Ada beberapa standar yang digunakan untuk acuan kata baku

Oleh Safrizal, Penyuluh di Balai Bahasa Provinsi Aceh

Sekilas Sejarah Bahasa Indonesia

Bahasa Melayu merupakan cikal bakal terbentuknya bahasa Indonesia. Bahasa Melayu itu sendiri sudah menjadi bahasa persatuan masyarakat Nusantara sebelum Indonesia merdeka. Pada 28 Oktober 1928, sekelompok pemuda Indonesia melakukan sebuah pertemuan yang dikenal dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober.

Pada pertemuan tersebut, para pemuda mengikrarkan tiga poin penting yang sampai hari ini masih dipraktikkan. Salah satu dari tiga poin ikrar tersebut terkait dengan bahasa, yaitu “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia”.

Selanjutnya, pada 18 Agustus 1945, satu hari setelah Indonesia dinyatakan merdeka, bahasa Indonesia dinyatakan resmi sebagai bahasa negara. Bukti pernyataan resmi tersebut dituangkan dalam UUD 1945 pada Bab XV Pasal 36, berbunyi bahasa negara adalah bahasa Indonesia.

Turunan dari Bab tersebut dituangkan pada UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang  Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dan Permendiknas Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jadi, semua teknis yang berkaitan dengan penggunaan bahasa Indonesia secara resmi mengacu pada UU No. 24 Th. 2009.

Sehubungan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baku. Pada tahun 1972 dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0155/P dihasilkanlah sebuah Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Pedoman tersebut lebih dikenal denga EyD.

Pada tahun 1998 juga dikeluarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Ketiga buku yang dikeluarkan di atas adalah acuan berkaitan dengan penggunaan dan pemakaian bahasa Indonesia yang baku. 

Dalam sejarah Indonesia, EyD merupakan pedoman penggunaan bahasa Indonesia yang paling lama bertahan, yaitu 43 tahun. Pada tahun 2015, EyD dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagai pengganti pedoman yang tidak berlaku, dikeluarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia atau yang lebih dikenal dengan singkatan PUEBI.

Baca juga:   Menggugat Eufemisme dan Politisasi Bahasa Publik

Pembakuan Kosakata

Bahasa baku, disebut juga bahasa standar, adalah bahasa yang mempunyai nilai komunikatif yang tinggi, yang digunakan  dalam kepentingan nasional, dalam situasi resmi atau dalam lingkungan resmi dan pergaulan sopan yang terikat oleh tulisan, ejaan baku, istilah/kosa kata baku tata bahasa baku, serta lafal baku.

Konsep baku adalah salah satu ragam bahasa Indonesia yang bentuk bahasanya telah dikodifikasi, diterima, dan difungsikan atau dipakai sebagai model oleh masyarakat Indonesia secara luas, terutama dalam dunia pendidikan.

Berbicara pembakuan kosakata, dalam KBBI disebutkan pembakuan adalah ‘proses’. Artinya, pembakuan bukanlah hasil kata yang berupa kata baku. Secara gramatikal,  pembakuan dapat dimaknai langkah menuju kosakata baku. Dengan begitu, pembakuan dapat dikatakan sebagai tindakan bagaimana sebuah kosakata dikatakan baku atau tidak.

Pembakuan kosakata tidak terlepas dari penyerapan. Tindakan serap merupakan langkah yang dilakukan untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia.

Penyerapan tidak hanya dilakukan terhadap bahasa asing (bahasa bangsa lain), tetapi juga dilakukan terhadap bahasa daerah (bahasa daerah yang ada di Indonesia).  Setelah tindakan tersebut dilakukan, kosakata yang bersangkutan digolongkan ke dalam unsur serapan.

Unsur serapan adalah kata atau istilah yang berasal dari bahasa daerah atau bahasa asing. Kita tahu bahwa bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu diperkaya oleh bahasa daerah dan bahasa asing.

Hal itu wajar karena semua bahasa akan dipengaruhi oleh bahasa lain selama bahasa itu masih dipakai sebagai alat komunikasi. Dengan kata lain, tidak ada bahasa di dunia ini yang steril atau terbebas dari pengaruh bahasa lain selama bahasa itu masih berfungsi sebagai alat komunikasi.

Baca juga:   Pram: Menulis adalah Perlawanan

Setelah pembakuan  selesai, untuk dapat dikatakan kosakata baku harus melalui tiga aspek. Ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut.

(1) Dikodifikasi

Istilah ini merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yang berarti sebagai hal memberlakukan suatu kode atau aturan kebahasaan untuk dijadikan norma di dalam tata bahasa. Dalam KBBI, kodifikasi diartikan ‘pencatatan norma yang telah dihasilkan oleh pembakuan dalam bentuk buku tata bahasa, seperti pedoman lafal, pedoman ejaan, pedoman pembentukan istilah, atau kamus’.

(2) Diterima atau Berterima

Bahasa baku harus diterima atau berterima di masyarakat umum. Aspek ini merupakan kelanjutan dari aspek kodifikasi. Dengan penerimaan masyarakat, bahasa baku mempunyai kekuatan untuk mempersatukan dan menyimbolkan masyarakat bahasa baku.

(3) Difungsikan atau Dipakai

Kelanjutan dari aspek kedua, kosakata baku difungsikan atau dipakai oleh masyarakat luas. Hal ini dijadikan model atau acuan oleh masyarakat. Acuan ini menjadi ukuran yang disepakati secara umum tentang kode bahasa dan kode pemakaian bahasa di dalam situasi tertentu atau pemakaian bahasa tertentu.

Fungsi Bahasa Baku

Terdapat empat fungsi bahasa baku, yaitu (1) fungsi pemersatu, (4) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan. Tiga fungsi pertama disebut fungsi perlambangan atau simbolik, sedangkan satu fungsi terakhir disebut fungsi objektif.

(1) Fungsi Pemersatu

Bahasa baku membentuk satu masyarakat bahasa yang mencukupi seluruh penutur dialek bahasa tersebut. Selain mempermudah proses identifikasi penutur dengan seluruh anggota kelompok masyarakat penutur bahasa baku itu.

Baca juga:   GOSIP, CINTA, IMAN

Fungsi pemersatu dapat dilihat ketika bahasa itu digunakan dalam media massa, baik cetak maupun elektronik. Bahasa Indonesia ragam tulis dalam media massa ini memainkan peranan yang sangat menentukan sebagai pemersatu. Sementara ragam lisan, peranannya dapat terlihat dalam penggunaan bahasa Indonesia di radio dan televisi.

(2) Fungsi Kekhasan

Fungsi ini akan terlihat ketika bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Melayu yang digunakan  di Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam, bahkan dengan bahasa Melayu Riau yang merupakan induknya, bahasa Indonesia dianggap sudah jauh berbeda. Perbedaan ini menunjukkan nilai positif terhadap makin mantapnya perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa di Indonesia.

(3) Fungsi Pembawa Kewibawaan

Fungsi ini berkaitan dengan usaha seseorang untuk mencapai kesejahteraan dengan peradaban lain yang dikagumi melalui pemerolehan bahasa baku sendiri. Bahasa Indonesia dijadikan teladan bagi bangsa lain di Asia Tenggara yang masih memerlukan bahasa modern. Fakta hari ini menunjukkan bahwa di beberapa tempat penutur mahir berbahasa Indonesia dengan baik dan benar memperoleh wibawa di mata orang lain.

(4) Fungsi Sebagai Kerangka Acuan

Fungsi terakhir ini adalah sebagai kerangka acuan dalam pemakaian bahasa berdasarkan kodifikasi kaidah dan norma yang jelas. Kaidah dan norma ini menjadi tolok ukur untuk menilai atau menentukan benar tidaknya pemakaian bahasa seseorang.

Ada beberapa standar yang digunakan untuk acuan kata baku

Adi Syaiful Mukhtar, S.S.

Kantor Bahasa Maluku

Ketidak-taatan terhadap kaidah penggunaan bahasa Indonesia di ranah resmi merupakan fenomena yang perlu disoroti. Kesetiaan masyarakat terhadap bahasa negara patut dipertanyakan. Penggunaan bahasa asing lebih sering diutamakan daripada bahasa Indonesia. Selain itu, beberapa imbauan dalam bahasa Indonesia di ruang publik juga masih dicampur dengan istilah bahasa asing. Fenomena yang lebih memalukan lagi adalah penggunaan istilah bahasa asing yang tidak sesuai. Selain penggunaan bahasa asing, penggunaan bahasa Indonesia pada ruang publik juga masih banyak yang tidak sesuai kaidah. Petunjuk dari instansi pemerintah juga masih terlihat tidak sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia yang berlaku.

Hal tersebut sangat berbeda dengan situasi kebahasaan di Jepang. Peneliti Antropolinguistik LIPI, Obing Katubi (Kompas, 23/10/2019), dalam keterangannya menyebutkan bahwa kesadaran masyarakat Jepang terhadap bahasa negaranya masih lebih baik daripada masyarakat Indonesia. Bahasa Jepang memiliki ragam yang bergantung pada tingkatan sosial, umur, pekerjaan, dan gaya hidup. Namun, situasi tersebut tidak membuat instansi resmi maupun swasta untuk menggunakan bahasa nonbaku. Mereka menggunakan bahasa Jepang ragam baku untuk pengumuman, iklan, petunjuk, dan sebagainya. Mereka tampak patuh dan setia menggunakan struktur kalimat yang baku.                      

Baku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Baku bertalian dengan standar, sehingga bahasa baku bisa dikatakan sebagai bahasa yang standar. Standar itu didasarkan pada kaidah yang telah ditentukan. Bahasa Indonesia sudah memiliki kaidah yang telah ditentukan oleh pemerintah. Saat ini, bahasa Indonesia memiliki standar, yaitu Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), Permendikbud No. 50 Tahun 2015. Selain pedoman tersebut, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga tersedia untuk umum. Dua media tersebut pasti melewati proses pembakuan yang tidak mudah. Pembakuan tersebut dilakukan untuk manghasilkan bahasa baku. Fungsi bahasa baku menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) ada empat, yaitu pemersatu, pemberi kekhasan, pembawa kewibawaan, dan sebagai kerangka acuan.                   

Fungsi bahasa baku yang pertama adalah pemersatu bangsa. Kondisi bangsa Indonesia dari segi kebahasaannya sangatlah menarik. Bahasa daerah di seluruh nusantara berjumlah 718. Perlu adanya kesepakatan bersama untuk menentukan bahasa yang akan digunakan saat mereka bertemu. Kondisi itulah, bahasa baku bahasa Indonesia hadir menjadi rujukan utama para penutur bahasa antardaerah.   

Fungsi bahasa baku berikutnya adalah pemberi kekhasan. Banyak pihak yang berpendapat bahwa bahasa Indonesia sama dengan bahasa Melayu. Secara geografis, bahasa Melayu memang dijumpai di Asia Tenggara, tempat Indonesia berada. Namun, penutur jati bahasa Indonesia banyak yang berpendapat bahwa bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Melayu yang dituturkan di Singapura, Malaysia, atau Brunei Darussalam. Inilah pentingnya bahasa baku disusun. Standarisasi perlu diterapkan dalam penggunaan bahasa Indonesia agar membedakan bahasa-bahasa yang serumpun.        

Bahasa baku bagi sebuah negara adalah identitas yang perlu ditetapkan. Banyak negara yang memiliki bahasa dengan nama yang berbeda dengan nama negaranya. Biasanya negara tersebut memiliki bahasa resmi dari negara yang pernah menjajahnya. Lain halnya dengan Indonesia. Indonesia memiliki bahasa resmi/nasional bahasa Indonesia. Ahli bahasa dan beberapa kalangan berpendapat bahwa perkembangan bahasa Indonesia dijadikan teladan bagi bangsa lain di Asia Tenggara (TBBBI, 2017:14). Hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia lebih wibawa dibanding bangsa lain yang tidak memiliki bahasa resmi sendiri. Tidak hanya wibawa dalam skala besar. Bagi individu penutur jati bahasa Indonesia, bahasa baku juga memengaruhi kewibawaan diri. Sebab, bahasa baku biasa dituturkan pada situasi resmi. Hal tersebut menunjukkan bahwa penutur bahasa baku sering pada situasi tersebut. Oleh karena itu, nilai prestise pada diri penutur dapat dibangun oleh bahasa bakunya.

Pemilihan ragam bahasa pada ranah tertentu didasarkan pada pertimbangan sosial penuturnya. Pertimbangan sosial ini harus didasarkan pada kesadaran bahwa bangsa Indonesia juga memiliki bahasa daerah. Namun, kehadiran bahasa daerah ini kadang disalahgunakan. Alih-alih agar komunikatif, kosakata bahasa daerah dicampur dalam percakapan bahasa Indonesia ragam resmi. Hal serupa juga terjadi saat penutur tidak memiliki referensi kosakata baku untuk konsep tertentu sehingga diganti dengan kosakata bahasa daerah. Namun, hal tersebut tidak perlu terjadi, jika penutur tersebut mempelajari bahasa baku. Oleh karena itu, bahasa baku hadir sebagai acuan utama dalam penggunaan sebuah bahasa.

Berdasarkan fungsi yang telah disebutkan di atas, tidak ada alasan yang logis untuk tidak mempelajari bahasa baku bahasa Indonesia. Bahasa baku memberi kita ruang untuk berkomunikasi dengan suku lain di Indonesia. Selain itu, kekhasan yang dibangun oleh bahasa baku bahasa Indonesia menjadikan bangsa Indonesia lebih berwibawa karena memiliki bahasa sendiri.