10 argumen teratas menentang hukuman mati 2022

10 argumen teratas menentang hukuman mati 2022

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani. Foto: Jaka/Man

Diskursus tentang hukuman mati masih pada posisi yang diperdebatkan, di satu sisi ada kalangan yang menolak, di sisi lain ada yang setuju, tentu dengan rasionalitasnya masing-masing. Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menjelaskan, pidana hukuman mati tidak boleh dijatuhkan sembarangan. Sebab, tujuan hukum atau purpose of law harus dilakukan dengan benar dan hati-hati.

Ia mengungkapkan, posisi DPR RI dalam merespon tentang pidana hukuman mati, dia mengatakan, dulu tidak satu pun fraksi dari 10 fraksi di DPR yang menentang hukuman mati. Kini ada sembilan fraksi yang posisinya menentang hukuman tersebut.

“Bahwa ada pribadi-pribadi Anggota Komisi III DPR RI yang menentang pidana mati atau tidak setuju, itu tentu harus kita hormati sebagaimana pendirian dari teman-teman masyarakat sipil," ungkap Arsul saat acara webinar “Indonesia Way” Pembaruan Politik Hukum Mati melalui RKUHP, Selasa (24/5/2022).

DPR akan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam beberapa waktu mendatang, pembahasan tentang pidana hukuman mati menjadi tema diskursus banyak pihak. Politisi fraksi PPP ini pun berpendapat hukuman mati sudah saatnya dihapuskan atau ditiadakan.

“Saya menyampaikan kepada teman-teman, hukuman mati sudah saatnya di-dismiss atau diberhentikan,” kata Arsul. Menurutnya, jika purpose of law tidak dilakukan, misalnya terdakwa tidak bebas memilih advokat, tidak disediakan penerjemah jika dia orang asing. 

Sedangkan beberapa ketentuan hukum yang tidak dipenuhi, maka ia tidak semestinya dijatuhi hukuman mati. “Itu juga harus dilaksanakan dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu. Kalau dia, dalam proses hukum itu tidak dipenuhi, ya mestinya tidak dijatuhi pidana hukuman mati. Konsekuensinya seperti itu,” kata Arsul. (eko/aha)

Jakarta (ANTARA) - Wacana Presiden Joko Widodo terkait hukuman mati bagi koruptor menuai pro dan kontra. Sebelumnya, Presiden Jokowi berkata hukuman mati terhadap koruptor dapat dilakukan bila rakyat menghendaki. Jokowi melontarkan wacana itu ketika berkunjung ke pentas Prestasi Tanpa Korupsi di SMKN 57 Jakarta pada Hari Antikorupsi Sedunia.

Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi mati sebagian besar merupakan narapidana politik.

Walau pun amendemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28I ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tetapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.

Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Selain itu korupsi juga berdampak pada kemiskinan masyarakat dan membuat negara mengalami kerugian besar akibat uang negara dicuri koruptor. Para koruptor yang dihukum mati adalah para perampok uang negara jutaan, miliaran bahkan triliunan rupiah.

Sementara kelompok yang menentang beranggapan hukuman mati bagi koruptor tidak akan efektif dalam mengurangi tindak pidana pidana korupsi di Indonesia sehingga hal itu bukanlah solusi yang baik. Hukuman mati tidak pernah mencegah kejahatan apa pun.

Baca juga: Saut Situmorang sebut rencana hukuman mati koruptor cerita lama

Tindak korupsi masuk dalam wilayah extra ordinary crime, (kejahatan yang luar biasa) yang menyangkut korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan terorisme. Kalau korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary), mestinya penanganannya juga harus dengan cara-cara yang luar biasa. Namun, sampai sekarang kita lihat masalah ini sama sekali belum ditangani maksimal.

Masalah narkoba dan terorisme sudah diatur dengan sanksi tegas, yaitu hukuman mati. Sebagaimana diketahui Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengamanatkan bahwa pembenaran terhadap kebijakan penerapan pidana mati, secara formal, dapat dirujuk pada ketentuan Pasal 10 KUHP yang menyatakan bahwa pidana mati merupakan salah satu jenis pidana pokok yang diberlakukan di Indonesia.

Sudah beberapa teroris yang menjalani hukuman mati ini sebagai langkah pemerintah untuk menciptakan efek jera bagi para pelaku.

Kemudian, Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, mengatur sanksi pidana bagi pelaku penyalahguna narkoba. Upaya untuk memberantas Kejahatan Narkoba menghadirkan undang-undang yang memiliki sanksi pidana yaitu sebagai Pengguna dan/ atau Pengedar. Terhadap pelaku sebagai pengedar dimungkinkan dikenakan Sanksi Pidana yang paling berat berupa Pidana Mati seperti yang diatur dalam pasal 114 ayat (2).

Sanksi pidana mati merupakan hukuman yang terberat dalam hukum pidana di Indonesia diharapkan penerapannya dilaksanakan melihat dampaknya yang sangat merugikan negara terlebih individu itu sendiri.

Baca juga: Komnas HAM tegaskan tak sepakat hukuman mati koruptor

Bagaimana dengan kasus korupsi? Sampai sekarang berlum tersentuh dengan undang-undang yang mengancam para pelaku dengan hukuman mati. Pemerintah mestinya lewat kementerian Hukum dan HAM mendorong adanya Rancangan Undang-Undang yang mengatur bukan hanya soal hukuman mati koruptor, tetapi juga perampasan aset koruptor, dengan harapan dengan undang-undang itu akan timbul efek jera.

Pidana mati dalam tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan bilamana ada alasan pemberatan pidana, yaitu apabila melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu tersebut dijelaskan dalam penjelasan mengenai pasal 2 ayat (2). Pasal 2 ayat (2) ; "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan".

Penjelasan pasal 2 ayat (2) disebutkan, "Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi".

Perihal pemberlakuan hukuman mati koruptor di Indonesia selama ini memang baru sebatas menjadi wacana yang terus digulirkan beberapa tahun terakhir. Dan belakangan diwacanakan kembali oleh Presiden Jokowi.

Argumen yang mendorong ditetapkan hukuman mati bagi koruptor karena hukuman mati dirasa akan menimbulkan efek jera bagi masyarakat lainya sehingga takut untuk berbuat tindakan serupa, dan sebaliknya, penghapusan hukuman mati akan meningkatkan angka kejahatan korupsi yang makin masif.

Baca juga: Marzuki Darusman: Hukuman mati tergantung "political will" pemerintah

Sejak Hukum Pidana berlaku di Indonesia yang kemudian dicantumkan sebagai Wetboek van Strafrecht vor Nederlandsch Indie, tujuan diadakan dan dilaksanakan hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketenteraman yag sangat ditakuti umum.

Dengan suatu putusan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan kejahatan lain yang diancam dengan hukuman sama, diharapkan masyarakat menjadi takut.

Di samping itu, suatu pendirian "dalam mempertahankan tertib hukum dengan mempidana mati seseorang karena tingkah lakunya yang dianggap membahayakan" ada di tangan pemerintah. Oleh karena itu, hukuman mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa keadilanya. Seorang megakoruptor lebih jahat dari tentara yang membunuh demonstran.

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa terhadap kekerasan dan hak asasi manusia (HAM). Alasannya, kekerasan dan pelanggaran HAM memiliki sifat yang sama dengan korupsi: meluas dan sistematis.

Pelanggaran HAM di berbagai tempat meninggalkan dampak meluas dan jejak yang sistematis. Begitu pula, para koruptor, sebagai contoh; dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menghancurkan perekonomian negara. Buntutnya, masyarakat yang tidak menikmati malah ikut menanggung kesengsaraan berkepanjangan.

Kegeraman masyarakat cukup beralasan, mengingat banyak megakoruptor yang merugikan negara ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah akhirnya divonis bebas.

Para koruptor itu tetap bisa bergentayangan bebas, lepas dari jerat hukum. Meskipun ada yang berpendapat bahwa tidak ada korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera bagi para koruptor, namun ada beberapa bukti yang dilakukan di beberapa Negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor.

Baca juga: Pengamat: Hukuman mati koruptor jangan sampai hanya sebatas wacana

Sebagai contoh, Negeri China. "Setiap tahun, 50 hingga 60 orang dihukum mati akibat tindak pidana korupsi. Mulai tahun 2000, China membongkar jaringan penyelundupan dan korupsi yang melibatkan 100 pejabat China di Provinsi Fujian. Sebanyak 84 orang di antaranya terbukti bersalah dan 11 orang dihukum mati.

Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hu Changqing kemudian dijadikan shock therapy oleh pemimpin-pemimpin China."Pemberantasan korupsi adalah urusan hidup dan mati partai," demikian semboyan yang terus didengungkan pemimpin-pemimpin China, terutama PM Zhu Rongji, yang dikenal sebagai salah satu Mr Clean.

Tradisi hukuman mati diteruskan Presiden Xi Jinping, orang paling berkuasa dan terkuat sepanjang sejarah modern China. Bahkan, para pendahulunya pun berhasil dia tandingi. Ia adalah sosok yang hebat dan berpengaruh sejak Deng Xiaoping, namun tetap saja kekuasaannya punya batas.

Kampanye anti-korupsinya meluas ke seluruh negeri dianggap sebagai upaya mengonsolidasikan kekuatannya dan membuatnya semakin terkenal di antara rakyat jelata. Setelah dideklarasikan sebagai core leader di akhir 2016, para analis politik mengatakan Xi bersiap mengubah tradisi dua dekade China dan bakal tetap berkuasa setelah masa kedua kepemimpinannya sebagai ketua Partai Komunis berakhir pada 2022.

Di berbagai negara mempunyai kiat-kiat tersendiri untuk menekan tindakan korupsi contohnya adalah hukuman mati, negara Tiongkok telah menerapkan hukuman mati bagi para penjahat koruptor, Jepang para pelaku koruptor karena malu maka memilih bunuh diri karena malu oleh negara, Korea Utara belakangan ini menerapkan hukuman mati bagi para koruptor, Arab Saudi menerapkan hukum pancung bagi pelaku pencuri uang negara, dan di negara Jerman hukuman seumur hidup dan mengambil kembali harta yang dimiliki pelaku koruptor untuk negara.

Baca juga: Yasonna: Hukuman mati untuk koruptor masih di tataran wacana

Apakah kemudian hukuman mati bagi para koruptor hanya akan kembali menjadi wacana oleh pemerintahan Jokowi.

Tentu saja kita berharap, selain komitmen pemerintah, terutama dukungan publik, nampaknya sekarang ini bola ada di tangan DPR yang harus segera merespons desakan publik atas adanya inisiatif membuat undang-undang yang mengatur tentang hukuman mati bagi koruptor.

Kemudian komitmen rendah dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum masih setengah hati dalam menindak para koruptor dengan memberi hukuman rendah, member remisi, dll juga harus dievaluasi.

Bahwa pengertian hak untuk hidup dalam pasal 28 i UUD '45 adalah hak seseorang untuk tidak boleh dibunuh secara semena-mena. Lalu, bagaimana dengan para koruptor yang menimbulkan efek domino, telah melakukan kejahatan ekonomi, membuat rakyat kian sengsara.

Tidak pantaskah hukuman mati bagi mereka yang telah menguras uang negara dan menyengsarakan masyarakat berkepanjangan?

*) Suryanto adalah staf pengajar Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang

COPYRIGHT © ANTARA 2019

Kenapa tidak setuju dengan hukuman mati?

Alasan hukuman mati dianggap melanggar HAM Hak ini merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun, termasuk negara. Dengan masih diberlakukannya hukuman mati, pihak yang tidak setuju menganggap bahwa negara telah merampas hak yang bersangkutan untuk hidup.

Pelanggaran apa saja yang menyebabkan hukuman mati?

Di Indonesia, hukuman mati masih diancamkan untuk sejumlah kejahatan, termasuk pembunuhan berencana, narkoba, dan terorisme.

Bagaimana pendapat saudara mengenai hukuman mati dilihat dari segi hak asasi manusia?

Lebih lanjut Anam menyampaikan bahwa hukuman mati jelas melanggar hak asasi manusia dan juga konstitusi. Secara normatif, hukuman mati melanggar hak hidup yang seharusnya dilindungi, bahkan tidak bisa dikurangi dalam bentuk apapun dan oleh siapa pun. Secara esensial, hukuman mati tidak menjawab apapun.

Apakah Anda setuju hukuman mati untuk pengguna narkoba?

Beberapa pasal yang dapat diterapkan atau dikenakan bagi pihak yang memiliki narkotika untuk mengedarkan, menjual atau pihak yang menjadi kurir (perantara), antara lain Pasal 111, 112, 113, 114, dan 132. Ancaman hukuman dalam pasal tersebut yaitu penjara minimal 4 tahun dan maksimal hukuman mati.

Abstrak

Sejarah hukuman mati telah kembali hampir 4.000 tahun, dan baru -baru ini penggunaannya telah dibatasi. Perubahan dalam undang -undang, penelitian tentang pola hukuman, pemantauan oleh kelompok -kelompok hak -hak sipil, dan keputusan Mahkamah Agung A.S. telah menghasilkan sistem yang tujuannya adalah keadilan yang diliputi oleh belas kasihan. Pada tahun 1967, semua eksekusi ditangguhkan oleh pengadilan federal sampai masalah konstitusional yang berkaitan dengan hukuman mati dapat diselesaikan. Pada tahun 1976, sebagian besar negara telah merevisi undang -undang mereka agar sesuai dengan pedoman Mahkamah Agung, dan hukuman mati dipulihkan di 37 negara bagian. Terlepas dari reformasi, memastikan ketidakberpihakan dalam pengenaan hukuman mati tetap sulit, dan biaya uji coba modal dan prosedur banding sangat besar. Argumen utama terhadap hukuman mati fokus pada ketidakmampuannya, kurangnya efek pencegahan, bias ras dan ekonomi yang berkelanjutan, dan ireversibilitas. Para pendukung berpendapat bahwa itu merupakan pembalasan yang adil untuk kejahatan tertentu, mencegah kejahatan, melindungi masyarakat, dan menjaga tatanan moral.

Nilai Kehidupan Manusia

Semua orang berpikir kehidupan manusia itu berharga. Beberapa dari mereka yang menentang hukuman mati percaya bahwa kehidupan manusia sangat berharga sehingga bahkan pembunuh terburuk tidak boleh kehilangan nilai kehidupan mereka.

Mereka percaya bahwa nilai kehidupan pelaku tidak dapat dihancurkan oleh perilaku buruk pelaku - bahkan jika mereka telah membunuh seseorang.

Beberapa abolisionis tidak melangkah sejauh itu. Mereka mengatakan bahwa kehidupan harus dilestarikan kecuali ada alasan yang sangat baik untuk tidak melakukannya, dan bahwa mereka yang mendukung hukuman mati adalah orang -orang yang harus membenarkan posisi mereka.

Hak untuk hidup

Setiap orang memiliki hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut, bahkan mereka yang melakukan pembunuhan; menghukum seseorang untuk mati dan mengeksekusi mereka melanggar hak itu.

Ini sangat mirip dengan argumen 'nilai kehidupan', tetapi didekati dari perspektif hak asasi manusia.

Argumen balasannya adalah bahwa seseorang dapat, dengan tindakan mereka, kehilangan hak asasi manusia, dan bahwa para pembunuh kehilangan hak mereka untuk hidup.

Contoh lain akan memperjelas ini - seseorang kehilangan hak mereka untuk hidup jika mereka memulai serangan pembunuhan dan satu -satunya cara korban dapat menyelamatkan hidup mereka sendiri adalah dengan membunuh penyerang.

Filsuf abad pertengahan dan teolog Thomas Aquinas membuat poin ini dengan sangat jelas:

Therefore if any man is dangerous to the community and is subverting it by some sin, the treatment to be commended is his execution in order to preserve the common good... Therefore to kill a man who retains his natural worthiness is intrinsically evil, although Mungkin dapat dibenarkan untuk membunuh orang berdosa sama seperti membunuh binatang buas, karena, seperti yang ditunjukkan oleh Aristoteles, seorang pria jahat lebih buruk daripada binatang buas dan lebih berbahaya.

Thomas Aquinas, Summa Theologiae

Aquinas mengatakan bahwa konteks tertentu mengubah tindakan buruk (membunuh) menjadi tindakan yang baik (membunuh untuk memperbaiki pelanggaran keadilan yang dilakukan oleh orang yang terbunuh, dan membunuh seseorang yang telah kehilangan kelayakan alami mereka dengan membunuh).

Eksekusi orang yang tidak bersalah

Argumen yang paling umum dan paling meyakinkan terhadap hukuman mati adalah bahwa cepat atau lambat, orang yang tidak bersalah akan terbunuh, karena kesalahan atau kekurangan dalam sistem peradilan.

Saksi, (di mana mereka adalah bagian dari proses), jaksa penuntut dan juri semuanya dapat membuat kesalahan. Ketika ini digabungkan dengan kekurangan dalam sistem, tidak dapat dihindari bahwa orang yang tidak bersalah akan dihukum karena kejahatan. Di mana hukuman mati digunakan kesalahan seperti itu tidak dapat diletakkan dengan benar.

Hukuman mati melegitimasi tindakan kekerasan yang tidak dapat diubah oleh negara dan pasti akan mengklaim korban yang tidak bersalah. Selama keadilan manusia tetap dapat keliru, risiko melaksanakan orang yang tidak bersalah tidak pernah bisa dihilangkan

Amnesty International

Ada banyak bukti bahwa kesalahan seperti itu mungkin: di AS, 130 orang yang dijatuhi hukuman mati telah ditemukan tidak bersalah sejak 1973 dan dibebaskan dari hukuman mati. Sumber: Amnesty

Waktu rata -rata pada hukuman mati sebelum pembebasan ini adalah 11 tahun. Sumber: Pusat Informasi Hukuman Mati

Segalanya menjadi lebih buruk di AS ketika Mahkamah Agung menolak untuk secara eksplisit bahwa pelaksanaan terdakwa dalam menghadapi bukti signifikan dari kepolosan akan tidak konstitusional [Herrera v. Collins, 560 AS 390 (1993)]. Namun banyak pengacara AS percaya bahwa dalam praktik pengadilan tidak akan mengizinkan eksekusi dalam kasus yang menunjukkan bukti persuasif "tidak bersalah yang sebenarnya".

Ancaman eksekusi yang berkelanjutan membuat cobaan mereka yang salah dihukum sangat mengerikan.

Retribusi salah

Banyak orang percaya bahwa retribusi cacat moral dan bermasalah dalam konsep dan praktik.

Kita tidak bisa mengajarkan bahwa pembunuhan itu salah dengan membunuh.

Konferensi Katolik A.S.

Untuk mengambil kehidupan ketika hidup telah hilang adalah balas dendam, itu bukan keadilan.

Dikaitkan dengan Uskup Agung Desmond Tutu

Pembalasan dendam

Argumen utama bahwa retribusi tidak bermoral adalah bahwa itu hanyalah bentuk pembalasan yang disanitasi. Adegan -adegan gerombolan gerombolan yang menyerang van penjara yang berisi mereka yang dituduh melakukan pembunuhan dalam perjalanan ke dan dari pengadilan, atau melantunkan secara agresif di luar penjara ketika pelaku dieksekusi, menunjukkan bahwa pembalasan tetap menjadi unsur utama dalam popularitas hukuman publik hukuman.

Tetapi hanya retribusi, yang dirancang untuk membangun kembali keadilan, dapat dengan mudah dibedakan dari pembalasan dan pembalasan dendam.

Bagaimanapun, apakah pembalasan harus menjadi hal yang buruk?

Filsuf hukum Victoria James Fitzjames Stephens berpikir pembalasan adalah pembenaran yang dapat diterima untuk hukuman. Hukuman, pikirnya, harus ditimbulkan:

Demi meratifikasi perasaan kebencian-balas dendam, kebencian, atau apa yang akan Anda lakukan-ketika perenungan dari perilaku [ofensif] seperti itu menggairahkan dalam pikiran yang dibentuk dengan sehat.

Sir James Fitzjames Stephens, Liberty, Kesetaraan, Persaudaraan

Retribusi dan yang tidak bersalah

Tetapi masalah pelaksanaan orang yang tidak bersalah juga merupakan masalah untuk argumen retribusi - jika ada risiko serius melaksanakan yang tidak bersalah maka salah satu prinsip utama retribusi - bahwa orang harus mendapatkan apa yang layak mereka dapatkan (dan karena itu hanya apa yang mereka lakukan layak) - dilanggar oleh implementasi hukuman mati saat ini di AS, dan negara lain mana pun di mana kesalahan telah terjadi.

Keunikan hukuman mati

Dikatakan bahwa retribusi digunakan dengan cara yang unik dalam kasus hukuman mati. Kejahatan selain pembunuhan tidak menerima hukuman yang meniru kejahatan - misalnya pemerkosa tidak dihukum karena kekerasan seksual, dan orang -orang yang bersalah atas penyerangan tidak dipukuli secara seremonial.

Camus dan Dostoevsky berpendapat bahwa pembalasan dalam kasus hukuman mati tidak adil, karena penderitaan antisipatif penjahat sebelum eksekusi mungkin akan lebih besar daripada penderitaan antisipatif korban kejahatan mereka.

Yang lain berpendapat bahwa argumen pembalasan cacat karena hukuman mati memberikan 'hukuman ganda'; bahwa eksekusi dan penantian sebelumnya, dan ini adalah ketidakcocokan untuk kejahatan.

Banyak pelanggar yang terus 'menunggu' di hukuman mati untuk waktu yang sangat lama; Di AS, penantian rata -rata adalah 10 tahun. Sumber: Pusat Informasi Hukuman Mati

Di Jepang, terdakwa hanya diberitahu tentang pelaksanaannya beberapa saat sebelum dijadwalkan. Hasil dari ini adalah bahwa setiap hari dalam hidup mereka dijalani seolah -olah itu adalah yang terakhir.

Hukuman mati tidak dioperasikan secara retributif

Beberapa pengacara berpendapat bahwa hukuman mati tidak benar -benar digunakan sebagai pembalasan untuk pembunuhan, atau bahkan secara konsisten untuk jenis pembunuhan tertentu.

Mereka berpendapat bahwa, setidaknya di AS, hanya sebagian kecil pembunuh yang benar -benar dieksekusi, dan bahwa pengenaan hukuman mati pada "segelintir acak yang dipilih secara berubah -ubah" dari pelanggar tidak sama dengan program pembalasan yang konsisten.

Karena hukuman mati tidak dioperasikan secara retributif, tidak pantas untuk menggunakan retribusi untuk membenarkan hukuman mati.

Argumen ini tidak akan memiliki nilai dalam masyarakat yang menerapkan hukuman mati secara konsisten untuk jenis pembunuhan tertentu.

Hukuman mati tidak cukup retribusi

Beberapa orang yang percaya pada gagasan pembalasan bertentangan dengan hukuman mati karena mereka merasa hukuman mati memberikan pembalasan yang tidak memadai. Mereka berpendapat bahwa hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat menyebabkan lebih banyak penderitaan bagi pelaku daripada kematian tanpa rasa sakit setelah masa penjara yang singkat.

Contoh lain adalah perencana pemboman bunuh diri - eksekusi mungkin membuat orang itu menjadi martir, dan karenanya akan menjadi pembalasan yang lebih rendah daripada penjara seumur hidup.

Kegagalan untuk mencegah

Hukuman mati tampaknya tidak menghalangi orang melakukan kejahatan kekerasan yang serius. Hal yang menghalangi adalah kemungkinan ditangkap dan dihukum.

Konsensus umum di antara para ilmuwan sosial adalah bahwa efek pencegahan dari hukuman mati paling tidak terbukti.

Pada tahun 1988 sebuah survei dilakukan untuk PBB untuk menentukan hubungan antara hukuman mati dan tingkat pembunuhan. Ini kemudian diperbarui pada tahun 1996. Disimpulkan:

... Penelitian telah gagal memberikan bukti ilmiah bahwa eksekusi memiliki efek pencegahan yang lebih besar daripada penjara seumur hidup. Bukti seperti itu tidak mungkin datang. Bukti secara keseluruhan masih belum memberikan dukungan positif terhadap hipotesis pencegah.

Kunci pencegahan nyata dan sejati adalah untuk meningkatkan kemungkinan deteksi, penangkapan dan keyakinan.

Hukuman mati adalah hukuman yang keras, tetapi tidak keras atas kejahatan.

Amnesty International

NB: Sebenarnya tidak mungkin untuk menguji efek pencegahan dari suatu hukuman dengan cara yang ketat, untuk melakukannya akan membutuhkan mengetahui berapa banyak pembunuhan yang akan dilakukan di negara bagian tertentu jika undang -undang tersebut berbeda selama periode waktu yang sama.

Pencegahan adalah konsep cacat moral

Bahkan jika hukuman mati memang bertindak sebagai pencegah, apakah dapat diterima seseorang untuk membayar kejahatan di masa depan orang lain?

Beberapa orang berpendapat bahwa seseorang mungkin juga menghukum orang yang tidak bersalah; Ini akan memiliki efek yang sama.

Ini tidak benar - jika orang secara acak diambil dari jalan dan dihukum sebagai kambing hitam, satu -satunya konsekuensi adalah bahwa masyarakat akan takut untuk keluar.

Untuk membuat skema kambing hitam efektif, akan perlu melalui penampilan proses hukum yang sah dan untuk menyajikan bukti yang meyakinkan publik bahwa orang yang dihukum layak mendapatkan hukuman mereka.

Sementara beberapa masyarakat telah mengoperasikan sistem hukum mereka berdasarkan bukti fiksi dan pengakuan yang diekstraksi dengan penyiksaan, keberatan etis terhadap sistem semacam itu cukup untuk membuat argumen dalam paragraf kedua tidak ada gunanya.

Masyarakat yang brutal

Individu yang brutal

Statistik menunjukkan bahwa hukuman mati mengarah pada brutalisasi masyarakat dan peningkatan tingkat pembunuhan. Di AS, lebih banyak pembunuhan terjadi di negara bagian di mana hukuman mati diizinkan. Pada 2010, tingkat pembunuhan di negara -negara di mana hukuman mati telah dihapuskan adalah 4,01 persen per 100.000 orang. Di negara bagian di mana hukuman mati digunakan, angkanya adalah 5,00 persen. Perhitungan ini didasarkan pada angka -angka dari FBI. Kesenjangan antara negara hukuman mati dan negara-negara penalti non-kematian meningkat dari perbedaan 4 persen pada tahun 1990 menjadi 25 persen pada 2010. Sumber: Laporan Kejahatan Seragam FBI, dari Pusat Informasi Penalti Kematian

Individu yang terganggu mungkin marah dan dengan demikian lebih cenderung melakukan pembunuhan.

Ini juga terkait dengan peningkatan jumlah petugas polisi yang terbunuh.

Brutalisasi negara

Hukuman mati dapat brutal masyarakat dengan cara yang berbeda dan bahkan lebih mendasar, yang memiliki implikasi untuk hubungan negara dengan semua warga negara.

... Kekuatan Negara dengan sengaja untuk menghancurkan kehidupan yang tidak berbahaya (meskipun bersalah) adalah manifestasi dari keinginan tersembunyi agar negara diizinkan melakukan apa pun yang diinginkannya dengan kehidupan.

George Kateb, The Inner Ocean 1992

Brutalisasi hukum

Hukuman mati dikatakan menghasilkan hubungan yang tidak dapat diterima antara hukum dan kekerasan.

Tetapi dalam banyak hal hukum tidak terhindarkan terkait dengan kekerasan - ia menghukum kejahatan kekerasan, dan menggunakan hukuman yang 'dengan keras' membatasi kebebasan manusia. Dan secara filosofis hukum selalu terlibat dengan kekerasan karena fungsinya termasuk melestarikan masyarakat yang tertib dari peristiwa kekerasan.

Meskipun demikian, kasus yang kuat dapat dibuat bahwa kekerasan hukum jelas berbeda dari kekerasan pidana, dan bahwa ketika digunakan, itu digunakan dengan cara yang dapat dilihat semua orang adalah adil dan logis.

Hukuman mati 'menurunkan nada' masyarakat

Masyarakat yang beradab tidak mentolerir penyiksaan, bahkan jika dapat ditunjukkan bahwa penyiksaan dapat menghalangi, atau menghasilkan efek baik lainnya.

Dengan cara yang sama banyak orang merasa bahwa hukuman mati adalah tidak pantas bagi masyarakat yang beradab modern untuk menanggapi bahkan kejahatan yang paling mengerikan sekalipun.

Pembunuhan yang digambarkan sebagai kejahatan mengerikan diulangi dalam darah dingin, tanpa belas kasihan

Beccaria, C. De, Traité des Délits et des Pines, 1764

Karena sebagian besar negara - tetapi tidak semua - jangan mengeksekusi orang secara publik, hukuman mati bukan tontonan publik yang merendahkan. Tapi itu masih merupakan sirkus media, menerima publisitas besar, sehingga publik sangat menyadari apa yang dilakukan atas nama mereka.

Namun sirkus media ini mengambil alih tontonan eksekusi publik dalam mengajarkan pelajaran publik tentang keadilan, retribusi, dan tanggung jawab pribadi atas tindakan seseorang sendiri.

Biaya

Di Amerika Serikat Hukuman Modal sangat mahal.

Misalnya, biaya untuk menghukum dan melaksanakan Timothy McVeigh untuk pemboman Kota Oklahoma lebih dari $ 13 juta.

Di New York dan New Jersey, tingginya biaya hukuman mati adalah salah satu faktor dalam keputusan negara bagian tersebut untuk meninggalkan hukuman mati. New York menghabiskan sekitar $ 170 juta selama 9 tahun dan tidak memiliki eksekusi. New Jersey menghabiskan $ 253 juta selama periode 25 tahun dan juga tidak memiliki eksekusi. Sumber: Pusat Informasi Hukuman Mati

Di negara-negara dengan prosedur banding yang lebih murah dan panjang, hukuman mati tampaknya seperti pilihan yang jauh lebih murah daripada penjara jangka panjang.

Counter-arguments

Mereka yang mendukung hukuman mati dengan dua argumen ini:

  • Ini adalah kekeliruan bahwa hukuman mati lebih mahal daripada hidup tanpa pembebasan bersyarat
  • Keadilan tidak dapat dipikirkan secara finansial

Orang tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka

Ini bukan argumen terhadap hukuman mati itu sendiri, tetapi menentang menerapkannya secara salah.

Beberapa negara, termasuk AS, telah mengeksekusi orang yang terbukti gila.

Secara umum diterima bahwa orang tidak boleh dihukum karena tindakan mereka kecuali mereka memiliki pikiran bersalah - yang mengharuskan mereka untuk mengetahui apa yang mereka lakukan dan itu salah.

Karena itu, orang -orang yang gila tidak boleh dihukum, apalagi dieksekusi. Ini tidak mencegah orang gila yang telah melakukan hal -hal buruk yang dikurung di lembaga mental yang aman, tetapi ini dilakukan untuk keselamatan publik, bukan untuk menghukum orang gila.

Untuk membuatnya lebih formal: adalah salah untuk menjatuhkan hukuman pada mereka yang memiliki kapasitas marjinal terbaik untuk pertimbangan dan untuk agen moral.

Masalah moral yang lebih sulit muncul dalam kasus pelanggar yang waras pada saat kejahatan dan persidangan mereka tetapi yang mengembangkan tanda -tanda kegilaan sebelum dieksekusi.

Diterapkan secara tidak adil

Ada banyak kekhawatiran di AS bahwa kekurangan dalam sistem peradilan membuat hukuman mati tidak adil.

Seorang Hakim Agung AS (yang awalnya mendukung hukuman mati) akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa hukuman mati pasti akan merusak penyebab keadilan:

Hukuman mati tetap penuh dengan kesewenang -wenangan, diskriminasi, caprice, dan kesalahan ... Pengalaman telah mengajarkan kita bahwa tujuan konstitusional untuk menghilangkan kesewenang -wenangan dan diskriminasi dari administrasi kematian ... tidak akan pernah dapat dicapai tanpa mengorbankan komponen yang sama pentingnya dari fundamental yang sama pentingnya fundamental yang sama -sama penting yang sama pentingnya penting yang sama pentingnya dengan fundamental yang sama pentingnya sama penting Keadilan - hukuman individual.

Hakim Harry Blackmun, Mahkamah Agung Amerika Serikat, 1994

Juri

Juri dalam banyak kasus hukuman mati AS harus 'memenuhi syarat'. Ini berarti calon juri harus bersedia untuk menghukum terdakwa mengetahui bahwa hukuman mati adalah suatu kemungkinan.

Ini menghasilkan juri yang bias demi hukuman mati, karena tidak ada orang yang menentang hukuman mati yang kemungkinan akan diterima sebagai juri.

Pengacara

Ada banyak kekhawatiran di AS bahwa sistem hukum tidak selalu memberikan pengacara yang baik kepada orang -orang yang dituduh.

Dari semua pelanggar yang dijatuhi hukuman mati, tiga perempat dari mereka yang dialokasikan seorang pengacara bantuan hukum dapat mengharapkan eksekusi, angka yang turun ke seperempat jika terdakwa mampu membayar pengacara.

Kejam, tidak manusiawi, merendahkan

Terlepas dari status moral hukuman mati, beberapa orang berpendapat bahwa semua cara mengeksekusi orang menyebabkan begitu banyak penderitaan bagi orang yang dikutuk sehingga mereka sama dengan penyiksaan dan salah.

Banyak metode eksekusi yang sangat mungkin menyebabkan penderitaan besar, seperti eksekusi oleh gas mematikan, listrik atau pencekikan.

Metode lain telah ditinggalkan karena mereka dianggap biadab, atau karena mereka memaksa algojo terlalu 'langsung'. Ini termasuk regu tembak dan pemenggalan.

Suntikan mematikan

Banyak negara yang menggunakan hukuman mati sekarang telah mengadopsi suntikan mematikan, karena dianggap kurang kejam bagi pelaku dan kurang brutal bagi algojo.

Mereka yang menentang hukuman mati percaya metode ini memiliki kelemahan moral yang serius dan harus ditinggalkan.

Cacat pertama adalah bahwa itu membutuhkan tenaga medis yang terlibat langsung dalam pembunuhan (bukan hanya memeriksa bahwa eksekusi telah mengakhiri kehidupan). Ini adalah pelanggaran mendasar dari etika medis.

Cacat kedua adalah bahwa penelitian pada April 2005 menunjukkan bahwa injeksi mematikan hampir tidak 'manusiawi' seperti yang telah dipikirkan. Temuan post mortem menunjukkan bahwa tingkat anestesi yang ditemukan pada pelanggar konsisten dengan terjaga dan kemampuan untuk mengalami rasa sakit.

Tidak perlu

Ini benar -benar lebih merupakan argumen politik daripada yang etis. Ini didasarkan pada prinsip politik bahwa suatu negara harus memenuhi kewajibannya dengan cara yang paling tidak invasif, berbahaya, dan membatasi.

  • Negara memang memiliki kewajiban untuk menghukum kejahatan, sebagai sarana untuk melestarikan masyarakat yang tertib dan puas, tetapi harus melakukannya dengan cara yang paling tidak berbahaya
  • Hukuman mati adalah hukuman yang paling berbahaya yang tersedia, jadi negara hanya boleh menggunakannya jika hukuman berbahaya yang cocok
  • Hukuman lain akan selalu memungkinkan negara untuk memenuhi tujuan menghukum kejahatan dengan tepat
  • Oleh karena itu negara tidak boleh menggunakan hukuman mati

Kebanyakan orang tidak ingin berdebat dengan klausa 1 dan 2, jadi struktur ini memang memiliki manfaat memfokuskan perhatian pada titik pertengkaran yang sebenarnya - kegunaan hukuman non -kapital dalam kasus pembunuhan.

Salah satu cara menyelesaikan masalah ini adalah dengan melihat apakah negara -negara yang tidak menggunakan hukuman mati telah dapat menemukan hukuman lain yang memungkinkan negara untuk menghukum para pembunuh dengan cara seperti itu untuk melestarikan masyarakat yang tertib dan puas. Jika negara -negara seperti itu ada maka hukuman mati tidak perlu dan harus dihapuskan sebagai terlalu berbahaya.

Keinginan bebas

Gagasan bahwa kita harus dihukum karena tindakan kesalahan apa pun, apa pun sifatnya, bergantung pada kepercayaan pada kehendak bebas manusia dan kemampuan seseorang untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri.

Jika seseorang tidak percaya pada kehendak bebas, pertanyaan apakah itu moral untuk melakukan hukuman apa pun (dan sebaliknya hadiah) muncul.

Arthur Koestler dan Clarence Darrow berpendapat bahwa manusia tidak pernah bertindak secara bebas dan karenanya tidak boleh dihukum karena kejahatan yang paling mengerikan.

Yang terakhir melanjutkan untuk berdebat tentang penghapusan hukuman sama sekali, sebuah gagasan yang kebanyakan orang akan temukan bermasalah.

Apa 2 argumen untuk hukuman mati?

Argumen untuk hukuman mati..
Jika seseorang membunuh orang lain, mereka telah menyerahkan hak asasi manusia mereka, termasuk orang untuk tetap hidup sendiri ..
Hukuman itu harus 'sesuai dengan kejahatan' - jika Anda telah membunuh seseorang, Anda juga harus dibunuh ..
Memberi seorang pembunuh hukuman mati akan menghentikan mereka - dan yang lainnya - melakukannya lagi ..

Mengapa orang menentang hukuman mati?

Argumen utama terhadap hukuman mati fokus pada ketidakmampuannya, kurangnya efek pencegahan, bias ras dan ekonomi yang berkelanjutan, dan ireversibilitas.Para pendukung berpendapat bahwa itu merupakan pembalasan yang adil untuk kejahatan tertentu, mencegah kejahatan, melindungi masyarakat, dan menjaga tatanan moral.inhumaneness, lack of deterrent effect, continuing racial and economic biases, and irreversibility. Proponents argue that it represents a just retribution for certain crimes, deters crime, protects society, and preserves the moral order.

Apa efek negatif dari hukuman mati?

Karena jumlah eksekusi yang gagal, hukuman mati sering tidak manusiawi.Ini juga mendiskriminasi berdasarkan kelas dan ras, dapat dengan mudah dipersenjatai oleh pemerintah, dan terganggu oleh tingkat kesalahan yang tinggi.Mungkin yang paling penting, hukuman mati gagal dalam tujuan utamanya sebagai pencegah kejahatan yang efektif.