Apa itu gearakan radial jelaskan

Jumat, 01 Okt 2021, 09:58:06 WIB - 101 View

Apa itu gearakan radial jelaskan

MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan masalah radikalisme bukanlah persoalan sederhana dalam aspek apapun di berbagai negara.
Di Indonesia, dalam kurun 10 tahun terakhir ini begitu gencar membahas wacana dan isu radikalisme. Bahkan radikalisme telah menjadi bagian dari perundang-undangan dan kebijakan negara atau pemerintah.


“Kebijakan tentang radikalisme, selalu menyasar kelompok agama, khususnya kaum muslim. Apakah memang radikalisme itu hanya menyangkut satu kelompok tertentu saja? apakah di tempat lain tidak ada radikalisme? Lalu apa yang dimaksud radikalisme itu?” tanya Haedar dalam acara di TvMu pada Kamis (30/09).


Mengkaji radikal dan radikalisme secara objektif-ilmiah merupakan keharusan agar menempatkan “kata” ini di tempat yang semestinya. Haedar kemudian menegaskan bahwa radikal dan radikalisme sebagai konsep sebenarnya netral dalam dunia pemikiran dan gerakan. Menjadi keliru manakala memaknai radikal dan radikalisme sebagai identik dengan kekerasan lebih-lebih sama dengan terorisme.


Haedar menjelaskan bahwa dalam banyak literatur disebutkan bahwa kata “radikal” berasal dari akar kata “radix” (Latin) yang berarti “origin“ (aseli) atau “root” (akar). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata radikal mengandung arti: 1) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip) 2) amat keras menuntut perubahan; 3) maju dalam berpikir atau bertindak. Adapun radikalisme sebagai paham atau ideologi menurut Giddens ialah taking things by the roots (mengambil sesuatu dari akarnya).


“Ketika sesuatu bersifat mendasar, tentu tidak ada masalah, apalagi agama, ideologi, maupun ilmu pengetahuan. Agama, pancasila, itu sesuatu yang mendasar. Bahkan jika radikal itu diartikan maju dalam berpikir dan bertindak sebagaimana dalam KBBI, berarti radikal itu positif dalam makna dasarnya,” tambah Haedar.

Menurutnya persoalan utamanya tidak terletak pada radikal atau radikalisme itu sendiri, sebab kata tersebut netral sejak lahir, melainkan pada tindakan radikal atau radikalisme yang jika ujung pangkalnya bermuara pada kekerasan, makar, dan merusak kehidupan manusia dan lingkungannya. Karenanya, Ia menegaskan, bahwa radikalisme akan menjadi masalah bila memaksakan perubahan dengan cara-cara yang tidak manusiawi.


“Permasalahannya, radikalisme sebagai sebuah paham bukan lagi semata-mata kembali pada akar tetapi dalam konteks menuntut perubahan menggunakan kekerasan dan segala bentuk kekerasan untuk kembali ke dasar (radix) dan memperjuangkan perubahan,” jelasnya.


Selain itu, radikalisme akan menjadi suatu problem bila hanya diidentikan dengan kekerasan kelompok tertentu. Dalam hal ini secara jujur Haedar menyatakan bahwa Islam dan umat Islam seringkali menjadi terdakwa dalam stigma radikalisme. Konstruksi tentang radikalisme yang bias dan digeneralisasi ini begitu menyakitkan sebab mengabaikan radikalisme lainnya yang tidak kalah berbahaya atau bermasalah bagi kepentingan bangsa dan negara.


“Lain halnya bila ketika objeknya dilekatkan dalam semua objek kehidupan. Bahwa radikal adalah kembali ke akar dan menuntut perubahan secara kekerasan, bisa berlaku baik kelompok agama, pada kelompok nasionalis, pluralis, liberal-sekuler, bisa juga pada komunisme,” terang Haedar.


Radikalisme juga akan menjadi sebuah masalah bila dimaknai sebagai pandangan dan orientasi ektrem. Ekstremis selalu berusaha menciptakan masyarakat yang homogen berdasarkan prinsip dogmatis yang kaku. Sikap ekstremisme dalam semua bentuknya adalah sesuatu yang berbahaya. Hal tersebut karena para ekstremis cenderung tidak menghargai kemanusiaan siapa saja yang dianggap menghalangi visi ekstremnya.


Menurut Haedar, radikal-ekstrem bisa menyasar semua paham tidak terkecuali agama, ideologi, atau pun aliran pemikiran lainnya. Artinya, semua kelompok maupun gerakan memiliki potensi yang sama mengalami potensi transisi menjadi radikal-ekstrem.


Komunisme, kata Haedar, merupakan contoh dari kelompok radikal-ekstrem. Sebagai lanjutan dari paham gerakan marxisme radikal, komunisme dalam sejarah dunia di mana pun telah menimbulkan gerakan-gerakan kekerasan karena pandangannya yang serba monolitik, komunalisme dalam berbangsa, dan diktatorial dalam pemerintahan. Bahkan, kata Haedar, komunisme mempraktekkan totaliterisme, yang menghalalkan kekerasan dan segala cara yang menimbulkan pertentangan dan konflik keras dalam masyarakat.


“Komunisme memang sejatinya merupakan ideologi yang radikal-ekstrem yang berapaham pada komunal bahwa berbangsa, bernegara, dan hidup itu harus didasarkan pada paham semua milik semua. Dan memandang bahwa tidak ada kelas tetapi mereka memperjuangkan kelas proletar dan anti terhadap berjouis,” tutur Haedar.


Gerakan Komunisme di berbagai dunia termasuk di Indonesia melalui Partai Komumis Indonesia (PKI) terbilang sangat radikal-ekstrem. PKI pada era Henk Sneevliet dan Tan Malaka saat awal kemerdekaan begitu radikal melawan kolonialisme Belanda. Pasca kemerdekaan pun PKI telah melakukan pemberontakan yang radikal berkali-kali.

Puncaknya, PKI melakukan kudeta kekuasaan melalui tragedi G30S/PKI tahun 1965 yang berakhir dengan kegagalan. Peristiwa bersejarah ini mengakhiri pemerintahan Soekarno dan lahirnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dengan segala kontroversinya.


“Bahkan komunisme itu menganut totaliterisme, segala macam hal diabsolutkan bahkan kekuasaan negara menjadi sangat absolut dengan hanya satu partai yaitu partai komunis sendiri. Partai komunis di Indonesia, yaitu PKI, berkali-kali melakukan pemberontakan, itu faktual, menyejarah dan banyak buktinya. Itu tragedi bukan ilusi. Pada dasarnya komunisme dan PKI itu menganut paham radikal-ektrem yang totaliter,” tutup Haedar.

(https://muhammadiyah.or.id/jelaskan-makna-radikalisme-haedar-nashir-singgung-juga-paham-komunisme/)

Bahaya radikalisme membuat stabilitas dan kedamaian suatu negara dapat terancam. Oleh karenanya pemaparan materi terkait radikalisme dan terorisme disampaikan oleh Subagiyo, S.Pd., M.Si dalam Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) Untag Surabaya. Penyampaian materi tersebut dipusatkan di Graha Prof. Dr. H. Roeslan Abdulgani pada Minggu, 18 Agustus 2019.

Subagiyo mengatakan radikalisme identik dengan fantisme terhadap suatu hal yang dapat dikatakan terlalu berlebihan, sehingga ada sesuatu yang dianggap paling benar oleh beberapa kelompok tertentu tanpa memandang hal tersebut dari sudut pandang yang lain.

Radikal adalah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung Gerakan Radikal. Radix atau radics yakni sesuatu yang dianggap paling benar menurut pemikiran beberapa orang atau sekelompok orang dengan tidak menghiraukan kaidah atau aturan yang berlaku,’’ papar Subagiyo kepada mahasiswa baru Untag Surabaya.

Ajun Komesaris Besar Polisi itu juga menjelaskan terkait beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya radikalisme, seperti fanatisme yang berlebihan, Ideologi, ekonomi, politik, budaya dan juga kesenjangan sosial. Menurutnya perbedaan penafsiran terhadap suatu hal akan berdapak buruk bagi kedamaian masyarakat Indonesia.

‘’Radikalisme di negara kita Indonesia, muncul karena perbedaan penafsiran terhadap ideologi dalam menafsirkan kitab suci. Artinya permasalahan kecil pun dapat menjadi masalah besar dan akan sangat berpengaruh terhadap perdamaian di negeri ini. Cara pandang seperti itulah yang dapat menimbulkan perspektif yang berbeda,’’ imbuh pria kelahiran 31 Januari tersebut.

Terakhir, Subagiyo berpesan bahwa tindakan radikal sama sekali tidak diharapkan oleh masyarakat Indonesia, kerena memiliki tujuan yang sewenang-wenang tanpa mempedulikan hak orang lain. Subagiyo berharap jika mahasiswa mengalami beberapa hal tekait tindakan radikal yang dirasa merugikan, agar segera melaporkan.

''Radikalisme bertujuan ingin membuat perubahan secara drastis dengan menggunakan kekerasan. Perbuatan radikalisme juga mencoreng nama baik agama, karena kita tahu bahwa semua agama mengajarkan perdamaian dan kasih sayang. Sekali lagi, jika mahasiswa di sini mengalami kegiatan teror yang membuat tidak nyaman dan mengganggu, hal itu dapat dilaporkan kepada pihak berwajib,'' tutup Subagiyo.

Sumber : https://warta17agustus.com

Di Indonesia, lebih dari 230 juta penduduk menganut agama Islam. Bahkan, Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Dan yang tidak kalah mengesankan, sekitar 13 persen dari jumlah total orang Muslim di dunia tinggal di Republik Indonesia. Maka, jelas bahwa pengaruh prinsip-prinsip dan etika Islam terhadap masyarakat, politik, dan ekonomi Indonesia sangat besar.


Proses Islamisasi di Indonesia

Sebuah proses islamisasi sudah berlangsung di Indonesia sejak agama ini pertama kali tiba di kepulauan berbagai abad yang lalu. Mungkin sudah ada kehadiran Islam di Asia Tenggara maritim sejak awalnya era Islam ketika pedagang Muslim datang ke Kepulauan ini, membuat pemukiman di daerah pesisir dan menikahi wanita lokal. Pendatang Muslim ini jadi dihormati oleh para pribumi karena kekayaan yang mereka peroleh melalui perdagangan. Itu adalah hari-hari awal Islamisasi Indonesia.

Pada tahap selanjutnya (kemungkinan dimulai dari abad ke-13) kerajaan-kerajaan Islam mulai didirikan oleh penguasa lokal (pribumi) di Nusantara (terutama di bagian barat, seperti di pulau-pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan). Diasumsikan bahwa - setelah raja-raja pribumi masuk agama Islam - sebagian besar rakyatnya ikut masuk Islam, sehingga memperkuat peran Islam dalam masyarakat lokal. Namun, varietas-varietas Islam lokal ini dicampur dengan unsur-unsur budaya lokal dan sistem kepercayaan lokal yang sudah ada sebelumnya (dan dengan demikian varietas-varietas agama Islam yang dianut di kerajaan-kerajaan lokal jadi sangat berbeda dengan, misalnya, agama Islam yang dipraktikkan di Mekah, Madinah atau di mana pun pada periode yang sama).

Proses islamisasi ini tidak berhenti di era kontemporer. Bahkan dalam beberapa dekade terakhir kita dapat dengan jelas mendeteksi berbagai contoh proses Islamisasi yang sedang berlangsung di Indonesia. Misalnya, jumlah wanita Indonesia yang mengenakan jilbab (atau kerudung) meningkat pesat selama 20-25 tahun terakhir (telah menjadi pemandangan umum di jalanan Indonesia saat ini). Contoh lain yaitu pejabat-pejabat pemerintah Indonesia - bahkan mereka yang bukan Muslim sendiri - sekarang cenderung membuka pidato atau pernyataan mereka dengan menggunakan frasa Arab As-salāmuʿalaykum.

Apa itu gearakan radial jelaskan


Pentingnya untuk Memisahkan Islamisasi dari Islamisme

Penting untuk ditekankan di sini bahwa proses islamisasi itu tidak boleh disamakan dengan Islamisme atau radikalisme. Dengan istilah 'Islamisasi' kami merujuk pada proses pergeseran masyarakat (secara damai) menuju sebuah masyarakat yang lebih berorientasi Islam (dan yang memungkinkan ruang bagi minoritas-minoritas tertentu untuk hidup berdampingan secara harmonis di dalam masyarakat pluralis itu). Namun, istilah 'Islamisme' atau 'radikalisme' (atau Islam militan atau fundamentalisme) merujuk pada keinginan kelompok tertentu (biasanya kelompok kecil yang tidak memiliki kekuatan politik) untuk memaksakan versi Islam konservatif mereka ke masyarakat dan politik. Apalagi mereka ini sering menggunakan kekerasan (atau ancaman) untuk mencapai tujuan mereka.

Meskipun sekitar 88 persen dari populasi Indonesia adalah penganut Islam, Indonesia bukan negara Islam yang dikelola hukum Islam. Kebanyakan orang Muslim di Indonesia sebenarnya dapat diberi label 'Muslim moderat' yang berarti bahwa mayoritas dari komunitas Muslim Indonesia menyetujui demokrasi sekuler dan masyarakat pluralis. Sikap ini terlihat dalam hasil pemilihan legislatif karena partai-partai politik yang menekankan pentingnya peran dominan Islam dalam pemerintahan dan dalam masyarakat mendapatkan dukungan relatif sedikit dari para pemilih. Sementara itu, partai-partai politik sekuler yang mendukung demokrasi serta masyarakat pluralis dan toleran selalu menang dalam pemilu Indonesia.

Meskipun demikian, memang benar bahwa 'partai-partai sekuler' (seperti PDI-P dan Golkar) juga mengalami proses Islamisasi tersebut. Maka, para ketua partai-partai ini selalu menggunakan frasa Arab seperti As-salāmuʿalaykum saat membuka pernyataan atau pidato. Ini sebenarnya menyiratkan bahwa partai-partai ini tidak sungguh-sungguh sekuler karena mereka tidak netral dalam hal agama.

Namun di sisi lain, kami juga masih mendeteksi keinginan politisi tertentu untuk mempertahankan sikap sekuler. Misalnya, Presiden Indonesia Joko Widodo sering membuka pidatonya dengan kata-kata salam berikut (dialamatkan kepada para pengikut agama-agama utama di Indonesia):

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh (kepada orang Muslim)
Salam Sejahtera Bagi Kita Semua (kepada orang Kristen/Katolik)
Om Swastyastu (kepada orang Hindu)
Namo Buddhaya (kepada umat Buddha)
Salam Kebajikan (kepada orang Konghucu)

Apa itu gearakan radial jelaskan


Varietas Islam Indonesia

Komunitas Muslim yang terdiri dari 230 juta orang Indonesia itu tidak merupakan komunitas yang homogen. Kenyataannya, banyak variasi dapat ditemukan dalam agama (dan aliran-aliran) Islam di Indonesia dan juga dalam persepsi para orang Muslim Indonesia soal peran Islam dalam bidang politik dan masyarakat.

Sejumlah besar orang Muslim di Indonesia dapat diberi label 'Muslim budaya' (atau 'Muslim KTP') yang berarti mereka tidak sungguh-sungguh mempraktikkan Islam namun tetap memiliki keterikatan pada unsur-unsur budaya Islam misalnya karena latar belakang keluarga mereka atau lingkungan sosial dan budaya di mana mereka dibesarkan, atau, di mana mereka hidup sekarang (dan juga ada istilah 'Kristen KTP', 'Katolik KTP', 'Hindu KTP', dan 'Buddha KTP' di Indonesia).

Di sisi lain, ada juga banyak orang Muslim di Indonesia yang memilih untuk memperkuat identitas Islam mereka, misalnya dengan memutuskan untuk mulai mengenakan jilbab atau pakaian Islami lainnya. Khususnya, sejak tahun 2014 kami mendeteksi gelombang islamisasi di Indonesia yang membuat banyak Muslim Indonesia (secara sadar atau tidak sadar) memperkuat identitas Islam mereka. Gelombang besar islamisasi ini berakar pada perkembangan politik tertentu, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Sebenarnya agama Islam sangat bervariasi di Indonesia, mulai dari Muslim KTP hingga Muslim yang saleh dan konservatif. Apalagi masih ada beberapa daerah di mana aliran Islam masih berisikan elemen-elemen dari agama Hindu dan Budha.

Sementara itu, ada juga kelompok yang melampaui tipe Muslim konservatif, yaitu Muslim radikal. Dengan istilah ini kami tidak hanya merujuk pada mereka yang menggunakan tindakan ekstrem (seperti kekerasan) untuk merubah kondisi politik dan sosial, tetapi juga mereka yang secara diam-diam setuju dengan tindakan kekerasan tersebut (meskipun mereka tidak melakukan tindakan itu sendiri).

Di Indonesia, para Muslim radikal hanya merupakan minoritas kecil. Namun, mereka yang biasanya paling bersuara di jalan (sering terlibat dalam demonstrasi) dan - kadang-kadang - bersedia mengambil tindakan kekerasan. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa komunitas radikal kecil ini semakin bertambah jumlahnya dan kekuatannya. Memang, dengan proses Islamisasi, ada juga proses Islamisme (pada pinggirannya) yang tumbuh seiring. Oleh karena itu, penting bagi otoritas di Indonesia untuk secara cermat memantau situasinya dan terlibat dalam program deradikalisasi yang efektif.

Under Construction