Ada beberapa faktor penyebab penulisan hadis belum resmi pada masa khulafaur rasyidin antara lain

Bersama Alquran, hadis merupakan sumber hukum dan petunjuk untuk kehidupan.

Wordpress.com/a

Penulisan hadis (ilustrasi).

Rep: Syahruddin el-Fikri Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ilmu hadis telah menyedot perhatian ulama sejak awal perkembangan Islam hingga saat ini. Bahkan, khazanah Islam lebih banyak dipenuhi kitab-kitab hadis dibanding, misalnya kitab-kitab tafsir. Ini menunjukkan pentingnya kedudukan hadis dalam Islam.

Bersama Alquran, hadis merupakan sumber hukum dan petunjuk untuk kehidupan. Apa yang tidak dijelaskan secara teperinci dalam Alquran, maka hal itu akan diuraikan dengan gamblang dalam sebuah hadis. Karena pada dasarnya hadis merupakan perkataan, ajaran serta perbuatan Rasulullah SAW.

Berbeda dengan Alquran yang telah ditulis pada masa Nabi Muhammad SAW, hadis lebih banyak dihafal daripada ditulis. Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa Nabi SAW sendiri pernah melarang para sahabat untuk mencatat hadis-hadis, sebagaimana riwayat yang diterima dari Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid bin Tsabit yang tercantum dalam Taqyid al-Ilm, karya Ibnu Abdul Barr.

Namun larangan ini, menurut sebagian ulama, tidak ditujukan kepada semua sahabat, tetapi khusus kepada para penulis wahyu, karena kekhawatiran bercampurnya ayat-ayat Alquran dan hadis. Karena pada keterangan lainnya disebutkan bahwa Nabi SAW mengizinkan menulis hadis, sebagaimana riwayat tentang Abdullah bin Amr, Abu Syah, dan Ali bin Abi Thalib.

Kendati pada masa awal Islam sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis beberapa sahabat, penulisan hadis secara khusus baru dimulai pada awal abad ke-2 H, saat Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah menduduki jabatan khalifah (717-720 M).

Faktor penyebabnya adalah kekhawatiran Khalifah bahwa hadis berangsur-angsur akan hilang jika tidak dikumpulkan dan dibukukan. Ia melihat bahwa para penghafal hadis semakin berkurang karena meninggal, dan sudah berpencar ke berbagai wilayah Islam. Selain itu, pemalsuan hadis pun mulai berkembang.

Dengan dukungan para ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm, untuk mengumpulkan hadis yang terdapat pada penghafal Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq (keduanya ulama besar Madinah yang banyak menerima hadis dan paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Aisyah binti Abu Bakar).

Di samping itu, Khalifah Umar juga memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadis yang ada pada para penghafal hadis di Hijaz (Madinah dan Makkah) dan Suriah. Az-Zuhri adalah ulama besar dari kelompok tabiin pertama yang membukukan hadis.

Sejak saat itu, perhatian para ulama hadis dalam pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis mulai berkembang, sehingga pada abad ke-2 H dikenal beberapa orang penghimpun dan penulis hadis. Di antaranya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Makkah; Malik bin Anas atau Imam Malik dan Muhammad bin Ishak di Madinah; ar-Rabi bin Sabih, Sa’id bin Urubah, dan Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri di Basra; Sufyan as-Sauri di Kufah; Ma’mar bin Rasyid di Yaman; Abdur Rahman bin Amr al-Auza’i di Syam (Suriah); Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan (Iran); Hasyim bin Basyir di Wasit (Irak); Jarir bin Abdul Hamid di Rayy (Iran); dan Abdullah bin Wahhab di Mesir.

Pemalsuan hadis pun mulai berkembang

Wordpress.com/a

Penulisan hadis (ilustrasi).

Rep: Syahruddin el-Fikri Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kendati pada masa awal Islam sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis beberapa sahabat, penulisan hadis secara khusus baru dimulai pada awal abad ke-2 H, saat Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah menduduki jabatan khalifah (717-720 M).

Faktor penyebabnya adalah kekhawatiran Khalifah bahwa hadis berangsur-angsur akan hilang jika tidak dikumpulkan dan dibukukan. Ia melihat bahwa para penghafal hadis semakin berkurang karena meninggal, dan sudah berpencar ke berbagai wilayah Islam. Selain itu, pemalsuan hadis pun mulai berkembang.

Dengan dukungan para ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm, untuk mengumpulkan hadis yang terdapat pada penghafal Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq (keduanya ulama besar Madinah yang banyak menerima hadis dan paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Aisyah binti Abu Bakar).

Di samping itu, Khalifah Umar juga memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadis yang ada pada para penghafal hadis di Hijaz (Madinah dan Makkah) dan Suriah. Az-Zuhri adalah ulama besar dari kelompok tabiin pertama yang membukukan hadis.

Sejak saat itu, perhatian para ulama hadis dalam pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis mulai berkembang, sehingga pada abad ke-2 H dikenal beberapa orang penghimpun dan penulis hadis. Di antaranya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Makkah; Malik bin Anas atau Imam Malik dan Muhammad bin Ishak di Madinah; ar-Rabi bin Sabih, Sa’id bin Urubah, dan Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri di Basra; Sufyan as-Sauri di Kufah; Ma’mar bin Rasyid di Yaman; Abdur Rahman bin Amr al-Auza’i di Syam (Suriah); Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan (Iran); Hasyim bin Basyir di Wasit (Irak); Jarir bin Abdul Hamid di Rayy (Iran); dan Abdullah bin Wahhab di Mesir.

Akan tetapi, penulisan hadis pada masa ini, masih bercampur antara sabda Rasulullah SAW dengan fatwa sahabat dan tabiin, seperti terlihat dalam kitab al-Muwatta’ yang disusun Imam Malik. Karena keragaman isi kitab hadis yang disusun pada masa ini, para ulama hadis ada yang mengatakan bahwa kitab-kitab hadis ini termasuk kategori al-musnad (kitab hadis yang disusun berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW).

Tetapi ada pula yang memasukkannya ke dalam kategori al-Jami’ (kitab hadis yang memuat delapan pokok masalah, yaitu akidah, hukum, tafsir, etika makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela) atau al-mu’jam (kitab yang memuat hadis menurut nama sahabat, guru kabilah, atau tempat hadis didapatkan). Fase penulisan hadis yang terkahir ini baru mulai berkembang akhir abad ke-2 H.

Pada periode selanjutnya, muncul para tabiin dan tabi’ at-tabi’in (generasi sesudah tabiin) yang memisahkan antara sabda Rasulullah SAW dan fatwa sahabat serta tabiin. Mereka hanya menuliskan hadis yang merupakan sabda Rasulullah SAW lengkap dengan sanad (periwayatan) yang disebut al-musnad. Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal adalah salah satu al-musnad yang terlengkap dan paling luas. Akan tetapi hadis yang disusun dalam kitab-kitab al-musnad ini masih mencampurkan hadis yang sahih, hasan, dan daif, bahkan hadis maudu’ (palsu).

Di antara generasi pertama yang menulis al-musnad ini adalah Abu Dawud Sulaiman at-Tayalisi. Langkah ini diikuti oleh generasi sesudahnya, seperti Asad bin Musa, Musa al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Nu’aim bin Hammad al-Khaza’i, Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali, Ishaq bin Rahawaih, dan Usman bin Abi Syaibah.

Apa yang mendorong kaum Paderi dan kaum adat bersatu pada Perang Paderi​

SIAPA YANG AHLI DIBIDANG SENI KALIGRAFI DAN SENI BUDAYA MENURUT DAULAH UMAYYAH? TOLONG DIJAWAB YAA TEMAN TEMAN TOLONG JANGAN NGASAL JAWABAN NYQ YAA PR … SKI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM ​

tuliskan kemajuan yang dicapai masa daulah umayyah ?Tolong dijawab yaa teman teman tolong jangan buat ngasak jawaban nya ​

Tolong bantu jawab semuanya

berapakah luas dan tentukan volume lukisan Monalisa yg di lukis oleh Leonardo da vinci​

latar belakang museum dharma wiratama​

bagaimana bisa Houdini meninggal?

Apa yang tercermin dari diri Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari semenjak kecil? ​

Berikan 2 contoh pengamalan sikap Islam Rahmatan lil Alamin (Islam menyebarkan kasihsayang bagi seluruh alam) sesuai dengan yang Nabi contohkan ketik … a periode dakwah Mekah-Madinah baik di lingkungan sekitar rumahmu maupun di sekolah!​

Sebutkan dalil atau hadis ttg jual mangga ditukar dengan barang uda dikemas?....​