Apa makna dari hari raya Idul Fitri bagi umat Islam?

JAKARTA, iNews.id - Memasuki lebaran 1443 Hijriah, makna Idul Fitri bagi umat Islam perlu direnungkan kembali. Idul Fitri menjadi hari yang ditunggu-tunggu umat muslim setelah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan selama satu bulan.

Selain melaksanakan ibadah puasa, umat islam juga melaksanakan rangkaian ibadah lain, seperti berbagai shalat sunnah, tadarus al-Qur’an, shadaqah, dan lain sebagainya ketika bulan Ramadhan.

Maka dari itu, umat Islam di bulan Syawal digolongkan oleh Allah sebagai orang yang mendapat kemenangan dan kembali ke fitrahnya semula (Ied al-Fitri), ja’alana Allah wa iyyakum min al-‘adin wal-faizin wa adkhilna waiyyakum fi zumrati ibad al-shalihin. 

Dilansir iNews.id dari UIN Malang, hari raya Idul Fitri ada karena adanya shiyam Ramadhan. Maka dari itu, tidak ada nilai dan identitas 'fitri' jika tidak ada pelaksanaan shiyam Ramadhan.

Makna Idul Fitri bagi Umat Islam

Nilai atau makna hari raya dalam pandangan Islam bukanlah semata-mata rutinitas tahunan. Keistimewaan hari raya sejatinya berkaitan dengan ibadah penting dalam Islam. 

Hari raya idul fitri dirayakan setelah umat muslim menunaikan ibadah rukun islam keempat, yakni puasa selama satu bulan penuh. Sementara hari raya Idul Adha, dirayakan kaum muslimin bersamaan rukun islam kelima, yakni ibadah haji yang ditunaikan oleh sebagian kaum muslimin.

Ibnu Arabi, sebagaimana dalam Al Lisan, berkata, "Hari ‘ied disebut ‘ied karena ia senantiasa kembali setiap tahun dengan kebahagian yang baru.” (dinukil dari Syarh Umdah al Fiqh, hal. 309)

Oleh karena itu, hari raya seharusnya dimaknai oleh kaum muslimin sebagai bentuk sukacita karena keutamaan dan karunia Allah.

Berbahagia karena keutamaan dan karunia Allah adalah perintah Allah ‘azza wa jalla dalam Al Qur`an:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus [10]: 58)

Bukti bahwa hari raya merupakan hari kebahagiaan kaum muslimin terletak pada disyariatkannya amal ibadah yang mengandung nilai sosial dan nilai ketaatan serta ketundukan kepada Allah sebagai tujuan utamanya.

Tujuannya adalah, agar secara merata seluruh kaum muslimin dapat merasakan kebahagiaan, termasuk orang-orang yang tidak berkecukupan.

Pada hari raya `idul fitri disyariatkan zakat fithri, mengeluarkan harta dalam bentuk makanan kepada fakir miskin dengan ukuran yang telah ditentukan. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda tentang hikmah syariat zakat tersebut,

زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

“Zakat fitrah (berfungsi) untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan buruk, dan untuk memberi makan kepada fakir miskin.” (HR Abu Dawud, dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam al Irwa no: 843)

Walaupun pada hari raya Idul Fitri dianjurkan untuk menampakkan kebahagiaan dan bersenang-senang, bukan berarti pada hari raya Idul Fitri kaum muslimin bebas melakukan perbuatan apa saja. Bersenang-senang dan mengungkapkan kebahagiaan pada hari raya tetap harus berada pada koridor yang dibenarkan, bukan dengan perbuatan dan aktivitas maksiat.

Bermaksiat pada hari raya sama dengan menodai nilai 'fitri' itu sendiri. Karena sebagaimana yang telah lalu, bahwa kebahagiaan hari raya adalah kebahagiaan karena taat dan ibadah, karena besarnya karunia Allah atas kita dengan diberikannya kita kemampuan untuk menunaikan perintah-Nya.

Wallahu a’lam, semoga Allah tetap menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang berbahagia di dunia dan di akhirat. Amin

Editor : Komaruddin Bagja




Hari ini kita berada di ujung bulan Ramadhan. Insya Allah, satu atau dua hari lagi kita memasuki Id al-Fitri. Umat Islam telah melakukan ritual besar selama satu bulan penuh, yaitu shiyam ramadhan, plus seluruh rangkaian ibadah dan amal kebajikan lainnya, seperti shalat-shalat sunnah, tadarrus al-Qur’an, shadaqah, dan lain sebagainya. Maka hari ini atau bulan Syawal, kita digolongkan oleh Allah menjadi orang yang mendapat kemenangan dan kembali ke fitrahnya semula (Ied al-Fitri), ja’alana Allah wa iyyakum min al-‘adin wal-faizin wa adkhalana waiyyakum fi zumrati ibad al-shalihin. Idul fitri ada karena adanya shiyam ramadhan, maka tidak ada nilai dan identitas fitri jika tidak ada pelaksanaan shiyam ramadhan. Kenapa orang mukmin saat ini dikembalikan ke fitrahnya? Mari kita flash back dan kaji kembali.

Selama bulan Ramadhan hingga Syawal, seluruh karunia ditumpahkan oleh Allah kepada umat Islam. Paling tidak ada tujuh macam karunia itu: pertama, rahmat (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh pertama (al-‘asyr al awwal); kedua, maghfirah (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh kedua atau pertengahan (al-‘asyr al-ausath); ketiga, pembebasan (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh terakhir (al-‘asyr al-awakhir); keempat, lailatul qadar yang diturunkan pada malam-malam ganjil (yang nilainya lebih baik dari seribu bulan setara dengan 83 usia manusia); kelima, zakat fitrah, (yang dapat membersihkan dosa-dosa dan mengembalikan fitrah manusia); keenam, pahala puasa 6 hari syawal, (yang nilainya setara dengan puasa satu tahun); ketujuh, halal bi halal (saling memaafkan di antara kita, yang dapat menghapus dosa antarsesama).

Bagi umat Islam, sekarang ini sedang memasuki babak baru, babak kembali ke fitrah yang suci. Karena muara ibadah berpuasa ramadhan adalah terbentuknya muslim yang bertakwa.Dalam Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran, ayat 133 Allah Swt menegaskan bahwa di antara ciri-ciri orang bertakwa itu diantaranya ada empat yaitu:

Pertama, menginfakkan sebagian harta baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Maknanya adalah, orang yang selalu rajin dan ajek beramal serta ikhlas lillahi Ta’ala. Kebiasaan bersedekah seperti ini juga dicontohkan oleh ‘Aisyah radhiyallah ‘anha, istri Rasulullah Saw. yang rutin bersedekah meski hanya dengan sebiji kurma sekalipun.  Bahkan di dalam riwayat lain Nabi menyebutkan, bahwa harta yang dikeluarkan untuk kepentingan sedekah itu tidak akan mengurangi sedikitpun kekayaan seseorang, melainkan justru menjadi investasi akhirat yang akan dinikmati hasilnya. Ini tentu sangat bebrbeda dengan kondisi di dunia ini. Jika seseorang menginvestasikan uangnya di Bank-Bank yang ada di dunia ini, pada suatu saat jika Bank-Bank tersebut harus gulung tikar atau dilikuidasi, maka para investor itu akan ikut merugi. Dalam surat al-Baqarah: 261 Allah menjelaskan, bahwa perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang dikehendaki, dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi infak untuk kepentingan jihad fi sabilillah, pembangunan tempat-tempat ibadah: masjid, mushalla, madrasah, rumah sakit, lembaga-lembaga sosial lainnya yang diridhai oleh Allah Swt.

Kedua, ciri-ciri orang yang bertakwa adalah orang yang mampu menguasai hawa nafsunya, yaitu orang-orang yang jika diberi cobaan oleh Allah Swt. tetap sabar dan tidak emosi dan keluh kesah. Orang-orang inilah yang oleh Rasulullah Saw. disebut sebagai orang kuat.Pada bulan ramadhan kemarin, umat Islam telah menjadi orang kuat selama sebulan, karena mereka mampu mengendalikan diri dan menguasai hawa nafsunya. Dalam kesempatan lain Nabi juga pernah berujar: Barang siapa mampu menahan diri maka Allah akan memenuhi hatinya dengan rasa aman dan iman.

Ketiga, berkaitan dengan sifat sabar dan mampu mengendalikan diri ini adalah sifat dan sikap lapang dada sebagai ciri ketiga dari orang yang bertakwa. Orang-orang tersebut oleh Nabi dikategorikan sebagai kelompok orang-orang terhormat yang memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah Swt. dan di hari kiamat mereka segera dipanggil oleh Allah untuk menempati surga-Nya. Sabar menurut Imam al-Ghazali meliputi tujuh macam, yaitu sabar untuk tidak memenuhi kemauan nafsu perut dan farji, yang disebut dengan al-iffah; sabar menahan dari permusuhan dan seteru yang disebut dengan as-syaja’ah; sabar menahan diri dari amarah dan angkara murka yang disebut dengan al-hilm; sabar menahan diri dari hidup mewah dan berlebihan, yang disebut dengan az-zuhd; sabar dengan tetap ikhlas menerima bagian (rizki) yang telah ditentukan oleh Tuhan, yang disebut dengan al-qana’ah; sabar dari menyimpan rahasia, menerima permintaan maaf orang lain yang disebut dengan kitmanu sirrin dan sa’atu shadrin.

Keempat, orang-orang yang sanggup bertaubat atas segala dosa yang telah diperbuatnya. Dalam suatu riwayat diceritakan, dari Anas ra. bahwa ketika ayat ini turun, Iblis menangis seketika, sebab ia merasa tak mampu untuk terus menggoda manusia karena ampunan Allah Swt. yang terus-menerus diberikan kepada hamba-Nya  yang mau bertaubat, sebagaimana sabda Nabi: Setiap anak adam itu (pernah) bersalah (berdosa) dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang mau bertaubat. Maka di sinilah Allah menjanjikan kekuatan bagi orang yang selalu membaca kalimat thayyibah: tahlil, tahmid, tasbih dan istighfar, karena Iblis tidak akan pernah mampu menggodanya. Memang Iblis pernah bersumpah akan senantiasa menggoda anak Adam sepanjang hidup manusia. Tetapi Allah pun menjamin  akan senantiasa mengampuni dosa-dosa anak Adam selagi mereka masih mau meminta ampunan kepada-Nya. Maka bulan Syawal ini merupakan momentum yang paling tepat bagi umat Islam untuk saling memaafkan di antara mereka, ber-halal-bihalal, sebagai bentuk penghapusan dosa secara horizontal dan massal. Dalam Idul Fitri umat Islam memulai lembaran baru ini dengan mengisi amal-amal shalih. Tradisi silaturahim, saling berkunjung ke saudara, tetangga dan kawan, memuliakan tamu adalah perilaku positif yang diajarkan oleh Islam. Umat Islam berlatih untuk tetap menjalankan kesabaran dalam berbagai hal, karena orang sabar adalah kekasih Tuhan.

Suatu hari Nabi pernah bertanya kepada para sahabat: Atadruna man al-Muflis? Tahukah kalian, siapakah orang yang disebut orang yang bangkrut atau pailit itu? Para sahabat menjawab: "Orang bangkrut adalah orang yang seluruh harta bendanya ludes". Kemudian Nabi bersabda: "Bukan, bukan itu orang yang disebut bangkrut itu. Orang bangkrut adalah, orang yang saat menghadap Allah di hari kiamat dengan membawa pahala shalatnya, puasanya, zakat dan hajinya, tetapi pada waktu hidup di dunia ia suka berbuat zalim (mengganggu saudaranya, tetangga, merampas hak orang lain) dan pada waktu meninggal belum sempat meminta maaf kepada mereka."

            Pada zaman modern ini, tradisi positif seperti silaturahim yang telah dibangun oleh orang tua kita dulu sudah semakin punah. Hal ini karena kehidupan modern cenderung materialistis dan individualis. Orang bersedia berteman jika ada kepentingan kerja atau bisnis.  Di kota-kota besar misalnya, antara tetangga satu dengan tetangga yang lain tidak saling mengenal karena rumah mereka sudah dibatasi oleh pagar dan dinding tembok yang tinggi. Sebagaimana yang diramalkan oleh Alvin Toffler, bahwa zaman modern akan melahirkan manusia-manusia impersonal, manusia yang tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaannya. Pengaruh IT dan perangkat media sosial lainnya, seperti handphone dan android juga mereduksi nilai silaturrahim yang tidak lagi face-to-face, tetapi sudah digantikan dengan face book dan aplikasi lainnya, termasuk pembelajaran di kelas dengan e-learning.

            Namun beruntung, umat Islam masih memiliki tradisi yang baik yang perlu dilestarikan untuk mengatasi dampak modernisasi tersebut, seperti: tadarrus al-Qur’an, tahlil dan yasin berjamaah, berzanji dan diba’, majlis-majlis ta’lim, baik di tingkat RT maupun RW. Tradisi tersebut merupakan salah satu bagian dari bentuk  ukhuwuah islamiyah, ukhuwah basyariyah dari sekian tradisi baik lainnya yang ada dalam ajaran Islam dan tradisi Islam Nusantara. Tradisi silaturrahim, saling berkunjung ke saudara, tetangga dan kawan, memuliakan tamu, adalah merupakan prilaku positif yang diajarkan oleh Islam. Bahkan ditegaskan oleh Nabi: Jika orang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka supaya menjalin silaturahim. Akhirnya, semoga ibadah puasa kita selama bulan ramadhan berdampak pada kehidupan sehari-hari selama 11 bulan ke depan.***


Apakah makna Idul Fitri bagi umat Islam?

Dari penjelasan makna Idul Fitri di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Idul Fitri berarti kembalinya seseorang kepada keadaan suci atau keterbebasan dari segala dosa, kesalahan, kejelekan, dan keburukan sehingga berada dalam kesucian atau fitrah.

Apa yang berkesan setiap adanya hari raya Idul Fitri?

Hari raya Idul Fitri merupakan momentum untuk menyempurnakan hubungan vertikal dengan Allah (hablun minallah) dan secara horizontal membangun hubungan sosial yang baik (hablun minnannas). Dengan begitu, terbentuklah garis plus tanda positif (+) dari persinggungan antara yang vertikal dan horizontal tadi.

Apa arti Idul Fitri dan Idul Adha?

Tentu saja Idul Adha dan Idul Fitri memiliki makna yang berbeda. Jika Idul Fitri merupakan perayaan dari berakhirnya bulan Ramadhan, Idul Adha merupakan perayaan untuk memperingati qurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS.