekat. 1031 23. Menaburkan tanah sebanyak tiga kali di atas kubur setelah selesai menutup liang lahad Berdasarkan hadits Abu Hurairah «H, bahwa setelah Rasululah 5§| men- shalati jenazah seseorang, beliau mendatangi kuburnya dan menaburkan tanah di atasnya, dari sisi kepalanya, sebanyak tiga kali. 1032 Imam ash-Shan’ani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa menaburkan tanah di atas kubur sebanyak tiga kali, itu disyari’atkan, dan hal itu dilakukan dengan kedua tangan secara bersamaan, berdasarkan hadits ‘ Amir bin Rabi’ah yang di dalamnya disebutkan: ‘Beliau menaburkan tanah dengan kedua tangannya.’” 1033 1026 Sunanul Baihaqi, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “‘Aqdul Akfaan ‘inda Khaufil Intisyaar wa Hallihaa idzaa Adkhaluuhul Qabra” (III/407). 1027 Ibid. (III/407). 1028 Al-Mughni, Ibnu Qudamah (III/434). 1029 Majmuu’Fataawaa (XIII/195). 1030 Majmuu’Rasaa-il Ibnu 'Utsaimin (XVII/183). 1031 Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (III/428-429), asy-Syarhul Kabiir yang dicetak bersamaan dengan kitab al-Muqni’ dan kitab al-Inshaafkzrya Ibnu Qudamah (VI/224), al-Kaafii (II/66), ar-Raudbul Murbi’ ma’a Haasyiyah ‘ Abdirrahman al-Qaasim (11/122-123), dan Majmuu’ Fataawaa al-Lajnah ad-Daa-imah (VIII/426). 1032 Ibnu Majali, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fii Hatswit Turaab fil Qabri” (no. 1565). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Sbabiih Ibnu Majah (11/35), Ahkaamul]anaa-iz (hlm. 193), dan Irwaa’ul Gbaliil (no. 751). 1033 Ad-Daraquthni dalam as-Sunan (11/76), Subulus Salaam (III/383). 496 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT ALOUR-AN DAN AS-SUNNAH Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, ber¬ kata: “Menaburkan tanah di atas kubur yang terdapat pada hadits ini merupakan bentuk keikutsertaan, ketika orang-orang (yang hadir' ed ) banyak jumlahnya. Dan disebutkan dalam salah satu lafazh: ‘Dengan kedua tangannya.’” 1034 Beliau juga berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan bagi orang yang menghadiri pemakaman agar ikut serta bersama orang-orang, sekali pun hanya dengan menaburkan tanah sebanyak tiga kali.” 1035 Di atas kubur ditaburkan tanah, 1036 namun tidak menambahkan taburan tanah dari tanah kubur yang lain. Tetapi dari tanah yang dikeluarkan dari kubur tersebut tanpa menambahkannya lagi. 1037 24. Tanah kubur ditinggikan dari tanah sekitarnya seukuran sejengkal Karena, meratakan kubur sama dengan tanah, hal itu akan menyebabkan penghinaan terhadapnya, dan karena meninggikannya dari tanah dengan ukuran ini akan membuatnya tampak berbeda dan tidak diremehkan. Hal ini berdasarkan hadits Jabir 4» > bahwa (jenazah) Nabi dibuatkan liang lahad dan di atasnya diletakkan batu bata, serta (gundukan tanah' ed ) kubur beliau ditinggikan dari tanah kira-kira satu jengkal. 1038 Al-’Allamah al-Albani berkata: “Hal itu diperkuat oleh keterangan berikutnya, yaitu larangan menambahkan lebih dari tanah yang dikeluarkan dari liang lahad yang diisi oleh tubuh jenazah, dan itu sama dengan ukuran yang telah disebutkan dalam hadits tersebut.” 1039 Guru kami, Syaikh bin Baz -&M, berkata yang ringkasannya sebagai berikut: “Setelah mereka menguburkan dengan tanah, mereka menaburkan kerikil di atasnya dan memercikkannya dengan air hingga tanahnya menjadi padat. Semua ini boleh dilakukan, karena hal itu dapat menjaga tanahnya dan membuatnya tetap berada pada tempatnya. Sementara, yang disyari’atkan (dalam meninggikan kubur) adalah setinggi sejengkal atau yang dekat dengan ukuran 1034 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Buluughul Maraam, hadits (no. 603). 1035 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Muntaqal Akhbaar, hadits (no. 1899). Lihat: Asy-Syarhul Kabiir yang dicetak bersamaan dengan kitab al-Muqni’ dan kitab al-Inshaaf (VI/250). 1036 Al-Mugbm (III/429). 1037 Al-Kaafii karya Ibnu Qudamah (11/68). 1038 Al-Baihaqi (III/410), Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Laa Yuzaadu fil Qabri ‘alaa Aktsar min Turaabih li-allaa Yartafi’”, dan Ibnu Hibban dalam Shahiih- nya (Mawaarid) (no. 2160). Sanadnya dihasankan oleh al-Albani dalam Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 195) dan dia juga menyebutkan pada pembahasan ini bahwa hadits ini memiliki beberapa hadits penguat lainnya. 1039 Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 195). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 497 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH tersebut, meninggikannya lebih (dari itu), tidak diperbolehkan. Ini berdasarkan hadits shahih dari Nabi <§§ bahwa beliau bersabda kepada ‘Ali «|*s : ((.&p yi Si j \y^> Sf» “Janganlah engkau membiarkan adanya lukisan, melainkan engkau meng¬ hapusnya, dan kubur yang meninggi kecuali engkau meratakannya.” 1040 Diriwayatkan dari Jabir 4*3 > dia berkata: ".aIIp l yj ji j aIIp jJJoj ji ( j9a/9‘*kj o! «H| Aiii J 3-^3 “Rasulullah j|§ melarang memplester kubur (dengan kapur) atau duduk di atasnya dan membuat bangunan di atasnya.” 1041 Dalam lafazh an-Nasa-i: ((.«& ji ji <£■ sijJ ji Jii Ji Ji oi» “(Melarang) membangun di atas kubur, menambahkan (tanah) di atasnya, memplesternya, atau menuliskan (nisan) di atasnya.” 1042 Disebutkan dalam Sunan Abu Dawud: 0 \ Alip Sljj 3 ^'3 )) ^ 0 “Beliau melarang duduk di atas kubur, memplesternya, mendirikan bangunan di atasnya, menambahkan (tanah) di atasnya, atau menuliskan (nisan) di atasnya.” 1043 Sementara, dalam lafazh at-Tirmidzi: Ji oi j c&i oi j jjSl J^J oi jjg Al Jj^j )) 1040 Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “al-Amru bi Taswiyatil Qubuur” (no. 969). Majmuu Fataawaa Ibnu Baz (XIII/208-209). 1041 Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “an-Nahyu ‘an Tajshiishil Qabri wal Binaa’ ‘alaih” (no. 970). 1042 An-Nasa-i, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “az-Ziyaadah ‘alaal Qabri” (no. 2026). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiibun Nasa-i (11/64). 1043 Sunan Abu Dawud, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Fil Binaa’ ‘alal Qubuur” (no. 3225 dan 3226). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih Sunan Abu Dawud (11/305). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenaz< ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH jlj “Rasulullah 5f| melarang memplester kubur-kubur, menuliskan (sesuatu"** 1 ) di atasnya, membuat bangunan di atasnya, dan menginjaknya.” 1044 Dalam lafazh Ibnu Majali disebutkan: ((•JJ^ 1 J* Sfl /■ /• ^ “Rasulullah j|§ melarang memplester kubur-kubur.” 1 Dan dalam lafazh Ibnu Majah lainnya disebutkan: Jj )) ((•V^ J* 4-^ ^)) “(Melarang) menuliskan sesuatu di atas kubur.” 1046 Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Syaikh bin Baz, berkata: “Menambahkan pada tanah galian kubur dari selain tanahnya, akan membuat gundukan kubur menjadi tinggi, maka tidak boleh menambahnya, tetapi cukup dengan tanah yang diambil dari tanah liang lahadnya.” 1047 Pada kesempatan lain, beliau berkata: ‘Tidak boleh mendirikan bangunan di atas kubur, memplesternya, duduk di atasnya, membangunnya, menginjaknya, dan menambahkan (urukan tanahnya) dari selain tanahnya.’ 1048 Mengenai hal tersebut terdapat banyak atsar yang menyebutkan bahwa tidak boleh melebihi dari tanah liang lahad yang diambil dari kubur, tetapi cukup dengan menggunakan tanah kubur tersebut untuk menimbunnya. 1049 1044 At-Tirmidzi, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fii Karaahiyah Tajshiish al-Qubuur wal Kitaabah ‘alaihaa” (no. 1052). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shabiihut Tirmidzi (11/537). 1 Orang-orang Arab menamakan plester dengan qashshah dan makna taqshiish al-qabri adalah membangunnya dengan qashshah, yaitu dari bahan kapur. (Jaami’ul Ushuul karya Ibnul Atsir [XI/146]). 1046 Ibnu Majah, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fin Nahyi ‘anil Binaa’ ‘alal Qubuur wa Tajshiishihaa wal Kitaabah ‘alaihaa” (no. 1562 dan 1563). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih Ibnu Majah (11/34). 1047 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Buluughul Maraam, hadits (no. 602). 1048 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Muntaqal Akhbaar, hadits (no. 1905- 1907). 1049 Lihat: Sunanul Baihaqi (III/410), Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Laa Yuzaadu fil Qabri ‘alaa Aktsar min Turaabih li-allaa Yartafi’a.” Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 500 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH dalam saluran air. 1055 Perkataannya “tidak dilekatkan”, dikatakan dalam bahasa Arab “luthi-a bil ardhi wa latbtba-a bibaa,” artinya melekatkan tanahnya. 1056 Imam Ibnu Qudamah berkata: “Maksud ‘ditinggikan’ adalah kubur yang terlalu ditinggikan.” 1057 Ibnu Qudamah juga berkata: “Kubur ditinggikan dari tanah seukuran satu jengkal agar dapat diketahui bahwa itu adalah kubur sehingga ia dapat terjaga dan penghuninya dido’akan agar mendapat rahmat.” 1058 Terdapat banyak atsar yang menunjukkan agar meletakkan kerikil di atas kubur. Di antaranya adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Muhammad dari ayahnya bahwa Nabi «H memercikkan air di atas kubur Ibrahim lalu meletakkan kerikil di atasnya, 1059 demikian pula dijelaskan pada atsar-atsar lainnya. 1060 Tidak ada pertentangan antara meninggikan kubur dengan ucapan al- Qasim ‘diberi kerikil halaman rumah yang berwarna merah,’ karena kerikil yang dimaksud adalah kerikil kecil. Dan karena inilah, Imam Ibnul Qayyim mengkompromikan, antara hadits Sufyan at-Tamar dengan ucapannya: ‘Ia melihat kubur Nabi «|§ dibuat gundukan, dengan hadits dari al-Qasim: “Tidak ditinggikan, dilekatkan (diratakan), dan diberi kerikil halaman rumah yang ber¬ warna merah.’” Imam Ibnul Qayyim telah mengkompromikan antara kedua hadits tersebut dan berkata: “Kubur Nabi $|§ itu dibuat gundukan dan diberi kerikil yang berwarna merah tanpa adanya bangunan dan tanpa diplester, demi¬ kian pula dengan kubur kedua Sahabat beliau (Abu Bakr dan ‘Umar,‘ pen ).” 1061 Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Syaikh bin Baz ber¬ komentar mengenai kedua hadits tersebut: “Yang sunnah adalah agar kubur itu dibuat gundukan, dan hadits ‘Aisyah tidak bertentangan dengan hal tersebut. Karena kubur itu dibuat gundukan hingga air dapat mengalir, lalu di atasnya diletakkan kerikil dan diperciki air.” 1062 27. Kubur diberi tanda dengan batu atau bata atau kayu Hal ini berdasarkan perbuatan Nabi 5§§, beliau memberi tanda pada kubur ‘Utsman bin Mazh’un dengan batu yang diletakkan di sisi kepalanya, beliau jf§ bersabda: 1055 An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits karya Ibnul Atsir (1/134). 1056 Ibid. (TV/249). 1057 Al-Mughni (III/436). 1058 Ibid (III/435). 1059 Al-Baihaqi (III/411). Al-Albani berkata dalam Irwaa’ul Gbaliil (III/206): “Dan ini adalah sanad yang shahih mursal.” 1060 Sunanul Baihaqi (III/411), Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Rasysyul Maa’ ‘alal Qabri wa Wadh’ul Hashbaa’ ‘alaih,” dan Irwaa’ul Gbaliil karya al-Albani (III/205-206). 1061 Zaadul Ma ‘aad (1/524). 1062 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab MuntaqalAkhbaar, hadits (no. 1900- 1901). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 501 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH l/l l? ^ J- J 5 ^ ^ )) “Aku memberi tanda dengan batu ini untuk kuburan saudaraku, dan di sinilah akan di kuburkan orang yang meninggal dari keluargaku.” 1063 Guru kami, Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Dibolehkan meletakkan tanda di atas kubur agar diketahui, seperti batu, tulang, atau besi; tanpa memberi tulisan atau penomoran, karena nomor itu adalah tulisan. Disebutkan dalam hadits shahih tentang larangan Nabi untuk membuat tulisan di atas kubur. Sedangkan, meletakkan batu di atas kubur atau mewarnai batu dengan warna hitam atau kuning hingga menjadi tanda bagi penghuninya, maka hal itu tidak dilarang.” 1064 28. Memercikkan air setelah selesai penguburan Imam Ibnu Qudamah -s&M berkata: “Disunnahkan memercikkan air di atas kubur agar tanahnya menjadi lekat.” 1065 Terdapat beberapa atsar yang menjelaskan hal tersebut, di antaranya hadits yang diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya bahwa memercikkan air di atas kubur pernah terjadi pada masa Rasulullah 1066 Demikian pula, telah dijelaskan pada atsar-atsar lainnya. 1067 Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata tentang hukum meletakkan kerikil di atas kubur dan memercikinya dengan air: “Ini adalah sunnah jika hal itu mudah dilakukan, karena hal itu dapat mengokohkan tanah dan menjaganya. Dan diriwayatkan bahwa di atas kubur Nabi diletakkan kerikil. Disunnahkan untuk memercikkan air agar tanah menjadi kokoh (padat) dan kubur tetap tampak jelas serta dapat diketahui, sehingga tidak dipandang remeh (seperti tanah biasa-).” 1068 Al-’Allamah Ibnu ‘Utsaimin -i&M berkata: “Dibolehkan memercikkan air, karena air dapat menahan tanah sehingga tidak turun (bergeser) ke kanan i°63 k u j) awu( j ( n o. 3206). Dihasankan oleh al-Albani dalam Shabiih Sunan Abu Dawud (11/301) dan takhrij-nya telah disebutkan pada poin kesembilan: mengumpulkan beberapa orang yang masih memiliki ikatan kekeluargaan dalam satu pemakaman. 1064 Majrnuu Fdtaawaa Ibnu Baz (XIII/200). 1065 AlMughni (III/436), asy-Syarhul Kabiir yang dicetak bersamaan dengan kitab al-Muqni’ dan al-Inshaaf (VI/225-228). 1066 Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubraa (III/411), Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Rasysyul Maa’ ‘alal Qabri wa wadh’ul Hashbaa’ ‘alaih.” Al-Albani berkata dalam kitab Irwaa’ul Ghaliil (III/206): “Ini adalah sanad shahih mursal.” Lihat pula beberapa atsar lainnya pada pembahasan ini, dan lihat pula kitab Nailul Authaar karya asy-Syaukani (11/772-773). 1067 Di antaranya adalah sejumlah atsar yang disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Musbannaf (III/379-380), Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Fii Rasysyil Maa’ £ alal Qabri.” 1068 Majrnuu Fataawaa Ibnu Baz (XIII/198). 502 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazal ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH atau ke kiri.” 1069 29. Setelah selesai proses penguburan, orang-orang yang hadir berdiri di sisi kubur untuk mendo’akan jenazah agar diberikan keteguhan (dalam menjawab pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir,' pen ) serta memohonkan ampunan baginya Semua orang yang menghadiri penguburan tersebut diperintahkan men¬ do’akan jenazah. Ini berdasarkan hadits ‘Utsman bin ‘Affan , dia ber¬ kata: “Setelah selesai dari prose penguburan, Nabi *y§ berdiri di atasnya, lalu bersabda: / z' * * * * S ‘Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian dan mohonkanlah untuk¬ nya keteguhan, karena sekarang ini dia sedang ditanya. 5 ” 1070 Imam asy-Syaukani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang disyari’atkannya memohonkan ampunan dan memohonkan keteguhan bagi jenazah setelah selesai dari penguburannya, karena ketika itu dia sedang ditanya. Di dalam hadits tersebut juga terdapat keterangan tentang adanya kehidupan alam kubur. Terdapat banyak hadits yang menjelaskan mengenai hal tersebut yang kedudukannya mencapai batasan mutawatir. 551071 Di awal-awal bab ini juga telah disebutkan dalil-dalil yang menjelaskan tentang fitnah kubur. Saya memohon kepada Allah untuk diri penulis dan semua orang-orang Mukmin agar diberikan ampunan, keselamatan, dan keteguhan dalam kehidupan di dunia dan setelah kematian. 1072 1069 Majmuu 3 Rasaa-il Ibnu, ‘Utsaimin (XVII/194). 1070 Abu Dawud, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “al-Istighfaar ‘metal Qabri lil Mayyit fii Waqtil Inshiraaf” (no. 3221), al-Hakim, dia menshahihkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi (1/370), dan al-Baihaqi (IV/56). Sanadnya dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih Sunan Abu Dawud (11/305) dzn Abkaamul Janaadz (hlm. 198). 1071 Nailul Autbaar karya asy-Syaukani (11/781). 1072 Hadits tentang men -talqin jenazah yang biasa dilakukan oleh penduduk Syam, telah di¬ sebutkan oleh para ulama bahwa hal itu tidak tsabit (shahih) dari Nabi §§ dan tidak pula dari para Sahabat beliau. Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Syaikh bin Baz, berkata ketika beliau menjelaskan kitab BuluugbulMaraam, hadits (no. 605): “Hal ini telah dilakukan oleh sekelompok penduduk Syam, sedangkan jumhur ulama menolak perbuatan mereka. Dan pendapat yang benar (kuat), wallaahu a’lam , adalah bahwa hadits ini adalah maudhu (palsu), sebagaimana disebutkan oleh penulis kitab al-Manaar dan perbuatan ini juga tidak pernah dilakukan oleh para Sahabat.” Syaikh bin Baz juga berkata dalam Majmuu Fataawaa, karyanya (XIII/206) mengenai hukum men -talqin setelah penguburan: “(Itu adalah) Bid’ah dan tidak memiliki dasar. Maka, tidak ada talqin setelah kematian. Terdapat beberapa hadits maudhu' (palsu) yang tidak memiliki dasar (sanad) yang berbicara tentang hal tersebut. Namun, talqin yang sesungguhnya itu adalah sebelum kematian.” Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH KESEMBILAN BELAS: TATA KRAMA DUDUK DAN BERJALAN DI PEMAKAMAN Tata krama duduk dan berjalan di pemakaman itu cukup banyak, di antaranya: 1. Duduk menghadap kiblat bagi orang yang menunggu penguburan jenazah Berdasarkan hadits al-Barra’ bin ‘Azib , dia berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah J|§ untuk mengantarkan jenazah seorang laki-laki dari kaum Anshar. Ketika kami tiba di pemakaman, ternyata jenazah tersebut belum di¬ masukkan ke liang lahad. Rasulullah H§ duduk menghadap kiblat dan kami pun duduk bersama beliau.” 1073 Imam asy-Syaukani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat dalil me¬ ngenai disunnahkannya menghadap kiblat ketika duduk bagi orang yang sedang menunggu penguburan jenazah.” 1074 2. Haram duduk di atas kubur Berdasarkan hadits Abu Hurairah > dia berkata: “Rasulullah 3|§ ber¬ sabda: ((■J J* J-^4 o! j* 3 ‘Sungguh, jika seseorang dari kalian duduk di atas bara api, lalu bara api itu membakar pakaiannya hingga mengenai kulitnya, itu akan lebih baik baginya daripada dia duduk di atas kubur.’” 1075 3. Tidak boleh shalat menghadap ke kubur Berdasarkan hadits Abu Martsad al-Ghanawi, dia berkata: “Rasulullah *1§ bersabda: ((.\£U A ji iSi» "'s s 'Janganlah kalian shalat menghadap ke kubur dan janganlah kalian duduk 1073 Abu Dawud (no. 3212). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiib Sunan Abu Dawud (11/303) dan takhrij-nyz telah disebutkan sebelumnya pada hadits tentang memberi nasihat di sisi kubur, dan hadits tersebut disebutkan secara panjang lebar dalam Sunan Abu Dawud (no. 4753). 1074 Nailul Authaar karya asy-Syaukani (11/776). 1075 Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “an-Nahyu ‘anil Juluus ‘alal Qabri wash Shalaah ‘alaih” (no. 971). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH di atasnya.’” 1076 4. Tidak bersandar di atas kubur. Berdasarkan hadits ‘ Amr bin Hazm al-Anshari 4*5 > dia berkata: “Rasulullah <!§ pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kubur, lalu beliau 5§§ bersabda: ((.-oij; S/ 31-^1 lii S/ » ‘Janganlah engkau menyakiti ahli kubur ini—(dalam riwayat lain -ed ) janganlah engkau menyakitinya.’” 1077 5. Tidak boleh berjalan dengan sandal di antara kubur kecuali karena darurat. Berdasarkan hadits Basyir maula Rasulullah |§|, bahwa Rasulullah pernah melihat seorang laki-laki berjalan di antara kubur dengan mengenakan sepasang sandalnya, lalu beliau bersabda: ■U» li)) “Wahai pemilik sepasang sandal sibtiyyah (yang terbuat dari kulit yang telah disamak), celaka engkau, lemparkanlah sepasang sandalmu itu!” Laki-laki itu pun menoleh. Tatkala dia mengetahui bahwa itu adalah Rasulullah maka dia pun melepaskan sandalnya, lalu melemparkannya. 1078 Imam asy-Syaukani -$M> berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa tidak diperbolehkan berjalan di antara kubur dengan sandal ... adapun bahwa jenazah dapat mendengar derap langkah sandal, 1079 hal itu tidak mesti dikarenakan berjalan di atas sebuah kubur atau di antara kubur tersebut, sehingga tidak ada pertentangan (di antara keduanya - ** 1 ).” 1080 1076 Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “an-Nahyu ‘anil Juluus ‘alal Qabri wash Shalaah ‘alaih” (no. 972). 1077 Ahmad (XXXIX/475, no. 24009/XXXVIIl). Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authaar (11/777): “Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fat-hul Baari: ‘Sanadnya shahih.’” Para pentahqiq Musnad Imam Ahmad berkata (XXXIX/475): “Hadits shahih.” 1078 Abu Dawud (no. 3230), an-Nasa-i (no. 2047), Ibnu Majah (no. 1568), dan Ahmad (V/83). Dihasankan oleh al-Albani dalam ShahiihAbu Dawud (11/70), dan AhkaamulJanaa-iz (hlm. 173), dan takhrij- nya telah disebutkan sebelumnya pada pembahasan mengenai jenazah orang Muslim tidak boleh di kubur bersama orang kafir. 1079 Merujuk kepada hadits yasma’u qar’a ni’aalihim (jenazah dapat mendengar suara sandal mereka). 1080 Nailul Authaar (11/777-778) dengan sedikit saduran. Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Syaikh bin Baz, berkata mengenai hadits Basyir: “Hadits ini menunjukkan dimakruhkan berjalan di antara kubur dengan sandal. Sanadnya jayyid (hasan). Tetapi jika ada keperluan mendesak untuk melakukan hal tersebut seperti karena panas dan lainnya, maka kemakruhannya hilang. Sementara hadits yang menyebutkan bahwa jenazah dapat mendengar derap sandal mereka, hal itu tidak mesti dikarenakan berjalan di atas kubur, bisa saja di luar area pemakaman, atau bisa dikatakan (pada hadits tersebut'*' 1 ) bahwa hal itu dilakukan ketika adanya keperluan.” 1081 Al-’Allamah Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan bahwa berjalan di antara kubur dengan sandal itu hukumnya makruh dan menyalahi sunnah, kecuali karena adanya suatu keperluan, seperti karena panas yang menyengat atau di pemakaman terdapat duri atau kerikil yang dapat melukai kaki, maka hal itu diperbolehkan. 1082 6. Haram mengerjakan shalat di pemakaman. Nabi menerangkan bahwa kuburan bukanlah tempat untuk shalat, beliau 3f| bersabda: oii 131^3 i J j S13 0333 jgsyz 13BUJ Sf » “Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kubur, dan janganlah kalian menjadikan kuburku sebagai tempat perayaan. Dan ber- shalawatlah untukku, karena sesungguhnya shalawat kalian itu akan sampai kepadaku, di mana pun kalian berada.” 1083 Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar 1^5 dari Nabi j§§, beliau bersabda: S Ij ^ y» (3U^ )) “Jadikanlah sebagian dari shalat kalian itu dilakukan di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya (rumah kalian) seperti kuburan.” Dalam lafazh lain: «.i yj Si 3 fijy: g » 1081 Saya (penulis) mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Muntaqal Akbbaar, hadits (no. 1913). 1082 Majmuu 3 Rasaa-ilIbnu f Utsaimin (XVII/200-202). Lihat pula: asy-SyarbulKabiir yang dicetak bersama dengan kitab al-Muqni dan kitab al-Inshaaf (V1/236). 1083 Abu Dawud, Kitab “al-Manaasik”, Bab “Ziyaaratul Qubuur” (no. 2042), dan Ahmad (11/367). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiik Abu Dawud (1/570) dari Abu Hurairah «|& * Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH “Shalatlah di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya seperti kuburan.” 1084 Maksudnya, shalatlah kalian di dalam rumah dan janganlah kalian men¬ jadikannya seperti kubur, yang sepi dari shalat. 1085 7. Kubur itu bukanlah termasuk tempat yang dianjurkan untuk membaca al-Qur-an di dalamnya Berdasarkan hadits Abu Hurairah > bahwa Rasulullah i|§ bersabda: ^ ^ 'S ' ' s y ' “Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Se¬ sungguhnya syaitan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat al-Baqarah.” 1086 8. Tidak boleh membangun masjid di atas kubur Berdasarkan hadits ‘Aisyah , bahwa ketika Ummu Habibah dan Ummu Salamah 1^5 menceritakan kepada Rasulullah J|§ tentang gereja yang ada di Habasyah (Ethiopia) yang di dalamnya terdapat gambar-gambar, beliau J§§ bersabda: * - - J' s ' \ « UbsJL; 0J3 J lp 1 j? ^JUkll oir lil dhJjl jl)) Ail -Alp 51 cjjygil idJ-b ^ ^ ✓ y y y y y y' y “Sesungguhnya bila di antara mereka terdapat seorang laki-laki shalih, maka mereka membangun masjid (tempat ibadah ed ) di atas kuburnya dan mereka membuat gambar-gambar tersebut di dalamnya. Mereka itulah makhluk yang paling jahat di sisi Allah pada hari Kiamat.” 1087 1084 Muslim, Kitab “Shalaatul Musaafiriin”, Bab “Istihbaabu Shalaatin Naafilah fii Baitih” (no. 777). 1085 Syarhun Nawawi ‘alaa Shabiih Muslim (V/314). 1086 Muslim, Kitab “Shalaatul Musaafiriin”, Bab “Istihbaabu Shalaatin Naafilah fii Baitih” (no. 1179). 1087 Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, Kitab “ash-Shalaah”, Bab “Hal Tunbasyu Qubuuru Musyrikiil Jaahiliyyah wa Yuttakhadzu Makaanuhaa Masaajida” (1/523) dan Muslim, Kitab “al-Masaajid wa Mawaadhi’ush Shalaah”, Bab “an-Nahyu ‘an Binaa’il Masaajid ‘alal Qubuur wa Ittikhaadz ash-Shuwar fiihaa wan Nahyu ‘an Ittikhaadz al-Qubuur Masaajid” (no. 528). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 507 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH 9. Kubur tidak boleh dijadikan sebagai masjid Berdasarkan hadits Jundab > dia berkata: “Aku pernah mendengar Nabi |||, lima (hari) sebelum beliau meninggal dunia, bersabda: MlU- Ji aill jli J> Ojdsj ai)l ^Sl \y\ )) \j\ jJj US" d)j S/i (^c® jji&Jl S^i S/i C^rLd'-A ‘Sesungguhnya aku berlepas diri di hadapan Allah jika aku memiliki Khalil (kekasih) khusus di antara kalian. Karena, sesungguhnya Allah telah men¬ jadikan aku sebagai Khalil (kekasih), sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai Khalil. Seandainya aku (boleh) menjadikan Khalil dari ummatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakr sebagai Khalil. Ingatlah, sesungguhnya ummat sebelum kalian telah menjadikan kubur Nabi-Nabi mereka dan orang-orang shalih di antara mereka sebagai masjid. Ingatlah, janganlah kalian menjadikan kubur itu sebagai masjid, karena sesungguh¬ nya aku melarang kalian untuk melakukan hal tersebut .’” 1088 Diriwayatkan dari ‘Aisyah , dari Nabi j|§, bahwa beliau bersabda: jy? IjdjsJl j s* aill )) “Allah melaknati kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka telah menjadikan kubur Nabi-Nabi mereka sebagai masjid.” ‘Aisyah berkata: “Beliau mengingatkan agar tidak melakukan yang telah mereka lakukan .” 1089 10. Tidak boleh membangun kubah di atas kubur dan tidak boleh me- ninggikannya lebih dari satu jengkal Berdasarkan hadits Abui Hayaj al-Asadi, dia berkata: “‘Ali bin Abi Thalib berkata kepadaku: ‘Ingatlah, aku akan mengutusmu untuk melakukan tugas 1088 Muslim, Kitab “al-Masaajid wa Mawaadhi’ush Shalaah”, Bab “an-Nahyu ‘an Binaa-il Masaajid ‘alal Qubuur wa Ittikhaadz ash-Shuwar fiihaa wan Nahyu ‘an Ittikhaadz al-Qubuur Masaajid” (no. 530). 1089 Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, Kitab “ash-Shalaah”, Bab “Haddatsanaa Abui Yamaan” (1/532) dan Muslim, Kitab “al-Masaajid wa Mawaadhi’ush Shalaah,” Bab “an-Nahyu ‘an Binaa-il Masaajid ‘alal Qubuur wa Ittikhaadz ash-Shuwar fiihaa wan Nahyu ‘an Ittikhaadz al-Qubuur Masaajid” (no. 529). 508 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazal ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH yang dahulu aku diutus oleh Rasulullah <§§ untuknya: c Lili VI V&j" ^ VI )) ‘Janganlah engkau membiarkan adanya lukisan, melainkan engkau menghapusnya; dan kubur yang meninggi, melainkan engkau merata- kannya .’”' 090 11. Tidak boleh memasang lampu penerang di atas kubur Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas 1^5, dia berkata: ^\uldi3 jpi\ oiyij |g Ai J “Rasulullah 5 §§ melaknati perempuan-perempuan yang berziarah ke kubur dan orang-orang yang menjadikan masjid dan lampu penerang di atas kubur .” 1091 Juga berdasarkan hadits dari Abu Hurairah (( 1 ^'3'jj cA » “(Rasulullah jH) melaknati perempuan-perempuan yang sering berziarah ke kubur .” 1092 12. Tidak boleh memplester kubur Berdasarkan hadits Jabir : “Rasulullah ^ melarang memplester kubur (dengan kapur), duduk di atasnya, atau membuat bangunan di atasnya .” 1093 1090 Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “al-Amru bi Taswiyatil Qabri” (III/266, no. 969). 1091 An-Nasa-i, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “at-Taghliizh fii Ittikhaadzis Suruj ‘alal Qubuur” (IV/94), Abu Dawud, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Fii Ziyaaratin Nisaa’ al-Qubuur” (III/218), at-Tirmidzi, Kitab “ash-Shalaah”, Bab “Karaahiyah an Yuttakhadza ‘alal Qabri Masjidan” (11/136). Ibnu Majah dalam “al-Janaa-iz”, Bab “an-Nahyu ‘an Ziyaaratin Nisaa' lil Qubuur” (1/502), Ahmad (1/229,287,324,11/337, III/442), dan al-Hakim (1/374). Lihat kutipan penulis kitab Fat-hul Majiid dalam menshahihkan hadits ini yang dinukil dari Ibnu Taimiyah (hlm. 276). 1092 At-Tirmidzi, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fii Karaahiyah Ziyaaratil Qubuur lin Nisaa’” (no. 1056), dan Ibnu Majah, kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fin Nahyi ‘an Ziyaaratin Nisaa’ lil Qubuur” (no. 1576). Dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahiihut Tirmidzi (1/538) dan kitab Shahiib Ibnu Majah (11/38). 1093 Muslim (no. 970) dan telah disebutkan pada poin kedua puluh empat: Kubur ditinggikan dari tanah seukuran sejengkal. oi?ij ig j Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 509 | ~JV1* ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT ALOUR-AN DAN AS-SUNNAH 13. Tidak boleh duduk di atas kubur Berdasarkan hadits Jabir di atas. 14. Tidak boleh menimbun kubur kecuali dengan tanah bekas galiannya sendiri Berdasarkan hadits Jabir «|*5 yang lafazhnya terdapat pada an-Nasa-i. 1094 15. Tidak boleh menulis apa pun di atasnya Berdasarkan hadits Tabir yang lafazhnya terdapat pada Abu Dawud 1095 dan at-Tirmidzi. 1096 16. Tidak boleh menginjak kubur Berdasarkan hadits Jabir 4*5 yang lafazhnya terdapat pada at-Tirmidzi. 1097 17. Tidak boleh mendirikan bangunan di atasnya Berdasarkan hadits Jabir yang lafazhnya terdapat pada at-Tirmidzi 1098 dan Ibnu Majah. 1099 18. Tidak boleh menjadikan kubur sebagai tempat perayaan, sehingga orang-orang secara rutin mendatanginya pada waktu-waktu tertentu dan momen-momen yang dianggap bersejarah serta mereka tidak men¬ datanginya, kecuali pada waktu-waktu tersebut Berdasarkan sabda Nabi 01^ IS !j jLi IS/ )) ((.jJjuS" C-4i 5 *- “Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan dan janganlah kalian menjadikan kuburku sebagai tempat perayaan. Ber- shalawatlah untukku, karena sesungguhnya shalawat kalian itu akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” 1100 1094 (No. 2026). 1095 (No. 3225 dan 3226). 1096 (No. 1052). 1097 (No. 1052). 1098 (No. 1052). 1099 (No. 1562 dan 1563) dan takhrij hadits ini telah disebutkan dengan berbagai macam lafazh¬ nya, yang kesemuanya dishahihkan oleh al-Albani sebagaimana diterangkan sebelumnya. 1100 Abu Dawud (no. 2042), dan Ahmad (11/367) dan takhrij- nya telah disebutkan pada poin keenam dari pembahasan ini. 510 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH 19. Tidak boleh secara sengaja melakukan perjalanan (dengan niat ibadah) untuk menziarahinya Berdasarkan sabda Nabi J§§: JbsJLJlj tlii tjj&JLZ i-L-LU. dStf J| ^/1 T.lii S/ )) “Janganlah kalian sengaja melakukan perjalanan (untuk berziarah), kecuali ke tiga masjid, yaitu masjidku ini, Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsha.” 1101 20. Tidak boleh menyembelih dan berkurban di kuburan Berdasarkan hadits Anas <|fe> yang diriwayatkan secara marfu’: “Tidak ada penyembelihan hewan (untuk sesaji) dalam Islam.” ‘ Abdur Razzaq bin Hammam berkata: “Dahulu mereka mempersembah¬ kan sapi atau kambing. 1102 Bila sembelihan atau kurban itu di lakukan di kubur untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka hal itu adalah bid’ah. Namun jika menyembelihnya untuk ahli kubur, maka ini adalah syirik besar yang me¬ ngeluarkan pelakunya dari agama ini.” 1103 21. Tidak boleh memecah tulang belulang ahli kubur Berdasarkan hadits ‘Aisyah , Rasulullah bersabda: ((.!*>■ ojh ^ 3S ' )) * 's' s “Sesungguhnya mematahkan tulang seorang Mukmin ketika dia telah meninggal dunia, hal itu sama seperti mematahkannya ketika dia masih hidup.” 1104 1101 Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, Kitab “Fadhlush Shalaah fii Masjid Makkah wal Madiinah” (no. 3/63) dan Muslim dengan lafazhnya, Kitab “al-Hajj”, Bab “Safarul Mar-ah ma’a Mahram ilal Hajj wa Ghairih” (11/976, no. 1397). 1102 Abu Dawud, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Karaahiyatudz Dzabhi ‘indal Qabri” (no. 3222). Mushannaf ( Abdirrazzaq (no. 6690), al-Baihaqi (IV/57), Ahmad (III/197). Al-Albani berkata dalam Ahkaamul Janaa-iz : “Dan sanadnya shahih.” 1103 Lihat: Ahkaamul Janaa-iz y al-Albani (hlm. 259). 1104 Ahmad (VI/58), Abu Dawud (no. 3207), dan Ibnu Majah (no. 6616). Takhrij-nyz telah disebutkan pada pembahasan perihal mengenai mengetahui kehormatan dan kedudukan seorang Muslim. Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 511 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH 22. Tidak boleh mencela orang-orang yang telah meninggal dunia Berdasarkan hadits ‘Aisyah , dia berkata: “Nabi «|§ bersabda: ((.i jiji u j\ ai (jiii Sf » ‘Janganlah kalian mencela orang-orang yang telah meninggal dunia, karena mereka telah sampai kepada apa yang telah mereka lakukan.’” 1105 Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Syaikh bin Baz, berkata: “Itulah hukum asalnya, kecuali jika terdapat kemaslahatan bagi ummat manusia dalam mencela mereka. Sama seperti orang-orang yang dikatakan oleh Nabi s|§: ‘Wajib’ ketika beliau dilewati oleh sebuah jenazah, lalu beliau memujinya dengan kebaikan. (Dan di lain waktu, beliau dilewati oleh jenazah lainnya, lalu beliau menjelekkannya).” 1106 DUA PULUH: TA’ZIYAH Ta’ziyah berasal dari kata ( ’tS Jdl ), dikatakan ( aIp cJJ" ), artinya aku ber¬ sabar. Aslinya dari kata ( ojJ* 7 )• Bentuk isim (noun) nya adalah (1' ) 1107 dan at-ta’azzii, artinya menghibur diri dan bersabar ketika tertimpa musibah, serta mengucapkan: “Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya.” 1108 Adapun, ta’ziyab, maksudnya meminta seseorang untuk bersabar terhadap sesuatu yang tidak disukai yang sedang menimpanya. 1109 Ada beberapa perkara yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan ta’ziyah, yaitu: 1. Keutamaan berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah Mengenai hal tersebut terdapat keutamaan yang besar. Hal ini berdasar¬ kan hadits ‘Amr bin Hazm bahwa Nabi bersabda: 1105 Al-Bukhari, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Yunhaa min Sabbil Amwaat” (no. 1393), dan at-Tirmidzi (no. 1982) dari al-Mughirah hadits yang serupa dengannya, tetapi dia berkata: “Maka berarti kalian telah menyakiti orang-orang yang masih hidup.” 1106 Saya (penulis) mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Sbahiihul Bukhari (no. 1393). 1107 Lisaanul 'Arab karya Ibnu Manzhuur (V/377). 1108 An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits karya Ibnul Atsir (III/223). 1109 Lihat: Mu’jam LughatilFuqahaa\ Muhammad Rawwas (hlm. 280). 512 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH JJj>- y» aMI oL15^ oL^-I (Sj*i ^ )) o ((.oUaJI “Tidaklah seorang Mukmin berta’ziyah kepada saudaranya atas suatu musibah, melainkan Allah akan memakaikan kepadanya salah satu dari pakaian kehormatan pada hari Kiamat.” 1110 Diriwayatkan dari Anas bin Malik 4*5 , dari Nabi j|§, beliau bersabda: a \ o' t' > ^ 0 > ^ i ^ -l'* I * \ s f' - SO * • / 0 > f, *\ ' f & ' o S Lgj $•'Ab- aUI «Uo *^~*2-* ^ ,y )) & y •* * s ((.Jalij y ) :Jli U» caWl Ij ijli (( 5^Lail “Barang siapa yang berta’ziyah kepada saudaranya yang Mukmin atas suatu musibah, maka Allah akan memakaikan kepadanya pakaian yang berwarna hijau, yang akan membuatnya senang pada hari Kiamat.” Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa makna yuhbar (membuatnya senang)?” Beliau menjawab: “Membuat orang menginginkannya.” 1111 2. Lafazh-lafazh dan sifat ta’ziyah Orang yang berta’ziyah hendaknya berusaha menghibur orang yang tertimpa musibah dengan sesuatu yang dapat menghiburnya, membuatnya bersabar, dan mendorongnya untuk ridha, ikhlas, dan mengharapkan pahala di sisi Allah di balik musibah tersebut, serta percaya secara penuh bahwa se¬ sungguhnya Allah tidak akan mengingkari janji. Hal itu bisa dengan sesuatu yang mudah berupa anjuran mengenai balasan dan pahala, yang berasal dari al-Qur-an dan as-Sunnah yang shahih, atau ucapan yang dapat meringankan 1110 Ibnu Majah, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fii Tsawaab Man ‘Azzaa Mushaaban” (no. 1600). Dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahiih Sunan Ibnu Majah (11/45). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad (1/201). Lihat pula: Irwaa'ul Ghaliil (III/217). Disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud yang ia riwayatkan secara marfu’: “Barang siapa yang berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala yang sama dengannya.” (At- Tirmidzi [no. 1073] dan Ibnu Majah [no. 1602]). Didha’ifkan oleh asy-Syaukani dalam Nailul Authaar (11/787). Al-Albani telah menyebutkan banyak jalur untuk hadits ini, namun kemudian ia mendha’ifkannya. Lihat: Irwaa’ul Ghaliil (III/219-220), Ahkaamul]anaa-iz karya al-Albani, dan Fadhlullaah ‘alaa 'Ibaadih Ausa’. 1111 Al-Albani berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Khathib dalam Taariikh Baghdaad (VII/397).” Dia berkata: “Dan hadits ini memiliki hadits pendukung dari Thalhah bin ‘Ubaidillah bin Kuraiz secara maqthuu ’ yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (IV/164). Dan hadits ini hadits hasan dengan menghimpun kedua jalurnya, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam Irwaa’ul Ghaliil (no. 764).” AhkaamulJanaa-iz karya al-Albani (hlm. 206). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 513 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL*QUR-AN DAN AS-SUNNAH beratnya musibah dan meredakan kekalutan akibat 1112 musibah tersebut, sesuai dengan jenis musibah dan kondisi orang yang tertimpa musibah. Di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Ucapan yang disampaikan Rasullulah j|§ kepada puterinya menjelang kematian anak dari puterinya tersebut: JoJlp ^ )j U aW d[ )) w - '' ' ' (( .4_^3>as “Sesungguhnya hanya milik Aliahlah apa yang telah Dia ambil, dan hanya milik Aliahlah apa yang telah Dia berikan, dan segala sesuatu memiliki batasan ajal yang telah ditentukan di sisi-Nya. Maka, hendaklah ia bersabar serta mengharapkan pahala di sisi Allah.” 1113 2) Mengucapkan kepada orang yang kehilangan anaknya, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Qurrah bin Iyas, dia bercerita: “Biasanya, ketika Nabi s§§ duduk, beberapa Sahabat beliau pun ikut duduk bersamanya. Di antara mereka, terdapat seorang laki-laki yang memiliki anak kecil yang mendatanginya dari belakang, lalu dia mendudukkan anaknya itu di depannya. Beberapa waktu kemudian, anak tersebut meninggal dunia, sehingga laki-laki tersebut tidak dapat menghadiri halaqah , karena mengingat anaknya dan bersedih atas kematiannya. Nabi 2§§ pun merasa kehilangan orang tersebut, lalu beliau bertanya: “Mengapa aku tidak me¬ lihat fulan?” Para Sahabat menjawab: “Wahai Rasulullah, anaknya yang masih kecil, yang pernah engkau lihat, telah meninggal dunia.” Lalu, Nabi menemuinya dan menanyai perihal anaknya tersebut. Kemudian, dia pun memberitahukan kepada beliau bahwa anaknya itu telah meninggal dunia. Maka, Nabi s|§ pun menghiburnya, lalu bersabda: S S s ° X ' / Q ' s s ''s'' 't' } ^ Jj>rJ c_^Ij “Wahai fulan, mana yang lebih engkau sukai? Engkau bersenang-senang dengannya sepanjang usiamu, atau kelak, tidaklah engkau mendatangi salah satu pintu Surga melainkan engkau mendapatinya telah mendahuluimu 1112 Saya (penulis) telah menyebutkan sejumlah ayat dan hadits yang dapat mendinginkan panasnya musibah dalam sebuah risalah kecil yang berjudul Tabriid Haraaratil Mushiibah ‘inda Faqdil Ahbaab, dan saya sertakan dalam risalah ini, yaitu risalah yang lain yang berjudul Fadhaa-ilush Shabri wal Ibtisaab ‘alal Mashaa-ib . 1113 Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “al-Bukaa’ ‘alal Mayyit” (no. 923). 514 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT ALOUR-AN DAN AS-SUNNAH untuk membukakan pintunya untukmu?” Laki-laki itu berkata: “Wahai Nabi Allah, tentulah (bila) puteraku itu mendahuluiku menuju pintu Surga untuk membukakannya bagiku, itu lebih aku sukai.” Beliau J|§ bersabda: “Maka itu untukmu.” 1114 3) Di antara ucapan yang disampaikan kepada orang yang di tinggal mati dua atau tiga orang anak (yang masih kecil) adalah sebagaimana yang terdapat dalam hadits Buraidah bin al-Hushaib, dia bercerita: “Rasulullah selalu memperhatikan kaum Anshar, menjenguk mereka, dan menanyakan keadaan mereka. Suatu saat, sampai kepada beliau kabar tentang seorang perempuan dari kaum Anshar yang kehilangan anaknya (meninggal dunia), sementara wanita itu tidak memiliki anak selainnya. Perempuan tersebut sangat bersedih hati atas kematiannya. Lalu, Nabi s|§ mendatanginya bersama para Sahabat beliau. Tatkala sampai di pintu rumah perempuan tersebut, dikatakan kepadanya: ‘Sesungguhnya Nabi ingin masuk untuk berta’ziyah kepadanya.’ Lantas, Rasulullah masuk dan berkata: ‘Ketahuilah, sesungguhnya telah sampai kepadaku kabar bahwa kamu bersedih hati atas kematian anakmu.’ Beliau menyuruhnya agar bertaqwa kepada Allah dan bersabar. Perempuan tersebut berkata: ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana aku tidak bersedih hati) sedangkan aku adalah seorang perempuan ( raquub ) yang ditinggal mati anaknya, padahal aku tidak dapat lagi beranak, sementara aku tidak memiliki selainnya?’ Rasulullah 5§§ bersabda: ‘Raquub adalah orang yang anaknya masih ada.’ Kemudian beliau «§§ bersabda: ‘Tidaklah seorang laki-laki atau perempuan Muslimah yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya (dan dia mencari pahala dengan kematian mereka), melainkan Allah akan memasukkannya ke Surga karena anaknya itu.’ Lalu, ‘Umar bertanya (ketika itu dia berada di sebelah kanan Nabi): ‘Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu; dan juga dua orang anak?’ Beliau menjawab: ‘Dan juga dua orang anak.’” 1115 Ada banyak hadits shahih lainnya yang berbicara bahwa barang siapa yang ditinggal mati oleh tiga atau dua atau satu orang anaknya, lalu dia bersabar dan mengharap pahala dari kematian tersebut, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam Surga karena karunia dan kasih sayang-Nya terhadap mereka. 1116 1114 An-Nasa-i (no. 1869 dan 2087). Dishahihkan oleh al-Albani dan takhrij- nya telah disebutkan dalam pembahasan mengenai sabar dan mengharapkan pahala di sisi Allah ^. 1115 Al-Bazzar (no. 857) dan al-Hakim (1/384) dan dia menshahihkannya. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Ahkaamul Janaadz (hlm. 208). Makna hadits ini juga terdapat pada hadits- hadits shahih lainnya yang telah saya sebutkan dalam buku Tabriidi Haramtil Mushiibab , dan dalam buku ini pada pembahasan tentang keutamaan bersabar dan mengharap pahala atas musibah. 1116 Shahiihul Bukhari (no. 101, 1249, 1381, 7310) dan Muslim (no. 2608, 2632, 2633 dan 2636). Takbrij-ny a telah disebutkan dalam pembahasan mengenai keutamaan bersabar dan mengharap pahala atas musibah. Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH 4) Ketika berta’ziyah kepada Ummu Salamah tgs& , setelah kematian Abu Salamah (suaminya), Nabi «|§ berdo’a: 4*JtP ^-9 AaL>-1j ^9 £-9jlj C<U_L* ^Ap! )) jjjj io ^9 aJ ^JLsS j t_->j Ij aJj llj ^apIj ^9 ((.<& aJ “Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya bersama golongan orang-orang yang mendapatkan petunjuk, gantikanlah ia pada keturunan yang ditinggalkannya, berilah ampunan untuk kami dan diri¬ nya, wahai Rabb semesta alam, lapangkanlah kuburnya, serta terangilah ia di dalamnya.” 1117 Maka, disunnahkan ketika berta’ziyah untuk mengucapkan do’a berikut: ^ ^9 v&rj} ] - \ )) / 0 ' 0 y' / 0 ,0 to Ji ^ J Ij aJj lU ^ <JLp /7 o» ^ t 9 ((• V ^ “Ya Allah, ampunilah fulan [dan menyebutkan namanya], angkatlah derajatnya bersama golongan orang-orang yang mendapatkan petunjuk, gantikanlah ia pada keturunan yang ditinggalkannya, berilah ampunan untuk kami dan dirinya, wahai Rabb semeta alam, lapangkanlah kuburnya, serta terangilah ia di dalamnya.” 5) Ketika berta’ziyah kepada ‘Abdullah bin Ja'far atas kematian ayahnya, Nabi #§ berdo’a: ((.AlUj XaJup ^9 .iijljj caL&I ^9 Vy&s-r )) “Ya Allah, berilah pengganti Ja’far dalam keluarganya dan berilah ke¬ berkahan kepada ‘Abdullah dalam perniagaannya.” Beliau mengucapkan do’a ini sebanyak tiga kali. 1118 1117 Muslim (no. 920). Takhrij -nya telah disebutkan dalam pembahasan mengenai perihal me¬ mejamkan mata orang yang meninggal. 1118 Ahmad (no. 1750), dan al-Hakim (III/298). Al-Albani $&£ berkata dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 209): “Dengan sanad yang shahih berdasarkan syarat Muslim.” 516 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Di antara yang dapat meringankan beratnya musibah ketika berta’ziyah atas kematian orang-orang yang dicintai secara umum, baik itu berupa anak, ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, suami, isteri, atau pun teman dekat, adalah sabda Nabi «p: p liih JJd ^ o 5> . ((.&JI V} “Tidak ada balasan di sisiku bagi hamba-Ku yang beriman, ketika Aku mengambil buah hatinya dari penduduk dunia, kemudian dia mengharap¬ kan pahala darinya, kecuali Surga.” 1119 Boleh juga ia mengatakan: ci&JP ch'Jrl iijl “Semoga Allah membesarkan pahalamu, memperbaiki keadaanmu, dan mengampuni orang yang telah meninggalkanmu.” 1120 3. Waktu ta’ziyah tidak dibatasi hanya selama tiga hari Akan tetapi, kapan pun seseorang melihat adanya faedah dalam berta’ziyah, maka dia boleh melakukannya. Disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi <|§, bahwa beliau pernah berta’ziyah setelah tiga hari, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin Ja’far u^S. 1121 Maka, selama panasnya musibah itu masih ada, maka ta’ziyah tetap diperbolehkan, sekali pun setelah waktu yang cukup lama. Jadi, dalam masalah ini terdapat keluwesan dan di dalamnya terdapat hiburan bagi keluarga duka akibat musibah yang menimpa mereka. Guru kami, Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Tidak ada batasan hari tertentu untuk berta’ziyah, tetapi ta’ziyah itu disyari’atkan sejak roh ke¬ luar, yaitu sebelum menshalatinya dan setelahnya (sebelum maupun sesudah menguburkan). Tidak ada batasan waktu terakhir untuk berta’ziyah dalam ajaran syari’at yang suci. Boleh dilakukan pada malam atau pun siang hari, di rumah, di jalan, di masjid, di kubur, atau tempat-tempat lainnya.” 1122 Beliau juga 1119 Al-Bukhari (no. 6424). Takhrij-nya telah disebutkan dalam pembahasan mengenai keutamaan bersabar. 1120 Al-Adzkaar karya Imam an-Nawawi (hlm. 126). 1121 Ahmad (no. 1750) (tahqiq Ahmad Syakir), dan al-Hakim (111/298). Al-Albani menshahihkan sanadnya dan beliau menyebutkan hadits ini secara panjang lebar dalam kitab Ahkaamul ]anaa-iz (hlm. 209). 1122 Majmuu Fataawaa Ibnu Baz (XIII/379) dan tulisan yang ada di antara dua kurung berasal dari (XIII/380). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 517 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH berkata: “Namun, bergegas dalam melakukan ta’ziyah tentu lebih utama, dan boleh juga dilakukan setelah tiga hari dari kematian, karena tidak adanya dalil yang membatasinya.” 1123 Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Waktu ta’ziyah itu dimulai sejak kematian atau sejak tertimpanya musibah (jika ta’ziyah itu untuk selain kematian) hingga musibah tersebut dapat dilupakan dan hilang dari jiwa orang yang tertimpa musibah. Karena, maksud dari ta’ziyah itu bukanlah ucapan selamat atau penghormatan, namun maksud darinya tak lain adalah untuk mem¬ berikan kekuatan kepada orang yang tertimpa musibah dalam menghadapi beban musibah tersebut serta mengharap pahala darinya.” 1124 4. Disunnahkan dalam berta’ziyah agar kerabat keluarga orang yang meninggal atau para tetangga mereka membuatkan makanan yang dapat mengenyangkan Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Ja’far 4 *“ > dia berkata: “Tatkala, datang pembawa berita kematian Ja’far yang telah mati syahid, Rasulullah s|§ bersabda: ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka telah ditimpa oleh sesuatu yang membuat mereka sibuk’ atau ‘urusan yang membuat mereka sibuk.’” 1125 Diriwayatkan dari Asma’ binti ‘Umais , dia berkata: “Tatkala Ja’far tertimpa musibah (mati syahid), Rasulullah kembali ke keluarganya, lalu beliau bersabda: IIjJLkJj AS J) ‘Sesungguhnya keluarga Ja’far telah disibukkan oleh urusan jenazah mereka, karenanya buatkanlah makanan untuk mereka.’ 1123 Ibid (XIII/380). 1124 Majmuu’Rasaa-il Ibnu ‘Utsaimin (XVII/340). 1125 Ibnu Majah dengan lafazhnya, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fith Tha’aam Yub’atsu ilaa Ahlil Mayyit” (no. 1610), Abu Dawud, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Shun’atuth Tha’aam li Ahlil Mayyit” (no. 3132), at-Tirmidzi, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fith Tha’aam Yushna’u li Ahlil Mayyit” (no. 998), Ahmad (1/175, no. 1754), al-Hakim (1/372), dan al- Baihaqi (IV/61). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Riwayat ini dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahiihus Sunan dan dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz (hlm.211). 518 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazal ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH ‘Abdullah berkata: “Hal itu masih menjadi sunnah (kebiasan), hingga akhir¬ nya (sekarang) mulai ditinggalkan.” 1126 Asy-Syafi’i berkata: “Aku lebih senang bila tetangga orang yang me¬ ninggal atau para kerabatnya mau membuatkan makanan yang dapat membuat mereka kenyang pada hari kematiannya dan juga malam harinya. Karena, hal itu hukumnya adalah sunnah sekaligus pengingat yang mulia, serta hal itu merupakan perbuatan orang-orang shalih sebelum dan sesudah kita.” 1127 Imam Ibnu Qudamah berkata: “Secara global, sesungguhnya di- sunnahkan membuatkan makanan untuk keluarga duka, dan dikirimkan kepada mereka sebagai bentuk pertolongan dan untuk menutupi duka hati mereka. Karena, bisa jadi mereka disibukkan oleh musibah yang menimpa dan dengan orang-orang yang mendatangi mereka, sehingga mereka tidak sempat mem¬ buatkan makanan untuk diri mereka sendiri.” 1128 Kemudian, Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa, jika didesak oleh suatu kebutuhan untuk membuat makanan, maka keluarga duka, boleh menyediakan¬ nya. Karena, bisa jadi mereka didatangi oleh orang-orang yang ingin menghadiri pengurusan jenazah, yang berasal dari desa atau pun tempat-tempat yang jauh lalu menginap di rumah duka, sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk tidak menjamu mereka sebagai tamu. 1129 Ibnu Qudamah juga berkata: “Disunnahkan berta’ziyah kepada semua keluarga yang tertimpa musibah, baik yang dewasa maupun yang masih kecil, khususnya disunnahkan bagi orang-orang pilihan dan orang yang terpandang di antara mereka, agar yang lain dapat mengikuti jejak (kebaikan)nya, demikian pula orang yang lemah dalam menghadapi musibah di antara mereka, karena ia membutuhkan ta’ziyah tersebut.” 1130 Guru kami, Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz &M, berkata: "... Disunn ahkan berta’ziyah kepada keluarga duka tanpa diadakannya suatu acara atau pun per¬ kumpulan tertentu ... dan disyari’atkan bagi setiap Muslim untuk berta’ziyah kepada saudaranya, yaitu setelah keluarnya roh (orang yang meninggal), baik di rumah, di jalan, di masjid, atau pun di kubur; baik ta’ziyah itu dilakukan sebelum shalat, maupun pun setelahnya. Jika dia menemuinya, maka disyari’atkan baginya untuk berjabat tangan dengannya serta mendo’akannya dengan do’a yang sesuai... dan jika orang yang meninggal tersebut seorang Muslim, maka dia mendo’akannya semoga mendapatkan ampunan dan rahmat. Demikian halnya 1126 Ibnu Majali, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fith Tha’aam Yub’atsu li Ahlil Mayyit” (no. 1611). Dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahiih Ibnu Majah (11/47). 1127 Al-Umm (1/247). 1128 Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (III/496). 1129 Al-Mughni (III/497). 1130 Ibid. (III/485). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 519 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH kaum perempuan, juga melakukannya dengan sesama mereka; sebagian mereka berta’ziyah kepada sebagian yang lainnya. Seorang laki-laki boleh berta’ziyah kepada seorang perempuan dan juga sebaliknya, namun tanpa adanya khalwat dan jabat tangan, bila perempuan itu bukanlah mahramnya.” 1131 5. Terdapat banyak bid’ah dan kemunkaran yang terjadi pada saat berta’ziyah Akan tetapi yang paling sering tampak pada sebagian masyarakat adalah sebagai berikut: 1) Berkumpulnya keluarga duka di luar rumah atau di tempat-tempat yang luas. Baik berupa tenda besar yang disinari dengan lampu-lampu dan dihampar¬ kan permadani-permadani, untuk menyambut kedatangan orang-orang yang berta’ziyah, atau di gedung-gedung hiburan yang telah disinari cahaya dan di¬ hamparkan permadani dalamnya; atau dengan menghamparkan permadani di halaman depan rumah dan meneranginya dengan cahaya lampu yang dipersiapkan untuk menyambut orang-orang yang berta’ziyah, atau dengan menerangi jalan- jalan, dan menghadirkan orang yang membacakan al-Qur-an, menyediakan kopi, teh, juice, dan wewangian yang disediakan untuk orang-orang yang berta’ziyah. Juga kemunkaran-kemunkaran dan bid’ah-bid’ah lainnya yang wajib dijauhi oleh setiap Muslim; dan hendaknya ia selalu berpegang teguh kepada as-Sunnah. 1132 Dan jika keluarga duka membuat makanan untuk orang-orang, hal itu merupakan perbuatan bid’ah lainnya. 1133 2 ) Berkumpul di rumah duka untuk makan-makan, minum, membacakan al-Qur-an, dan mengundang orang-orang untuk menyantap makanan yang telah disediakan. Terkadang sebagian dari orang yang berta’ziyah datang dengan membawa kambing, unta, atau sapi; dengan dalih untuk menjamu para tamu yang berta’ziyah dan untuk keluarga duka. Mereka mengundang semua orang yang datang untuk berta’ziyah yang ditemuinya, untuk menghadiri jamuan makan ini. Ini semua termasuk bid’ah munkar, sebagaimana hadits Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali, dia berkata: “Kami menganggap bahwa kumpul-kumpul di rumah keluarga duka dan membuat makanan setelah menguburkannya, termasuk niyaahah (ratapan).” 1131 Majmuu’ Fataawaa Ibnu Baz (XIII/382). 1132 Majmuu’Fataawaa asy-Syaikh Ibnu Baz (XIII/371-424). 1133 Imam Ibnul Qayyim berkata dalam kitab Zaadul Ma’aad: “Termasuk petunjuk Nabi berta’ziyah kepada keluarga duka. Namun, tidak termasuk petunjuk beliau, berkumpul untuk berta’ziyah dan membacakan al-Qur-an. Hal itu tidak boleh dilakukan baik di sisi kuburnya maupun di tempat lainnya. Semua ini adalah bid’ah yang diada-adakan dan tidak disukai.” {Zaadul Ma’aad [1/527]). 520 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 521 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Shalih telah mendahului kita dalam mengerjakan hal tersebut, Rasulullah j|§ sendiri tidak pernah melakukannya. Ja’far bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Rawahah, dan Zaid bin Haritsah ter¬ bunuh dalam perang Mu’tah, lalu datang wahyu kepada Nabi berita mengenai kematian tersebut. Beliau pun mengabarkan berita kematian mereka kepada para Sahabat dan kepada keluarganya masing-masing. Beliau juga mengikhlaskan dan mendo’akan mereka, namun beliau tidak mendirikan matam untuk mereka. Demikian pula dengan para Sahabat setelah Nabi, mereka tidak pernah melakukan sedikit pun hal tersebut. Abu Bakr telah meninggal dunia, namun mereka tidak pernah mendirikan matam baginya. ‘Umar terbunuh, namun mereka tidak mendirikan ma’tam untuknya, dan mereka tidak mengumpulkan orang-orang untuk membaca al-Qur-an. Setelah itu, ‘Utsman dan ‘Ali terbunuh, namun para Sahabat tidak pernah melakukan apa pun dari hal-hal tersebut ,... 1138 ” 6. Disyari’atkan membuat talbiinah (sejenis makanan) untuk orang yang sedang sedih Berdasarkan hadits ‘Aisyah i^s , bahwa dia pernah menyuruh seseorang membuatkan talbiinah untuk orang sakit dan orang yang berduka karena ditinggal mati. ‘Aisyah ^ berkata: “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah «H bersabda: 0 0 s o Jl f ^ o ^ ((• * * > c, Awjd-Jl .. •)) ‘... Talbiinah itu dapat menghibur hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesedihan.’” Dalam lafazh lain: “Ketika ada yang meninggal dunia dari keluarga ‘Aisyah, kaum perempuan berkumpul untuk itu. Setelah mereka pergi—kecuali keluarganya dan orang-orang dekatnya—,dia memerintahkan agar disediakan satu periuk talbiinah , lalu talbiinah dimasak setelah itu dibuatkan roti yang dihancurkan dan diberi kuah, selanjutnya talbiinah tersebut dituangkan di atasnya. Kemudian ‘Aisyah berkata: “Makanlah! Karena aku pernah men¬ dengar Rasulullah bersabda: ‘ Talbiinah dapat mengibur hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesedihan.” 1139 Al-Hafizh Ibnu Hajar -&M menjelaskan: “ Talbiinah adalah makanan yang terbuat dari gandum atau sisa kulit gandum yang diayak dan kadang-kadang 1138 Majmuu’ Fataawaa Ibnu Baz (XUI/383-384). Lihat pula bid’ah-bid’ah lainnya yang disebut¬ kan dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz karya al-Albani (hlm. 220). 522 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH dicampur dengan madu. Dinamakan demikian, karena adanya kemiripan dengan susu dalam hal warnanya yang putih dan kelembutannya. Dan yang bermanfaat darinya adalah tepung yang telah masak, bukan yang masih kasar dan mentah ... dan sabda beliau: “majammah” maksudnya tempat beristirahat; dan diriwayatkan pula dengan dd-dhammah huruf mim- nya (mujammah), artinya melegakan. Jimaam , artinya lega. Tsariid, artinya roti yang diberi kuah daging dan kadang-kadang disertai pula dengan daging.”" 40 Ibnul Atsir berkata: “Talbiinah dan talbiin adalah sup yang terbuat dari tepung atau sisa kulit gandum dan kadang-kadang diberi madu. Dinamakan demikian, karena mirip dengan susu dalam hal warnanya yang putih dan kelembutannya.” 1141 Al-Hafizh berkata: “Talbiinah adalah sup yang (lembut) seperti sutra yang terbuat dari tepung, atau tepung yang telah diayak, dinamakan demikian, karena kemiripannya dengan susu dalam hal warnanya yang putih.” 1142 DUA PULUH SATU: SAMPAINYA PAHALA IBADAH YANG DIHADIAHKAN KEPADA ORANG-ORANG YANG TELAH MENINGGAL DARI KALANGAN KAUM MUSLIMIN Dalam hal ini, terdapat 2 hal yang perlu diperhatikan: 1. Amalan yang akan menyertai orang yang meninggal Diriwayatkan dari Abu Hurairah 4» > bahwa Rasulullah $f| bersabda: ^ 55 '' ' * s fos ''O * O ° s ' L 4j jb>r 43 V} 4JU^P 4JLP oU iSt )) ✓ ^ O ' U' \' 0 f ^ I 0 f ((.4J J ^ ^ •fi ^ “Jika seseorang meninggal dunia, maka amalnya akan terputus darinya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendo’akannya.” 1143 Termasuk dalam hal ini, hadits Abu Hurairah 4» > bahwa Rasulullah 3§§ bersabda: 1139 Muttafaq ‘alaib: al-Bukhari, Kitab “al-Ath’imah,” Bab “at-Talbiinah” (no. 5417) dan Kitab “ath-Thibb” Bab “at-Talbiinah lil Mariidh” (no. 5689 dan 5690) dan Muslim. 1140 Fat-hul Baari (IX/550, 551). 1141 An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (IV/229), Fat-hul Baari (X/146). 1142 Hadyus Saari Muqaddimab Fat-hil Baari karya Ibnu Hajar (hlm. 182). 1143 Muslim, Kitab “al-Washiyyah”, Bab “Maa Yalhaqul Insaan minats Tsawaab ba’da Wafaatih” (no. 1631). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 523 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH £ / / } * / 0 S s- y 0 j 55 CO4^Lp l^Lp Axj 4jLl^w>-j aLj*P Jp’-cJj O j )) JlJlJl cotb wb>cJL« j( tAijj LL>t-^Aj caS^j L^JL/s llijj 4jL>dlj CAjU>-J J aJU /y» A3-W? «I tdl^?rl Yj^i y Lo\jJ « 0 ^ 0 ^ 0 ((.Ajj-* A*j ^ “Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan yang dapat menyertai seorang Mukmin setelah kematiannya, yaitu ilmu yang telah diajarkan dan disebarkannya, anak shalih yang ditinggalkannya, mushaf yang di¬ wariskannya, atau masjid yang dibangunnya, atau rumah untuk ibnu sabil yang diberikannya, sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkan dari hartanya ketika dia masih sehat dan masih hidup; semua itu dapat menyertainya setelah kematiannya.” 1144 Juga berdasarkan hadits Mu’adz bin Anas, bahwa Nabi 5§| bersabda: ((• (S? o* ^ ^ o *)) “Barang siapa mengajarkan suatu ilmu, maka baginya pahala (seperti) orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala orang yang meng¬ amalkannya tersebut.” 1145 Diriwayatkan dari Sahi bin Sa’id, bahwa Nabi Ji§ bersabda pada saat perang Khaibar kepada ‘Ali bin Abi Thalib ' diJ jjSsj oi eJJ dX> ov ^Yy .. .)) «■r3> ‘M y “... Maka demi Allah! Sungguh, jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang disebabkan olehmu, maka itu lebih baik bagimu daripada engkau memiliki unta merah (pilihan).” 1146 1144 Ibnu Majah, Muqaddimah, Bab “Tsawaab Mu’allimin Naas al-Khair” (no. 242). Dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahiih Sunan Ibnu Majah (11/98) dan kitab Irwaa-ul Ghaliil (VI/29). 1145 Ibnu Majah, Muqaddimah, Bab “Tsawaab Mu’allimin Naas al-Khair” (no. 240). Dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahiih Sunan Ibnu Majah (11/97). 1146 Muttafaq ‘ alaih\ al-Bukhari, Kitab “al-Jihaad was Sair,” Bab “Du’aa-un Nabi ilal Islam” (no. 2942) dan penggalan-penggalan hadits ini terdapat pada (no. 3009, 3701 dan 4210) dan Muslim, Kitab “Fadhaa-ilush Shahaabah,” Bab “Min Fadhaa-il 4 Ali ibn Abii Thaalib ” (no. 2406). -X: 1 524 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenaza ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-5UNNAH Hadits ini menjelaskan tentang pentingnya mengajarkan kebaikan dan menyebarkan ilmu di tengah ummat manusia. Mengenai makna hadits ini, Imam al-Khaththabi -s&M berkata: “Sungguh, jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang disebabkan olehmu, maka balasan dan pahalanya lebih baik bagimu daripada engkau memiliki unta merah, lalu engkau mensedekahkannya.” 1147 Al-Qurthubi, al-Ubay, dan as-Sanusi <3>i j menyebutkan bahwa pada hadits yang mulia ini terdapat anjuran yang sangat besar untuk mempelajari ilmu dan menyebarkannya kepada ummat manusia, dan juga memberikan nasihat dan peringatan kepada mereka. Dan yang dimaksud di sini adalah bahwa pahala mengajarkan dan memberikan bimbingan kepada satu orang, hal itu lebih utama daripada pahala bersedekah dengan unta yang sangat berharga ini, karena pahala sedekah unta itu akan terputus dengan kematian unta tersebut, sedangkan pahala ilmu dan petunjuk itu tidak akan terputus hingga hari Kiamat. 1148 Nabi i§| bersabda: ((.aImI jr\ jL £ j*. J}, js 'j *)) “Barang siapa memberi petunjuk kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” 1149 Beliau juga bersabda: aL* J* j* S/j ‘'4’ y ' " ' ' ' ' ' ' *)!j cLg-j />* Jjj /tod*j Lgj Ot “Barang siapa yang memulai kebaikan di dalam Islam, lalu kebaikan ter¬ sebut tetap dilakukan sepeninggalnya, maka dicatat baginya pahala seperti orang yang telah melakukannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang memulai keburukan di dalam Islam, lalu ke¬ burukan tersebut tetap dilakukan sepeninggalnya, maka dicatat atasnya 1147 A ’laamul Hadiits fii Syarh Sbahiihul Bukbari (II/1408). 1148 Al-Mufhim liMaa Asykala min Talkhiish KitaabMuslim karya al-Qurthubi (VI/276), Ikmaal Ikmaalil Mu’lim karya al-Ubay (VIII/231), dan Mukmil Ikmaalil Ikmaal karya as-Sanusi (VIII/231). 1149 Shabiih Muslim, Kitab “al-Imaarah”, Bab “I’aanatul Ghaazi fii Sabiilillaah bi Markuub wa bi Ghairih wa Khilaafatuh fii Ahlihi bi Khair” (III/1506, no. 1893) dari hadits Abu Mas’ud al-Anshari Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 525 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH dosa seperti orang yang melakukannya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” 1150 Diriwayatkan dari Abu Hurairah > bahwa Rasulullah j|§ bersabda: ^/2-Au S/ jL d Ipo )) ^ Z' ^ ^ z' J^z» p-T'b/1 aILp j 15" djtj? Lpo clLi (j** dlta ((.lilS ^ i£lJ5 S/ tA*J (*^ “Barang siapa mengajak (orang lain) kepada petunjuk, maka ia akan men¬ dapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, dan hal itu tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa mengajak (orang lain) kepada kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikutinya, dan hal itu tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” 1151 Diriwayatkan dari Abu Umamah secara marfu’\ ((.fjuii j^uii Jz (juii jjJ )> S “Keutamaan orang yang berilmu terhadap orang yang (hanya) gemar ber¬ ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah dari kalian.” Kemudian, Rasulullah «p bersabda: tla >^ aLUI J CjS'yJL Jl Alit (jl )) “Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya, serta para penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang ada di dalam lubangnya dan juga ikan, akan mendo’akan orang yang mengajarkan kebaikan kepada ummat manusia.” 1152 Muslim, Kitab “al-‘Ilm,” Bab “Man Sanna fil Islaam Sunnatan Hasanatan aw Sayyi-atan wa Man Da’aa ilaa Hudan aw Dhalaalah” (IV/2059, no. 1017) dari hadits Jarir bin ‘Abdillah ^sfj . Muslim, Kitab “al-‘Ilm,” Bab “Man Sanna fil Islaam Sunnatan Hasanatan aw Sayyi-atan wa Man Da’aa ilaa Hudan aw Dhalaalah” (IV/2060, no. 2674). At-Tirmidzi, Kitab “aDIlm”, Bab “Maa Jaa-a fii Fadhlil Fiqhi ‘alal ‘Ibaadah” (V/50, no. 2685). Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahiih Sunanut Tirmidzi (11/343). Lihat pula kitab MisykaatulMashaabiih dengan tahqiq al-Albani (1/74, no. 213). 526 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Diriwayatkan dari Abud Darda’ > dia berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah ^ bersabda: OlCS-Jl cA'yjLS\ ^ ^ 4j| )) s' " ^ / x ^ ‘Sesungguhnya orang yang berilmu akan dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan yang ada di laut.’” 1153 2. Sampainya pahala ibadah yang dihadiahkan kepada kaum Muslimin yang telah meninggal dunia, hal itu ditetapkan dalam al-Qur-an dan as-Sunnah Akan tetapi, terdapat perincian dalam hal ini, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan sampainya pahala amalan-amalan ibadah yang dihadiahkan kepada kaum Muslimin yang telah meninggal dunia, yang berasal dari al-Qur-an dan as-Sunnah adalah sebagai berikut: 1) Firman Allah UI: Cr? > £ £ “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a: ‘Ya Rahb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun Maha Penyayang. ” (QS. Al-Hasyr: 10) 2) Firman Allah @§|: khi ’jMAj ST % iJj V ,£f j&Ti > < STj C^p'Tj 1153 Ibnu Majah, al-Muqaddimah, Bab “Tsawaab Mu’allimin Naas al-Khair” (no. 239). Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahiih Ibnu Majah (1/97). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 527 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH — i “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada ilah (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mukmin, laki- laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. ” (QS. Muhammad: 19) 3) Firman Allah @8 yang menceritakan tentang Nuh owJiiJj cpi J ’J& yj > 4 .{{J Vi “ Yd Rabbku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhalim itu selain kebinasaan .” (QS. Nuh: 28) 4) Firman Allah B§§ yang menceritakan tentang Ibrahim m fci jL-T yj i» 4 i{|$) J [j^ “Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap men¬ dirikan shalat, ya Rabb kami, perkenankan do’aku. Ya Rabb kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari Kiamat). ” (QS. Ibrahim: 40-41) 5) Hadits ‘Aisyah , bahwa Rasulullah 5§| bersabda: / >0 ^ S t S | j| z' / ^ . / O S’ 4JLP- C^ly/3 41U-J C->b» Jy» )) “Barang siapa meninggal dunia, sedangkan dia masih memiliki tanggungan puasa, maka walinya membayar puasanya.” 1154 6 ) Hadits Ibnu ‘Abbas , bahwa ada seorang perempuan berlayar di lautan. Lalu dia bernadzar, seandainya Allah menyelamatkannya, maka dia akan berpuasa selama satu bulan. Allah pun menyelamatkannya, namun dia belum sempat berpuasa hingga meninggal dunia. Lalu datanglah kerabat perempuan tersebut (saudara perempuannya atau puterinya) kepada 1154 HR. Al-Bukhari, Kitab “ash-Shaum”, Bab “Man Maata wa ‘alaihi Shaum” (no. 1952), Muslim, Kitab “ash-Shiyaam”, Bab “Qadhaa-ush Shiyaam ‘anil Mayyit” (no. 1147), Abu Dawud, Kitab “ash-Shaum”, Bab “Fii Man Maata wa ‘alaihi Shiyaam” (no. 2400). Dan dari jalurnya diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi (VI/279), ath-Thahawi dalam kitab Musykilul Aatsaar (III/140-141) dan Ahmad (VI/69). 528 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ... Nabi ;1| dan dia menceritakan hal tersebut kepada beliau. Beliau bersabda: ‘(Bagaimana menurutmu, seandainya dia memiliki tanggungan utang, apakah engkau akan melunasinya?’ Dia menjawab: ‘Ya.’ Lalu beliau ber¬ sabda: ((.(dl^l j*) (—») Ol &\ Jaj )) ‘Maka, utang (kepada) Allah itu lebih berhak untuk dilunasi, karenanya lunasilah (utang ibumu)’.” 1155 7) Hadits Ibnu ‘Abbas , bahwa Sa’ad bin ‘Ubadah pernah meminta fatwa kepada Rasulullah sl|: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, sedangkan dia masih memiliki tanggungan nadzar?” Lalu beliau bersabda: ((.I4ip )) “Tunaikanlah nadzarnya sebagai pengganti dirinya.” 1156 8 ) Hadits Sa’ad bin al-Athwal, bahwa saudaranya meninggal dunia, dan me¬ ninggalkan tiga ratus dirham serta keluarga yang menjadi tanggungannya. Sa’ad berkata: “Maka aku ingin menginfakkannya kepada keluarganya.” Sa’ad melanjutkan: “Lalu Nabi berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya saudaramu itu tertahan oleh utangnya, (maka pergilah) dan lunasilah sebagai ganti darinya.’” (Maka aku pun pergi untuk melunasi utangnya, kemudian aku kembali). “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah melunasi utangnya, kecuali dua dinar yang diklaim oleh seorang perempuan, namun dia tidak memiliki bukti tambahannya.” Beliau $|§ bersabda: 1155 HR. Abu Dawud, Kitab “al-Aimaan wan Nudzuur”, Bab “Fii Qadhaa-in Nadzri ‘anil Mayyit” (no. 3308), an-Nasa-i, Kitab “an-Nadzru”, Bab “Man Maata wa ‘alaihi Nadzrun” (no. 3850), ath-Thahawi (III/140), al-Baihaqi (IV/255, 256, X/85), ath-Thayalisi (2630), Ahmad (1861, 1970, 3137, 3224, 3420) dan susunan hadits ini disertai dengan tambahan kedua adalah miliknya. Sanadnya shahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim. Dan tambahan pertama adalah milik Abu Dawud dan al-Baihaqi. Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab “ash-Shaum”, Bab “Man Maata wa 'alaihi Shaum” (no. 1953), Muslim, Kitab “ash-Shiyaam”, Bab “Qadhaa-ush Shiyaam 'anil Mayyit” (no. 1148), at-Tirmidzi, Kitab “ash-Shaum”, Bab “Maa Jaa-a fish Shaum 'anil Mayyit” (no. 716), dan Ibnu Majah, Kitab “ash-Shiyaam”, Bab “Man Maata wa 'alaihi Shiyaam min Nadzrin” (no. 1758 dan 1759) dengan hadits yang serupa. Tambahan kedua terdapat pada riwayat mereka semua, sedangkan bagian akhir terdapat dalam Muslim. 1156 HR. Al-Bukhari, Kitab “al-Aimaan wan Nudzuur,” Bab “Idzaa Nadzara aw Halafa ...,” (no. 6698), Muslim, Kitab “an-Nadzru”, Bab “al-Amru bi Qadhaa-in Nadzri,” (no. 6638), Abu Dawud, Kitab “al-Aimaan wan Nudzuur”, Bab “Fii Qadhaa-in Nadzri ‘anil Mayyit” (no. 3307), at-Tirmidzi, Kitab “an-Nudzuur”, Bab “Qadhaa-un Nadzri 'anil Mayyit” (no. 1546), an-Nasa-i, Kitab “al-Aimaan”, Bab “Man Maata wa 'alaih Nadzru” (no. 3848), dan Ibnu Majah, Kitab “al-Kaffaaraat”, Bab “Man Maata wa 'alaihi Nadzrun” (no. 2132). Dishahihkan oleh al-Baihaqi (EV/256, VI/278, X/85), ath-Thayalisi (2717), dan Ahmad (1893, 3049, VI/47). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AU3UR-AN DAN AS-SUNNAH ^ ^ i* & ^ ^ & y ^ Q g. ((.Aib L? :aj \jj ^j) Lf’l* )) ‘Berikanlah kepadanya, karena perempuan itu benar (dalam satu riwayat: perempuan itu jujur)’.” 1157 9) Hadits Samurah bin Jundub, bahwa Nabi *|§ pernah menshalatkan jenazah seseorang (dalam satu riwayat: beliau melakukan shalat Shubuh). Setelah selesai, beliau bertanya: “Apakah di sini terdapat salah seorang dari keluarga si fulan?” (Maka, orang-orang pun diam dan jika beliau mulai mengatakan sesuatu, para Sahabat pun diam). Beliau menanyakan hal itu berkali-kali (sebanyak tiga kali, namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya). (Lalu, seorang laki-laki berkata: “Ini dia orangnya”). Samurah melanjutkan: “Tiba-tiba, seseorang bangkit dari arah belakang sambil menarik kainnya. (Lalu Nabi s|§ bertanya kepadanya: ‘Apa yang menghalangimu untuk menjawab pertanyaanku pada dua kali pertanyaan pertama? Sesungguhnya aku tidak memanggil dirimu, melainkan karena kebaikan. Sesungguhnya si fulan—salah seseorang dari mereka—tertahan karena utangnya (dari masuk Surga, maka jika kalian berkenan, lunasilah ia, namun jika kalian rela, serahkanlah dia kepada siksa Allah), cobalah kalian temui keluarganya dan orang-orang yang mengurus urusannya. Maka, mereka pun melunasi utangnya (hingga tidak seorang pun yang menuntut pelunasan utang lagi).’” 1158 10) Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah , dia berkata: “Ada seorang laki-laki meninggal dunia, lalu kami memandikan, mengkafani, dan mem¬ berinya wewangian, kemudian kami meletakkan jenazahnya agar dishalati 1157 HR. Ibnu Majah, Kitab “ash-Shadaqaat”, Bab “Adaa-ud Dain ‘anil Mayyit” (no. 2433). Ahmad (IV/136, V/7). Al-Baihaqi (X/142) dan salah satu sanadnya shahih, sedangkan yang lainnya seperti sanad Ibnu Majah. Dishahihkan oleh al-Bushiri dalam kitab az-Zawaa-id , sementara, susunan hadits dan riwayat yang kedua adalah milik al-Baihaqi, sedangkan riwayat ini dan beberapa tambahannya adalah milik Ahmad dalam satu riwayat. 1158 HR. Abu Dawud, Kitab “al-Buyuu’ wal Ijaaraat”, Bab “Fit Tasydiid fid Dain,” (no. 3341), an-Nasa-i, Kitab “al-Buyuu”’, Bab “at-Taghliizh fid Dain” (no. 4689), al-Hakim (11/25-26), al-Baihaqi (VI/4/76), ath-Thayalisi dalam Musnad-nya (no. 891, 892), Ahmad (V/11, 13, 20). Al-Albani berkata: “Sebagian perawi meriwayatkan dari asy-Sya’bi, dari Samurah, dan sebagian dari mereka memasukkan di antara keduanya Sam’an bin Masyan, sedangkan (hadits ini dengan jalur yang pertama) adalah shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim, sebagaimana dikatakan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi, dan dengan (jalur kedua) hukumnya shahih saja. Sedangkan, riwayat lainnya berasal dari dua musnad (Musnad ath-Thayalisi dan Musnad Ahmad). Tambahan pertama, kedua, ketiga, dan kelima milik al- Hakim. Tambahan kedua juga milik al-Baihaqi. Tambahan ketiga dan keempat ditemui pada riwayat Ahmad. Tambahan kelima juga berasal dari ath-Thayalisi. Dan tambahan keenam berasal dari riwayat ath-Thayalisi, Ahmad, dan Abu Dawud.” Al-Albani berkata: “Hadits ini memiliki penguat dari hadits Ibnu ‘Abbas '4';» yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (no. 156/2) dengan sanad dha’if. 530 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH oleh Rasulullah di tempat peletakkan jenazah, yaitu di Maqam Jibril. Se¬ lanjutnya kami memberitahu Rasulullah «§§ untuk menshalatinya. Beliau pun datang bersama kami (melangkah) beberapa langkah, lantas beliau bertanya: ‘Barangkali sahabat kalian ini masih memiliki utang?’ Mereka menjawab: ‘Ya, dua dinar.’ Maka beliau pun mundur. (Beliau J§§ bersabda: ‘Shalatilah jenazah sahabat kalian ini!’) Lalu salah seorang dari kami yang bernama Abu Qatadah berkata: ‘Wahai Rasulullah, dua dinar itu menjadi tanggunganku.’ Rasulullah pun bertanya: ‘Dua dinar itu menjadi tanggunganmu dan jenazah tersebut terlepas darinya?’ Ia menjawab: ‘Ya.’ Lalu beliau «H menshalatinya. Ketika Rasulullah s|§ bertemu Abu Qatadah, beliau bertanya (di dalam riwayat: kemudian beliau bertemu dengan Abu Qatadah pada keesokan harinya, lalu bertanya) ‘Apa yang telah diperbuat oleh dua dinar tersebut?’ (Ia menjawab: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia baru meninggal kemarin?’) Hingga pada akhirnya (di dalam riwayat lain: Kemudian beliau bertemu dengannya pada keesokan harinya, lalu ber¬ tanya, ‘Apa yang telah diperbuat oleh dua dinar tersebut?’) Ia menjawab: ‘Sungguh saya telah melunasinya, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda: ‘Sekarang kulitnya baru menjadi dingin 1159 .”’ 1160 11 ) Hadits Jabir , bahwa ayahnya terbunuh sebagai syahid pada Perang Uhud. Dia meninggalkan enam orang anak perempuan dan meninggal¬ kan tanggungan utang sebanyak (tiga puluh wasaq), (para pemberi utang secara gencar menuntut pembayaran hak-hak mereka). Tatkala waktu panen kurma tiba, aku mendatangi Rasulullah <|§, dan berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh engkau telah mengetahui bahwa ayahku telah terbunuh sebagai syahid pada Perang Uhud dan beliau meninggalkan tanggungan utang yang cukup banyak. Aku ingin jika para pemilik piutang itu mau melihatmu. Beliau memerintahkan: “Pergilah, lalu kumpulkanlah kurma-kurma tersebut (sesuai dengan jenisnya ed ).” Aku pun melaksanakan¬ nya. Kemudian, aku mengundang para pemilik piutang, (ketika pagi hari, beliau pergi bersama kami). Tatkala para penagih melihat Nabi, mereka pun menagihnya pada saat itu juga. Pada saat Rasulullah *§§ melihat apa yang telah dilakukan oleh mereka, beliau pun berkeliling di sekitar tempat penyimpanan kurma yang paling besar, sebanyak tiga kali (dan mendo’akan keberkahan pada buahnya), kemudian duduk di atasnya. Beliau s|§ berkata: “Panggillah orang-orang itu.” Maka, beliau masih terus menakar untuk 1159 HR. Al-Hakim (11/58) dan redaksi hadits ini miliknya, al-Baihaqi (VI/74-75), ath-Thayalisi (1673), Ahmad (111/330), dan al-Albani berkata: “Dengan sanad hasan sebagaimana dikatakan oleh al-Haitsami (III/39).” Sementara, al-Hakim berkata: “Shahih sanadnya.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Sedangkan riwayat lainnya beserta beberapa tambahannya, terdapat pada semua perawi, melainkan pada al-Hakim. Kecuali tambahan yang kedua, maka itu hanya milik ath-Thayalisi. 1160 Maksudnya, disebabkan oleh terangkatnya siksaan darinya setelah utangnya dilunasi. Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 531 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH mereka hingga Allah menunaikan amanat (utang) ayahku; 1161 dan demi Allah, aku ridha jika Allah menunaikan amanat ayahku meskipun aku kembali ke saudari-saudariku dengan tidak membawa sebutir kurma pun. Selanjutnya, aku pun menyerahkan semua tempat penyimpanan kurma hingga aku melihat tempat menumpuk kurma yang berada di dekat Rasulullah s||, nampak tidak ada satu kurma pun yang kurang. (Lalu aku menyelesaikan shalat Maghrib bersama Rasulullah). Setelah itu, kuceritakan hal itu kepada beliau hingga beliau pun tertawa, lalu beliau <|§ bersabda: “Temuilah Abu Bakr dan ‘Umar, dan beritahukanlah keduanya tentang hal itu.” Sesudah itu keduanya berkata: “Sungguh, kami telah mengetahui jika Rasulullah telah melakukan sesuatu, niscaya akan terjadi, seperti yang telah ia lakukan.” 1162 12 ) Hadits Jabir > dia berkata: “Rasulullah «H berdiri menyampaikan khutbah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan sanjungan yang patut bagi-Nya, lalu beliau bersabda: j) c aJ gpl» jj-aj t J A\jl oA-£J )) JS'j t-tlJl 'J?*-j s' / ' ^ ' S j. & * "fr''' s 0 & * ^ 0 z' ^ lil c(jL)l ^ JT3 AP-Aj JS'j) cAPJb 3-La cAw£P .CLilj J cal-LP 4 pLU! 3^i ji 4033 ^ S/u iiy ly* 4jJ-S"l1a3 (• J3^) :^'3j ^3) (—i) Ji (') L ’'3 ‘^13 ^ ‘Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya; dan barang siapa yang Dia sesatkan, maka tidak ada 1161 Maksudnya, wasiat ayahnya kepadanya agar melunasi beban utangnya. Lihat pembicaraan mengenai hal tersebut pada fasal pertama dari masalah keempat. n 62 pjR Al-Bukhari dan susunan hadits disertai oleh beberapa tambahan berasal darinya, Kitab “ash-Shulhu,” Bab “ash-Shulhu Bainal Ghuramaa’” (no. 2709). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan hadits yang serupa, Kitab “al-Washaayaa”, Bab “Maa Jaa-a fir Rajul Yamuutu wa ‘alaihi Dain wa Lahu Wafaa-un” (no. 2884), an-Nasa-i, Kitab “al-Washaayaa”, Bab “al-Washiyah bit s Tsuluts” (no. 3666), Ibnu Majah, Kitab “ash-Shadaqaat”, Bab “Adaa- ud Dain ‘anil Mayyit” (no. 2434), al-Baihaqi (VI/64), Ahmad (III/313, 365, 373, 391, 397) dengan panjang lebar dan dengan singkat. Al-Albani berkata: “Pada riwayat Ahmad terdapat banyak tambahan yang tidak aku sebutkan karena khawatir terlalu panjang.” 532 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk urusan adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, (dan setiap yang bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat itu di dalam Neraka). Ketika menceritakan tentang Kiamat, kedua mata beliau memerah, suara beliau lantang dan amarahnya memuncak, seakan-akan beliau adalah seorang komandan pasukan (yang berkata) ‘musuh akan menyerang kalian di waktu pagi dan petang. Barang siapa meninggalkan harta, hartanya untuk ahli warisnya; barang siapa meninggalkan keluarga yang miskin 1163 atau utang, itu akan menjadi tanggunganku dan urusanku; dan aku lebih utama daripada yang lain terhadap orang-orang Mukmin. (Dalam satu riwayat: terhadap setiap Mukmin daripada dirinya sendiri).” 1164 13) Hadits ‘Aisyah , dia berkata: “Rasulullah bersabda: lili C->Ui AjlJzi ^9 jJU clto ^y> JjL>- )) «•v, ‘Barang siapa dari ummatku yang memiliki tanggungan utang, kemudian dia berusaha keras untuk melunasinya, namun dia meninggal dunia dan belum sempat melunasinya, maka aku adalah walinya. 5 ” 1165 14) Di antara amal perbuatan yang dapat menyertai orang yang telah me¬ ninggal adalah amal shalih yang dilakukan oleh anak yang shalih. Kedua orang tuanya akan mendapatkan pahala yang sama dengan anaknya, tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun, karena anak tersebut merupakan hasil 1163 Al-Albani berkata: “Maksudnya adalah ‘iyaal (keluarga yang miskin).” Ibnul Atsir berkata: “Dan aslinya adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata dhaa'a, yadhiiu , dhiyaa’an , lalu dinamakan 'iyaal dengan bentuk mashdar sebagaimana yang engkau katakan: ^ artinya: “Barang siapa meninggal dunia dan meninggalkan kefakiran, maksudnya orang-orang fakir.” 1164 HR. Muslim, Kitab “al-Jum’ah,” Bab “Takhfiifush Shalaah wal Khuthbah” (no. 867), al- Baihaqi dalam as-Sunanul Kubraa (III/213-214) dan dalam al-Asmaa-u wash Shifaat (hlm. 82). Ahmad (III/296-310, 311, 338-371) dan susunan hadits ini miliknya. Abu Nu ’aim dalam kitab Hilyatul Auliyaa’ (III/189). Al-Albani berkata: “Tambahan pertama adalah milik Abu Nu’aim, an-Nasa-i dan al-Baihaqi, dan sanad an-Nasa-i dan al-Baihaqi adalah shahih menurut syarat Muslim. Tambahan kedua adalah milik Abu Nu’aim dan al-Baihaqi. Tambahan ketiga dan keempat adalah milik Ahmad. Dan tambahan kedua juga milik Muslim. 1165 HR. Ahmad (VI/74). Al-Albani berkata: “Dan sanadnya shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim.” Al-Muhdziri berkata (III/33): “Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad jayryid (hasan), Abu Ya’la dan ath-Thabrani dalam kitab ahMujam al-Ausath .” Hal yang serupa disebutkan dalam kitab Majma’uz Zawaa-id (IV/132), hanya saja al-Haitsami menyebutkan: “Dan para perawi Ahmad adalah para perawi hadits shahih.” Dan dalam kitab Fat-hul Baari (V/54) terdapat beberapa faedah penting seputar masalah ini. Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 533 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH dari usaha dan perbuatan kedua orang tuanya. Allah SU berfirman: {§S ^ cri o!5 ^ “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. ” (QS. An-Najm: 39) Rasulullah ^ bersabda: ^ aJijj 5)3 cvir ^ j^ji ^ 4^' 01 » ^ ^ Z' "'V X X "Sesungguhnya makanan yang paling baik yang dimakan oleh seorang laki-laki itu adalah yang berasal dari usahanya sendiri, dan sesungguhnya anaknya itu merupakan bagian dari usahanya.” 1166 15) Hadits ‘Aisyah , bahwa ada seorang laki-laki berkata: "Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak 1167 (sementara ia belum sempat berwasiat), dan aku beranggapan kuat bahwa seandainya beliau bisa berbicara, pastilah ia akan bersedekah. Karenanya, apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bersedekah untuknya (dan aku juga men¬ dapatkan pahala)?” Beliau menjawab: “Ya, (Maka bersedekahlah atas namanya).” 1168 1166 HR. Abu Dawud, Kitab “al-Buyuu’ wal Ijaaraat”, Bab “Fir Rajul Ya’kulu min Maali Waladihi” (no. 3528), at-Tirmidzi, Kitab “al-Ahkaam”, Bab “al-Waalid Ya’khudzu min Maal Waladih” (no. 1358), an-Nasa-i, Kitab “al-Buyuu’”, Bab “al-Hatsts ‘alal Kasbi” (no. 4454), Ibnu Majali, Kitab “at-Tijaaraat”, Bab “al-Hatsts ‘alal Makaasib” (no. 2137), al-Hakim (11/46), ath-Thayalisi (1580), dan Ahmad (VI/41,126,162,173,193,201, 202,220). Al-Hakim berkata: “Shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim.” Pendapatnya ini disetujui oleh adz-Dzahabi. Al-Albani berkata: “Pendapat ini keliru, ditinjau dari berbagai segi yang tidak memungkinkan untuk dijelaskan di sini. Namun, hadits ini memiliki hadits penguat yang berasal dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad (11/179, 204, 214) dengan sanad hasan.” 1167 Al-Albani berkata: “(uftulitat) Dengan di -dhammah huruf Ta (pertama) dan di -kasrah huruf L^m-nya, artinya sulibat , dengan tanpa menyebutkan pelakunya {faail- nya) yang artinya meninggal dunia secara mendadak. 1168 HR. Al-Bukhari, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Mautul Faj-ah al-Baghtah” (no. 1388), Muslim, Kitab “az-Zakaah”, Bab “Wushuul Tsawaabish Shadaqah ‘anil Mayyit ilaih” (no. 1004), Abu Dawud, Kitab “al-Washaayaa”, Bab “Maa Jaa-a fii Man Maata ‘an Ghairi Washiyah Yutashaddaq ‘anhu” (no. 2881), an-Nasa-i, Kitab “al-Washaayaa”, Bab “Idzaa Maata al- Faj-ata hal Yustahabbu li Ahlihi an Yatashaddaquu ‘anhu” (no. 3679), Ibnu Majah, Kitab “al-Washaayaa”, Bab “ad-Dain qablal Washiyah” (no. 2717), al-Baihaqi (IV/62, VI/277-278), dan Ahmad (VI/51). Al-Albani berkata: “Susunan hadits di atas adalah milik al-Bukhari pada salah satu dari kedua riwayatnya dan tambahan terakhir juga miliknya pada riwayat yang lainnya dan 534 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazat ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH 16) Hadits Ibnu ‘ Abbas , bahwa sesungguhnya Ibunda Sa’ad bin ‘Ubadah— dari Bani Sa’idah—telah meninggal dunia ketika ia sedang tidak di tempat, lalu ia bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan ketika itu aku tidak ada di tempat, maka apakah akan bermanfaat baginya jika aku bersedekah dengan sesuatu atas namanya?” Beliau men¬ jawab: “Ya.” Sa’ad berkata: “Sesungguhnya aku menjadikan engkau sebagai saksi bahwa kebun al-Mikhraaf m (yang telah ada buahnya) sebagai sedekah atas namanya.” 1170 17) Hadits Sa’ad bin ‘Ubadah, dia berkata: “Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah aku boleh bersedekah atas namanya?”’ Beliau menjawab: “Ya.” “Lalu, sedekah apakah yang paling utama?” Tanyaku. Beliau menjawab: “Memberikan air minum.” Maka, itulah tempat penampungan air buatan Sa’ad yang ada di Madinah. 1171 18) Hadits Abu Hurairah , bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi 3 §§: “Sesungguhnya ayahku telah meninggal dunia dan meninggalkan harta, namun beliau tidak berwasiat. Maka, apakah dapat melebur dosanya jika aku bersedekah atas namanya?” Beliau menjawab: “Ya.” 1172 19) Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwa al-’Ash bin Wa-il as-Sahmi telah berwasiat agar seratus orang budak dimerdekakan atas namanya. Maka, puteranya, Hisyam, memerdekakan lima puluh orang budak; dan putera- nya yang lain, ‘Amr, berkeinginan memerdekakan lima puluh orang budak sisanya atas nama ayahnya, lalu dia berkata: “Biar aku tanyakan hal itu kepada Rasulullah.” Ia pun mendatangi Nabi dan bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah berwasiat agar seratus orang budak dimerdekakan atas namanya; sementara Hisyam telah memerdekakan lima puluh orang budak atas namanya dan masih tersisa lima puluh orang budak juga milik Ibnu Majali. Tambahan kedua milik al-Bukhari, sedangkan tambahan pertama milik Muslim.” 1169 Maksudnya, yang telah berbuah. Dinamakan demikian karena buahnya sudah waktunya untuk dipetik. 1170 HR. Al-Bukhari, Kitab “al-Washaayaa”, Bab “Idzaa Qaala: Ardhii au Bustaanii Shadaqatun lillah ‘an Ummii...” (no. 2756), Abu Dawud, Kitab “al-Washaayaa”, Bab “Maa Jaa-a fii Man Maata ‘an Ghairi Washiyah Yutashaddaq ‘anhu” (no. 2882), an-Nasa-i, Kitab “al-Washaayaa”, Bab “Fadhlush Shadaqah ‘alal Mayyit” (no. 3685), at-Tirmidzi, Kitab “az-Zakaah”, Bab “ash- Shadaqah ‘alal Mayyit” (no. 669), al-Baihaqi (VI/278), dan Ahmad (3080, 3505, 3508) dan susunan hadits ini miliknya. 1171 HR. An-Nasa-i, Kitab “al-Washaayaa”, Bab “Dzikrul Ikhtilaaf ‘alaa Sufyaan” (no. 3663 dan 3664), Abu Dawud, Kitab “az-Zakaah”, Bab “Fii Fadhli Saqyil Maa-i” (no. 1681), Ibnu Majah, Kitab “al-Adab”, Bab “Shadaqatul Maa-i” (no. 3684). Dihasankan oleh al-Aib ani dalam kitab Shahiihun Nasa-i (11/560-561) dan hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad (V/285). 1172 HR. Muslim, Kitab “al-Washiyah”, Bab “Wushuul Tsawaabish Shadaqaat ilal Mayyit” (no. 1630), an-Nasa-i, Kitab “al-Washaayaa”, Bab “Fadhlush Shadaqah ‘alal Mayyit” (no. 3650). Al-Baihaqi (VI/278), Ahmad (11/371). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 535 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH lagi. Apakah aku boleh memerdekakannya atas namanya?” Rasulullah menjawab: > 0 ' 0^0 ^ ^ o f ^ O ^ 0 1 0 > f o'? 'fi aAJj 4JLP jl C4JLP jl j 15 Jj 4j| ^ A*j2j 4JLP C^JLygJj JJu>- jlJb ^S1 0^ Jj ^j) C^JJi y y y ^ - x ■"' ((.dUi “Sesungguhnya, seandainya dia itu seorang Muslim, lalu kalian memerdeka¬ kan budak atau bersedekah atas namanya, atau kalian menunaikan ibadah haji atas namanya, niscaya pahalanya akan sampai kepadanya.” (Dan dalam satu riwayat disebutkan:) “Seandainya dia menyatakan ketauhidannya, lalu engkau berpuasa dan bersedekah atas namanya, niscaya hal itu akan bermanfaat baginya. ” 1173 20) Hadits asy-Syirrid bin Suwaid ats-Tsaqafi, dia bercerita: “Aku pernah men¬ datangi Rasulullah *§|, lalu aku mengungkapkan: ‘Sesungguhnya ibuku telah berwasiat agar seorang budak dimerdekakan atas namanya, sementara aku memiliki seorang budak perempuan yang berasal dari daerah Nuubiy (keturunan Sudan). Apakah aku akan dibalas jika aku memerdekakannya atas namanya?’ ‘Bawalah budak perempuan itu kepadaku,’ perintah beliau. Aku pun membawanya kepada beliau, lalu Nabi bertanya kepadanya: ‘Siapakah Tuhanmu?’ Ia menjawab: ‘Allah.’ Beliau kembali bertanya: ‘Siapa aku ini?’ ‘Engkau adalah utusan Allah,’ jawabnya. Beliau pun me¬ merintahkan: “Merdekakanlah ia, karena ia seorang Mukminah (orang yang beriman).”’ 1174 21) Hadits Ibnu ‘Abbas , bahwa ada seorang perempuan dari Bani Khats’am bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban yang Allah bebankan kepada hamba-hamba-Nya dalam ibadah haji telah men¬ jadi kewajiban ayahku, ia telah tua renta dan tidak mampu duduk di atas kendaraan. Maka, apakah aku berhaji atas namanya?” Beliau menjawab: “Ya.” Hal itu terjadi pada peristiwa Haji Wada’. Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Maka, berhajilah atas namanya.” 1175 1173 HR. Abu Dawud, Kitab “al-Washaayaa”, Bab “Maa Jaa-a fii Washiyyatil Harbii Yuslimu Waliyyuhu a Yalzamuhu an Yunaffidzahaa” (no. 2883), dan al-Baihaqi (VI/279). Al-Albani berkata: “Susunan hadits ini milik al-Baihaqi.” Ahmad (no. 6704), dan riwayat lainnya juga milik al-Baihaqi dan sanad mereka semua adalah hasan. 1174 HR. An-Nasa-i, Kitab “al-Washaayaa”, Bab “Fadhlush Shadaqah ‘alal Mayyit” (no. 3651). Dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Silsilatul Ahaadiits asb-Shahiihah (no. 3161). 1175 Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, Kitab “Jazaa-ush Shaid”, Bab “al-Hajj ‘an Man Laa Yastathii’uts Tsubuut ‘alar Raahilah” (no. 1854) dan Muslim, Kitab “al-Hajj”, Bab “al-Hajj ‘anil ‘Aajiz li Zamaanihi wa Haramin wa Nahwihimaa au lil Maut” (no. 1334). 536 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH 22) Hadits Abu Razin, bahwa dia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguh¬ nya ayahku adalah seorang yang telah tua renta yang tidak mampu me¬ lakukan ibadah haji dan umrah, bahkan tidak dapat bepergian.” Beliau «H bersabda: “Maka, berhajilah atas nama ayahmu dan juga berumrahlah.” 1176 23) Hadits Ibnu ‘ Abbas , dia berkata: “Ada seorang perempuan menyuruh Sinan bin ‘ Abdillah al-Juhani agar menanyakan kepada Rasulullah jjj| tentang ibunya yang telah meninggal dunia, namun belum sempat me¬ lakukan ibadah haji. Maka, apakah akan dibalas jika dia melakukan ibadah haji atas nama ibunya tersebut? Beliau *§§ menjawab: : Jli ((?1$1 p t SyA 01^1 4 L 2 Is d\k ‘Ji c pJu )) ((.I^-aI )) :Jli cjJ-w “Ya, seandainya ibunya itu memiliki tanggungan utang lalu dia melunasi¬ nya, apakah hal itu cukup bagi ibunya?” Sinan menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Maka, hendaklah perempuan itu melakukan ibadah haji atas nama ibunya.” 1177 24) Hadits Ibnu ‘Abbas , bahwa ada seorang perempuan mendatangi Nabi jl§, lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku telah bernazar akan menunaikan ibadah haji, namun beliau meninggal dunia sebelum menunaikannya. Maka, apakah aku dapat berhaji atas namanya?” Beliau s|| menjawab: iuf J i* bk •) c£j \j a# » “Ya, lakukanlah ibadah haji atas namanya. Bagaimana menurutmu se¬ andainya ibumu memiliki tanggungan utang, apakah engkau akan melunasi- 1176 HR. Abu Dawud, Kitab “al-Manaasik,” Bab “ar-Rajul Yahujju ‘an Ghairih” (no. 1810), at- Tirmidzi, Kitab “al-Hajj”, Bab “al-Hajj ‘anisy Syaikhil Kabiir” (no. 930), an-Nasa-i, Kitab “al-Hajj”, Bab “al-‘Umrah ‘anir Rajul al-Ladzii Laa Yastathii’u” (no. 3638), Ibnu Majali, Kitab “al-Manaasik,” Bab “al-Hajj ‘anil Hayyi Idzaa Lam Yastathi’” (no. 2906). Lihat: Shahiibun Nasa-i (11/556), Sbahiib Abu Dawud (1/341), Sbahiih Ibnu Majah (11/152), dan Sbahiihut Tirmidzi (1/275). 1177 HR. Ahmad (1/217,244,279). An-Nasa-i, Kitab “Manaasikul Hajj,” Bab “al-Hajj ‘anil Mayyit al-Ladzii lam Yahujja” (no. 2631). Ibnu Khuzaimah (no. 3034 dan 3035). Dihasankan oleh al-Albani dalam Shahiibun Nasa-i (11/559). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 537 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH nya?” Dia menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Lunasilah (hak) Allah, karena (hak) Allah itu lebih berhak untuk dipenuhi.” 1178 Dalam satu riwayat disebutkan: jp-l aAJI aAJ' 1 j./? e'i )) “Maka lunasilah (hak) Allah yang menjadi milik-Nya, karena sesungguh¬ nya (hak) Allah itu lebih berhak untuk dipenuhi.” 1179 Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa ada seorang laki-laki berkata: “Sesungguhnya saudara perempuanku telah bernazar akan melakukan ibadah haji, namun dia telah meninggal dunia.” Lalu Nabi «H bersabda: S ^ \ 8 z' Jp-i Ali' )) “Maka, lunasilah (hak) Allah, karena Dia (hak-Nya) lebih berhak untuk dilunasi.” 1180 25) Hadits Ibnu ‘ Abbas , bahwa Rasulullah «H pernah mendengar seorang laki-laki mengucapkan: “Labbaik ‘an Syubrumah (Aku penuhi panggilan-Mu atas nama Syubrumah).” Rasulullah bertanya: “Siapakah Syubrumah itu?” Dia menjawab: “Saudaraku (atau kerabatku).” Beliau bertanya: “Apakah engkau telah melakukan ibadah haji untuk dirimu sendiri?” Dia menjawab: “Belum.” “Lakukanlah ibadah haji untuk dirimu sendiri, kemudian untuk Syubrumah.” Perintah beliau. 1181 26) Hadits ‘ Aisyah dan Abu Hurairah , bahwa bila hendak berkurban, maka Rasulullah j|§ membeli dua ekor kambing kibas yang besar dan gemuk, yang bertanduk, warna putihnya lebih mendominasi dari warna hitam, dan yang dikebiri (agar menjadi gemuk, pen ). Lalu beliau menyembelih salah satunya atas nama ummat beliau, yaitu bagi siapa saja yang mempersaksikan ketauhidan Allah serta mempersaksikan penyampaian risalah beliau; dan beliau menyembelih yang lainnya atas nama Muhammad serta keluarga Muhammad Ig.” 1182 * 1178 HR. Al-Bukhari, Kitab “Jazaa-ush Shaid,” Bab “al-Hajj wan Nudzuur ‘anil Mayyit” (no. 1852). 1179 HR. Al-Bukhari, Kitab “al-Ttishaam,” Bab “Man Syabbaha Ashlan Ma’luuman bi Ashlin Mubayyan qad Bayyanallaahu Hukmahumaa li Yafhama as-Saa-il” (no. 7315). 1180 HR. Al-Bukhari, Kitab “al-Aimaan wan Nudzuur,” Bab “Man Maata wa ‘alaih Nadzrun” (no. 6699). 1181 HR. Abu Dawud, Kitab “al-Manaasik”, Bab “ar-Rajul Yahujju ‘an Ghairih” (no. 1811). Ibnu Majah, Kitab “al-Hajj”, Bab “al-Hajj ‘anil Mayyit” (no. 2903). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih Abu Dawud (1/341) dan kitab Irwaa-ul Ghaliil (IV/171). 1182 Ibnu Majah, Kitab “al-Adhaahii”, Bab “Adhaahii Rasulillah j®” (no. 3122). Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahiih Ibnu Majah (III/81). 538 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH 27) Hadits Abu Rafi’ > dia berkata: “Rasulullah j|§ berkurban dengan dua ekor kambing kibas yang warna putihnya lebih mendominasi daripada warna hitamnya, dan yang dikebiri.” Abu Rafi’ melanjutkan: ‘Salah satu¬ nya untuk siapa saja yang mempersaksikan ketauhidan dan penyampaian risalah beliau, dan kurban yang lainnya atas nama beliau dan keluarganya.’ ‘Jadi, Rasulullah telah mencukupi kami’. Tambahnya.” Disebutkan dalam salah satu riwayat Ahmad, bahwa ketika berkurban, Rasulullah membeli dua ekor kambing kibas yang gemuk, dan bertanduk, yang warna putihnya lebih mendominasi daripada warna hitamnya. Setelah shalat dan selesai khutbah dihadapan para jamaah, maka dibawakanlah salah satu dari keduanya, sementara beliau sendiri masih berdiri di tempat shalatnya. Lalu, beliau menyembelihnya sendiri dengan sebuah pisau besar, kemudian bersabda: 0 ^ ^ j „ ( s J, x ‘Ya Allah, sesungguhnya ini atas nama ummatku semua yang terdiri dari orang-orang yang bersaksi untuk-Mu atas keesaan-Mu dan untukku atas penyampaian risalahku.’ Setelah itu, dibawakan kambing yang lainnya, lalu beliau menyembelihnya sendiri dan bersabda: JT J U-* )) ‘Ini atas nama Muhammad dan keluarga Muhammad.’ Selanjutnya, beliau memberi makan dari daging kurban tersebut untuk orang-orang miskin dan beliau beserta keluarganya juga makan dari keduanya. Lalu, kami menetap selama bertahun-tahun dan tidak ada seorang pun dari Bani Hasyim yang berkurban. Allah telah mencukupi kesulitan (untuk berkurban) dan utang (mereka-) dengan Rasulullah.” 1183 Imam Ibnu Qudamah berkata: “Ibadah apa pun yang telah dilakukan¬ nya dan diniatkan pahalanya untuk jenazah Muslim, insya Allah hal itu akan bermanfaat baginya. Sedangkan, do’a, permohonan ampunan, sedekah, dan penunaian kewajiban-kewajiban, maka aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di dalamnya, jika kewajiban-kewajiban itu merupakan hal yang boleh digantikan dalam pelaksanaannya. 1183 Ahmad dalam al-Musnad, (VI/8, VI/391). Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil (no. 1147). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Allah @§ berfirman: \y^\e. (JiAU (3 V3 ^ JjJI / ^ ,/ ^ tf ' W *. >✓ ift s \ Cp fg~J ^JO Ljj “D^n orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a: 'Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau mem¬ biarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orangyang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hasyr: 10) Allah ®S berfirman: y*Y\' } •$) Sjj H JSf j&U > “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah (YangHaq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu ber¬ usaha dan tempat tinggalmu. ” (QS. Muhammad: 19) Nabi i|§ pernah mendo’akan Abu Salamah 4*s ketika dia meninggal dunia" 84 dan beliau mendo’akan jenazah yang telah beliau shalati, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ‘Auf bin Malik," 85 dan bagi setiap jenazah yang pernah beliau shalati serta bagi pemilik dua gantungan pedang ketika ia di- kebumikan." 86 Dan Allah telah mensyari’atkan hal tersebut terhadap setiap orang yang menshalati jenazah. Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Nabi j|§, dia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah bermanfaat baginya jika aku bersedekah atas namanya?” Beliau menjawab: “Ya.” (HR. Abu Dawud)." 87 Hal itu diriwayatkan pula dari Sa’ad bin ‘Ubadah. 1188 1184 Muslim (no. 920). Takhrij-nyz telah disebutkan pada pembahasan mengenai perihal me¬ mejamkan mata jenazah. 1185 Muslim (no. 963). Takhrij-nyz telah disebutkan pada pembahasan mengenai do’a bagi jenazah dalam masalah menshalati jenazah. 1186 Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (III/ 521). 1187 HR. Al-Bukhari, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Mautul Faj-ah al-Baghtah” (no. 1388) dan Muslim, Kitab “az-Zakaah”, Bab “Wushuul Tsawaabish Shadaqah ‘anil Mayyit ilaihi” (no. 1004). 1188 HR. Al-Bukhari (no. 2756) dan Abu Dawud (no. 2882). Takhrij-nyu telah disebutkan. Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH Diriwayatkan pula, bahwa ada seorang perempuan mendatangi Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban yang Allah bebankan kepada hamba-hamba-Nya dalam ibadah haji telah menjadi kewajiban ayahku, ia telah tua renta dan tidak mampu duduk di atas kendaraan. Maka, apakah aku berhaji atas namanya?” Beliau menjawab: “Bagaimana menurutmu, seandainya ayahmu memiliki tanggungan utang, apakah engkau akan melunasinya?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Maka, utang Allah itu lebih berhak untuk dilunasi.” 1189 Beliau pernah menjawab orang yang bertanya kepada beliau: “Sesungguh¬ nya ibuku telah meninggal dunia, sementara ia masih memiliki tanggungan puasa selama satu bulan, maka apakah aku boleh membayar puasanya?” Beliau menjawab: “Ya.” 1190 Hadits-hadits ini adalah shahih, dan di dalamnya terdapat petunjuk bahwa semua bentuk ibadah bermanfaat bagi orang yang telah me¬ ninggal, karena puasa, haji, do’a, dan istighfar adalah ibadah-ibadah badaniyah dan Allah menyampaikan pahalanya kepada orang yang telah meninggal tersebut. Maka, demikian pula halnya dengan ibadah lainnya. Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah berkata kepada ‘Amr bin al-’Ash: “Seandainya ayahmu itu seorang Muslim, lalu kalian memerdekakan budak atau bersedekah atas namanya, atau kalian menunaikan ibadah haji atas namanya, hal itu akan sampai kepadanya.” 1191 Dan ini bersifat umum, meliputi haji sunnah serta ibadah lainnya, dan karena itu adalah amal kebaikan dan ketaatan, maka manfaat dan pahalanya akan sampai, seperti sedekah, puasa, dan haji wajib ...” 1192 Kemudian, Imam Ibnu Qudamah menyanggah orang yang berpendapat: “Tidak ada yang sampai kepada orang yang meninggal kecuali ibadah wajib, sedekah, do’a, dan istighfar.” Ia menjelaskan bahwa kaum Muslimin telah meng¬ hadiahkan pahala kepada orang-orang yang telah meninggal di antara mereka tanpa ada yang mengingkarinya. Dan karena terdapat hadits shahih dari Nabi H|: “Sesungguhnya jenazah disiksa lantaran tangisan keluarganya atasnya.” 1193 Allah Mahamulia dari hanya menyampaikan hukuman kemaksiatan kepada jenazah, namun menghalangi pahala darinya; dan karena Allah yang menyampaikan 1189 HR. Al-Bukhari (no. 1854) dan Muslim (no. 1334). Takhrij-nya telah disebutkan. 1190 HR. Al-Bukhari, Kitab “ash-Shaum”, Bab “Man Maata wa ‘alaih Shaum” (no. 1953) dan Muslim, Kitab “ash-Shiyaam”, Bab “Qadhaa-ush Shiyaam ‘anil Mayyit” (no. 1148). 1191 HR. Abu Dawud, Kitab “al-Washaayaa”, Bab “Maa Jaa-a fii Washiyyatil Harbii, Yuslimu Waliyyuhu, a Yalzamahu an Yunfidzahaa” (no. 2883). Dihasankan oleh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits asb-Shabiihah (no. 3161). 1192 Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (III/521-522). Lihat asy-Syarhul Kabiir (VI/257-265) dan al-Kaafi (11/82). 1193 Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari (no. 1304) dan Muslim (no. 924). Takhrij-nya telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Fadbaa-ilush Shabri ‘alaa Ibtisaabil Mushiibab. Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 541 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-CJUR-AN DAN AS-SUNNAH pahala yang telah mereka serahkan itu, Maha Kuasa untuk menyampaikan pahala yang tidak mereka hadiahkan; dan ayat ini khusus untuk apa yang telah mereka hadiahkan: (JjJ (j^ ^ ^ “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. ” (QS. An-Najm: 39) Kami tidak berselisih pendapat mengenai maknanya, sehingga kami meng¬ analogikannya atasnya.” 1194 Imam Ibnu Qudamah melanjutkan: “Tidak ada hujjah bagi mereka mengenai hadits yang telah mereka jadikan sebagai hujjah, yaitu hadits yang berbunyi: ‘Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal per¬ buatannya kecuali tiga karena hadits ini hanyalah menunjukkan tentang terputusnya amal perbuatannya, dan hal ini (hadiah pahala untuk orang yang telah meninggal^) bukanlah amalan perbuatannya, sehingga tidak ada yang menunjukkan tentang hal tersebut di dalamnya ...” 1195 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Yang benar adalah bahwa semua ibadah badaniyah, seperti shalat, puasa, dan bacaan al-Qur-an bermanfaat bagi orang yang meninggal; sebagaimana ibadah-ibadah maaliyah (harta), seperti sedekah, memerdekakan budak, dan semacamnya juga bermanfaat bagi orang yang telah meninggal, berdasarkan kesepakatan para imam ....” 1196 Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa roh orang-orang yang telah meninggal dunia dapat mengambil manfaat dari perbuatan orang-orang yang masih hidup, karena dua hal: a) Amal perbuatan yang disebabkan oleh orang yang telah meninggal ketika semasa hidupnya. b) Do’a kaum Muslimin untuknya, permohonan ampunan mereka, sedekah, dan haji. Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai ibadah-ibadah badaniyah, seperti puasa, shalat, membaca al-Qur-an, dan dzikir. Imam Ahmad dan mayoritas ulama Salaf berpendapat bahwa hal itu sampai (kepada orang yang telah meninggal). Ini juga merupakan pendapat sebagian murid Abu Hanifah. Kemudian, Imam Ibnul Qayyim berkata: “Dalil bahwa orang yang telah meninggal dapat mengambil manfaat dari selain amalan yang jenazah memiliki andil di dalamnya berasal dari al-Qur-an, sunnah, ijma’ dan 1194 Al-Mughni (III/522) dengan saduran. 1195 Al-Mughni (III/521-522). Lihat pula: asy-SyarhulKabiir (VI/257-265) dan al-Kaafii (11/82). 1196 Al-Ikhtiyaaraatul ‘Ilmiyyah minal Ikhtiyaaraat al-Fiqhiyyah (hlm. 137). 542 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH kaedah-kaedah dasar syari’at.” 1197 Kemudian, Imam Ibnul Qayyim menyebutkan beberapa dalil perihal sampainya pahala do’a, sedekah, puasa, dan haji, bagi jenazah; dan dia menyanggah orang-orang yang menyalahi hal tersebut. Selanjutnya, dia berkata: “Nash-nash ini saling mendukung atas sampainya pahala amal-amal yang dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal, jika orang yang masih hidup melakukannya atas namanya, dan ini adalah qiyas murni. Yaitu, karena pahala itu adalah hak bagi orang yang beramal, maka jika dia menghib ahkann ya kepada saudaranya yang Muslim, hal itu tidaklah mengapa, sebagaimana seseorang di¬ perbolehkan untuk menghibahkan hartanya semasa hidupnya dan pembebasan kepemilikan harta baginya setelah kematiannya.” 1198 Dinukil di dalam kitab ar-RaudhulMurbi’: “Ibadah apa pun, seperti do’a, permohonan ampunan, shalat, puasa, haji, bacaan al-Qur-an, dan lainnya, yang dilakukan oleh seorang Muslim dan dia meniatkan pahalanya untuk seorang Muslim yang telah meninggal atau orang yang masih hidup, maka hal itu bermanfaat baginya. 1199 ” 1200 Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Akan tetapi dengan syarat orang yang digantikan ibadah hajinya (yaitu: yang masih hidup) itu lemah dan tidak memiliki kemampuan yang diperkirakan tidak akan pulih.” 1201 Beliau juga menambahkan: “Ada empat macam ibadah yang dapat sampai kepada orang yang telah meninggal berdasarkan ijma’, yaitu: a) Do’a. b) Ibadah wajib yang pelaksanaannya dapat digantikan. c) Sedekah. d) Memerdekakan budak. Selain hal di atas, masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa orang yang telah meninggal tidak dapat mengambil manfaat dari pahala amal-amal shalih, jika di¬ hadiahkan kepadanya, selain dari keempat hal di atas. Namun, yang benar adalah bahwa orang yang telah meninggal dapat mengambil manfaat dari setiap amal shalih yang diperuntukkan baginya, jika jenazah itu adalah seorang Mukmin 1197 Ar-Ruuh karya Ibnul Qayyim (II/435-500) dan lihat pula komentar Ibnul Qayyim dalam kitab Tahdziibus Sunan (III/279-282). 1198 Ar-Ruuh karya Ibnul Qayyim (11/450). 1199 Ar-Raudhul Murbi’ ma’a Haasyiyah ‘Abdirrahman al-Qaasim (11/138). 1200 Dalam Haasyiyah ar-Raudhul Murbi", Ibnu Qasim menukil pendapat Ibnul Qayyim bahwa semua itu dapat sampai. {Haasyiyah Ibn Qaasim [II/139]). 1201 Asy-Syarhul Mumti’ (V/466). 1202 Majmuu’Rasaa-il Ibnu 'Utsaimin (XVII/255). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH Lebih lanjut, Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan: "Sedangkan, firman-Nya: © ^ o'j ¥ “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. ” (QS. An-Najm: 39) Maksudnya,— wallaahu a’lam —adalah bahwa seorang manusia tidak berhak atas usaha orang lain sedikit pun, sebagaimana dia tidak menanggung dosa orang lain sedikit pun. Dan bukanlah yang dimaksud, yaitu bahwa pahala amal orang lain tidak sampai kepadanya, karena ada banyak nash yang menjelaskan tentang sampainya pahala amal seseorang kepada orang lainnya dan dia dapat mengambil manfaat darinya jika orang tersebut meniatkannya.” 1203 Kemudian, al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan beberapa dalil yang menunjukkan sampainya pahala do’a, sedekah, puasa, haji, dan kurban bagi orang yang telah meninggal. Lalu, beliau menyanggah pendapat yang mengkhususkan hal tersebut hanya bagi anak kandung. Beliau menjelaskan bahwa terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya melakukan ibadah haji atas diri orang lain sekali pun bukan dari anak kandung, yaitu bahwa Nabi pernah mendengar seorang laki-laki mengucapkan: “Lahhaik ‘an Syubrumah (Aku penuhi panggilan-Mu atas nama Syubrumah).” Nabi bertanya: “Siapakah Syubrumah itu?” Dia men¬ jawab: “Saudaraku (atau kerabatku).” Beliau bertanya: “Apakah engkau telah melakukan ibadah haji untuk dirimu sendiri?” Dia menjawab: “Belum.” Beliau bersabda: “Lakukanlah ibadah haji untuk dirimu sendiri, kemudian untuk Syubrumah. 1204 ” 1205 Lebih lanjut, Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan bahwa boleh melakukan ibadah haji atas nama orang yang telah meninggal, baik yang wajib maupun yang sunnah, berdasarkan hadits ini. Karena, Nabi tidak meminta penjelasan rinci kepada laki-laki tersebut mengenai ibadah hajinya atas nama Syubrumah, apakah haji sunnah atau haji wajib? Dan, apakah Syubrumah itu masih hidup atau sudah meninggal dunia? Para ulama berkata: “Jika boleh melakukan ibadah haji wajib atas nama orang yang telah meninggal, berdasarkan nash yang shahih dan jelas, maka (tentu) tidak ada halangan untuk melakukan haji sunnah.” 1206 Guru kami, Imam bin Baz menyebutkan bahwa sedekah, do’a, per¬ mohonan ampunan, haji, umrah, dan pelunasan utang, dapat sampai kepada orang 1203 Majmuu’Rasaa-il Ibnu ‘Utsaimin (XVII/255-256). 1204 Abu Dawud (no. 1811). Ibnu Majah (no. 2903). Takhrij-nyz. telah disebutkan. 1205 Majmuu’Rasaa-il Ibnu ‘Utsaimin (XVII/256-266). 1206 Ibid. (XVII/274-275) dan lihat pembahasan bermanfaat mengenai hal tersebut pada (XVII/ 222-280). 544 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah yang telah meninggal. 1207 Imam bin Baz lebih mengedepankan pendapat bahwa amal perbuatan yang pahalanya sampai kepada jenazah, yang telah disebutkan oleh nash, terbatas pada pahala, karena ibadah-ibadah itu sifatnya tauqifi (harus berdasarkan dalil, pen ) yang ia tidak boleh dilakukan kecuali berdasarkan petunjuk (dalil-dalil) dari syari’at. 1208 Imam bin Baz juga menjelaskan bahwa sedekah bermanfaat bagi orang yang masih hidup dan orang yang sudah meninggal dunia. Demikian juga do’a, haji, dan umrah. Namun, bolehnya melakukan haji dan umrah atas nama orang yang masih hidup, jika dia memang benar-benar tidak memiliki kemampuan. Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Syaikh bin Baz, berkata: “Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat meng¬ ambil manfaat (pahala) dari ibadah-ibadah seperti sedekah, haji, puasa, do’a, dan lainnya. Semua ini dapat diambil manfaatnya oleh seorang Muslim. Sedangkan, bagi non-Muslim, maka tidak boleh berdo’a untuknya serta bersedekah atas namanya. Dan yang lebih mendekati kebenaran —wallaahu alam— yaitu mem¬ baca al-Qur-an dan shalat atas nama orang yang telah meninggal hal itu tidak boleh dilakukan, karena ibadah-ibadah itu sifatnya tauqifi. Sesungguhnya yang boleh dilakukan (dalam masalah ini) hanyalah terbatas pada apa yang telah Allah syari’atkan, seperti do’a, haji, umrah, sedekah, puasa, dan lainnya.” 1209 Pendapat yang disampaikan oleh guru kami, Syaikh bin Baz adalah pen¬ dapat yang lebih rajih (utama) dan bahwa ibadah-ibadah itu sifatnya tauqifi. Dalil-dalil telah menjelaskan mengenai penghadiahan pahala ibadah terdapat pada masalah: • Do’a • Haji, yang wajib dan yang sunnah. • Umrah, yang wajib dan yang sunnah. • Sedekah secara umum. • Puasa wajib. • Memerdekakan budak. • Dan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggungan orang yang meninggal, seperti nazar, kaffarat, dan ibadah-ibadah lainnya yang telah dijelaskan oleh nash. Wallaahu a’lam. 1210 1207 Majmuu’ulFataawaa karya Syaikh bin Baz (XIII/249-250, 260). 1208 Majmuu’ul Fataawaa (XIII/258) dan beliau juga menjelaskan bahwa yang lebih utama ada¬ lah agar tidak menghadiahkan thawaf (XIII/258), pahala bacaan al-Qur-an (XIII/259, 266), dan pahala shalat Sunnah dan shalat fardhu (XIII/259, 260, 261), kecuali shalat Sunnah dua rakaat sesudah thawaf bagi orang yang melakukan ibadah haji atau umrah atas nama orang lain, karena hal itu mengikuti thawaf (XIII/260). 1209 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Muntaqal Akhbaar, hadits-hadits (no. 1921-1925). 1210 Lihat: Fataawaa Syaikhil Islam Ibn Taimiyah (XXIV/306-325). Ar-Ruuh karya Ibnul Qayyim Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR“AN DAN AS-SUNNAH DUA PULUH DUA: ZIARAH KUBUR Ada beberapa perkara yang perlu diperhatikan dalam ziarah kubur, yaitu: 1. Ziarah kubur disyari’atkan bagi kaum laki-laki Berdasarkan hadits Buraidah «g*» > dia berkata: “Rasulullah bersabda: Ojti j J )) ‘Dahulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah ke kubur.”’ At-Tirmidzi menambahkan: ((•*>r^' ^)) ‘Karena hal itu dapat mengingatkan kalian kepada akhirat.’ Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan: ((.5^5 Jj \ 4 jjbj J jU )) ‘Karena sesungguhnya pada ziarah kubur itu terdapat peringatan.’ Dan lafazh an-Nasa-i menyebutkan: \^}yj S/j Jjj- dr-* )) ‘Aku telah melarang kalian melakukan ziarah kubur. (Sekarang) siapa saja yang ingin berziarah, maka hendaklah dia berziarah dan janganlah kalian berkata dengan perkataan keji dan bathil.’” 1211 (11/435-500). Tahdziibus Sunan karya Ibnul Qayyim (III/79-282). Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (111/521-522). Asy-Syarhul Kabiiry ang dicetak bersama kitab al-Muqni y dan kitab al-Inshaaf (VI/257-265). Al-Kaafii (11/82). Nailul Autbaar karya asy-Syaukani (11/782-786). Al-Ikhtiyaaraatul Fiqhiyyah karya Ibnu Taimiyah (hlm. 137). Ar-RaudhulMurbi yang dicetak bersama kitab Haasyiyah Abdirrabman al-Qaasim (II/138-140), di dalamnya terdapat nukilan komentar yang bermanfaat dari Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Majmuu Fataawaa Ibnu Baz (XIII/249-284). Majmuu Rasaa-il Ibnu ( Utsaimin (XVII/239-276). Fataawaa al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts al-Flmiyyah (IX/15-69). Asy-Syarhul Mumti karya Ibnu ‘Utsaimin (V/464-470). Ahkaamul Janaa-iz karya al-Albani (hlm. 212-226). 1211 Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Isti’dzaanun Nabi Rabbahu fii Ziyaarati Qabri Ummihi” (no. 977), at-Tirmidzi, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fir Rukhshah fii Ziyaaratil 546 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri > dia berkata: “Rasulullah 5f| bersabda: u rj-Js S ij) oii y ^ J » ‘ Sesungguhnya aku telah melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah, karena sesungguhnya di dalamnya terdapat ‘ibrah (pelajaran) (dan janganlah kalian mengatakan sesuatu yang membuat Rabb murka).’” 1212 Diriwayatkan dari Anas , dia berkata: “Rasulullah *|§ bersabda: o J* ""o J {..jjj dilii i j v! cjySi ^ ,^5 iir » ((.iyLA y S/ 3y .L, ‘Dahulu aku telah melarang kalian melakukan ziarah kubur. (Sekarang) berziarahlah kalian ke kubur, karena hal itu dapat melunakkan hati, membuat mata meneteskan air mata, dan mengingatkan kepada akhirat, serta janganlah kalian berkata hujran ]2li (dengan perkataan keji dan bathil).”’ 1214 Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Imam bin Baz -&M, ber¬ kata: “Dalam salah satu lafazh disebutkan: ‘Mengingatkan kepada akhirat,’ dan pada lafazh yang lain: ‘Membuat zuhud terhadap dunia.’ Hadits tersebut memuat hukum naasikh dan mansuukh secara bersamaan. Pelarangan terletak di awal (hadits), karena ketika itu mereka baru saja meninggalkan kekufuran dan kemusyrikan serta kebergantungan dengan kubur. Setelah itu, Allah men- syari’atkan ziarah kubur, karena hal itu dapat mengingatkan kepada akhirat dan untuk mendo’akan orang-orang yang telah meninggal dunia yang ada di dalamnya.” 1215 Qubuur” (no. 1054), an-Nasa-i, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Ziyaaratul Qubuur” (no. 2031), Ahmad (V/350), Abu Dawud. 1212 Ahmad (III/38, 63, 66). Al-Hakim (1/374). Al-Baihaqi (IV/77). Al-Albani berkata dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 288) mengenai penshahihan al-Hakim terhadap riwayat ini dan persetujuan adz-Dzahabi terhadapnya: “Hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua (al-Hakim dan adz-Dzahabi).” 1213 Hujran , aninya perkataan yang keji dan bathil. An-Nibaayahfii GhariibilHadiits (V/245). 1214 Al-Hakim (1/375, 376). Ahmad (III/237, 250). Dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 229). 1215 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Buluughul Maraam, hadits (no. 607). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 547 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT ALOUR-AN DAN AS-SUNNAH 2. Kaum laki-laki berziarah kubur tanpa mengadakan perjalanan Berdasarkan hadits Abu Hurairah 4» > yang diterimanya dari Nabi jjj§: ~b*Jkz»j C (^51 V} -Lio V )) / / ^ ^ / z- z' / “Tidak boleh dengan sengaja melakukan perjalanan (ibadah), kecuali ke tiga masjid, yaitu masjidku ini, Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsha.” 1216 Termasuk ke dalam larangan ini yaitu: Sengaja bepergian untuk berziarah kubur dan tempat-tempat yang memiliki kedudukan di dalam Islam. Inilah yang dipahami oleh para Sahabat dari sabda Nabi s|§. Dan karena inilah, yakni ketika Abu Hurairah pergi ke bukit Thuur, lalu dia bertemu dengan Bashrah bin Abi Bashrah al-Ghifari, lalu Bashrah bertanya: “Dari manakah engkau?” Dia menjawab: “Dari bukit Thuur.” Lalu Bashrah menjelaskan: “Seandainya saja aku bertemu denganmu sebelum engkau pergi ke sana, niscaya engkau tidak akan pergi ke sana. Aku pernah mendengar Rasulullah «§§ bersabda: «... iUu; ji V! iki ja; Si)) “Janganlah dengan sengaja mempersiapkan perbekalan di atas hewan tunggangan, kecuali ke tiga masjid ...” 1217 Dan karena inilah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Para imam telah sepakat bahwa seandainya seseorang bernazar akan mengadakan perjalanan ziarah menuju makam Nabi j|§ atau selainnya, baik para Nabi maupun makam orang-orang shalih, maka dia tidak wajib memenuhi nazarnya, bahkan dia dilarang untuk memenuhinya.” 1218 3. Ziarah kubur untuk kaum laki-laki bukan untuk kaum perempuan Berdasarkan hadits Abu Hurairah 453 , bahwa Rasulullah «§§ melaknati perempuan-perempuan yang sering berziarah kubur. 1219 1216 Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari Kitab “Fadhlush Shalaah fii Masjid Makkah wal Madiinah”, Bab “Fadhlush Shalaah fii Masjid Makkah wal Madiinah” (no. 1189) dan Muslim (no. 1397). Takhrij -nya telah disebutkan pada pembahasan mengenai tata krama duduk dan berjalan di kubur. 1217 An-Nasa-i, Kitab “al-Jumu’ah”, Bab “as-Saa’atul latii Yustajaabu fiihaa ad-Du’aa’ Yaumal Jumu’ah” (III/114). Malik dalam al-Muwatbtha’, Kitab “al-Jumu’ah”, Bab “as-Saa’atul latii fii Yaumil Jumu’ah” (I/109). Ahmad dalam kitab al-Musnad (V/VI/397). Lihat: Fat-bulMajiid (hlm. 289) dan Sbahiihun Nasa-i (1/309). 1218 Fataawaalbn Taimiyah (1/234). 1219 At-Tirmidzi (no. 1056), Ibnu Majah (no. 1576). Takhrij-nya. telah disebutkan pada pem- 548 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH Diriwayatkan dari Hassan bin Tsabit , dia berkata: •JJ *St “Rasulullah s|§ melaknati perempuan-perempuan yang sering berziarah kubur.” 1220 Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas , dia berkata: • j'jj Si ^ j “Rasulullah H§ mengutuk perempuan-perempuan yang sering berziarah kubur.” 1221 Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Imam bin Baz berkata: “Ketiga hadits ini 1222 menunjukkan bahwa tidak ada ziarah kubur bagi kaum perempuan. Sedangkan, tentang hadits ‘Aisyah , yaitu bahwa dia pernah bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang aku ucapkan ketika ziarah kubur?” Beliau menjawab: “Katakanlah ‘ assalaamu 'alaikum ...”, hadits ini— wallaahu a’lam —terjadi sebelum turunnya pelarangan terhadap kaum perempuan. Karena Nabi telah melarang melakukan ziarah kubur, kemudian beliau mengizinkan¬ nya secara mutlak, yaitu bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan. Lalu datang larangan secara khusus bagi kaum perempuan untuk berziarah kubur.” 1223 Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan bahwa ziarah yang di¬ lakukan oleh ‘Aisyah ke kubur saudaranya 1224 adalah berdasarkan ijtihadnya sendiri, dan sabda Nabi ;§§ tidak bertentangan dengan perkataan seorang pun. Mengenai, sabda Nabi J|| kepada ‘Aisyah : “Katakanlah: Assalaamu ‘alaikum daara qaumin Mukminiin,” 1225 menunjukkan bahwa ketika seorang perempuan melintasi kubur tanpa disengaja, maka ia diperbolehkan mengucapkan salam bahasan mengenai tata krama duduk dan berjalan di kubur, dan al-Albani telah meng- hasankannya. 1220 Ibnu Majah, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fin Nahyi ‘an Ziyaaratin Nisaa’ al-Qubuur” (no. 1574). Dihasankan oleh al-Albani dalam Shahiib Ibnu Majah (11/38). 1221 Ibnu Majah, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Jaa-a fin Nahyi ‘an Ziyaaratin Nisaa’ al-Qubuur” (no. 1575). Dihasankan oleh al-Albani dalam Shahiih Ibnu Majah (11/38). 1222 Ketiga hadits, maksudnya hadits (no. 609, 610 dan 611) dari kitab Buluughul Maraam. 1223 Penulis mendengarnya ketika Imam bin Baz menjelaskan kitab Buluughul Maraam, hadits (no. 609) dan dalam kitab Majmuuul Fataawaa , karyanya, ia mengedepankan pendapat sebagaimana yang saya dengar tersebut (XIII/331). 1224 HR. at-Tirmidzi, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “60” (no. 1055), Ibnu Abi Syaibah (III/343), al- Hakim (1/376), al-Baihaqi (IV/78). 1225 HR. Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Yuqaalu ‘inda Dukhuulil Qubuur wad Du’aa’ li Ahlihaa” (no. 974). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 549 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH kepada ahli kubur dan mendo’akannya. Karena terdapat perbedaan antara keluar dari rumahnya dengan tujuan berziarah dengan melintas kubur tanpa disengaja untuk berziarah. Sedangkan, lafazh: “Rasulullah melaknati perempuan-perempuan yang sering berziarah ke kubur,” dengan bentuk mubalaghah (superlatif) (yaitu dengan lafazh: zawwaaraat ); dengan lafazh: “Rasulullah mengutuk perempuan-perempuan yang berziarah kubur” (dengan bentuk kata biasa, yaitu zaa-iraat). Maksudnya, yaitu jika lafazh zawwaaraat untuk nisbah (penyandaran), maka tidak ada masalah (dalam hal ini); namun jika untuk menunjukkan bentuk superlatif, maka lafazh zaa-iraat yang terdapat pada hadits itu merupakan tambahan pengetahuan, sehingga bisa diambil (sebagai pemahaman," pen ). Karena, lafazh zaa-iraat dapat dipakai untuk menunjukkan satu kali berziarah, sedangkan lafazh zawwaaraat menunjukkan sering, adalah untuk bentuk mubaalaghah (superlatif). Sebagaimana telah diketahui bahwa jika sebuah ancaman ditujukan kepada satu kali ziarah, dan (pada kesempatan lain) ditujukan kepada ziarah yang dilakukan berkali-kali, maka pada ancaman yang ditujukan terhadap satu kali ziarah itu terdapat tambahan pengetahuan. Karena, ancaman akan men¬ jumpai orang yang berziarah sekali berdasarkan lafazh zaa-iraat , bukan lafazh zawwaaraat ; dan seandainya kita mengambil lafazh zawwaaraat, maka kita akan menghilangkan penunjukan lafazh zaa-iraat. Mengenai masalah ini, Syaikhul Islam telah memberikan komentar yang cukup baik 1226 . 1227 Guru kami, Imam bin Baz berkata: “Yang shahih adalah: Ziarah kubur bagi kaum perempuan itu tidak boleh.” Kemudian beliau melanjutkan: “Maka, yang benar adalah: Ziarah kubur yang dilakukan oleh kaum perempuan adalah haram, bukan hanya sekedar makruh ....” 1228 Sedangkan, hadits Nabi yang di dalamnya beliau berkata kepada seorang perempuan yang dijumpainya sedang menangisi anaknya yang masih kecil: “Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah” 1229 , yang ketika itu beliau menjumpainya di sisi kubur. Maka, guru kami, Syaikh bin Baz, lebih mengedepankan pendapat bahwa mungkin hal ini terjadi pada waktu ziarah kubur diizinkan secara umum, bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan. Karena hadits-hadits mengenai larangan untuk berziarah kubur bagi kaum perempuan itu bersifat muhkam (jelas penunjukkan hukumnya) dan sebagai naasikh (penghapus hukum) bagi hadits yang datang sebelumnya.” 1230 1226 Asy-Syarhul Mumti’ karya Ibnu ‘Utsaimin (V/477-479 dengan saduran). 1227 Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibn Taimiyah (XXIV/344). 1228 Majmuu’Fataawaa Ibnu Baz (XIII/324 dan 326). 1229 Al-Bukhari (no. 1252) dan Muslim (no. 926). Takhrij-nyz telah disebutkan dalam pembahasan mengenai syarat-syarat sabar. 1230 Majmuu’ Fataawaa Ibnu Baz (XIII/332). 550 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH 4. Macam-macam ziarah kubur Menziarahi ahli kubur memiliki bermacam-macam bentuk, yaitu sebagai berikut: 1) Ziarah yang berdasarkan syari’at. Maksudnya adalah sebagai berikut: a. Mengucapkan salam kepada orang-orang yang telah meninggal dunia, mendo’akan mereka, dan memohonkan rahmat atas mereka, karena amalan-amalan mereka telah terputus. b. Mengingat kematian dan akhirat dapat melembutkan hati dan tetesan air mata. c. Menghidupkan sunnah Nabi jjj§, karena beliau melakukan ziarah kubur dan memerintahkan untuk melakukannya. 2) Ziarah yang merupakan perbuatan bid’ah dan kemusyrikan. 1231 Ziarah seperti ini ada tiga macam, yaitu: a. Orang yang meminta kepada orang yang telah meninggal agar hajatnya terpenuhi. Mereka ini termasuk golongan para penyembah berhala dan mereka keluar dari agama Islam. b. Orang yang meminta kepada Allah dengan perantaraan orang yang telah meninggal, seperti orang yang berkata: “Aku bertawasul kepada- Mu dengan perantaraan Nabi-Mu atau dengan hak syaikh fulan.” Per¬ buatan ini termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam Islam, namun ia tidak sampai ke tingkat syirik besar. Perbuatan ini tidak sampai menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam, sebagaimana yang pertama. c. Orang yang beranggapan bahwa berdo’a di sisi kubur itu mustajab, atau hal itu lebih utama daripada berdo’a di dalam masjid. Perbuatan ini termasuk kemunkaran berdasarkan ijma’. 1232 Mengenai perihal disyari’atkannya ziarah kubur, Imam Ibnul Qayyim iiM berkata: “Salah satu petunjuk Nabi 3jj§, yaitu agar ketika berziarah kubur, seseorang berdo’a dan berbuat, seperti yang dibaca ketika menshalati jenazah, yaitu do’a, permohonan rahmat, dan permohonan ampunan. Akan tetapi, orang- orang musyrik menolak semua itu, melainkan mereka telah memohon kepada ahli kubur, menyekutukannya, bersumpah atas namanya, beberapa keperluan, dan pertolongan kepada ahli kubur serta menghadap kepadanya; semua ini ber¬ tentangan dengan petunjuk Nabi. Karena petunjuk beliau adalah tauhid dan berbuat baik kepada ahli kubur, sedangkan petunjuk orang-orang yang musyrik 1231 Lihat: Fataawaa Ibnu Taimiyah (1/233 dan XXIV/326) dan al-Bidaayah wan Nihaayah (XIV/123). 1232 Ad-Durarus SaniyahfilAjwibahan-Najdiyyah (VI/165-174) dan lihat pula Majmuu’ Fataawaa Ibnu Baz (XIII/285). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 551 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH adalah kesyirikan serta berbuat keburukan terhadap diri mereka sendiri dan terhadap ahli kubur. Dalam hal ini, terbagi menjadi tiga, yaitu: berdo’a kepada ahli kubur; berdo’a dengan perantaraan ahli kubur; berdo’a di sisi kubur dan memandang bahwa berdo’a di sisi kubur, itu lebih mustajab dan lebih utama daripada berdo’a di masjid-masjid. Barang siapa yang merenungi petunjuk Rasulullah dan para Sahabat beliau, maka akan jelas baginya perbedaan di antara kedua hal tersebut. Wa billaahit taufiiq ” m3 5. Boleh berziarah ke kubur orang-orang musyrik dalam rangka hanya mengambil pelajaran dan nasehat Berdasarkan hadits Abu Hurairah > dia berkata Rasulullah s§| ber¬ sabda: y’ y' O V } yy 0 ^ y' _ $ ® £. 4 a O . 0 s - y' y - q a 0 ^ c ^ jjji oi oSlL*lj jilj jJlL ji j )) ((•U kti ‘Aku pernah meminta izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampunan bagi ibuku, namun Dia tidak memberiku izin; dan aku meminta izin ke- pada-Nya untuk berziarah ke kuburnya dan Dia meng i zink a n ku.’” Dalam lafazh lain disebutkan: “Nabi J§§ pernah berziarah ke kubur ibundanya, lalu beliau menangis dan orang-orang yang ada di sekitarnya pun ikut menangis. Lalu beliau bersabda: > f 0 f r f ° y „ * 0 f Jjj ^ 'jAj£*y\ jl ^ ^>j C—)) ‘Aku pernah meminta izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampunan untuknya, namun Dia tidak memberiku izin; dan aku meminta izin kepada-Nya untuk berziarah ke kuburnya dan Dia mengizinkanku. Maka, berziarahlah ke kubur, karena hal itu dapat mengingatkan kalian kepada kematian.’” 1234 Allah m telah melarang untuk memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik, mendo’akan, dan membacakan shalawat kepada mereka. 1235 Karena- 1233 Zaadtd Ma’aad (1/526-527). 1234 Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Isti’dzaanun Nabi Rabbahu ‘azza wa jalla fii Ziyaarati Qabri Ummihi” (no. 976). 1235 Telah disebutkan dalam pembahasan mengenai perihal menshalati jenazah, bahwa Allah ii berfirman: 552 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH nya, seorang Muslim tidak boleh mendo’akan dan memohonkan ampunan bagi mereka. Dan jika berziarah ke kubur mereka, maka hal itu hanyalah dalam rangka untuk mengingatkan kepada kematian dan mengambil pelajaran. 6. Tata cara mengucapkan salam kepada ahli kubur dari kalangan kaum Muslimin Tata cara mengucapkan salam kepada ahli kubur dari kalangan kaum Muslimin adalah sebagai berikut: 1) Diriwayatkan dari ‘Aisyah tjfgo , bahwa Rasulullah «H keluar dari rumah ‘Aisyah, pada malam gilirannya menuju Baqi’. Beliau pun berdiri lama di sana. Kemudian, beliau mengangkat kedua tangannya sebanyak tiga kali. Setelah itu, beliau kembali kepada ‘Aisyah dan mengabarkannya, bahwa Allah telah memerintahkan beliau agar mendatangi ahli kubur di pemakaman Baqi’ untuk memohonkan ampunan bagi mereka. ‘Aisyah berkata: “Lalu aku bertanya: ‘Apa yang akan aku ucapkan kepada mereka, wahai Rasulullah?’” Beliau menjawab: “Katakanlah: <usl <y* AaJI J-*' )) s-Li jt c y*- LJLaJIj ‘Semoga keselamatan senantiasa tertuju kepada penduduk negeri dari kaum Mukminin dan Muslimin, semoga Allah memberikan rahmat kepada orang-orang yang telah mendahului dan orang-orang yang akan menyusul di antara kami, dan sesungguhnya, insya Allah, kami akan menyusul mereka.’” Dalam salah satu lafazh disebutkan: “‘Aisyah berkata: ‘Ketika tiba malam giliranku, Rasulullah jjj§ keluar di akhir malam ke pemakaman Baqi’, lalu beliau mengucapkan: £ ^ ^ lAp C j jAPJ j [y» jb ^ 0 * \i ^ * yi\ cO^US? ^ iil ai 01 UI} i C§5 V3 bjl 1*4 r? Vi £ *Dan janganlah sekali-kali kamu menshalati (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo 3 akan) di kuburnya ...." (QS. At-Taubah: 84) Dan telah disebutkan pula kisah Nabi 5|§ bersama paman beliau, Abu Thalib, dan bahwa Allah telah melarang beliau dan melarang kaum Muslimin memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik. Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 553 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH ‘Semoga keselamatan senantiasa tertuju kepada kalian (penduduk) negeri kaum Mukminin. Apa yang dijanjikan kepada kalian (dan kepada kami' ed ) akan dipenuhi esok. Dan sesungguhnya kami, insya Allah , akan menyusul kalian. Ya Allah, ampunilah ahli kubur pemakaman Baqi’ al- Gharqad.’” 1236 Disebutkan dalam hadits Buraidah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah s|§ pernah mengajari para Sahabat akk jika mereka melakukan ziarah kubur, maka seorang dari mereka mengucapkan: Aiil JL-I ^ kwl (( • “Semoga keselamatan senantiasa tertuju kepada kalian, penduduk negeri kaum Mukminin dan Muslimin, dan sesungguhnya kami, insya Allah, akan menyusul kalian. (Kalian telah mendahului kami dan kami akan menyusul kalian). Aku memohon keselamatan kepada Allah untuk kami dan untuk kalian.” Dan dalam lafazh lain disebutkan: “Semoga keselamatan senantiasa tertuju kepada penduduk negeri.” 1237 Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas , dia berkata: “Rasulullah $|§ pernah melintasi kuburan di Madinah. Lalu beliau menghadapkan wajahnya ke arah ahli kubur sambil mengucapkan: yL 3 AL d ai tJ y2i jit u fSui» ({■)% 1236 Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Yuqaalu ‘inda Dukhuulil Maqaabiri wad Du’aa-i li Ahlihaa” (no. 974). Di dalam hadits ini disebutkan mengangkat kedua tangan ketika berdo’a untuk ahli kubur dan terdapat pula pada hadits shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Ahmad (VI/92). Sanad hadits ini telah dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Ahkaamul ]anaa-iz (hlm. 246). 1237 Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Yuqaalu ‘inda Dukhuulil Maqaabiri wad Du’aa-i li Ahlihaa” (no. 975). Dan lafazh yang ada di antara dua kurung berasal dari Sunanun Nasa-i (no. 2039). 554 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT ALOUR-AN DAN AS-SUNNAH ‘Semoga keselamatan senantiasa tertuju kepada kalian, wahai ahli kubur. Semoga Allah memberikan ampunan bagi kami dan bagi kalian. Kalian telah mendahului kami dan kami akan menyusul.” 1238 Apakah bagi orang yang berziarah harus menghadap ke (arah) wajah jenazah ketika mengucapkan salam kepadanya, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits ini? Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah berkata: “Madzhab (pendapat) para imam, yaitu Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Ahmad, dan imam- imam lainnya, adalah bahwa ketika seseorang mengucapkan salam kepada Nabi dan ingin berdo’a untuk dirinya sendiri, maka dia menghadap ke kiblat. Namun, para imam berselisih pendapat mengenai posisi ketika mengucap¬ kan salam kepada Nabi; Ketiga imam, yaitu Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat: “Menghadap ke hujrah (kamar Nabi *i§ tempat kubur beliau berada, pen ) dan mengucapkan salam kepada beliau ke arah wajah beliau.” Abu Hanifah berkata: “Tidak menghadap ke hujrah di waktu mengucapkan salam, sebagaimana dia tidak menghadap ke hujrah sewaktu berdo’a.” Dalam madzhab Abu Hanifah terdapat dua pendapat: Ada yang mengatakan, “membelakangi hujrah”\ dan ada yang mengatakan, “dia menjadikan hujrah berada di sebelah kirinya. 1239 ” 1240 4) Apakah ahli kubur dapat mendengar ucapan salam orang yang me¬ nyampaikannya ketika berziarah kepada mereka? Para ulama berselisih 1238 At-Tirmidzi, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Yaquulur Rajul idzaa Dakhalal Maqaabir” (no. 1053) dan dia menghasankannya. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (no. 12613). Di- hasankan oleh ‘Abdul Qadir al-Arna-uth dalam tahqiqnya terhadap kitab Jaami’ul Ushuul karya Ibnul Atsir (XI/157) dan didha’ifkan oleh al-Albani dalam kitab Ahkaamul Janaa-iz (hlm. 250). 1239 Qaa’idatut Tawassul wal Wasiilah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (hlm. 25). 1240 Guru kami, ‘Abdul ‘Aziz bin Baz -s$zv, berkata: “Mendo’akan jenazah, baik itu dengan menghadap ke kiblat atau menghadap ke kubur, karena Nabi jj|§ pernah berdiri di atas kubur setelah menguburkan jenazah dan beliau bersabda: ‘Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian dan mintakanlah untuknya keteguhan, karena sesungguhnya sekarang dia sedang ditanya.’ (Muslim, no. 974). Beliau tidak bersabda: ‘Menghadaplah ke kiblat’. Jadi, semuanya boleh dilakukan, baik menghadap kiblat (yaitu ketika berdo’a) atau menghadap ke kubur. Dan para Sahabat berdo’a untuk jenazah, sementara mereka berkumpul di sekitar kubur.” (Majmuu’ Fataawaa Ibnu Baz [XIII/338]). Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin berkata mengenai tempat berdiri bagi orang yang sedang berziarah kubur: “Ia berdiri di sisi kepala jenazah dengan menghadap kepadanya.” (Majmuu’ur Rasaa-il karya Ibnu ‘Utsaimin [VII/288]). Di tempat lain, Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Ia mengucapkan salam kepada ahli kubur dengan menghadap ke wajah mereka dan berdo’a untuknya dalam keadaan berdiri. Demikianlah tanpa berpaling menghadap ke kiblat.” (Majmuu’ Rasaa-il Ibnu ‘Utsaimin [XVII/333]). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH pendapat mengenai masalah ini. Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah, muridnya, Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, dan al-‘Allamah asy- Syinqithi dalam tafsir Adhwaa-ul Bayaan, mereka lebih mengedepankan pendapat bahwa orang-orang yang telah meninggal dunia dapat mendengar salam orang yang berziarah kepada mereka dan Allah mengembalikan roh- roh mereka agar mereka dapat menjawab salamnya. 1241 Imam Ibnu Katsir berkata: “Yang shahih menurut para ulama adalah riwayat ‘Abdullah bin ‘Umar . Karena riwayat ini memiliki beberapa hadits yang menguatkan keshahihannya dari banyak jalur, dan yang paling masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr yang ia shahihkan, dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’-. aILp wV3\ ^3 o\S* a1>-I Jdki jl?-I U» ^ aIIp AUl i j “Tidaklah seseorang melintasi kubur saudaranya yang Muslim yang dahulu dikenalnya di dunia, lalu dia mengucapkan salam kepadanya, melainkan Allah mengembalikan rohnya agar dia dapat menjawab salamnya.” Kemudian, dia menyebutkan beberapa atsar yang jumlahnya sangat banyak dari para Sahabat dan para Tabi’in . Wallaahu a’lam. 1242 7. Ziarah ke kubur Nabi ^ Mengenai berziarah ke kubur Nabi i|§, terdapat beberapa pembahasan sebagai berikut: 1) Disunnahkan berziarah ke masjid Nabi <§| (masjid Nabawi) dan hal ini disyari’atkan pada waktu kapan pun, tidak ada waktu tertentu dan hal itu, dan ia termasuk bagian dari amalan haji. Namun demikian, tidak boleh secara sengaja bepergian (dengan niat ibadah) untuk berziarah kubur. Karena, melakukan perjalanan untuk beribadah, maka hal itu bukanlah dimaksudkan untuk berziarah kubur, namun hal itu dibolehkan hanya untuk tiga masjid, sebagaimana Nabi $1§ bersabda: 1241 Tafsiirul Qur-an al-Azhiim karya Ibnu Katsir (III/422-423), Majmuu’Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyah (XXIV/295-379), Kitab ar-Ruuh karya Ibnul Qayyim (I/167-204), Adhwaa-ul Bayaan karya asy-Syinqiithi (VI/416-439), Majmuu Rasaa-ilIbnu ‘Utsaimin (XVII/288,336), dan Majmuu’Fataawaa Ibnu Baz (XIII/335-336). 1242 Dan saya (penulis) telah menyebutkan perbedaan para ulama mengenai hal itu, dan perincian mengenai hal itu terdapat pada awal kitab al-Janaa-iz pada pembahasan mengenai kenikmatan dan siksa kubur, dan apakah orang-orang yang telah meninggal dunia dapat mendengar. Silakan merujuknya. 556 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT ALOUR-AN DAN AS-5UNNAH VI JLiJ ^ )) “Tidak boleh dengan sengaja melakukan perjalanan (ibadah), kecuali ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, masjidku ini, dan Masjidil Aqsha.” 1243 Orang yang tinggal jauh dari Madinah, tidak diperbolehkan melakukan perjalanan untuk berziarah ke makam Nabi «|§, tetapi disyari’atkan baginya untuk melakukan perjalanan dengan tujuan berziarah ke masjid Nabawi asy- Syarif. Dan ketika dia telah sampai ke masjid Nabawi, lalu dia berziarah ke makam beliau dan makam para Sahabatnya. Dengan demikian, ziarah ke kubur Nabi <|§, mengikuti ziarah ke masjid beliau (Nabawi), dikarenakan adanya pahala yang besar dalam berziarah ke masjid tersebut. Beliau »§§ bersabda: “Shalat di masjidku ini lebih baik daripada shalat seribu kali di masjid lainnya, kecuali di Masjidil Haram.” 1244 Beliau «§§ juga bersabda: V) a! y* Lwjd od! I-L& a'^L 3 )) a^^L 3 4 jL» y» ( J^23l ^l^y>cJl j ((• e 'jT “Shalat di masjidku ini lebih utama daripada shalat seribu kali di masjid lainnya, kecuali di Masjidil Haram, dan shalat di Masjidil Haram itu lebih utama daripada shalat seratus ribu kali di masjid lainnya.” 1245 1243 HR. Al-Bukhari, Kitab “Fadhlush Shalaah fii Masjid Makkah wal Madiinah,” Bab “Fadhlush Shalaah fii Masjid Makkah wal Madiinah” (no. 1189) dan Muslim, Kitab “al-Hajj”, Bab “Laa Tusyaddur Rihaal illaa ilaa Tsalaatsati Masaajid” (no. 1397). 1244 HR. Al-Bukhari, Kitab “Fadhlush Shalaah fii Masjid Makkah wal Madiinah,” Bab “Fadhlush Shalaah fii Masjid Makkah wal Madiinah” (no. 1190) dan Muslim, Kitab “al-Hajj”, Bab “Fadhlush Shalaah bi Masjidai Makkah wal Madiinah” (no. 1394). 1245 HR. Ibnu Majah, Kitab “Iqaamatush Shalaah was Sunnah fiihaa,” Bab “Maa Jaa-a fii Fadhlish Shalaah fii Masjidil Haraam wa Masjidin Nabi” (no. 1406). Ahmad (III/343, 53). Dishahih- kan oleh al-Albani dalam Shahiih Ibnu Majah (1/236) dan Irwaa-ul Ghaliil (IV/341). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 557 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH 2) Disunnahkan mendahulukan kaki kanan ketika masuk ke masjid Nabawi asy-Syarif, dan membaca do’a: (jUalcJl Cj*-> j >~Jl 4jjL> i j£-\ ' ' 'l ""' ' ' 4*13,1 ^ $s\ cii f 5 nJi 3 6CJ13 iwi ^ 7 ^ / n .i ^3 “Aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung dan dengan Wajah-Nya yang mulia serta Kekuasaan-Nya yang Qadiim, dari syaitan yang terkutuk. Dengan nama Allah. Semoga limpahan rahmat dan keselamatan tetap terlimpah kepada Rasulullah. Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.” 1246 Sebagaimana bacaan tersebut juga diucapkan ketika memasuki masjid- masjid lainnya. 3) Mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid dua raka’at atau melakukan shalat sunnah yang dia kehendaki dan berdo’a di dalam shalatnya dengan do’a apa saja yang dia kehendaki. Dan lebih utama jika dia melakukannya di Raudbah yang mulia, yaitu tempat yang berada di antara mimbar Nabi <|§ dengan hujrah (kamar) beliau, berdasarkan sabda beliau J|§: ^OOfiS 0 & s’ (J* dr 4 J* ^ )) “Tempat di antara rumahku dengan mimbarku adalah salah satu Raudbah (taman) di antara taman-taman Surga, dan mimbarku berada di atas telagaku.” 1247 Mengenai shalat fardhu, sebaiknya bagi seorang yang berziarah atau pun orang lain, agar selalu mencari shaf yang pertama. 4) Kemudian, selesai shalat, jika seseorang ingin berziarah ke makam Nabi jjj|, hendaklah ia berdiri di depan kubur beliau dengan sopan, tenang, dan merendahkan suara. Lalu mengucapkan salam kepada Nabi, dengan ucapan: j, „ (tfte cii 1^-33 14I iid* 1246 HR. Muslim (no. 113), Abu Dawud (no. 465). Takhrij-nyz telah disebutkan dalam pem¬ bahasan mengenai shalat jamaah dan tata krama berjalan untuk shalat di masjid-masjid. 1247 HR. Al-Bukhari, Kitab “Fadhlush Shalaah fii Masjid Makkah wal Madiinah,” Bab “Fadhlu Maa bainal Qabri wal Minbar” (no. 1195) dan Muslim, Kitab “al-Hajj”, Bab “Maa bainal Qabri wal Minbar Raudhah min Riyaadhil Jannah” (no. 1390). 558 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT ALOUR-AN DAN AS-SUNNAH JT jUj JJ> jJU LT JuAi JT jt-1c-S"” jIj j_LL» JT (_^Lj jLL» n .%^ 4«^ dLM JT “Semoga keselamatan senantiasa tertuju kepadamu, wahai Nabi, juga rahmat dan keberkahan dari Allah. Ya Allah, berikanlah rahmat dan kesejahteraan kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau berikan rahmat dan kesejahteraan kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung. Ya Allah, limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau melimpahkan keberkahan kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.” Atau mengucapkan salam: ,aj\A y >j am! j aw! JJJ-j idJ A& “Semoga keselamatan senantiasa tertuju kepadamu, wahai Rasulullah, juga rahmat dan keberkahan dari Allah.” Hal ini berdasarkan sabda beliau $|§: ((.^>LU! <Ip ij\ a 1)1 S J )ll (4^ l/l ^ )) “Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku melainkan Allah akan mengembalikan rohku hingga aku dapat menjawab salamnya.” 1248 Namun, jika mengucapkan salam berikut ini: c^jU'yi c5JU*>jJl oJth Si ciJdl j aUl J uJ-d a g Al rS- L)1 AjZzS (jp- 4Wl 4 OjjkUrJ ^ / / / / Sr z' ,<x^l /j-p llj <s ^ “Aku bersaksi bahwa engkau adalah benar-benar utusan Allah, engkau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, berjuang membela 1248 HR. Abu Dawud, Kitab “al-Manaasik,” Bab “Ziyaaratul Qubuur” (no. 2041). Dihasankan oleh al-Albani dalam Shahiih Abu Dawud (11/383) dan oleh Syaikh bin Baz dalam kitab Majmuu'ulFataawaa lilHajj (V/288). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 559 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH 560 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH shalawatlah untukku, karena sesungguhnya shalawat kalian itu akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” 1251 Beliau |§| juga bersabda: Ji s o s' y»\ y yyLj (_5® yr’~'^ aAJ 0} )) “Sesungguhnya Allah memiliki Malaikat-Malaikat yang selalu berjalan di muka bumi, mereka menyampaikan salam dari ummatku kepadaku.” 1252 6) Disunnahkan bagi orang yang berziarah ke Madinah, untuk berziarah ke masjid Quba’ dan melakukan shalat di sana. Karena Nabi pernah men¬ datangi masjid Quba’ dengan mengendarai kendaraan maupun berjalan kaki, lalu beliau melakukan shalat dua raka’at di dalamnya. 1253 Dan diriwayatkan dari Sahi bin Hunaif, dia berkata bahwasanya Rasu¬ lullah s|§ bersabda: aJ jVS" aIs ^ y y* )) ((•^ “Barang siapa bersuci di rumahnya, kemudian dia mendatangi masjid Quba’, lalu dia melakukan shalat di dalamya, maka baginya seperti pahala umrah.” 1254 Usaid bin Zhuhair al-Anshari kataannya: berkata dengan mt-marfu -kan per- j, - * __ ' V x Sr/' ' ' “(Pahala’ ed ) shalat di masjid Quba’ seperti (pahala" ed ) umrah.” 1255 1251 HR. Abu Dawud, Kitab “al-Manaasik,” Bab “Ziyaaratul Qubuur” (no. 2042). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shabiih Abu Dawud (1/383). 1252 HR. Ahmad (1/441). Ibnu Hibban dalam kitab Shabib-ny a (no. 914). Al-Hakim (no. 4212). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiihun Nasa-i (1/274). 1253 HR. Al-Bukhari, Kitab “Fadhlush Shalaah fii Masjid Makkah wal Madiinah,” Bab “Man Ataa Masjid Quba’ Kulla Sabt” (no. 1193) dan Muslim, Kitab “al-Hajj”, Bab “Fadhlu Masjid Quba’ wa Fadhlush Shalaah fiihi wa Ziyaaratih” (no. 1399). 1254 HR. Ahmad (III/487). ‘Abd bin Humaid (no. 469). Ibnu Majah, Kitab “Iqaamatush Shalaah was Sunnah fiihaa,” Bab “Maa Jaa-a fish Shalaah fii Masjid Quba’” (no. 1412). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shabiih Ibnu Majah (1/237) dan Shahiihun Nasa-i (1/150). 1255 HR. at-Tirmidzi, Kitab “ash-Shalaah”, Bab “Maa Jaa-a fish Shalaah fii Masjid Quba’” (no. 324). Ibnu Majah, Kitab “Iqaamatush Shalaah was Sunnah fiihaa,” Bab “Maa Jaa-a fish Shalaah fii Masjid Quba”’ (no. 1411). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih Ibnu Majah (1/237) dan Shahiihut Tirmidzi (1/104). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 561 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT ALOUR-AN DAN AS-SUNNAH mus?» 7) Disunnahkan bagi kaum laki-laki agar berziarah ke pemakaman Baqi’— yaitu pemakaman Madinah—dan kubur para syuhada serta kubur Hamzah, karena Nabi <§§ pernah berziarah ke kubur mereka dan mendo’akan mereka. Hal ini berdasarkan sabda beliau s|§: 'jjjj )) * S ' x y' “Berziarahlah ke kubur, karena hal itu dapat mengingatkan kalian ke¬ pada kematian.” 1256 Dan ketika berziarah kepada mereka, maka hendaknya mengucapkan: iui £ii, d\ U13 ^ cjblJi jit fazS\ )> \jS aill <JLU j L» “Semoga keselamatan senantiasa tertuju kepada kalian, wahai penduduk negeri dari kaum Mukminin dan Muslimin. Sesungguhnya kami, insya Allah, akan menyusul kalian. (Semoga Allah memberikan rahmat kepada orang-orang yang telah mendahului dan orang-orang yang akan menyusul di antara kami). Kami memohon keselamatan kepada Allah untuk kami dan untuk kalian.” 1257 Tidak diragukan lagi, bahwa maksud dari ziarah kubur adalah untuk mengingatkan kepada akhirat dan berbuat baik kepada orang-orang yang telah meninggal dunia dengan mendo’akan mereka, serta untuk mengikuti sunnah Nabi 3§|. Inilah ziarah kubur yang disyari’atkan. Sedangkan, berziarah kepada ahli kubur dengan tujuan berdo’a di sisi kubur mereka, meminta mereka agar memenuhi hajatnya, atau bertujuan untuk menyembuhkan orang-orang yang sakit, memohon kepada Allah dengan perantaraan mereka, atau dengan ke¬ dudukan mereka dan semacamnya, maka ini semua termasuk ziarah bid’ah dan munkar yang tidak disyari’atkan oleh Allah ® dan Rasul-Nya, dan tidak pula dilakukan oleh para Salafush Shalih. Sebagian dari perbuatan-perbuatan yang telah disebutkan sebagai bid’ah, seperti berdo’a kepada Allah di sisi kubur, meminta kepada Allah dengan 1256 HR. Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Isti’dzaanun Nabi Rabbahu ‘azza wa jalla fii Ziyaarati Qabri Ummihi” (no. 976/108). 1257 HR. Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Maa Yuqaalu ‘inda Dukhuulil Qubuur wad Du’aa’ li Ahlihaa” (no. 974/103 dan 975). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH perantaraan hak jenazah atau kedudukannya dan semacamnya, hal ini bukanlah termasuk perbuatan syirik, namun merupakan termasuk sebagian perbuatan- perbuatan bid’ah lainnya. Yang termasuk syirik besar, yaitu seperti berdo’a kepada orang-orang yang telah meninggal dunia, meminta bantuan mereka, dan meminta kemenangan atau pertolongan kepada mereka. Oleh karena itu, maka perhatikanlah dan berhati-hatilah, serta memohonlah selalu kepada Allah agar mendapatkan taufiq dan petunjuk kepada kebenaran. Karena Dialah Yang Maha Memberi taufiq dan petunjuk, tidak ada ilah selain Dia dan tidak ada rabb selain diri-Nya. 1258 DUA PULUH TIGA: IHDAAD (MASA BERKABUNG) Mengenai masalah ihdaad ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Definisi ihdaad Ihdaad, menurut bahasa (etimologi) berasal dari kata (hadda). Pertama, berarti mencegah; kedua, berarti ujung dari sesuatu. Jadi, aAJi (haddu) memiliki makna; Penghalang antara dua hal. Fulan mahduud, artinya seseorang dicegah (dihalangi). Dikatakan, idyf JU st^Ji (haddatil mar-ah alaa zaujihaa wa ahaddat), maksudnya: Jika dia mencegah dirinya dari berhias dan mencat kukunya. 1259 Ada yang mengartikan J* sf^Ji hlLi ( ihdaadul mar-ah ‘alaa zaujihaa ), (wanita) meninggalkan berhias; dan ada yang mengatakan bahwa artinya adalah: Ketika perempuan tersebut bersedih atas (kematian) suaminya, ia memakai pakaian duka cita, meninggalkan berhias, dan tidak mencat kukunya. 1260 jUJi ( al-Haadd) dan (al-Muhiddu) , artinya: Perempuan yang me¬ ninggalkan berhias karena sedang menjalani masa 'iddab. 1261 Ibnul Atsir berkata: Ai- (A 3 ) (j) -'Aj cj-uL (3) H' ofyiJi uu-uLl (Ahaddatil Mar-atu ‘alaa Zaujihaa Tuhiddu (fa Huwd) Muhiddun dan Haddat Tahuddu dan Tahiddu (fa Huwd) Haaddun). Artinya: Perempuan tersebut sedih atas (kematian) suaminya, memakai pakaian duka cita, dan meninggalkan berhias.” 1262 1258 Lihat Fataawaa Ibnu Baz fl Hajj wol 'Umrah (V/298). 1259 Mu’jamul Maqaayiis fil Lughah karya Ibnu Faris (hlm. 239). 1260 Lisaanul ‘Arab karya Ibnu Manzhuur (III/143). 1261 Al-QaamuusulMuhiith (hlm. 352). 1262 An-Nihaayahfii GhariibilHadiits wal Atsar (1/352). smbahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 563 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH Jadi, dapat diketahui bahwa ihdaad menurut bahasa adalah: Perbuatan seorang perempuan mencegah dirinya dari berhias, mencat kuku, dan hal-hal yang dilarang baginya, dalam rangka menampakkan kesedihan. Sedangkan menurut etimologis, ada yang berpendapat bahwa, ihdaad itu berarti menjauhi berhias, wewangian, dan tidak mempercantik diri. Ada pula yang berpendapat, bahwa artinya: Menjauhi hal-hal yang meng¬ undang (laki-laki) untuk bersetubuh dengannya dan membuat senang untuk melihatnya, berupa perhiasan, wewangian, mempercantik diri, memakai pacar, dan celak. Yang lain berpendapat, bahwa artinya: Meninggalkan berhias, wewangian, perhiasan, serta tidak mempercantik diri dengan pacar dan celak warna hitam. Ada yang berpendapat, artinya: Meninggalkan berhias dan hal-hal yang mengundang untuk bersetubuh (dengannya). 1263 Dan ada pula yang berpendapat, artinya: Masa penantian yang pada waktu tersebut seorang perempuan menjauhi hal-hal yang mengundang untuk ber¬ setubuh dengannya atau membuat senang untuk melihatnya, baik berupa berhias maupun apa saja yang termasuk dalam maknanya, pada masa dan kondisi yang telah ditentukan. 1264 Definisi yang dipilih (terminologi) adalah: “Masa penantian yang di dalamnya seorang perempuan membatasi dirinya dari segala hal yang dapat membuat senang untuk memandang kepadanya, pada masa, kondisi, dan tempat tertentu.” Atau “masa penantian yang di dalamnya seorang perempuan mencegah dirinya dari berhias, mengenakan perhiasan dan wewangian, pada masa tertentu, dalam kondisi-kondisi tertentu, dan pada tempat tertentu.” 2. Hukum ihdaad syar’i Ihdaad syar’i itu ada dua macam, yaitu: 1) Ihdaad pada masa ‘iddah wafat. Seorang isteri wajib melakukan ihdaad selama masa ‘iddah wafat. Hal ini berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah ^ , bahwa Rasulullah j|§ bersabda: 7T jj (_5b- V) C-4* l5^ S/ )) 1263 Lihat: al-Mughni karya Ibnu Qudamah (XI/285), al-Kaafii (V/41), asy-Syarhul Kabiir yang dicetak bersama kitab al-Muqni dan kitab al-Inshaaf (XXIV/132), ar-Raudhul Murbi maa Haasyiyah ‘Abdirrahman al-Qaasim (VII/81), al-Iqnaa 3 li Thaalibil Intifaa 3 karya al-Hijawi (IV/17), dan Muntahal Iraadaat karya Muhammad bin Ahmad al-Futuhi (IV/410). 1264 Ahkaamul Ihdaad karya Khalid bin ‘Abdillah al-Mushlih (hlm. 24). 564 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT ALOUR-AN DAN AS-SUNNAH \Q Yj Yj Yy VI C Vy YY Yj ((.jiiit j\ Yd Y 'M VI “Janganlah seorang perempuan ber -ihdaad (berkabung) atas jenazah lebih dari tiga hari kecuali atas (kematian) suami, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. Ia tidak boleh memakai pakaian yang dicelup (warna), kecuali pakaian ‘ushb (jenis pakaian Yaman cd ), ia tidak boleh memakai celak, dan tidak boleh memakai wewangian kecuali jika baru suci (dari haidh ed ), yaitu sedikit dari (wewangian) qusth dan adzfaar.” ms Abu Dawud menambahkan: “Dan janganlah dia mencat kuku¬ nya.” 1266 Diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Nabi s|§ bersabda: cY» JLp jl aWL ^ )) ((%)3 \ “Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari Akhir ber -ihdaad (berkabung) lebih dari tiga hari, kecuali atas (kematian) suaminya.” 1267 Imam Ibnu Qudamah berkata: “Kami tidak mengetahui adanya per¬ selisihan dikalangan ulama mengenai kewajiban ihdaad bagi isteri yang ditinggal mati suaminya, kecuali dari al-Hasan, dia berkata: Ihdaad itu tidak wajib. Ini adalah pendapat yang syadzdz (minor) di antara pendapat para ulama dan ber¬ tentangan dengan sunnah, maka pendapat ini tidak perlu diangkat.” 1268 Imam Ibnul Qayyim berkata: “Para ulama telah sepakat atas di¬ wajibkannya ihdaad bagi isteri yang ditinggal mati suaminya, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-Hasan dan al-Hakam bin ‘Utbah ...” 1269 1265 Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, Kitab “ath-Thalaaq,” Bab “al-Qusthu lil Haaddah ‘indath Thuhri” (no. 5341) dan Muslim (dan lafazh ini miliknya), Kitab “ath-Thalaaq,” Bab “Wujuubul Ihdaad fii ‘Iddatil Wafaah wa Tahriimuhu fii Ghairi Dzalika illa Tsalaatsata Ayyaam” (no. 938). 1266 HR. Abu Dawud, Kitab “ath-Thalaaq,” Bab “Fii Maa Tajtanibul Mu’taddah fii ‘Iddatihaa” (no. 2304). An-Nasa-i, Kitab “ath-Thalaaq,” Bab “Maa Tajtanibul Haaddah minats Tsiyaabil Mushabbaghah” (no. 3533). 1267 Muslim, Kitab “ath-Thalaaq,” Bab “Wujuubul Ihdaad fii ‘Iddatil Wafaah wa Tahriimuhu fii Ghairi Dzalika illa Tsalaatsata Ayyaam” (no. 1491). 1268 Al-Mughni (XI/284). 1269 ZaadulMa’aad (V/696). Lihat pula: al-Ijmaa’ karya Ibnul Mundzir (hlm. 124). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 565 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH 2) Adapun, hukum berkabung bagi seorang perempuan atas (kematian) selain suaminya, maka para ulama telah sepakat bahwa seorang perempuan boleh berkabung atas kematian selain suaminya selama tiga hari, berdasarkan sabda Nabi: (Jjl S/ )) ((•' 3^3 LS^ “Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari Akhir ber-ihdaad (berkabung) lebih dari tiga hari kecuali atas (kematian) suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.” 1270 Di sini jelas bahwa ihdaad atas suami itu hukumnya wajib dan merupakan ‘azimah (hukum asal), sedangkan atas selain suami hukumnya boleh dan lebih merupakan rukhshah (keringanan). Tetapi, seorang wanita tidak boleh ber-ihdaad lebih dari tiga hari atas selain kematian suaminya. Dan zhahir hadits-hadits tersebut menunjukkan bolehnya perempuan berkabung atas setiap kematian selama tiga hari atau kurang—selain dari suami. Imam Ibnul Qayyim berkata: “Maka sesungguhnya ihdaad atas suami itu hukumnya wajib dan atas selain suami hukumnya boleh.” Juga berkata: “Jadi, ihdaad atas suami merupakan ‘azimah (hukum asal) dan atas selain suami hukum rukhshah (keringanan).” 1271 Al-‘Aini berkata: “Ibnu Baththal berkata: ‘Para ulama telah sepakat bahwa perempuan yang ditinggal mati ayah atau anaknya, sedang dia masih memiliki suami, dan suaminya memintanya (untuk bersetubuh) pada masa tiga hari yang pada masa itu dia diperbolehkan untuk berkabung, maka wanita tersebut harus mengqadhanya dengan suaminya selama masa tiga hari itu.” 1272 3. Masa ihdaad (berkabung) Masa berkabung ada dua macam, yaitu: Pertama: Masa berkabung atas suami. Ini terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut: 1270 Muslim (no. 1491). Takhrij-nya telah disebutkan. Masalah ihdaad sendiri telah dijelaskan dalam banyak hadits, di antaranya: Hadits ‘Aisyah ini, hadits Ummu Habibah, Zainab binti Jahsy, Ummu Salamah, dan Zainab binti Abi Salamah yang disepakati keshahihan- nya. Al-Bukhari (no. 5334-5337) dan Muslim (no. 1486), dan hadits Hafshah binti ‘Umar yang terdapat pada Muslim (no. 1490), serta hadits Ummu ‘Athiyah yang telah disepakati keshahihannya, sebagaimana telah disebutkan, yaitu al-Bukhari (no. 5341) dan Muslim (no. 938). 1271 ZaadulMa’aad (W/ 696). 1272 Umdatul Qaarii (Vffl/64). 566 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH 1) ‘Iddak perempuan yang ditinggal mati suaminya, dan dia tidak sedang hamil, yaitu empat bulan sepuluh hari. Berdasarkan firman Allah ®§|: 0j*j4 Oi^jl 'j $ 1% cfa I iji lylpj jfi, I ^ S§S^>- ^ 0^^' “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat .” (QS. Al-Baqarah: 234) Dan sabda Nabi i|§: JU1J oi y^)\ {°J\j iuL ifyy j>j S/» ((•\y^J (T J j V) “Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari Akhir ber -ihdaad (berkabung) lebih dari tiga hari, kecuali atas (kematian) suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.” 1273 Perempuan yang ditinggal mati suaminya, ada yang sudah disetubuhi dan ada pula yang belum, masa ‘iddah keduanya adalah empat bulan sepuluh hari, berdasarkan keumuman ayat. Karena, zhahir ayat dan hadits tersebut mencakup keduanya, sehingga tidak ada perbedaan di antara keduanya. Imam Ibnul Qayyim dsdM, berkata: “Adapun ‘ iddah wafat, maka hukumnya adalah wajib dikarenakan kematian suami, baik perempuan itu telah disetubuhi atau pun belum. Demikian, berdasarkan kesepakatan ulama, sebagaimana yang ditunjukkan oleh keumuman dalil al-Qur-an dan as-Sunnah.” 1274 Yaitu, hadits ‘Abdullah bin Mas’ud 4» mengenai 'iddah isteri yang di¬ tinggal mati suaminya, sementara ia belum disetubuhi. Ibnu Mas’ud pernah 1273 Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari (no. 5334) dan Muslim (no. 1486). Takbrij-nyu telah disebutkan dari beberapa orang Sahabat dari kalangan wanita. 1274 Zaadul Ma’aad (V/664). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 567 ditanya mengenai seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan, laki-laki itu belum menyebutkan maharnya dan belum berhubungan dengannya sampai dia meninggal dunia. Lalu, Ibnu Mas’ud menjawab: “Perempuan itu berhak atas mahar seperti mahar perempuan-perempuan yang setara dengannya, tak kurang dan tak lebih, dan dia wajib menjalankan ‘iddah, serta berhak memperoleh warisan.” Lalu Ma’qil bin Sinan berkata: “Rasulullah telah memutuskan perkara Birwa’ bin Wasyiq, salah seorang perempuan dari kami, seperti yang telah engkau putuskan.” Ibnu Mas’ud pun bergembira dengan hal tersebut. 1275 Ibnul Mundzir berkata: “Para ulama telah sepakat, dalam konteks ijma’, bahwa ‘iddah perempuan merdeka Muslimah dan tidak hamil, karena suaminya wafat adalah empat bulan sepuluh hari, baik telah disetubuhi atau pun belum, masih kecil dan belum baligh atau pun sudah dewasa dan telah baligh.” 1276 2) 'Iddah perempuan yang hamil, jatuh temponya adalah ketika dia melahirkan kandungannya, sekali pun hanya selang beberapa waktu setelah suaminya wafat Ibnul Mundzir berkata: “Para ulama telah sepakat bahwa seandainya seorang isteri yang sedang hamil tidak diketahui saat kematian suaminya atau pun thalaqnya, lalu dia melahirkan, maka masa ‘iddah -nya berakhir (dengan kelahiran tersebut-).” 1277 Imam Ibnu Qudamah $££ berkata: “Para ulama telah sepakat pula bahwa apabila isteri yang sedang hamil ditinggal mati oleh suaminya, maka akhir ‘ iddah- nya adalah ketika ia melahirkan kandungannya, kecuali pendapat Ibnu ‘Abbas dan pendapat yang diriwayatkan dari ‘Ali dari jalur yang terputus (munqathi), yaitu masa 'iddah -nya adalah masa yang paling panjang di antara keduanya {'iddah melahirkan atau 'iddah karena ditinggal mati oleh suaminya-). Pendapat ini pernah diucapkan oleh Abus Sanabil bin Ba’kak semasa Nabi <|§ masih hidup, lalu Nabi menyanggah pendapatnya ini. Dan diriwayatkan pula bahwa Ibnu ‘Abbas telah kembali kepada pendapat mayoritas tatkala sampai kepadanya hadits Subai’ah.” 1278 1275 HR. Abu Dawud, Kitab “an-Nikaah,” Bab “Fii Man Tazawwaja wa lam Yusammi Shadaaqan hattaa Maata” (no. 2114-2116). At-Tirmidzi, Kitab “an-Nikaah,” Bab “ar-Rajul Yatazawwajul Mar-ah fa Yamuutu ‘anhaa qabla an Yafridha lahaa” (no. 1145). An-Nasa-i, Kitab “an- Nikaah,” Bab “Ibaahatut Tazawwuj bi Ghair Shadaaq” (no. 3352). Ibnu Majah, Kitab “an- Nikaah,” Bab “ar-Rajul Yatazawwaju wa Laa Yafridhu lahaa fa Yamuutu ‘alaa Dzaalika” (no. 1891). Al-Hakim (11/180) dan dia menshahihkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil (VI/369). 1276 Al-Ijmaa ’karya Ibnul Mundzir (hlm. 121). 1277 Ibid. (hlm. 122). 1278 Al-Mughni (XI/227). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH Allah H§ berfirman: / v t <r ^ ■v* * ' £ 0*5 O O' Cr^V' J'-^' c-Jjlj ... f / ^9 % ^ s’ 3 ' x {^5 *-*J *' o? J ^ cb^* "... Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. ” (QS. Ath-Thalaaq: 4) Ayat tersebut menunjukkan bahwa setiap perempuan yang hamil, maka akhir masa ‘iddah- nya adalah ketika melahirkan kandungannya. Ini juga didasar¬ kan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Subai’ah binti al-Harits al-Aslamiyyah . Dia adalah isteri Sa’ad bin Khaulah, Sa’ad, suaminya meninggal ketika haji Wada’, di saat dia sedang hamil. Tak lama kemudian dia melahirkan kandungannya. Setelah selesai masa nifasnya, dia pun mempercantik diri untuk orang yang akan meminangnya. Lalu Abus Sanabil bin Ba’kak mengunjunginya dan berkata kepadanya: “Ada apa denganmu, aku lihat engkau mempercantik diri? Sepertinya engkau ingin menikah (kembali)? Demi Allah, sesungguhnya engkau tidak boleh menikah hingga berlalu empat bulan sepuluh hari.” Subai’ah berkata: “Tatkala dia mengatakan hal itu kepadaku, aku pun memakai seluruh pakaianku pada sore harinya. Lalu aku mendatangi Rasulullah j|§ dan bertanya kepada beliau mengenai hal tersebut. Beliau memberiku fatwa bahwa aku telah halal setelah aku melahirkan kandunganku dan beliau menyuruhku menikah, jika hal itu yang aku inginkan.” Ibnu Syihab berkata: “Menurutku, perempuan itu boleh menikah jika dia telah melahirkan, sekali pun pada masa di mana darah nifasnya masih ada. Hanya saja, suaminya tidak boleh melakukan hubungan badan dengannya hingga dia suci.” 1279 4. Hikmah dibalik ihdaad Setiap Muslim wajib tunduk kepada syari’at Allah SU dan Rasul-Nya. Jika dia mengetahui hikmah dibalik apa yang disyariatkan kepadanya, maka hal itu merupakan tambahan ilmu dan hikmah baginya. Namun, jika ia tidak mengetahui hikmah tersebut, maka dia pun tidak akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban) mengenai hikmah tersebut. Yang wajib baginya hanyalah mengamalkan apa yang telah diperintahkan kepadanya dan menjauhi apa saja yang dilarang baginya. 1279 HR. Al-Bukhari, Kitab “al-Maghaazi”, Bab “10” (no. 3991) dan Muslim, Kitab “ath-Thalaaq,” Bab “Inqidhaa-u ‘Iddatil Mutawaffa ‘anhaa Zaujuhaa wa Ghairihaa bi Wadh’il Hamli” (no. 1484). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 569 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH Sebagian ulama menyebutkan beberapa hikmah dibalik disyari’atkannya ihdaad. Secara ringkas di antaranya, adalah sebagai berikut: 1) Menghormati perintah Allah dan mengamalkan apa saja yang akan mem- buat-Nya ridha. 2) Menghormati hak suami dan (sebagai bentuk) pemeliharaan hubungan dengannya. 3) Pentingnya akad nikah dan ketinggian nilainya. 4) Menenteramkan jiwa kerabat suami dan menjaga perasaan mereka. 5) Saddu Dzari’ah , yaitu menutup kesempatan yang membuat perempuan ingin menikah pada masa ini dan yang membuat kaum laki-laki ingin memilikinya. 6) Ihdaad merupakan pelengkap dan tuntutan ‘iddah wafat. 7) Sebagai bentuk duka atas hilangnya nikmat dibalik pernikahan yang meng¬ himpun antara kebaikan di dunia dan di akhirat. 8) Ihdaad sesuai dengan tabiat manusia. Karena jiwa manusia itu akan ter¬ pengaruh oleh musibah yang menimpanya, maka Allah membolehkan¬ nya pada batasan tertentu yang pada masa ini dia dapat mengungkapkan perasaan sedih dan dukanya atas musibah yang menimpanya; disertai dengan keridhaan yang sempurna terhadap keputusan dan takdir Allah; dan bersabar atas takdir-takdir Allah yang membuatnya sedih; mengharapkan pahala di sisi Allah bagi orang yang mau bersabar dan mengharapkan pahala (di balik musibahnya); menunggu kebaikan yang dijanjikan oleh Allah bagi orang yang memujinya, mau mengakui bahwa ia hanyalah milik-Nya, dan hanya akan kembali kepada-Nya; serta memohon kepada Allah semoga Dia membalas musibahnya ini dengan kebaikan dan memberinya pengganti yang lebih baik darinya. 1280 5. Perempuan yang menjalankan ihdaad atas suaminya, wajib menjalan¬ kan enam ketentuan hukum, yaitu sebagai berikut: 1) Perempuan tersebut wajib menetap di rumahnya yaitu tempat suaminya meninggal dunia dan ia tinggal di sana. Dia tidak boleh keluar dari rumah tersebut kecuali karena adanya suatu keperluan atau hal yang bersifat darurat, seperti pergi ke rumah sakit ketika ia sakit, atau membeli sebagian kebutuhannya dari pasar jika dia tidak memiliki pelayan yang melakukan hal tersebut. Di antara dalil-dalil yang menjelaskan hal tersebut adalah hadits Zainab binti Ka’ab bin ‘Ajrah dari al-Furai’ah binti Malik bin Sinan, yaitu saudara 1280 Lihat: I’laamulMuwaqqi’iin ‘an Rabbil ‘Aalamiin karya Ibnul Qayyim (II/146-148). Fat-hul Baari karya Ibnu Hajar (IX/47). Ahkaamul Ihdaad karya Khalid bin ‘Abdillah al-Mushlih, yang telah dibaca ulang oleh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid (hlm. 31-32). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH perempuan dari Abu Sa’id al-Khudri «g* 5 • Dia telah mengabarinya bahwa ia pernah mendatangi Rasulullah 3 §§ untuk bertanya kepada beliau, apakah ia boleh kembali kepada keluarganya di Bani Khudrah, karena suaminya telah keluar untuk mencari budak-budaknya yang melarikan diri, hingga ketika mereka telah sampai di daerah Tharaful Qadum (suatu tempat yang jaraknya enam mil dari Madinah,'**"), suaminya dapat menyusul mereka, namun mereka membunuhnya. Lalu, aku meminta kepada Rasulullah agar aku boleh kembali ke keluargaku, karena suamiku tidak meninggalkanku di tempat tinggal yang dimilikinya dan tidak pula meninggalkan nafkah. Al-Furai’ah berkata: “Rasulullah j|§ bersabda: “Ya (boleh).” Al-Furai’ah melanjutkan: “Lalu, aku keluar hingga ketika aku telah sampai di hujrah (atau di masjid), beliau (memanggilku atau) memerintahkan agar aku dipanggil untuk menemui beliau. Lantas beliau bertanya: ‘Bagaimana yang engkau katakan (tadi)?’ Aku pun mengulangi kisah yang telah aku ceritakan ke¬ padanya mengenai masalah suamiku.” Al-Furai’ah berkata: “Beliau «H bersabda: ‘Menetaplah di rumahmu hingga masa ‘iddah selesai.” Al-Furai’ah berkata: “Maka aku pun menjalankan masa ‘iddah di dalamnya selama empat bulan sepuluh hari.” Al-Furai’ah berkata: “Tatkala masa ‘Utsman, (ia) mengirim utusan kepadaku, lalu dia bertanya kepadaku mengenai hal ter¬ sebut, dan aku kabarkan kepadanya, maka dia mengikutinya dan memutuskan perkara dengan hal tersebut.” 1281 Imam Ibnu Qudamah berkata: “Ini adalah hadits shahih yang dengannya, ‘Utsman menetapkan hukum bagi Sahabat dan mereka tidak meng¬ ingkarinya. Jika hal ini memang benar, maka menjalankan masa ‘iddah itu wajib dilakukan di rumah di mana suaminya meninggal dunia dengan menetap di sana, baik rumah tersebut milik suaminya, sewaan, atau pun pinjaman. Karena Nabi j|§ berkata kepada al-Furai’ah: “Menetaplah di rumahmu.” Ketika itu, rumah tersebut bukanlah rumah yang dimiliki oleh suaminya. Dalam sebagian lafazh disebutkan: “J$er-‘iddah-\ah. di rumah yang di sana telah sampai kepadamu berita kematian suamimu.” Dan disebutkan dalam lafazh yang lain: “Ber-‘iddah-\ah di tempat di mana berita itu sampai kepadamu.” Namun, jika berita tersebut datang kepadanya di tempat lain, maka dia kembali ke rumahnya dan menjalani masa ‘iddah di dalamnya.” 1282 1281 Abu Dawud, dengan lafazh hadits ini, Kitab”ath-Thalaaq,” Bab “Fil Mutawaffaa ‘anhaa Tantaqilu” (no. 2300). An-Nasa-i, Kitab “ath-Thalaaq,” Bab “Maqaamul Mutawaffa ‘anhaa Zaujuhaa fii Baitihaa hatta Tantaqila” (no. 3558) dengan lafazh: “Menetaplah di rumahmu hingga selesai masanya (‘iddah)” dan disebutkan dalam lafazhnya (no. 3559): “Ber -‘iddah- lah ketika berita itu sampai kepadamu” dan disebutkan pula dalam lafazhnya (no. 3560): “Menetaplah di keluargamu hingga selesai masanya (‘iddah).” At-Tirmidzi (III/499-500). Ibnu Majah (1/654, no. 2031) dan lafazhnya: “Menetaplah di rumahmu yang di dalamya terdapat berita kematian suamimu hingga selesai masanya (‘iddah)” Ahmad (VI/370, 420, 421). 1282 Al-Mughni (XI/291). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 571 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH Imam Ibnu Qudamah berkata: “Namun, seandainya dia khawatir apabila rumah tersebut akan rubuh, tenggelam, atau adanya musuh dan se¬ macamnya, atau pemilik rumah memindahkannya, karena rumah itu adalah rumah pinjaman dan dia ingin mengambilnya kembali; atau rumah sewaan yang telah habis masanya; atau pemiliknya melarangnya tinggal di tempat tersebut karena kezhalimannya; atau pemiliknya menolak untuk menyewakannya; atau dia meminta bayaran penyewaan yang lebih banyak dari yang biasanya; atau perempuan tersebut tidak memiliki uang untuk menyewanya; atau dia tidak mendapatkan uang kecuali dari hartanya sendiri (padahal itu adalah kewajiban suaminya dan dari harta peninggalan suaminya,' pen ), maka perempuan itu di¬ perbolehkan pindah, karena dia dianggap dalam keadaan uzur, dan karena dia tidak wajib membayar sewa rumah (dari uangnya sendiri^. Namun yang wajib atasnya hanyalah menetap, bukan mencari tempat tinggal. Seandainya dia mendapat kesulitan untuk menetap, maka kewajiban itu gugur darinya dan dia boleh menetap di mana saja yang dia kehendaki ,...” 1283 Imam Ibnu Qudamah juga berkata: “Perempuan yang sedang ‘iddah boleh keluar di siang hari untuk memenuhi beberapa keperluannya, baik dia itu perempuan yang dithalaq atau pun yang ditinggal mati suaminya.” 1284 Berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah dia berkata: “Bibiku telah dicerai oleh suaminya, lalu dia ingin memanen pohon kurmanya. Namun, ada seorang laki-laki yang melarangnya keluar. Ia pun mendatangi Nabi jl§. Beliau *§§ bersabda: s 0 ^ £ & S ^ £ s ^ ^ 0 ^ ^ ^ y (j 01 ^ )) “Ya, panenlah pohon kurmamu, karena dengannya semoga kamu bisa bersedekah atau melakukan kebaikan.” 1285 Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa perempuan yang sedang menjalankan ihdaad (masa berkabung) tidak boleh menginap (pada waktu malam hari) selain di rumahnya dan dia tidak boleh keluar pada waktu malam hari kecuali karena keperluan yang bersifat darurat. Karena, waktu malam hari merupakan waktu yang sangat rentan untuk terjadinya kerusakan. Berbeda dengan waktu siang hari, karena waktu siang adalah masanya untuk menyelesaikan urusan, mencari nafkah, dan membeli barang kebutuhan 1286 . 1287 1283 Al-Mugbni karya Ibnu Qudamah (XI/291-292). 1284 Ibid. (XI/297). 1285 Muslim, Kitab “ath-Thalaaq,” Bab “Jawaaz Khuruujil Mu’taddah al-Baa-in wal Mutawaffa ‘anhaa Zaujuhaa fin Nahaar li Haajatihaa” (no. 1483). 1286 Al-Mugbni karya Ibnu Qudamah (XI/297-298). 1287 Ibnu Qudamah telah menyebutkan beberapa atsar mengenai hal tersebut. (Al-Mugbni [XI/297-298]). 572 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH 2) Perempuan yang sedang ihdaad dilarang mengenakan pakaian yang menarik, namun dia boleh memakai pakaian lainnya Ibnul Mundzir telah menyebutkan adanya ijma’ yang melarang wanita yang sedang ber -ihdaad memakai pakaian yang diberi ‘ashfar (sejenis tumbuhan berwarna). 1288 Ia diharamkan memakai pakaian yang berwarna untuk mem¬ percantik diri, seperti pakaian yang diberi ‘ashfar, pakaian yang dicelup dengan zafaran, dan semua pakaian yang diberi warna untuk mempercantik diri. 1289 Hal ini berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah , bahwa Rasulullah «H telah bersabda: <3^ C-4^ o\y\ S/)) £b> Sf3 S/3 VI Sj i* Si vi “Janganlah seorang perempuan ber -ihdaad atas jenazah lebih dari tiga hari kecuali atas (kematian) suami, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. Ia tidak boleh memakai pakaian yang dicelup (warna), kecuali pakaian ‘ushb (jenis pakaian Yaman), ia tidak boleh memakai celak, dan tidak boleh memakai wewangian kecuali jika ia baru suci (dari haidh‘ ed ), yaitu sedikit dari (wewangian) qusth atau azhfar” 1290 Abu Dawud menambahkan: ^3 )) “Dan janganlah dia mencat kukunya.” 1291 3) Perempuan yang sedang ber -ihdaad dilarang menggunakan semua jenis wewangian atau semacamnya. Namun, kecuali jika dia baru suci dari haidhnya, maka dia diperbolehkan memakai wewangian dengan bukhuur dan sejenisnya. Hal ini berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah i^j$ yang di dalamnya di¬ sebutkan: 1288 Lihat: al-Ijmaa’ karya Ibnul Mundzir (hlm. 124). 1289 Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (XI/288). 1290 Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari (no. 5341) dan Muslim (no. 938). Takhrij-nyu telah disebutkan pada pembahasan mengenai hukum ihdaad yang syar’i. 1291 HR. Abu Dawud, Kitab “ath-Thalaaq,” Bab “Fii Maa Tajtanibul Mu’taddah fii ‘Iddatihaa” (no. 2304). An-Nasa-i, Kitab “ath-Thalaaq,” Bab “Maa Tajtanibul Haaddah minats Tsiyaabil Mushabbaghah” (no. 3533). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 573 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH ((.jlifet JgjJ ... “Dan tidak boleh memakai wewangian, kecuali jika dia baru suci (dari haidh ed ), yaitu sedikit dari (wewangian) qusth atau azhfar.” 1292 Imam an-Nawawi -S&M berkata ketika menjelaskan tentang kata al-Qusth dan al-Azhfar: “Yaitu dua jenis wewangian yang dibakar yang telah dikenal, dan tujuannya bukan untuk wewangian. Hal itu merupakan keringanan bagi perempuan yang mandi dari haidh untuk menghilangkan bau yang tidak enak yang mengiringi bekas keluarnya darah, bukan untuk wewangian. Wallaahu alam.”' 293 Sabda beliau: “Dan tidak boleh memakai wewangian,” mencakup semua jenis wewangian, baik minyak rambut yang wangi maupun perasan minyak- minyak wangi. Semua termasuk wewangian yang dilarang. 1294 Namun, tidak termasuk di dalamnya, yaitu minyak (makanan), minyak samin, dan minyak-minyak yang tidak memiliki aroma wangi. 1295 4) Perempuan yang sedang ber -ihdaad dilarang mengenakan perhiasan Baik berupa emas, perak, intan, dan lainnya, berbentuk kalung, gelang, giwang, cincin, atau pun yang lainnya. Berdasarkan hadits Ummu Salamah , isteri Nabi s|§ dari Nabi, beliau bersabda: jtf yg*ft.lt V )) S Ij Sfj S Ij “Perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak boleh mengenakan pakaian yang diberi ‘ashfar (warna kuning), warna merah, dan perhiasan, serta dia tidak boleh mencat kukunya dan memakai celak.” 1296 Imam Ibnul Mundzir berkata: “Para ulama telah sepakat dalam konteks ijma’ bahwa perempuan yang sedang melakukan ihdaad dilarang memakai perhiasan.” 1297 Selain alasan tersebut, karena perhiasan itu dapat 129 “ Muttafaq ‘alaih\ al-Bukhari (no. 5341) dan Muslim (no. 938). Takhrij-nya telah disebutkan. 1293 Syarhun Nawawi ‘alaa Shahiih Muslim (X/119). 1294 Zaadul Ma’aad karya Ibnul Qayyim (V/701-702). 1295 Ibid. (V/702). 1296 Abu Dawud dengan lafazhnya, Kitab “ath-Thalaaq,” Bab “Fii Maa Tajtanibuhul Mu’taddah fii ‘Iddatihaa” (no. 2304). Ahmad (VI/302). An-Nasa-i (VI/203, no. 3535) tanpa lafazh “dan perhiasan.” Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahiih Abu Dawud (11/43). 1297 Al-Ijmaa’ karya Ibnul Mundzir (hlm. 125). 574 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH menambah kecantikannya dan mengundang (laki-laki) untuk menggaulinya (menikahinya‘ ed ). 1298 5) Perempuan yang sedang ber -ihdaad dilarang memakai cat kuku dengan pacar atau sejenisnya Berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah , bahwa Rasululah bersabda: V) ^ )) Sf3 cJ^J V} ^ VI l# jJL- Yj 0 * jl ^ oAp O^Js> lil V} “Janganlah seorang perempuan ber -ihdaad (berkabung) atas jenazah lebih dari tiga hari kecuali atas (kematian) suami, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. Ia tidak boleh memakai pakaian yang dicelup (warna), kecuali pakaian ‘ushb (jenis pakaian Yaman), ia tidak boleh memakai celak, dan tidak boleh memakai wewangian kecuali jika ia baru suci (dari haidh ed ), yaitu sedikit dari (wewangian) qusth atau azhfar” Abu Dawud menambahkan: Sfj )) “Dan janganlah ia mencat kukunya.” 1299 Juga berdasarkan hadits Ummu Salamah ^ , isteri Nabi 5|| yang di dalamnya disebutkan: V3» “Dan janganlah ia mencat kukunya.” 1300 Imam Ibnul Qayyim berkata: “Maka, haram baginya memakai cat kuku, mewarnainya, menghiasinya, dan memberinya pewarna merah. Karena, Nabi 3|§ telah menjelaskan larangan memakai cat kuku, sebagai peringatan ter¬ hadap jenis-jenis ini semua.” i301 1298 Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (III/89). Asy-Syarhul Kabiir yang dicetak bersama kitab al-Muqni > dan kitab al-Inshaaf (XXIV/140). 1299 Muttafaq \alaih: al-Bukhari, Kitab “al-Haidh,” Bab “Ath-Thiib lil Mar-ah ‘inda Ghaslihaa minal Mahiidh” (no. 313), Muslim, Kitab “al-Janaa-iz”, Bab “Nahyun Nisaa’ ‘an Ittibaa’il Janaa-iz” (no. 938), dan Abu Dawud, Kitab “ath-Thalaaq,” Bab “Fii Maa Tajtanibul Mu’taddah fii ‘Iddatihaa” (no. 2302). 1300 Abu Dawud (no. 2304), Ahmad (VI/302), an-Nasa-i (no. 3535). Takhrij-nyz telah disebutkan pada catatan kaki sebelumnya. 1301 Zaadul Ma ’aad (V/702). Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH 6) Perempuan yang sedang ber -ihdaad dilarang memakai celak Berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah yang di dalamnya disebutkan: ((.J>^o Sfj ••• )) "... dan tidak boleh memakai celak.” 1 Dan hadits Ummu Salamah yang di dalamnya disebutkan: ((.)) “Dan tidak boleh memakai celak.” 1 Disebutkan dalam hadits Ummu Salamah ^ , dia berkata: “Ada seorang perempuan datang kepada Rasulullah J|g, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, se¬ sungguhnya puteriku ditinggal mati suaminya dan dia mengeluhkan sakit pada kedua matanya. Lalu, apakah dia boleh memakai celak?’ Rasulullah j|j menjawab: ‘Tidak boleh.’ Sebanyak dua atau tiga kali. Semua itu beliau jawab: ‘Tidak boleh.’ Kemudian beliau bersabda: y ijl ^.1 djis" jSj c 5^3 )) ((... y j L5 L ‘Sesungguhnya dia (masa ‘iddah) itu hanya empat bulan sepuluh hari, dan dahulu pada masa Jahiliyyah, seorang dari kalian melempar kotoran hewan pada akhir tahun (maksudnya bahwa pada masa Jahiliyyah ‘iddah mereka selama satu tahun di dalam rumah yang kecil setelah selesai masa ‘iddah mereka melemparkan kotoran binatang kehadapnya sebagai tanda selesainya masa ‘idelah)** ....’” 1304 Imam Ibnul Qayyim berkata: “Sebagian ulama dari kalangan salaf dan khalaf, di antaranya Abu Muhammad bin Hazm berkata: ‘Dia tidak boleh memakai celak baik pada waktu malam hari maupun waktu siang hari, sekali pun kedua matanya harus hilang.” Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa mereka didukung oleh hadits Ummu Salamah di atas. Kemudian dia berkata: “Jumhur ulama, seperti Malik, Ahmad, Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan para pengikut mereka berpendapat: ‘Jika dia terpaksa memakai celak dengan itsmid (batu sebagai 1302 Muttafaq ‘alaib: al-Bukhari (no. 5341) dan Muslim (no. 938). Takhrij -nya telah disebut¬ kan lebih dari satu kali. 1303 Abu Dawud (no. 2304), Ahmad (VI/302), an-Nasa-i (no. 3535). Takhrij -nya telah di¬ sebutkan. 1304 Muttafaq ‘alaib: al-Bukhari (no. 5334) dan Muslim (no. 1486). Takhrij -nya telah di¬ sebutkan. 576 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 577 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT ALOUR-AN DAN AS-SUNNAH kan sakit pada matanya, di mana Nabi i|§ berkata “tidak,” hal ini (karena sakit pada matanya )—wallaahu a’lam —tidak sampai pada batasan yang mengharuskannya memakai celak, karena itulah, beliau melarangnya. Seandainya perempuan itu benar-benar membutuhkan dan terpaksa (menggunakannya) karena dia khawatir pengelihatannya akan hilang, tentulah beliau mengizinkannya untuk memakai celak, sebagaimana yang beliau lakukan terhadap perempuan lain yang beliau katakan kepadanya: “Pakailah celak itu pada waktu malam hari dan hapuslah pada waktu siang hari.” Dan penalaran dapat mendukung pentakwilan ini. Dalam kaidah dasar pengambilan hukum, dikenal bahwa situasi darurat dapat mengalihkan larangan menjadi sesuatu yang bersifat mubah (boleh). Karena inilah, Imam Malik menjadikan fatwa Ummu Salamah sebagai penafsiran terhadap hadits yang menerangkan tentang (pelarangan' ed ) celak. Karena Ummu Salamahlah yang langsung meriwayatkannya, dan tentulah dia tidak akan menyelisihinya jika memang benar hadits itu diriwayatkan darinya, dan dia lebih mengetahui ter¬ hadap pentakwilan hadits itu dan jalan keluarnya ,...” 1307 Saya (penulis) pernah mendengar guru kami, Syaikh bin Baz OM berkata: “Celak itu dilarang bagi perempuan yang sedang ber-ihdaad kecuali karena alasan pengobatan, maka celak boleh dipakai pada malam hari dan dihapus pada siang hari.” 1308 Imam Ibnul Qayyim berkata: “Dan perempuan yang sedang ber- ihdaad tidak dilarang untuk membersihkan dirinya dengan memotong kuku, mencabut bulu ketiak, memotong rambut yang dianjurkan untuk dipotong, dan dia tidak dilarang untuk mandi dengan menggunakan daun bidara dan menyisir rambutnya dengannya.” 1309 Dia juga boleh berbicara dengan siapa saja yang dia kehendaki dari laki-laki yang menjadi mahramnya dan duduk bersama mereka. Dia pun boleh menyuguhkan makanan dan minuman dan lain sebagainya. Dia juga diperbolehkan bekerja di rumahnya atau pun di teras rumahnya baik, siang maupun malam, pada semua yang berhubungan dengan aktivitas rumahnya, seperti memasak, menjahit, menyapu rumah, dan mencuci pakaian, 1310 tetapi dia tetap harus mematuhi keenam perkara yang telah disebutkan di atas. Wallaahul muwaffiq bish shawaab. 1307 At-Tamhiid karya Ibnu ‘Abdil Barr (XVII/318-319). ZaadulMa’aad (V/703-704). 1308 Penulis mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Sunanun Nasa-i, hadits (no. 3539). 1309 Al-Mughni (XI/288). 1310 Berasal dari ucapan guru kami, Syaikh bin Baz pada sebuah makalah beliau yang di dalamnya beliau menjelaskan tentang ketentuan-ketentuan hukum yang harus dipatuhi oleh perempuan yang sedang menjalankan ihdaad, makalah ini dikutip oleh Syaikh Khalid bin ‘Abdullah al-Mushlih dalam kitabnya Ahkaamul Ihdaad (hlm. 155). 578 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-OUR-AN DAN AS-SUNNAH 6. Ada enam kelompok perempuan yang menjalani 'iddah, yaitu: 1) Perempuan hamil 'Iddah-nya. karena kematian suaminya atau thalaq adalah hingga ia me¬ lahirkan anaknya secara sempurna. Berdasarkan firman Allah HH : S jL; ^ ^ 0 f Ujlj ... > i 0 ‘-‘•A Cr? J 3 ?-' Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang hertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusan¬ nya. ” (QS. Ath-Thalaaq: 4) 2) Perempuan yang ditinggal mati suaminya dan tidak sedang hamil Masa 'iddah -nya adalah empat bulan sepuluh hari, terhitung sejak kematian suaminya. Berdasarkan firman Allah l® : k*. ^ ^ £ "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isten-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (her’iddah) empat bulan sepuluh hari.... ” (QS. Al-Baqarah: 234) 3) Perempuan yang sedang haidh ‘Iddah-nya. karena thalaq atau pun fasakh (pembatalan akad nikah karena ada¬ nya hal-hal syar’i yang tidak dipenuhi, baik ketika akad maupun setelahnya, ed ), adalah tiga quru (tiga kali masa suci atau tiga kali masa haidh, pen ). Berdasarkan firman Allah @1: ^ Cl * -* f ( yjp ) ... P Jj3 Aidj j U * i , , Ajb . u > | «V s s'* i » > k i . “ Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’... ” (QS. Al-Baqarah: 228) Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah 579 ENSIKLOPEDI SHALAT MENURUT AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH 4) Perempuan yang tidak mengalami haidh, karena masih kecil atau sudah tua Masa ‘iddah- nya adalah tiga bulan. Berdasarkan firman Allah I® : Or^ 3 Oj (j* ^ ✓ ^ ✓ / ^ W W Z' Jf TL v ' ' J. -,t* ' '' X0 •••• ^ ^ s “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)perempuan-perempuan yang tidak haidh .... ” (QS. Ath-Thalaaq: 4) Dan disamakan dengannya, perempuan yang mengalami istihaadhah. 5) Perempuan yang habis masa haidhnya dan dia tidak mengetahui apa penyebabnya Masa ‘iddah- nya adalah satu tahun. Ini berdasarkan pendapat asy-Syafi’i: “Ini adalah keputusan ‘Umar 4^ yang diberlakukan di kalangan kaum Muhajirin dan kaum Anshar, dan sepengetahuan kami tidak ada satu orang pun dari mereka yang mengingkarinya. 6) Isteri dari orang yang hilang Setelah masa penantian, yaitu empat bulan sepuluh hari, ia menambahnya dengan ‘iddah wafat (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya* 11 ). 1311 Permulaan penulisan kitab yang insya Allah diberkahi ini pada tanggal 1 Muharram 1420 H. Kepada Aliahlah, penulis memohon semoga Dia menganugerahkan akhir yang baik dan menjadikan amal ini bermanfaat bagi penulis dan setiap orang yang mendapatkannya, serta menjadikannya ikhlas karena mengharap ridha- Nya semata. Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Semoga Allah senantiasa bersalawat dan melimpahkan keselamatan dan keberkahan kepada hamba dan utusan-Nya, Nabi Muhammad kepada keluarga dan para Sahabat beliau serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Pembalasan. Ditulis pada hari Jum’at, 28 Dzulqa’idah 1423 H. 1311 Fataawaal Lajnatid Daa-imah lil Bubuutsil ‘Ilmiyyah (XX/402-404). Lihat pula: al-Iqnaa’ li Thaalibil Intifaa ’ karya al-Hajawi (IV/6-12) dan al-Kaafii karya Ibnu Qudamah (V/6). 580 Pembahasan Ketiga Puluh Tiga: Shalat Jenazah PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASY SYAFI I B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAMASVSYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASV-SVAFTI # PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I # PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY SYAFI I PUSTAKA IMAMASVSYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASV-SVAFTI # PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT f@ PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT # PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI’I PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAMASVSYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI’I B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I # PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM AsY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT # PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI’I # PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAMASVSYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I # PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SVAFIT # PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT # PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT # PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT $ PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT # PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI I B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT # PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT # PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT B PUSTAKA IMAMASVSYAFIT PUSTAKA PUSTAKA PUSTAKA PUSTAKA IMAM ASY-SYAFIT IMAM ASY-SYAFII IMAM ASY-SYAFII IMAM ASYSYAFII B B PUSTAO IMAHACTSWF B HMASKV * Jg PttsncA iwwAsraF B iMAMAST-flMF" € IMAffASF^MF ISBN c i7 c l-3S3b-72-l (no.j i 1. 1 engkap) ISBN T7 c l-3S3t»-7S“b Cjil-3) 9 789793 536750*l> IMam disiplin umnsyar i tqaamah (menepuk sbalat berari» ENSIKLOPEDI SHALAT Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah dapat dikatukaS tetal-, nj©ije$aii ari tidak- merhenhli 6* sekasa .n semhaparig Shafar, shalaniya ofaitg bukan sKalatnya orang munafik Itulah 4W.it yang lenjadi qurratul 'ain (penyejuk mata) Rasulullah I menjalan i fkl iff&a®tyri sehatl^N^^,§ : g $Mah shalat yang terpenuhi syarattrukun/dan sunnah'sunnahnp sesu; 'yipg dicohfehkan oleh Rasulullah M. n - ipas t u • tentang shalat dan perm