Alat musik yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit adalah

Sejarah Wayang Kulit Betawi bermula ketika Pasukan Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram menyerang Belanda ke Betawi, yang mana sebuah rumah di Jakarta menjadi pos peristirahatan tentara Mataram, dan di pos itulah seorang tentara Mataram setiap malam bercerita tentang tokoh-tokoh dan peristiwa pewayangan. Kehadiran Wayang Kulit Betawi ini merupakan hasil interaksi dengan budaya para pendatang yang berasal dari Jawa. Oleh karena itu, antara Wayang Kulit Betawi dengan Wayang Kulit Jawa banyak terdapat kesamaan. Kisah-kisah yang diceritakan ternyata banyak disukai penduduk. Berawal dari sinilah muncul seni Wayang Kulit Betawi. Wayang Kulit Betawi bisanya saat pementasan diiringi dengan gamelan sunda yang munggunakan bahasa betawi, Musik yang mengiringi Wayang Kulit Betawi disebut gamelan ajeng. Alat musik gamelan ajeng terdiri atas terompet, dua buah saron, gedemung, kromong, kecrek, gendang, kempul, dan goong. Namun dahulu sampai tahun 1920, Wayang Kulit Betawi diiringi gamelan bambu. Pergelaran wayang kulit Betawi dilaksanakan dalam bentuk arena, dengan pentas sejajar dengan penonton. Pada umumnyta bermain di atas tanah di bawah "tarub" di halaman rumah. Baru akhir-akhir ini beberapa dalang mulai mengadakan pergelaran di atas panggung. Uniknya, dalam tiap petunjukan wayang kulit Betawi, ada tiga bahasa yang digunakan. Jika ceritanya tentang orang-orang terhormat digunakan bahasa Sunda atau Jawa. Tapi jika cerita orang biasa seperti Gareng dan Petruk, dipakai dah bahasa Betawi. Lakon-lakon yang dipergelarkan dalam wayang Betawi kebanyakan lakon carangan "dari Mahabarata", dengan cerita-cerita yang khas Betawi, seperti "Bambang Sinar Matahari", "Barong Buta Sapujagat", "Cepot Jadi Raja" "Banteng Ulung Jiwa Loro", "Perabu Takalima Danawi", "Kunpayakun", "Sadariah Kodariah" dan sebagainya. Pada perkembangan kemudian banyak juga membawakan lakon-lakon wayang golek Sunda, seperti "Sang Hiyang Rancasan", "Kresna Malang Dewa Sukma", dan Sering pula membawakan lakon atau cerita bukan berasal dari kitab Mahabrata dan Ramayana. Ia menampilkan lakon kehidupan sehari-hari. Hal itu didukung oleh penggunaan bahasa Betawi, khususnya Bahasa Betawi Ora. Pengaruh Sunda sebenarnya lebih menonjol. Lagu-lagu yang mengiringi pergelaran wayang kulit Betawi adalah lagu-lagu Sunda. Disebut lagu-lagu Sunda gunung. Lagu-lagu itu seringpula dibawakan oleh topeng Betawi, topeng blantek, rebana biang dan tanjidor. Lagu-lagu khas wayang kulit Betawi, misalnya: Jiro, Bendrong, Rinci-Rinci, Rayah-Rayah, Kekawen, Wewawangan, Karawitan Bata Rubuh dan lain-lain. Dalam pertunjukan Wayang Kulit Betawi yang diselenggarakan dalam pesta perkawinan Orang Betawi, biasanya lakon yang dimainkan berdasarkan permintaan tuan rumah dimulai pada pukul 23.00 sampai dengan 04.00 disaksikan penonton yang terdiri dari para tamu dan orang yang pada umumnya bertempat tinggal di sekitar lokasi pertunjukan. Ketika lakon dimainkan terdapat dialog-dialog antartokoh wayang yang dituturkan oleh dalang. Untuk mengetahui sebuah dialog misalkan dari tokoh Bima dapat dibedakan berdasarkan karakter suara tokoh yang dihasilkan dalang. Dalam hal ini masing-masing tokoh mempunyai karakter suara yang berbeda. Karakter suara dapat juga menentukan kepribadian seorang tokoh misalkan Bima dengan suara yang berat dan tegas, menunjukkan kepribadian tokoh yang berwibawa. Dari dialog antartokoh akan terbentuk sebuah adegan. Sebelum sebuah adegan dimulai ditandai dengan masuknya tokoh-tokoh dalam adegan tersebut, setting sebuah adegan diceritakan terlebih dahulu oleh dalang dan selanjutnya apabila diurutkan berdasarkan urutan berdasarkan urutan permunculannya, adegan-adegan tersebut akan memperlihatkan sebuah alur cerita. Dalang dianggap memiliki kemampuan spiritual yang tinggi, mencukupi syarat melakukan "ruwatan", dengan pertunjukkan khusus, membawakan lakon Nurwakala, yang menurut istilah setempat disebut lakon "Betara Kala", disertai sesajen lengkap untuk keperluan itu. Bagi para pendukungnya, wayang kulit Betawi memiliki fungsi ritual (kepercayaan). Ia ditanggap untuk membayar nazar dan ruwat. Ruwat adalah upacara menolak bala bagi keluarga yang mempunyai susunan anak yang istimewa. Misalnya anak tunggal, satu anak lelaki diapit anak perempuan, satu anak perempuan diapit dua anak lelaki dan sebagainya. Tidak semua dalang mampu melaksanakan pementasan untuk upacara ruwat. Dalang yang masih muda belum mampu mengendalikan Betara Kala. Ruwatan hanya dilakukan oleh dalang senior yang matang. Dalang senior yang matang dianggap memiliki kemampuan spiritual yang tinggi. Wayang Kulit Betawi menjadi media informasi, karena dari segi penampilannya, sangat komunikatif di dalam masyarakat. Dapat dipakai untuk memahami sesuatu tradisi, dapat dipakai sebagai alat untuk mengadakan pedekatan kepada masyarakat� memberikan informasi mengenai masalah-masalah kehidupan dan segala seluk-beluknya. Wayang juga sebagai media hiburan, karena wayang dipakai sebagai pertunjukan didalam berbagai macam keperluan sebagai hiburan. Selain dihibur para peminat dibudayakan dan diperkaya secara spiritual. Jelas wayang dapat dipakai sebagai sarana pendidikan terutama pendidikan mental, karena di dalamnya banyak tersirat unsur-unsur pendidikan mental dan watak. Dapat disimpulkan bahwa Wayang Kulit Betawi adalah kebudayaan yang kaya akan nilai kehidupan. Pementasan Wayang Kulit Betawi juga dapat mendorong pola pikir masyarakat yang melihatnya dan dapat mempelajari secara langsung isi dari cerita wayang yang sudah diperankan, dimana kita dapat menilai, mengkritik, mengaplikasikan, bahkan mengeksplore segala buah pikir untuk kehidupan yang sebenarnya.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Alat musik yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit adalah
Gamelan
ꦒꦩꦼꦭ꧀ꦭꦤ꧀

Perangkat Gamelan Jawa

Nama lain

  • Gamelan Jawa (Gangsa)
  • Gamelan Bali (Gambelan)
  • Gamelan Sunda (Degung)

KlasifikasiAlat musik perkusiKlasifikasi Hornbostel-Sachs
(

  • Saron
  • Demung
  • Peking
  • Gong
  • Kempul
  • Gender
  • Slenthem
  • Gambang
  • Kendang
  • Rebab
  • Siter
  • Suling
  • Kemanak

)PenciptaIndonesiaDikembangkanIndonesia
Alat musik yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit adalah
Gamelan

Warisan Budaya Tak Benda UNESCO

Alat musik gamelan

NegaraIndonesiaDomainKerajinan tradisional, tradisi lisan dan ekspresi, seni drama, pengetahuan dan praktik tentang alam dan alam semesta, praktik sosial, ritual dan acara pestaReferensi01607KawasanAsia dan PasifikSejarah InskripsiInskripsi2021 (sesi ke-16)DaftarDaftar Perwakilan
Alat musik yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit adalah

Gamelan (bahasa Jawa: ꦒꦩꦼꦭ꧀ꦭꦤ꧀, translit. gamêlan, bahasa Sunda: ᮌᮙᮨᮜᮔ᮪, bahasa Bali: ᬕᬫᭂᬮᬦ᭄)[1] adalah musik ansambel tradisional Jawa, Sunda, dan Bali di Indonesia yang memiliki tangga nada pentatonis dalam sistem tangga nada (laras) slendro dan pelog. Terdiri dari instrumen musik perkusi yang digunakan pada seni musik karawitan. Instrumen yang paling umum digunakan adalah metalofon antara lain gangsa, gender, bonang, gong, saron, slenthem dimainkan oleh wiyaga menggunakan palu (pemukul) dan membranofon berupa kendhang yang dimainkan dengan tangan. Juga idiofon berupa kemanak dan metalofon lain adalah beberapa di antara instrumen gamelan yang umum digunakan. Instrumen lain termasuk xilofon berupa gambang, aerofon berupa seruling, kordofon berupa rebab, dan kelompok vokal disebut sinden.[2]

Seperangkat gamelan dikelompokkan menjadi dua, yakni gangsa pakurmatan dan gangsa ageng. Gangsa pakurmatan dimainkan untuk mengiringi hajad dalem (upacara adat karaton), jumenengan (upacara penobatan raja atau ratu), tingalan dalem (peringatan kenaikan takhta raja atau ratu), garebeg (upacara peristiwa penting), sekaten (upacara peringatan hari lahir Nabi Muhammad). Gangsa ageng dimainkan sebagai pengiring pergelaran seni budaya umumnya dipakai untuk mengiringi beksan (seni tari), wayang (seni pertunjukan), uyon-uyon (upacara adat/hajatan), dan lain-lain.[3] Saat ini, gamelan banyak digunakan di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok.

Sedangkan gamelan yang peredarannya luas dan pelestarian terbanyak adalah Gamelan Reyog dari Ponorogo.

Terminologi

Kata gamelan berasal dari bahasa jawa gamêl yang berarti 'memukul' atau 'menabuh', dapat merujuk pada jenis palu yang digunakan untuk memukul instrumen, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata benda.[2][4] Istilah karawitan mengacu pada musik gamelan klasik dan praktik pertunjukan, dan berasal dari kata rawit, yang berarti 'rumit' atau 'dikerjakan dengan baik'.[4] Kata ini berasal dari kata bahasa Jawa yang berakar dari bahasa Sanskerta, 'rawit', yang mengacu pada rasa kehalusan dan keanggunan yang diidealkan dalam musik Jawa. Kata lain dari akar kata ini, pangrawit, berarti seseorang dengan pengertian demikian, dan digunakan sebagai penghargaan ketika mendiskusikan musisi gamelan yang terhormat. Bahasa Jawa halus (krama) untuk 'gamelan' adalah gangsa, dibentuk dari kata tiga dan sedasa (tiga dan sepuluh) merujuk pada elemen pembuat gamelan berupa perpaduan tiga bagian tembaga dan sepuluh bagian timah. Perpaduan tersebut menghasilkan perunggu, yang dianggap sebagai bahan baku terbaik untuk membuat gamelan.[5]

Sejarah

Alat musik yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit adalah

Relief wiyaga sedang memainkan gamelan, candi Borobudur abad ke 8, Jawa Tengah, Indonesia

Keberadaan gamelan mendahului proses transisi budaya Hindu-Buddha yang mendominasi Nusantara, dalam catatan-catatan awalnya dan dengan demikian mewakili bentuk kesenian asli Indonesia.[6]

Dalam mitologi Jawa, gamelan yang awalnya bernama Gamelan Lokananta gamelan tidak berwujud yang berbunyi di awang awang (angkasa udara) diciptakan oleh Batara Guru pada Tahun 167 Saka (atau 230 M), raja dewa yang memerintah sebagai raja seluruh alam semesta jagad raya dari sebuah Kahyangan istana di Wukir Mahendra Giri di Medang Kamulan (sekarang Gunung Lawu). Batara Guru memerintah Batara Indrasurapati menciptakan gamelan yang berwujud tiruan gamelan lokananta yang tidak berwujud yaitu gong, kethuk, kenong, gong, rebab, sebagai sinyal untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih kompleks, kemudian ia menciptakan dua gong lainnya, sehingga membentuk set gamelan utuh.[7]

Gambar paling awal dari himpunan alat musik (musik ansambel) gamelan ditemukan di relief dinding candi Borobudur dibangun abad ke-8 oleh Arsitek Candi Borobudur yaitu Gunadharma pada masa wangsa syailendra dari kerajaan Mataram Kuno di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.[8] Relief tersebut menampilkan sejumlah alat musik termasuk suling, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik dawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Bagaimanapun, relief tentang himpunan alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan.

Kerajaan Bantarangin di Wengker (sekarang Ponorogo,Jawa Timur) membuat gamelan yang merupakan syarat sayembara dari kerajaan Daha abad 11, isi sayembara adalah membuat alat musik dan hiburan kesenian yang belum pernah ada di dunia. Meski gamelan sudah pernah ada, tetapi gamelan yang dibuat oleh wengker menghasilkan musik yang berbeda dari gamelan pada umumnya, yang kemudian dikenal dengan Gamelan Reog.[9]

Instrumen gamelan diperkenalkan menjadi bentuk seperangkat peranti musik lengkap dan berkembang pada zaman Kerajaan Majapahit, dan menyebar ke berbagai daerah seperti Bali, Sunda, dan Lombok.[10] Menurut prasasti dan manuskrip yang bertanggal dari periode Majapahit, kerajaan bahkan memiliki balai seni yang bertugas mengawasi seni pertunjukan, termasuk gamelan. Balai seni mengawasi konstruksi alat musik, serta menjadwalkan pentas pertunjukan.[8]

Alat musik yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit adalah

Gamelan adalah disebutkan dalam Kakawin Nagarakertagama dalam naskah lontar yang disebut lontar yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi. Koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta

Di Bali, ada beberapa gamelan selonding yang sudah ada sejak abad ke-9 pada masa Sri Kesari Warmadewa memerintah.[11][12] Beberapa kata yang merujuk pada gamelan selonding ditemukan dalam beberapa prasasti dan manuskrip Bali kuno. Saat ini, gamelan selonding disimpan dan dilestarikan dengan baik di pura-pura kuno di Bali. Dianggap sakral dan digunakan untuk keperluan upacara keagamaan, terutama saat upacara besar diadakan. Gamelan Selonding merupakan bagian dari kehidupan dan budaya sehari-hari bagi sebagian masyarakat adat di kampung-kampung kuno seperti Bungaya, Bugbug, Seraya, Tenganan Pegringsingan, Timbrah, Asak, Ngis, Bebandem, [ [Besakih]], dan Selat di Kabupaten Karangasem.

Pada proses penetrasi Islam, Sunan Bonang menggubah gamelan yang waktu itu sangat kental dengan estetika Hindu, juga memberi nuansa baru. Gubahannya waktu itu memberi nuansa transendental atau wirid yang mendorong kecintaan pada kehidupan, dan menambahkan instrumen bonang pada satu set gamelan.[13]

Dalam kebudayaan wengker atau Ponorogo, Pada abad ke-15 Gamelan Reog selain digunakan untuk mengiringi kesenian Reog Ponorogo juga digunakan saat latihan bela diri hingga perang, pasukan Ki Ageng Surya Alam dari desa Kutu membunyikan gamelan reog saat sebelum hingga perang berlangsung ketika melawan Majapahit yang berkoalisi dengan Demak saat menyerbu Wengker, alhasil Wengker selalu mendapatkan kemenangannya sebelum pusaka Ki Ageng Surya Alam jatuh ke tangan musuh.[14]

Alat musik yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit adalah

Pengadilan Sultan Yogyakarta, c. 1876. Pertunjukan Tari Sakral Bedhaya diiringi dengan Gamelan Jawa

Dalam lingkup kraton di Jawa gamelan tertua yang diketahui adalah Gamelan Munggang dan Gamelan Kodok Ngorek, berasal dari abad ke-12. Ini membentuk dasar tempo cepat atau "gaya keras" pada gamelan. Sebaliknya, tempo pelan atau "gaya lembut" berkembang dari tradisi kemanak juga berkaitan dengan tradisi melantunkan geguritan (puisi Jawa), dengan cara yang sering diyakini mirip dengan paduan suara yang menyertai tarian modern bedaya. Pada abad ke-17, gaya keras dan lembut bercampur, dan sebagian besar menjadi variasi pada gaya gamelan modern Bali, Jawa, dan Sunda, dihasilkan dari berbagai cara pencampuran unsur-unsur tersebut. Dengan demikian, terlepas dari keragaman gaya yang tampak, banyak konsep, instrumen, dan teknik teoretis yang sama dibagikan di antara gaya-gaya tersebut.[15]

Alat Musik Gamelan

Gamelan adalah ansambel multi-timbre yang terdiri dari metalofon, idiofon, xilofon, aerofon, kordofon, suara vokal, siter yang dipetik dan membranofon yang dimainkan dengan tangan disebut kendhang, mengontrol tempo dan irama potongan-potongan serta transisi dari satu bagian ke bagian lainnya. Beberapa instrumen yang membentuk gamelan saat ini ditunjukkan di bawah ini:[16][17]

  1. 1 Buah Kendhang Ageng (Kendhang Gending)
  2. 1 Buah Kendhang Ciblon (Batangan)
  3. 1 Buah Kendhang Sabet (Kendhang Wayangan)
  4. 1 Buah Kendhang Ketipung (Ketipung)
  5. 1 Buah Bedug
  6. 2 Buah Bonang Penembung
  7. 2 Buah Bonang Barung (Bonang)
  8. 2 Buah Bonang Penerus
  9. 2 Set Kenong
  10. 2 Set Kethuk
  11. 2 Buah Kempyang
  12. 2 Buah Slenthem
  13. 3 Buah Gender Barung (Gender)
  14. 3 Buah Gender Penerus
  15. 2 Buah Saron Demung (Demung)
  16. 4 Buah Saron Barung (Saron/Saron Ricik)
  17. 2 Buah Saron Peking (Peking/Saron Penerus)
  18. 2 Buah Gong Ageng (Gong Besar)
  19. 2 Buah Gong Suwukan (Gong Siyem)
  20. 2 Set Kempul
  21. 2 Buah Rebab
  22. 2 Buah Gambang
  23. 2 Buah Siter
  24. 2 Buah Celempung
  25. 2 Buah Suling (Seruling)
  26. 1 Buah Kecer
  27. 3 Buah Kepyak
  28. Sindhen - Penyanyi wanita
  29. Gerong - Penyanyi Pria
  30. Wiyaga (Nayaga) - Penabuh Gamelan

Ragam

Jenis-jenis gamelan dibedakan berdasarkan koleksi instrumen dan penggunaan suara, penyetelan tangga nada (laras), repertoar, gaya, dan konteks budaya. Secara umum, tidak ada dua ansambel gamelan yang sama, dan yang muncul di kraton sering dianggap memiliki gaya dan penyetelan sendiri. Gaya tertentu juga dapat dibagikan oleh ansambel terdekat, yang mengarah ke gaya daerah.

Gamelan Jawa

Pada Gamelan Jawa terdapat beberapa jenis Gamelan meliputi :

  1. Gamelan Reog Ponorogo, Untuk mengiringi kesenian Reog Ponorogo. Gamelan ini terdiri dari Kendang Reog, Slompret, Kenong, Gong, Angklung Reog, Ketipung.
  2. Gamelan Jaranan Thek, Untuk mengiringi kesenian kuda Lumping yang saat ini memiliki banyak Jenis kuda Lumping.
  3. Gamelan Karaton Kasunanan Surakarta, untuk mengiringi berbagai tarian di lingkungan Karaton Kasunanan Surakarta.
  4. Gamelan Kraton Jogja, untuk mengiringi berbagai tarian di lingkungan Kraton Jogja
  5. Gamelan Wayang, Untuk Mengiringi kesenian Wayang Kulit.
  6. Gamelan Banyuwangi, Untuk Mengiringi berbagai kesenian khas Banyuwangi. Bunyi musik gamelan ini menghasilkan suara gamelan Jawa keraton, Gamelan Reog, Gamelan Jaranan Thek, dan Bali karena mendapatkan pengaruh dari ke empat jenis gamelan tersebut di banyuwangi.

Gamelan Sunda

  1. Gamelan Degung, Untuk mengiringi berbagai kesenian khas Sunda. Biasanya diiringi oleh sorakan suara atau Senggak khas Ponorogo

Gamelan Bali

  1. Gamelan Wayah (Tua atau era Majapahit)
  2. Gamelan Bambu (Rindik), mulanya sebuah Angklung Reog yang kemudian dimainkan dengan cara dipukul
  3. Gamelan Madya (Masa Kolonial)
  4. Gamelan Anyar (Baru)

Gamelan Sasak Lombok

  1. Gamelan Sasak, Untuk mengiringi berbagai kesenian khas suku sasak di Lombok. Gamelan sasak mendapat pengaruh dari Bali. sehingga bunyi yang dihasilkan sangat mirip dengan gamelan Bali.

Gamelan Madura

  1. Gamelan Saronoin, untuk mengiringi kesenian khas Madura. Gamelan Saronin mendapat pengaruh yang kuat dari Gamelan Reyog Ponorogo, meski begitu nada bunyi yang dihasilkan memiliki ciri khas Madura.

Gamelan Kutai

  1. Gamelan Kutai, Untuk mengiringi berbagai tarian di lingkungan Keraton Kutai Kartanegara. Gamelan Kutai yang mendapatkan pengaruh Jawa sejak era Kerajaan Majapahit.

Gamelan Banjar

  1. Gamelan Banjar, Untuk Mengiringi berbagai kesenian khas Banjar yang mendapatkan pengaruh Jawa sejak era Kesultanan Demak.

Gamelan Melayu

  1. Gamelan Melayu Sumatera
  2. Gamelan Melayu Semanjung (Malaysia), untuk mengiringi berbagai kesenian Melayu di berbagai Negara persemakmuran Malaysia yang mendapatkan pengaruh Jawa Kesultanan Demak dan Penghijrah Ponorogo.

Jenis gamelan umumnya dikelompokkan berdasarkan geografis, dengan pembagian utama antara gaya yang disukai oleh orang Bali, Jawa, dan Sunda. Orang Madura juga memiliki gaya gamelan sendiri, meskipun tidak lagi digunakan.[18] Gamelan Sunda mempunyai dinamika degung, yang menggunakan subset instrumen gamelan dengan laras pelog tertentu. Gamelan Bali sering dikaitkan dengan keahlian dan perubahan tempo yang cepat dan dinamika gong kebyar. Gamelan Sasak memiliki kemiripan dengan Gamelan Bali, dengan sedikit ragam yang berbeda. Gamelan Jawa, sebagian besar didominasi oleh kraton-kraton di Jawa, sesuai dengan gayanya masing-masing, dikenal dengan kualitas meditasi yang lebih pelan atau bertempo lambat dan bersifat transendental atau mersudi yang meiliki makna berusaha mencapai sesuatu dengan kesabaran.

Referensi

  1. ^ "Bausastra Jawa", Poerwadarminta. 1939
  2. ^ a b Sumarsam (1998). Introduction to Javanese Gamelan. Middletown.
  3. ^ KRT Widyacandra Ismayaningrat, dkk (2016). Serial Khasanah Pustaka KHP Widyabudaya: Bab Kagungan Dalem Gangsa lan Ringgit. Yogyakarta: KHP Widayabudaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. 
  4. ^ a b Lindsay, Jennifer (1992). Javanese Gamelan, p.10. ISBN 0-19-588582-1.
  5. ^ Lindsay (1992), p.35.
  6. ^ Lentz, 5.
  7. ^ R.T. Warsodiningrat, Serat Weda Pradangga. Cited in Roth, A. R. New Compositions for Javanese Gamelan. University of Durham, Doctoral Thesis, 1986. Page 4.
  8. ^ a b "Learn the History Behind Gamelan, Indonesian Music and Dance". ThoughtCo. 
  9. ^ https://uns.ac.id/id/uns-update/kolosal-reog-ponorogo-meriahkan-uns.html
  10. ^ butuh rujukan lengkap
  11. ^ "Selonding, Gamelan Suci dari Desa Kuno". Komunitas Ubud. Diakses tanggal 5 Desember 2020. 
  12. ^ html "Pelajari Gamelan Selonding Kuno di Mekar Bhuana" Periksa nilai |url= (bantuan). Mekar Bhuana. Diakses tanggal 5 Desember 2020. 
  13. ^ "Walisongo: Sunan Bonang". 
  14. ^ Reyog Ponorogo: untuk perguruan tinggi oleh Hartono, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980
  15. ^ Roth, 4–8
  16. ^ Drummond, Barry. Javanese Gamelan Terminology. Boston.
  17. ^ Ben Jordan (10 June 2002). "Javanese Gamelan: Instruments". Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 November 2013.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  18. ^ Across Madura Strait: the dynamics of an insular society, edited by Kees van Dijk, Huub de Jonge and Elly Touwen-Bouwsma.[perlu rujukan lengkap]

Pranala luar

  • Situs tentang gamelan di NIU
  • Gamelan Jogja, Lantunan Harmony Alam Semesta
  • 12 Nama Alat Musik Gamelan, Cara Memainkan, dan Keterangannya
  • (Inggris) American Gamelan Institute
  • (Inggris) Gendhing Jawa Diarsipkan 2007-02-02 di Wayback Machine.
  • (Inggris) Gamelan, Orkestra khas Jawa
  • (Inggris) Gamelan - UNESCO: Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity - 2021

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Gamelan&oldid=21763060"