Apa fungsi oposisi dalam demokrasi

Akhir-akhir ini, pemberitaan media massa terkait bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) dalam koalisi pemerintah menjadi perhatian khusus terhadap keberadaan opoisi dalam konteks demokrasi.Pada kondisi ini, keberadaan oposisi masih ada akan, tetapi jumlah dan porsinya semakin berkurang, dengan demikian koalisi pemerintah semakin kuat. Yang dipertanyakan saat ini apakah benar bergabunnya partai PAN sebagai bentuk upaya dalam mementingkan kepentingan rakyat? terlebih dalam kondisi pandemi Covid-19 ini semua pihak menginginkan kebijakan yang pro masyarakat dan bergotong royong untuk keluar dari pandemi Covid-19.

Bertambahnya partai koalisi pemerintah di Parlemen memberikan dampak yang positif dalam proses pengambilan kebijakan “decision making” antara eksekutif dan legislatif, sehingga tidak menghabiskan banyak waktu dan tenaga, serta pencapaian visi dan misi pemerintah akan terlaksana dengan cepat dan mempertimbangkan kepentigan rakyat, tanpa mengabaikan masukan dan kritikan dari pihak oposisi.

Dinamika politik yang terjadi pada poros oposisi tidak akan mampu bertahan lama jika diterpa godaan kepentingan partai dan elit partai disaat munculnya wacana amandemen UUD 1945. Satu hal yang tidak relevan jika oposisi kembali tergerus dan semakin berkurang jumlah dan porsinya, maka proses check and balances tidak akan tercapai.

Di samping itu, bergabungnya partai PAN dalam koalisi pemerintah justru dikatakan terlambat jika alasannya untuk membantu kebijakan pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19. Ada misi terselubung partai PAN, terlebih di tengah munculnya wacana jabatan presiden selama tiga periode.Untuk itu perlu dipahami beberapa hal terkait keberadaan oposisi dalam konteks demokrasi, yaitu:

Pertama, kita lihat peran oposisi dalam demokrasi sangat penting sebagai proses check and balance, untuk mengawasi kekuasaan presiden dengan melalukan fungsi kontrol terhadap kebijakan.

Oposisi berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif untuk menjaga agar pemerintah tidak otoriter, dan berada pada jalan yang benar atau on the track. Maka dengan demikian, ketika pemerintah mulai keluar jalur, oposisi harus beridiri paling depan untuk meluruskan.

    

Kedua, merapatnya petinggi partai ke dalam koalisi pemerintahan Jokowi. Hal ini merupakan bentuk sikap politik oposisi yang tidak etis. Seharusnya Partai Amanat Nasional (PAN) tetap menjadi oposisi sebagai kekuatan penyeimbang terhadap kebijakan

Kedekatan emosional antara oposisi dan pemerintah harus ada batasanya sehingga dalam pembuatan kebijakan fungsi check dan balance berada pada jalur yang sebenarnya.

Ketiga, pentingnya decision maker dalam oposisi. Peran tokoh yang dijadikan kunci arah oposisi. Pada saat ini, boleh dikatakan Partai PKS dan Demokrat adalah penentu oposisi yang sebenarnya.

Sikap elite partai dan petinggi partai menjadi penentu apakah oposisi mampu mengimplementasikan kebijakan partai oposisi di Parlemen terhadap partai koalisi pemerintah di Parlemen.Jangan sampai oposisi dan partai politik seperti kehilangan marwah. Semua berpikir merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Kekhawatiran ini tidak terlepas dari pihak oposisi lebih memfokuskan diri untuk mempersiapkan strategi pada pemilu tahun 2024.Secara otomatis program pemerintah malah terabaikan. Semua bekerja untuk partai masing-masing bukan lagi mengatasnamakan kepentingan rakyat.

Pada akhirnya Indonesia tidak akan mengenal adanya partai oposisi karena tidak akan pernah ada satu partai yang sendiri menjalankan kekuasaan dan tidak ada jaminan partai yang kalah (berperan sebagai oposisi).

Apa fungsi oposisi dalam demokrasi

*Penulis adalah Pendiri Indonesia Political Power

Amadigwe, V. (2004). The Relationship between separation of powers, rule of law and parliamentary sovereignty in British Constitution. Diakses pada 16 Maret 2016 dari http://www.worldoruunion.org/ArticlesRelationship.htm.

Ambardi, K. (2009). Mengungkap politik kartel. Studi tentang sistem kepartaian di Indonesia era reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia.

Barnard, F. (1972). Between opposition and political opposition, the search of competitive politics in Czechoslovakia. Canadian Journal of Political

Science, 5(4), 533–552.

Budiman, A. (2001). Negara dan masyarakat madani. Dalam St. Sularto (Ed.), Masyarakat warga dan pergulatan demokrasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Buehler, M. (2014). Elite competition and changing state-society relations: Shari’a policymaking in Indonesia”. Dalam Michele Ford & Thomas B. Pepinsky (Eds.), Beyond oligarchy. Wealth, power and contemporary Indonesian politics. Cornell: Cornell Southeast Asia Program Publications.

Bunte, M., & Ufen, A. (2009). The new order and its legacy: Reflections on democratization in Indonesia. Dalam Bunte, Marco, & Ufen Andres (Eds.), Democratization on post-Suharto Indonesia. London: Routledge.

Dahl, R. (1966). Political opposition in western democracies. New Haven, CT, and London: Yale University Press.

Dahl, R. (1971). Poliarchy: participation and opposition. New Haven, CT, and London: Yale University Press.

Diamond, L., & Morlino, L. (2004), The quality of democracy: An overview. Journal of Democracy, 15(2), 20–31.

Feith, H. (1968). The decline of constitutional democracy in Indonesia. Itacha: Cornell University Press.

Ford, M., & Pepinsky, T. B. (Eds.). (2014). Beyond oligarchy. Wealth, power and contemporary Indonesian politics. Cornell: Cornell Southeast Asia Program Publications.

Fragile States Index. (2015). Diakses pada 15 Maret 2016 dari http:// fsi.fundforpeace.org/.

Gatra. (2014). “Ketua majelis syariah DPP PPP K.H Maimoen Zubair: Saya nda seneng oposisi”,. (3 September 2014). Hlm. 23.

Gutmann, A., & Thomson, D. (2004). Why Deliberative democracy?. New Jersey: Princeton University Press.

Held, D. (1960). Models of democracy. Oxford: Oxford University Press.

Kamil, S. (2002). Islam dan demokrasi. Telaah konseptual dan historis. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Kroef, J. van der. (Nov-Des 1977). The Indonesian opposition. Asian Affairs, 5(2), 109–125.

Liddle, R. (2014). Improving the quality of democracy in Indonesia: Toward a theory of action. Dalam Michele Ford & Thomas B. Pepinsky (Eds.), Beyond oligarchy. Wealth, power and contemporary Indonesian politics. Cornell: Cornell Southeast Asia Program Publications.

Lucius, R. E. (2003). A house divided: The decline and fall of Masyumi (1950–1956) (Master thesis, Naval Postgraduate School, Monterey).

Mayo, H. (1991). An introduction to democratic theory. Cambridge: Polity Press.

Mietzner, M. (2013). Money, power, and ideology. Political parties in post-authoritarian Indonesia. Singapore: ASAA Southeast Asia Publication Series.

Mietzner, M. (2014). Oligarchs, politicians, and activists: Contesting party politics in Post-Soeharto Indonesia. Dalam Michele Ford & Thomas B.

Pepinsky (Eds.), Beyond oligarchy. Wealth, power and contemporary Indonesian politics. Cornell: Cornell Southeast Asia Program Publications.

O’Donell, G. (1996). Delegative democracy. Dalam Larry Diamond & M. F. Plattner, The global resurgence of democracy. Baltimore and London: John Hopkins University Press.

Pateman, C. (1970). Participation and democratic theory. Cambridge: Cambridge University Press.

Pratignyo, I. (1983). Ungkapan sejarah lahirnya Golongan Karya: Perjoangan menegakkan kembali negara proklamasi 17-8-1945. Jakarta: Yayasan Bhakti TP.

Przeworski, A. (1991). Democracy and the market: Political and economic reforms in Eastern Europe and Latin America. Cambridge: Cambridge

University Press.

Roberts, K. M. (1999). Deepening democracy: The modern left and social movements in Chile and Peru. Stanford: Stanford University Press.

Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets. London: Routledge Curzon.

Rodan, G., & Jayasurya, K. (2009). Capitalist development, regime transitions, and new forms of authoritarianism in Asia. The Pacific Review,

(1), 23–47.

Rooney, K. (2001). Encarta concise english dictionary. Sydney: Pan Macmillan.

Sabri, M. (2012). Presiden tersandera, melihat dampak kombinasi sistem presidensial-multipartai terhadap relasi presiden-DPR di masa pemerintahan SBY-Boediono. Jakarta: RMBooks.

Saidi, R. (1993). Golkar pascapemilu 1992. Jakarta: Grasindo.

Schumpeter, J. (1975). Capitalism, socialism and democracy. New York: Harper and Row.

Shapiro, I. (1996). The fallacies concerning minorities, majorities, and democracy politics. Dalam Ian Shapiro, Democracy’s place. Ithaca, NY, and

London: Cornell University Press.

Subekti, V. S. (2014). Partai Syarikat Islam Indonesia. Kontestasi politik hingga konflik kekuasaan elite. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Supriyanto, D., & Wulandari, L. (2012). Bantuan keuangan partai politik. Jakarta: Yayasan Perludem.

Tanter, R. & Young, K. (1993). Politik kelas menengah. Jakarta: LP3ES.

The Legatum Prosperity Index 2015. Diakses pada 15 Maret 2016 dari www.prosperity.com/#!/.

Tornquist, O. (2006). Assessing democracy from below: A framework and Indonesian pilot project. Democratization, 13(2), 227–255.

Uhlin, A. (1998). Oposisi berserak, arus deras demokratisasi gelombang ketiga di Indonesia. Bandung: Mizan.

Winters, J. A. (2014). Oligarchy and democracy in Indonesia. Dalam Michele Ford & Thomas B. Pepinsky (Eds.), Beyond oligarchy. Wealth, power, and contemporary Indonesian politics. Cornell: Cornell Southeast Asia Program

Publications.

Winters, J. A. (2004). Oligarchy. New York: Cambridge University Press.

Young, I. M. (2002). Ian Shapiro’s democratic justice. Good Society, 11(2), 76–77.


Page 2

View or download the full issue PDF

IMAJINASI TEKNOLOGI DAN FASISME JEPANG TAHUN 1931–194

Upik Sarjiati

127-137

TAMASYA PIKIR KOLEGIAL BERSAMA E. DOUGLAS LEWIS

Selsus Terselly Djese

139-149

PENGUATAN DEMOKRASI: PARTAI POLITIK DAN (SISTEM) PEMILU SEBAGAI PILAR DEMOKRASI

Dian Aulia

115-126