Yang tidak termasuk dalam objek pajak Penghasilan adalah

BUKANLAH sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa diskusi terpanjang dalam teori perpajakan adalah mengenai konsep dan desain pajak penghasilan (PPh). Salah satunya ketika menyusun dan menetapkan apa saja yang menjadi objek PPh (Shome, 2014).

Secara universal, telah diterima dan diakui bahwa yang menjadi objek dari pengenaan PPh adalah “penghasilan.” Namun, penentuan objek PPh ini bukannya tanpa batasan. Faktanya, terdapat pula jenis-jenis penghasilan tertentu yang dikecualikan pengenaannya dari PPh. Lantas, penghasilan apa saja yang menjadi objek PPh dan bagaimana penerapannya di beberapa negara?

Konsep dan Penerapan

McCaffery (2012) dalam bukunya yang berjudul Income Tax Law: Exploring the Capital-Labor Divide menyebutkan bahwa, utamanya, suatu penghasilan berasal dari pekerjaan, modal, atau kombinasi keduanya. Selain itu, penghasilan juga dapat diperoleh dari kegiatan usaha atau dikenal dengan istilah business income. Namun, tidak tertutup kemungkinan pula suatu penghasilan diperoleh selain dari pekerjaan, modal, ataupun kegiatan usaha. Untuk penghasilan yang terakhir ini sering disebut dengan istilah penghasilan lain-lain.

Objek PPh pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok. Pertama, penghasilan dari hubungan pekerjaan, yaitu penghasilan dari adanya hubungan antara karyawan dan pemberi kerja, misalnya gaji, honorarium, tunjangan, upah dan lainnya.

Setiap negara berbeda menentukan apa saja yang menjadi elemen dari penghasilan ini. Oleh karena itu, sangat mungkin terdapat perbedaan atas jenis penghasilan dari hubungan pekerjaan antara satu negara dengan negara lainnya. Beberapa negara, misalnya UK yang menganut schedular tax system, mengkategorikan penghasilan dari hubungan pekerjaan ke dalam tiga kelompok, yaitu honorarium, pensiun, dan manfaat jaminan sosial (Nightingale, 1997).

Kedua, penghasilan dari kegiatan usaha yang didefinisikan sebagai penghasilan dari kegiatan yang dilakukan seseorang secara teratur untuk dapat menghasilkan keuntungan. Misalnya, dengan melakukan perdagangan atau suatu usaha. Sejak UU PPh UK yang pertama berlaku pada tahun 1799, penghasilan dari kegiatan usaha telah menjadi salah satu objek PPh.

Demikian pula, di Selandia Baru, PPh atas penghasilan dari kegiatan usaha telah diterapkan sejak tahun 1891. Penerapan PPh atas penghasilan ini pun kian meluas ke berbagai macam negara hingga penghasilan dari kegiatan usaha menjadi salah satu komponen penting penerimaan pajak (Avi-Yonah, Satori, dan Marian, 2014).

Ketiga, penghasilan modal, yaitu penghasilan yang diterima sebagai imbalan atas modal berupa uang, barang modal, atau kekayaan intelektual. Misalnya, bunga sebagai imbalan atas peminjaman uang, dividen sebagai imbalan atas penyertaan modal ekuitas dalam bentuk saham, royalti sebagai imbalan atas penggunaan hak cipta, panten, atau know how serta atas sewa tanah, bangunan dan peralatan (Mansury, 1992).

Keempat, penghasilan lainnya yang mencakup segala sesuatu yang memenuhi konsep dasar penghasilan, tetapi tidak termasuk dalam penghasilan dari hubungan pekerjaan, penghasilan dari kegiatan usaha, atau penghasilan modal. Beberapa contoh dari penghasilan yang masuk dalam kategori penghasilan lainnya, antara lain hadiah dan penghargaan, pembebasan utang, beasiswa, penghasilan judi, imbalan yang didapat karena adanya perjanjian untuk tidak bersaing, dan penghasilan dari sanksi yang dikenakan atas keterlambatan dalam melakukan suatu pembayaran (Detweiler, 2009).

Terlepas dari pengelompokkan objek PPh di atas, dalam praktiknya, penentuan apakah suatu jenis penghasilan merupakan objek PPh atau tidak, bergantung pada ketentuan perundang-undangan PPh yang berlaku di setiap negara. Selain itu, penentuan objek PPh ini turut pula dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dari negara yang bersangkutan. Akibatnya, tidak ada satu negara pun menetapkan objek PPh dengan format yang sama persis dengan negara lainnya.

Di Singapura, misalnya. Sesuai dengan ketentuan dalam Income Tax Act, objek PPh di Singapura adalah penghasilan sebagaimana diatur dalam Section 10 (1). Adapun yang dimaksud dengan penghasilan dalam ketentuan ini tidak termasuk capital gains karena Singapura tidak mengenal pemajakan atas capital gains. Dengan demikian, segala penerimaan yang berasal dari modal tidak termasuk sebagai objek PPh di Singapura (Teck dan Oei, 2018).

Income Tax Act juga tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan penghasilan. Namun, UU PPh Singapura ini membagi penghasilan yang menjadi objek PPh ke dalam enam kategori. Pertama, penghasilan dari perdagangan, kegiatan usaha, profesi, atau vokasi. Kedua, penghasilan dari hubungan pekerjaan. Ketiga, dividen, bunga atau diskonto.

Keempat, pensiun, pembayaran yang dilakukan sesuai dengan perintah hukum atau pengadilan, atau anuitas. Kelima, sewa, royalti, premium, dan keuntungan lainnya yang berasal dari harta. Keenam, keuntungan atau laba lainnya di luar yang belum diatur dalam Section 10(1)(a) sampai 10(1)f Income Tax Act.

Sama halnya dengan Income Tax Act yang berlaku di Singapura. Income Tax Act 1961 sebagai UU PPh di India menetapkan bahwa objek PPh di India adalah penghasilan. Sayangnya, undang-undang ini pun tidak mendefinisikan istilah penghasilan. Dalam Section 2(24) Income Tax Act 1961, hanya diberikan contoh-contoh penghasilan yang menjadi objek PPh.

Akan tetapi, contoh-contoh penghasilan dalam ketentuan ini bersifat inklusif dan tidak lengkap. Artinya, penghasilan tidak hanya merujuk pada contoh-contoh yang diberikan dalam Income Tax Act 1960, tetapi juga mencakup segala hal yang dapat didefinisikan sebagai penghasilan berdasarkan makna secara umum (CCH India, 2013).

Kalau begitu, bagaimana dengan objek PPh di Indonesia?

Berdasarkan sejarahnya, PPh merupakan penggabungan antara Pajak Pendapatan (PPd) dan Pajak Perseroan yang sebelumnya berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, objek pajak dalam PPh mempunyai arti yang lebih luas karena mencakup objek dari dua jenis pajak tersebut.

Pada tahun 1983, Indonesia melakukan reformasi pajak dengan disetujuinya undang-undang perpajakan yang baru. Salah satu undang-undang perpajakan yang disetujui pemberlakuannya adalah UU PPh Nomor 7 Tahun 1983. Terjadinya pergantian undang-undang pada saat itu berimbas pada berubahnya sistem PPh yang selama ini berlaku di Indonesia. Salah satunya mengenai apa saja yang menjadi objek PPh.

Dalam undang-undang tersebut ditetapkan bahwa yang menjadi objek PPh adalah penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 ayat (1). Selain menjabarkan definisi penghasilan, Pasal 4 ayat (1) juga memberikan contoh-contoh jenis penghasilan yang menjadi objek PPh. Sementara itu, Pasal 4 ayat (3) mengatur apa saja yang dikecualikan sebagai objek PPh.

Hingga saat ini, penetapan penghasilan sebagai objek PPh tidak mengalami perubahan dan masih digunakan dalam UU PPh di Indonesia. Definisi penghasilan pun tidak mengalami perubahan yang signifikan. Perkembangan dan penyesuaian terkait objek PPh yang terjadi sejak berlakunya UU PPh Nomor 7 Tahun 1983 hingga UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 hanya mencakup penambahan maupun pengurangan contoh-contoh objek PPh. Misalnya, dalam UU PPh Nomor 17 Tahun 2000 terdapat 16 contoh jenis penghasilan yang merupakan objek PPh. Sementara itu, dalam UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, contoh jenis penghasilan yang menjadi objek PPh bertambah menjadi 19 jenis penghasilan.

Berbicara tentang perpajakan, khususnya jenis pajak, pasti ada kaitannya dengan subjek pajak dan objek pajak. Di luar dari dua hal tersebut, ada juga yang menjadi bukan objek pajak. Nah, apa yang menjadi bentuk pengecualian suatu hal dianggap bukan sebagai objek pajak?

Pertama, kita perlu mengerucutkan jenis pajak apa yang ingin dibahas, karena untuk jenis pajak memiliki subjek, objek, dan bukan objek pajak yang berbeda pula.

Baca juga: Penjelasan Lengkap Mengenai Subjek dan Objek Pajak

Artikel kali ini akan berfokus pada apa yang menjadi bukan objek pajak untuk Pajak Penghasilan.

Apa Saja yang Bukan Objek Pajak Penghasilan?

Mengacu pada Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dalam pasal 4 ayat 1 jika yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh atau diterima wajib pajak (baik wajib pajak berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia) yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan si wajib pajak.

Namun, dalam ayat 3 disebutkan ada beberapa pengecualian yang dinyatakan sebagai bukan objek pajak penghasilan, di antaranya:

1. Bantuan atau sumbangan, termasuk di dalamnya zakat. Selain itu, ada juga harta hibahan dari keluarga sedarah, lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil.

Beberapa yang disebutkan di atas termasuk bukan objek pajak sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

2. Harta warisan juga tidak termasuk objek pajak penghasilan, namun Anda perlu melaporkannya di dalam SPT Tahunan sebelum harta warisan tersebut dibagikan.

3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh subjek pajak badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.

4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU Pajak Penghasilan.

Imbalan dalam bentuk natura di atas bukan dalam bentuk uang dan bisa berbentuk barang. Sedangkan untuk kenikmatan, penjelasannya lebih mengacu kepada hal-hal yang digunakan seperti fasilitas mobil, pengobatan, rumah, dan lain sebagainya.

5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.

6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia.

Dividen harus memiliki persyaratan, di antaranya berasal dari cadangan laba yang ditahan dan bagi perseroan terbatas, BUMN, dan BUMD, kepemilikan sahamnya paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.

7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun. Ini bisa dianggap sebagai bukan objek pajak penghasilan jika pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.

Baca juga: Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia

8. Jika pensiunan memiliki penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada poin sebelumnya, maka juga bisa dianggap sebagai bukan objek pajak. Namun masih dianggap jika dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.

10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia.

Badan pasangan usaha harus memenuhi syarat-syarat berikut yang mana merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan. Sisa lebih tersebut telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut. Ketentuannya juga harus diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh BPJS kepada wajib pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Itulah beberapa pengecualian yang tidak dijadikan objek pajak penghasilan. Sebagai warga negara yang baik, ada kalanya kita mengetahui hal-hal di atas.

Baca juga: Macam-Macam Pajak di Indonesia yang Perlu Anda Ketahui