10 mengapa sistem tanam paksa sangat memberatkan rakyat Indonesia

10 mengapa sistem tanam paksa sangat memberatkan rakyat Indonesia
Ilustrasi sawah. ©2018 Merdeka.com

SUMUT | 24 Juni 2020 14:02 Reporter : Ani Mardatila

Merdeka.com - Indonesia telah dijajah oleh Belanda selama hampir 350 tahun lamanya. Kala itu Indonesia disebut sebagai Hindia Belanda. Di mana setelah Belanda datang ke Indonesia, mereka memulai praktik eksploitatif seperti tanam paksa.

Tanam paksa atau Sistem Kulvasi, Sistem Budidaya atau Cultuurstelsel merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu dan tarum (nila).

Tanaman ekspor tersebut nantinya kemudian dijual dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial, dan bagi warga yang tidak memiliki tanah harus bekerja selama 75 haru dalam setahun pada kebun milik pemerintah.

Sistem tanam paksa ini diketahui lebih keras daripada saat monopoli VOC, sebab ada target yang harus dipenuhi untuk pemasukan penerimaan pemerintah kolonial yang saat itu sangat dibutuhkan.

Pemasukan tersebut kemudian digunakan untuk membayar hutang Belanda sebab, kas pemerintah Belanda amblas setelah Perang Jawa tahun 1830. Sistem itu pun berhasil dan pemerintah Belanda meraup keuntungan yang amat besar.

2 dari 5 halaman

Tahun (1825-1830) Belanda telah berhasil menumpas pemberontakan yang terjadi di Jawa dalam Perang Diponegoro. Namun hal itu menyebabkan keuangan Belanda menjadi surut bahkan memiliki utang. Oleh sebab itu Raja Wiliam 1 mengutus Johannes van den Bosch untuk mencari cara menghasilkan uang dari sumber daya di Indonesia.

Lahirlah Cultuurstelsel, para petani sangat menderita kala itu karena alih-alih mereka berfokus menanam padi untuk makan sendiri, mereka malah harus menanam tanaman ekspor yang harus diserahkan ke pemerintah kolonial.

Van den Bosch menyusun peraturan-peraturan pokok yang termuat pada lembaran negara (Staatsblad) Tahun 1834 No.22 sebagai berikut:

  1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasar Eropa.
  2. Bagian tanah tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk di desa.
  3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagang tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
  4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
  5. Tanaman dagang yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih profitnya harus diserahkan kepada rakyat.
  6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.
  7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Meski peraturan tersebut jelas memberatkan para petani dan penduduk, namun kenyataan di lapangan, penderitaan yang dialami jauh lebih besar dan berkepanjangan karena dicekik kemiskinan dan ketidaktentuan penghasilan ke depannya.

3 dari 5 halaman

Secara ringkas, berikut tujuan tanam paksa yang diberlakukan oleh Van den Bosch pada rakyat Indonesia:

  1. Mengisi kembali kas negara Belanda yang kosong karena pengeluaran negara yang sangat banyak saat Perang Jawa.
  2. Membantu menyediakan dana untuk membayar utang negara yang sangat besar akibat peperangan.
  3. Memberi suntikan dana untuk membiayai peperangan yang dilakukan di Eropa dan di Indonesia.
  4. Mendapatkan keuntungan sebesar – besarnya untuk pendapatan negara.

4 dari 5 halaman

Berikut dampak tanam paksa bagi rakyat Indonesia di era Van den Bosch:

  • Rakyat menderita dan memiliki beban yang sangat berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, mengikuti kerja rodi dan juga membayar pajak.
  • Timbulnya berbagai wabah penyakit serta kelaparan yang berkepanjangan karena kesejahteraan yang tidak tercapai akibat tidak mempunyai penghasilan yang cukup.
  • Kemiskinan yang semakin meluas.
  • Para petani yang menanam paksa menjadi tahu berbagai tanaman ekspor ke depannya serta Teknik menanamnya.

5 dari 5 halaman

10 mengapa sistem tanam paksa sangat memberatkan rakyat Indonesia
ilustrasi ©2013 Merdeka.com/imam buhori

Pada tahun 1840, penderitaan rakyat sudah terlihat sangat jelas dengan berbagai wabah penyakit di mana-mana serta kelaparan yang meraja lela. Di samping hal tersebut, pajak naik dan menyiksa rakyat.

Akhirnya setelah dua puluh tahun kemudian secara berangsur, sistem tanam paksa dihapus secara radikal. Mulai dari tanam paksa lada, indigo, teh, tebu dan menyusul lainnya. Di Jawa, sistem tanam paksa benar-benar dihapus pada tahun 1870.

(mdk/amd)

tirto.id - Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch (1830-1833). Pemberlakuan tanam paksa menjadi salah satu periode kelam dalam sejarah Indonesia dan menuai kritik keras dari sejumlah kalangan.

Kebijakan Sistem Tanam Paksa ini dicetuskan pada 1830 atau ketika van Den Bosch mulai menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ketentuannya, setiap desa wajib menyisihkan 20 persen tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor yang ditentukan pemerintah kolonial, seperti kopi teh, tebu, dan nila.

Pada dasarnya, sistem ini adalah cara baru yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial untuk dapat mengeksploitasi sumber daya alam Hindia Belanda (Indonesia) demi kepentingan penjajah atau Kerajaan Belanda.

Cultuurstelsel dikeluarkan karena kebijakan sistem sewa tanah (landrente) yang diberlakukan pada masa Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816) gagal memenuhi kebutuhan ekspor. Secara garis besar, tujuan dari Cultuurstelsel ialah untuk mengatasi krisis keuangan Belanda.

Kebijakan Cultuurstelsel ini akhirnya dihentikan setelah menuai protes keras dari berbagai kalangan yang melihat bahwa telah terjadi banyak penyelewengan dari pelaksanaan dari sistem tanam paksa.

Baca juga:

  • Sejarah Perang Diponegoro: Sebab, Tokoh, Akhir, & Dampak
  • Kronologi Sejarah Perang Padri: Tokoh, Latar Belakang, & Akhir
  • Sejarah Perang Aceh: Kapan, Penyebab, Proses, Tokoh, & Akhir

Latar Belakang & Tujuan Tanam Paksa

Dikutip dari Agnes Dian dalam penelitiannya berjudul "Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Jawa Tahun 1830-1870" (2006), kebijakan sewa tanah yang diterapkan pada era Raffles tak berjalan sebagaimana mestinya.

Alih-alih memperoleh keuntungan besar, sistem ini malah menimbulkan kerugian dengan turunnya pendapatan dari hasil pertanian.

De Klerck dalam History of the Netherlands East Indies (1987: 58), menuliskan bahwa sistem sewa tanah yang dikeluarkan Raffles gagal memberikan keuntungan bagi pemerintah dan rakyat.

Inilah yang kemudian menjadi dasar van Den Bosch mencetuskan sistem tanam paksa sejak ia mulai menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1830.

Selain itu, kebijakan tanam paksa dikeluarkan sebagai upaya untuk mengatasi krisis keuangan yang dialami Hindia Belanda maupun Kerajaan Belanda.

Wulan Sondarika dalam penelitian bertajuk "Dampak Cultuurstelsel (Tanam Paksa) Bagi Masyarakat Indonesia dari Tahun 1830-1870" dalam Jurnal Artefak, menyebutkan bahwa krisis keuangan itu terjadi dikarenakan untuk pemenuhan biaya Perang Jawa (Perang Diponegoro) tahun 1825-1830.

Kebijakan Cultuurstelsel pada dasarnya bertujuan untuk mengembalikan kondisi keuangan Belanda menjadi pulih selepas krisis usai perang Jawa. Selain itu, juga bertujuan untuk memberikan keuntungan yang besar bagi pemerintah kolonial.

Baca juga:

  • Penyebab Sejarah Pemberontakan DI/TII Daud Beureueh di Aceh
  • Sejarah Pemberontakan Andi Azis: Penyebab, Tujuan dan Dampaknya
  • Sejarah Pemberontakan DI/TII Amir Fatah di Jawa Tengah

Aturan Tanam Paksa

Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo dalam Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi (1991) yang dikutip dari Lembar Negara (Staatsblad) No. 22 Tahun 1834 menyebutkan Sistem Tanam Paksa dijalankan dengan aturan sebagai berikut:

  • Melalui persetujuan, penduduk menyediakan sebagian tanahnya untuk penanaman tanaman perdagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
  • Tanah yang disediakan untuk penanaman perdagangan tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
  • Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman perdagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang dibutuhkan untuk menanam padi.
  • Bagi tanah yang ditanami tanaman perdagangan dibebaskan dari pajak tanah.
  • Apabila nilai hasil tanaman perdagangan melebihi pajak tanah yang harus dibayar, maka selisih positifnya harus diberikan kepada rakyat.
  • Kegagalan panen menjadi tanggung jawab pemerintah.
  • Penduduk desa mengerjakan tanah mereka dengan pengawasan kepala-kepala yang telah ditugaskan.

Baca juga:

  • Sejarah Penyebab Keruntuhan Kerajaan Samudera Pasai
  • Sejarah Proses Masuknya Agama Kristen Katolik ke Indonesia
  • Arti Gold, Glory, Gospel (3G): Sejarah, Latar Belakang, & Tujuan

Penyimpangan Tanam Paksa

Dalam prakteknya, terjadi banyak penyelewengan dalam pelaksanaan Sistem Tanam Paksa, antara lain:

  • Tanah yang harus diserahkan rakyat melebihi ketentuan.
  • Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap terkena pajak.
  • Rakyat yang tidak punya tanah garapan harus bekerja di pabrik atau perkebunan milik kolonial selama lebih dari 66 hari.
  • Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak tidak dikembalikan.
  • Kerugian akibat gagal panen ditanggung oleh petani.

Salah satu penyebab terjadinya banyak praktek penyimpangan ini adalah para pejabat lokal yang tergiur janji dari pemerintahan kolonial yang menerapkan cultuur procenten.

Cultuur procenten (prosenan tanaman) adalah sistem pemberian hadiah oleh pemerintah kolonial kepada kepala pelaksana tanam paksa (penguasa lokal dan kepala desa) di daerah yang mampu menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan.

Baca juga:

  • Pemberontakan Sadeng vs Majapahit: Dendam Kematian Nambi
  • Sejarah Kabupaten Tuban Bermula dari Ronggolawe vs Majapahit
  • Kontroversi Sejarah Pemberontakan Ra Semi di Kerajaan Majapahit

Dampak Tanam Paksa

Robert Van Niel dalam Warisan Sistem Tanam Paksa Bagi Perkembangan Ekonomi Berikutnya (1988) menyebutkan, beberapa dampak dari Sistem Tanam Paksa.

Selain mempengaruhi tanah (kemudian dikaitkan dengan sistem ekonomi pedesaan) dan munculnya tenaga buruh yang murah, Cultuurstelsel juga berdampak terhadap munculnya pembentukan modal di desa.

Sistem tanam paksa juga telah menghancurkan desa-desa di Jawa karena telah memaksa mengubah hak kepemilikan tanah desa menjadi milik bersama dan dengan demikian merusak hakhak perorangan yang lebih dulu atas tanah.

Selain dampak negatif, Tanam Paksa juga menghasilkan dampak yang positif. M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) memaparkan bahwa terjadi penyempurnaan fasilitas, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, pabrik dan gudang untuk hasil budidaya.

Baca juga:

  • Sejarah Kejayaan Kesultanan Mataram Islam Masa Sultan Agung
  • Sungai Citarum dan Banjir Jakarta dalam Sejarah Kerajaan Sunda
  • Sejarah Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara: Sebab, Peninggalan, Raja

Secara garis besar, dampak Cultuurstelsel dapat dikategorikan dalam beberapa aspek sebagai berikut:

Bidang Pertanian

  1. Penanaman tanaman komoditas di Hindia Belanda menjadi lebih massif dan luas, di antaranya kopi, teh, tebu, dan lain-lain.
  2. Meningkatkan kesadaran pemerintah kolonial untuk meningkatkan produksi beras.
Bidang Sosial

  1. Terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah.
  2. Terjadi bencana kelaparan di berbagai daerah.
  3. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat, namun justru menghambat perkembangan desa itu sendiri.
  4. Terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduk di desa-desa.
  5. Timbulnya kerja rodi, yakni kerja paksa bagi penduduk tanpa upah yang layak.
Bidang Ekonomi

  1. Pekerja mulai mengenal sistem upah. Sebelumnya, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotong royong terutama.
  2. Terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa.
  3. Hasil produksi tanaman ekspor bertambah dan mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian rakyat di kemudian hari.

Baca juga:

  • Sejarah Perundingan Roem-Royen: Latar Belakang, Isi, Tokoh
  • Sejarah Demokrasi Parlementer: Ciri-ciri, Kekurangan, & Kelebihan
  • Macam Teori Kekuasaan Negara Menurut John Locke & Montesquieu

Akhir dan Tokoh Tanam Paksa

Tokoh utama Sistem Tanam Paksa tentu saja adalah Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch yang merupakan pencetus kebijakan ini sejak 1830.

Selain itu, ada beberapa tokoh intelektual Belanda yang memprotes Cultuurstelsel karena terjadi banyak penyelewengan, seperti Eduard Douwes Dekker, Baron van Hoevell, Fransen van de Putten, dan lainnya.

Eduard Douwes Dekker, misalnya, merilis buku berjudul “Max Havelar" dengan nama samaran Multaltuli. Buku yang diterbitkan pada 1830 ini mengungkap berbagai penyelewengan tanam paksa dan penindasan pemerintah kolonial di Jawa.

Sedangkan Fransen van de Putte menerbitkan artikel bertajuk “Suiker Contracten" atau "Perjanjian Gula" yang amat merugikan kaum petani atau masyarakat lokal di Hindia Belanda.

Banyaknya protes dan reaksi yang muncul membuat pemerintah Belanda mulai menghapus Sistem Tanam Paksa secara bertahap. Cultuurstelsel resmi dihapuskan sejak 1870 berdasarkan Undang-Undang Agraria atau UU Landreform.

Baca juga:

  • Peninggalan Sejarah Kerajaan Majapahit: Situs Prasasti dan Candi
  • Sejarah Raden Wijaya Sang Raja Pertama Majapahit
  • Fitnah Pemberontakan Lembu Sora dalam Sejarah Majapahit

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Alhidayath Parinduri
(tirto.id - hdy/isw)


Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Alhidayath Parinduri

Subscribe for updates Unsubscribe from updates