We Are Your Fault Greya Craz PDF

Di novel sebelumnya tiap chapternya lebih panjang, sekarang jauh lebih singkat bgt per chapternya. Kirain setelah ketemu lagi dengan Ibu kandungnya Gween, dia bakalan minta maaf langsung dengan Langit dan keluarganya dan mengakui semua kesalahannya dulu eh ternyata lewat telpon doank dcrtakan. Karena Langit penyanyi, kirain Gween akan sesekali ikut tour, nonton konser, atau datang ke awards/event music bersama suaminya yang penyanyi terkenal. Tapi ternyata setelah bersama gak seperti itu. Gween lebih banyak ditinggalkan di rumah dan bosan sendirian? Mereka berdua jg sama sekali gak ada proyek bareng gitu ya untuk saling support? Kalau Gween bosan di rumah dan ingin kerja lagi, kenapa work from home saja? atau minta ruangan sendiri di kantor dan bawa anaknya sesekali? Bisa kan? Banyak cara untuk lebih kreatif dan bermakna jg sgt sweet drpd hrus baca part Langit di film terbaru yang ada adegan ciuman? Apa itu proyek film jauh sebelum balikan dan terlanjur kontrak atau Langit emang gak tahu apa2 jd terpaksa? Langit cemburuan bgt dg Gween klau tth Elzir, tpi ambil proyek film ada kissnya? wtf! So unfair! Di sini jg gak lebih dijelaskan gimana fans Langit pd Gween, gmna hukuman tsb, Apa mereka jera/minta maaf? di akhirnya segitu doank? Gak ada part Langit menyanyi dan di support keluarganya di beberapa event penting tertentu seperti biasanya penyanyi terkenal ? Jadi Langit hanya ditemani teman2/manager dan terus dikelilingi fansnya yang bar-bar itu? Banyak hal yang lebih menarik tpi gak dijelaskan rinci tapi malah dibahas ttg Ibu tirinya Gween yg krang pas dg crita utama sdgkan Ibu kandung Gween hanya bgtu sja akhirnya..Apa nulisnya dikejar deadline bgt ya hingga jaauuh lebih singkat? Gak sprti part MLBTY sebelumnya yang jauuh labih complex dan bpar tpi sekuel ini tmpak buru2 dtulis..Mngkn terlalu expektasi tpi ternyata... Kalau ada part lanjutan tentang proyek menyanyi Langit bersama istri, mungkin iklan breng, konser, lagu cinta bkan lagu patah hati lagi speti novel sblumnya.. Msih bgt yang krang diexplore dan ditunggu2 dlanjutannya tpi ya trnyata bgtu saja..

Lalu begitulah dirinya sekarang. Memang tak sedang tenggelam, namun ia sangat ingin tangannya menggapai udara agar ada pasokan oksigen masuk melegakan paru-parunya, namun gagal. Dia sudah seperti ikan terdampar di daratan saat melihat Kenzo berada tak jauh darinya dengan seringai mematikan.

Pria itu seperti siap menelan dirinya bulat-bulat. Tatapan itu seakan berkata 'Bersiap-siaplah menghadapi neraka selama 24 jam penuh'. Rere mulai berkeringat. Mengapa dia selalu bertemu dengan monster berwujud manusia tampan itu?

"Saya Kenzo yang akan memimpin perusahaan ini. Tidak akan ada pembahasan lain kecuali tentang apa yang bisa saya lihat dengan mata saya saat saya menginjakan kaki untuk pertama kalinya di perusahaan ini, tepatnya...." Kenzo mengangkat tangan kirinya dengan gerakan pelan, menghentikannya di depan mata. "Tiga puluh menit yang lalu." Kenzo menurunkan tangannya, lalu dengan mata tajam yang siap membunuh para mangsanya itu mengedar. "Saya belum bisa memutuskan apapun tentang keuangan, produksi, gudang, distribusi, pemasaran, dan beberapa hal lainnya karena belum sempat saya pelajari dan saya periksa. Jadi pada rapat pagi ini saya akan memprotes tentang ketidakdisiplinan kalian." Dua kata terakhir terdengar begitu mengerikan.

Rere seperti menelan biji kedondong saat pandangan Kenzo berhenti padanya untuk yang kesekian kali. "Anda bagian apa?" tanyanya dingin.

"Ha?" Wanita itu gemetar. Tangannya meremas laporan yang ada di atas meja dengan begitu erat seakan ingin mengoyakkan benda mati itu. "Sa ... saya Admin Keuangan mewakili Bu Rahmi yang tidak bisa masuk hari ini kar--"

"Absen di perusahaan ini begitu buruk." Sela Kenzo begitu cepat. Mata tajamnya beralih kepada pria yang duduk di sampingnya. Matanya menyempit dengan seringaian yang membuat siapapun seperti tertonjok perutnya. "Wakil direkturku. Dua minggu yang lalu anda baru pulang dari berlibur. Benar?" tanyanya pelan namun penuh penindasan.

Pria berperut buncit itu mengangguk takut. Dia tahu jika Kenzo adalah keponakannya. Tapi Kenzo adalah keponakan sekaligus pria muda yang ia takuti, mengingat kartu As-nya dipegang oleh pria itu. Sial! Andai Danang tak pergi ke hotel beberapa bulan yang lalu, pasti perselingkuhannya tak akan diketahui oleh Kenzo si otak cerdik dan licik.

"Berlibur selama satu minggu, padahal bulan lalu Anda melakukan hal yang sama. Berlibur." Kenzo mencondongkan tubuhnya ke arah Danang. Siapapun yang melihatnya pasti akan berdoa untuk tak pernah berada di posisi Danang.

Rere mendesah di tempatnya. Membayangkan jika ia berada di posisi Danang. Pasti sudah memilih pingsan sedari tadi. Tapi ... mengapa ia harus takut berada di posisi Danang, jika posisinya saja jauh lebih mengerikan dibanding siapapun.

Haah! Mengapa dia mau menikah dengan pria itu? Bolehkah dia menuntut cerai nanti setelah dia bertemu di apartemen? Tapi bagaimana jika pria itu menolaknya? Tuhan selamatkanlah dia yang begitu lemah.

"Sa ... saya melakukan--"

"Tidak ada dinas apapun karena kita tak pernah melakukan kerja sama dengan negara Italia jika itu yang ingin anda jadikan alasan."

Danang langsung mencakup belakang lehernya yang terasa kaku juga merinding. Kenzo kembali mengedarkan pandangannya lalu berdiri membuat nyawa para karyawannya seakan dicabut dari ubun-ubun. "Peraturan baru akan dicetak dan ditempel di setiap kubikel kalian masing-masing agar kalian bisa membacanya setiap saat. Baca dan resapi setiap konsekuensinya jika kalian melanggar peraturan yang sudah saya tetapkan berhubungan dengan kinerja dan absen kalian. Sepertinya selama ini Gama terlalu memberi loyalitas yang begitu tinggi untuk karyawannya, bukan? Tapi pada kenyataannya adalah kalianlah yang harus memberi hal itu kepada GamaRainbow. Jadi berhati-hatilah jika tak ingin karier kalian di sini berhenti saat kalian melanggar sekali saja peraturan yang telah saya ciptakan."

Kenzo langsung melangkah menjauhi singgasananya diikuti sekretaris wanitanya. Namun belum tiba di pintu, ia berbalik kepada para karyawan yang mengikuti rapat--yang masih diam terpaku. "Bersiap-siaplah juga dengan perubahan posisi jika saya menemukan masalah dengan pekerjaan yang kalian tangani saat ini."

Informasi yang paling mereka takutkan. Setelah Kenzo keluar, mereka mulai berbisik-bisik ketakutan. Mereka tak mau jika posisi mereka dipindah pada posisi yang jauh lebih rendah dari saat ini

Rere sendiri hanya diam. Dia cukup percaya diri dengan kinerjanya. Soal absen? Dia menarik nafasnya dalam. Memang dia jarang bolos bekerja jika bukan karena hal yang begitu mendesak. Termasuk dengan tiga hari kemarin. Jika hal itu dipermasalahkan juga oleh Kenzo, dia siap menentang pria itu. Dia harus berani menghadapi si monster dingin penggaris besi itu.

*

*

Rere diam di depan TV dengan Kenzo duduk di sebelahnya. Harus ia akui jika Kenzo tak benar-benar kejam. Pria itu tak selalu membentaknya. Tak selalu memandangnya dengan tatapan mengintimidasi. Alih-alih menyakitinya, Kenzo akan menertawakan semua kekonyolan Rere.

Ini sudah tiga hari sejak pertemuan mereka di kantor. Di apartemen, Kenzo tak akan membahas apapun soal pekerjaan dengan Rere. Begitu profesional yang menjengkelkan walau Rere sangat ingin membicarakan kebijakan Kenzo yang sangat tak masuk akal.

Apa-apaan itu. Memotong gaji jika izin sakit tanpa surat dokter. Baiklah itu masih bisa ditoleransi. Tapi jika izin tanpa alasan tidak akan dibiarkan bolos oleh pria ini. Seperti sistem anak pelajar. Jika bolos tanpa keterangan, maka akan dihukum. Lalu hukuman mereka adalah pemotongan gaji, penurunan posisi, hingga pemecatan. Kenzo benar-benar menjengkelkan.

"Jadi ... jadi kamu anak Pak Raja?" tanya Rere membuka suara. Raja yang mana saja dia tak mengetahuinya.

"Bukan urusan kamu."

"Tapi kan mertua aku."

Rere langsung menggigit lidahnya saat mendapatkan tatapan tajam Kenzo. Dia langsung menyurutkan tubuhnya ke samping. "Jadi kamu mau masuk ke dalam keluargaku?" tanya pria itu membuat perut Rere seperti diaduk-aduk. Kenzo lebih mengerikan dari monster dingin maupun pengaris besi ternyata.

Nadi Rere berdenyut-denyut mengerikan seiring tubuh Kenzo yang mendekatinya. "Ng--nggak. Cuma ... cuma mau kenal. Kenzo nafas kamu," rintih Rere menimbulkan seringai licik Kenzo. Dia megap-megap karena Kenzo sudah ada di atasnya dengan bibir di dekat telinga.

Kaki Rere yang menjuntai ke bawah bergerak gelisah. "Apa maksud kamu merintih seperti itu? Mau membuat aku bergairah, menghamili kamu lalu menjadikan itu sebagai celah untuk masuk ke dalam keluargaku? Menjadi penjilat dengan memanfaatkan wajah polos sok naifmu itu?"

"Aku tidak serendah itu!" Emosi Rere merasa terhina. Matanya mengerjap merah tak kuasa menahan perih karena ucapan Kenzo yang menohok. Astaga ... Rere begitu lemah hatinya. Hingga baru seperti itu saja, dia sudah ingin menangis.

"Oh ya? Lalu mengapa mengatakan mereka adalah mertuamu?"

"Karena memang itu kenyataannya! Kamu menikahi aku. Aku istri dan kam--"

"Aku adalah bosmu. Tuanmu. Atasanmu. Kamu pembantu. Karyawan. Bawahan tidak penting menurutku."

Nafas Rere menggebu. Dia ingin mencakar wajah tampan namun menjengkelkan milik Kenzo. Emosi membuat nafasnya terputus-putus. "Penampilan kamu terlalu mengerikan. Beruntung kamu tidak di bagian pemasaran, kan? Apa kata orang jika mereka tahu aku memiliki karyawan mengerikan seperti kamu? Penampakanmu seperti seekor lalat. Singkirkan kacamata bulat ini. Tanpa itu kamu sudah mengerikan. Dengan itu, kamu semakin mengerikan."

Dia sering mendapatkan hinaan seperti ini bahkan yang jauh lebih buruk lagi. Tapi mengapa saat Kenzo yang menghina, perasaannya jauh lebih hancur dari hinaan orang di luar sana. "Terimakasih atas sarannya. Akan saya pikirkan," jawab wanita ini parau. Dia menahan diri untuk tak menangis. Jangan sampai Kenzo semakin kesenangan melihat dia yang melemah karena hinaan yang seperti ini.

"Pikirkan baik-baik." Kenzo menegapkan tubuhnya lalu berdiri di atas kaki kokohnya. "Aku pergi. Mungkin tidak pul--" Kenzo memotong ucapannya sendiri. Mengapa dia harus menjelaskan hal itu kepada Rere? Tidak penting.

Kenzo meraih jaketnya yang tersampir di lengan sofa yang masih Rere duduki hingga saat ini. Kemudian pria itu pergi meninggalkan Rere yang diam tak mau peduli.

Pergi dan jangan kembali.

*

*

Mendung menggantung di atas sana. Tetesan lembut pun satu persatu mulai berjatuhan membasahi tanah dan jalanan yang tadinya kering karena sengatan matahari yang masih begitu terik satu jam lalu. Begitu cepat perubahan cuaca. Sungguh tak mampu diprediksi.

Rere mempercepat laju kendaraannya sebelum dia terlambat kembali ke kantor. Tadi dia baru dari kantor pos karena harus mengirim pesanan temannya yang tinggal di Kalimantan. Dia masih saja bersikap baik padahal tahu bahwa dirinya hanya dimanfaatkan saja.

kendarannya melaju begitu mengerikan. Membelah kemacetan,  mencari celah untuk bisa menyelip ke sana dan ke sini. Tak peduli beberapa kali ia harus dimaki karena menyerobot laju kendaraan lain.

Lebih baik dimaki orang tak dikenal, daripada oleh atasannya. Dia pasti kena hukum jika terlambat datang. Dua menit lagi jam istirahat akan berakhir, beruntung wanita ini sudah masuk ke dalam gedung perusahaan.

Dia membasahi kerongkongan keringnya dengan liur yang telah sekarat pula. Berdiri di depan lift, dia berharap cepat masuk ke dalam kubikelnya. Ting! Bunyi lift terbuka. Dia langsung masuk ke dalam.

Di dalam lift, dia merapikan rambutnya yang berantakan. Sudah jarang dia menggunakan minyak kemiri semenjak malam sialan itu. Alhasil, sedikit mudah ia mengatur rambut berantakannya.

Rambut coklat sebahu dan ikalnya ia gelung menjadi satu membentuk sarung tinju di belakang kepalanya. Membenahi letak lacamata besar dan blouse berwarna hijau juga celana bahan hingga mata kaki yang ia kenakan. Dia memang persis seekor lalat.

"Bisa kita bicara, Nona?" Seorang wanita menghentikan langkahnya yang akan keluar dari dalam lift. Bodohnya dia tak tahu jika di belakangnya ada orang. Rere pikir dia sendirian dari tadi.

Rere hanya diam melihat wanita yang menghentikan langkahnya. Wanita dengan rambut sebahu lurus itu jatuh lepas dengan indah bak sutra menggantung. Kaki jenjang yang dihiasi stiletto berwarna merah dan setelan gaun berwarna hitam dengan bahan broklat di punggung mengekspos kulit halusnya di sana.

Seakan terhipnotis dengan keanggunan wanita itu. Rere hanya diam dibawa ke atap gedung setinggi dua belas lantai ini. Saat angin kencang menerpa kulit wajahnya, baru Rere tersadar di mana dirinya berada.

"Nama saya Suci," ujar wanita itu dengan senyum lembut menenangkan. Rere cembuu dengan senyuman itu. Dia tahu Suci pasti memiliki usia lebih tua dari dirinya. Tapi dia bisa membandingkan bahwa Suci jauh lebih nampak muda dari dia yang belum menembus usia kepala tiga.

Suci menaikan sepasang alisnya karena tangan yang terulur tak kunjung disambut oleh Rere. Wanita ini tersenyum geli melihat keluguan dari wajah wanita berkaca mata itu. Dia turunkan tangannya lalu dilipat di depan dada. "Rere? Benarkan?"

"Ada urusan apa? Eem ... bagaimana anda tahu nama saya?" tanya Rere mengambil kesadarannya sendiri yang asyik mengagumi sosok yang ada di depannya.

"Saya ibu Kenzo."

Ucapan Suci mengejutkan Rere. Bagaimana mungkin Suci yang semuda ini memiliki anak dengan usia yang mungkin nyaris sama dengannya?

"Ibu tiri lebih tepatnya. Tapi saya menyayangi dia, sama seperti saya menyayangi anak kandung saya." Suci segera memperjelas statusnya menjawab keterkejutan Rere.

"Ooh...." Sekarang Rere kembali terkejut dan kaku karena dia bingung harus bertindak seperti apa di hadapan Suci. Sudah tahukah wanita itu dengan statusnya sebagai istri Kenzo?

"Saya tahu hubungan kamu dengan Kenzo. Apa dia bersikap baik selama sebulan ini? " tanya Suci menangkap kegelisahan Rere.

Sekarang dia harus menjawab apa? Baik? Itu artinya berbohong. Tidak baik? Bagaimana jika Suci tersinggung atau malah menyalahkannya. Sebentar. Apa Suci tahu mengapa dia bisa menikah dengan Kenzo? Suci bisa mencapnya sebagai wanita murahan jika tahu semuanya.

"Em ... begitulah." Jawaban yang seperti itu tidak termasuk berbohongkan?

"Begitulah yang ... baik atau buruk?" Suci berbalik menikmati hembusan angin yang memukul pelan wajahnya.

Rere hanya diam tak ingin menjawab. Dia malah asyik memainkan debu yang ada di bawah sepatu flat hitamnya. Dia pikir hujan akan membasahi bumi. Ternyata Tuhan menundanya hingga Rere masih bisa bermain debu yang belum menggumpal menjadi satu karena basah oleh air.

"Dia lelaki bebas yang tidak mau terikat." Suci berbalik lalu tersenyum perih melihat kepolosan menantunya itu. Dia tahu Rere tersiksa bersama Kenzo. "Tolong ikat dia. Buat dia tidak bisa lepas dari kamu."

"Aku bukan Tuhan yang bisa membolak-balikan perasaan." Rere mendongak. "Sepertinya, Anda sudah tahu bagaimana hubungan saya dengan Kenzo, kan? Saya hanya akan bertahan setelah Kenzo melepaskan saya atau jika saya bisa lepas darinya."

"Maafkan anak itu. Dia memang bodoh dalam menilai wanita. Tapi dia anak yang baik."

Baik dalam membentak maksudnya?

Rere merengut mengingat kejadian seminggu yang lalu saat dia tak sengaja memasukan udang ke dalam nasi goreng Kenzo. Dia tak tahu jika pria itu alergi udang. Dia kemudian dimarah habis-habisan karena wajah Kenzo yang memerah dan sekujur tubuhnya gatal.

"Ada udangnya?!" pekik Kenzo menyentakan Rere yang asyik dengan sarapannya.

Wanita itu mengangguk kaku. "Kamu nggak suka? Tapi nggak banyak kok. Cum--"

"Bren--aah!" Kenzo menggaruk wajahnya yang mulai memerah. Dia sama sekali tak tahu jika ada udang di nasi gorengnya. Udang-udang itu dipotong kecil-kecil oleh Rere, hingga Kenzo tak berpikir jika itu adalah udang. Setelah dia menghabiskan sarapannya, dia langsung membaca koran dan tak lama mulai merasakan keanehan di wajah dan beberapa bagian di tubuhnya.

Kenikmatan nasi goreng buatan Rere mengalihkan perhatiannya pada rasa udang yang harusnya ia rasakan sejak suapan pertama.
Kenzo langsung berdiri melempar kopinya ke lantai. "Gue alergi, brengsek!" maki Kenzo segera berjalan ke kamarnya mencari obat. Gatal yang begitu menyiksa membuatnya terus memaki.

Rere yang merasa cemas, segera menyusul ke kamar pria itu. Namun yang didapatnya malah makian yang semakin menyakitkan.

"Sial ... sial ... sial!! Apa kamu nggak bisa melakukan satu tindakan yang nggak berdampak buruk buat aku, ha?!"

"Aku nggak tau kalau kamu alergi, Tuan Kenzo. Bukan salah ak--"

Kenzo membanting deodoran yang paling dekat dengan tangannya ke lantai membuat Rere memeluk dirinya sendiri penuh ketakutan. "Kamu salah! Semua yang ada di diri kamu itu salah! Kamu!" Kenzo menunjuknya. "Kamu adalah kesalahan terbesar dalam hidup aku! Sekarang pergi keluar!"

Rere hanya diam dan menurut saja. Dia tak tahu jika Kenzo akan semarah itu padanya. Itu hanya masalah udang. Mungkin memang itu bukan masalah ringan, tetapi haruskah Kenzo mengatakan hal yang begitu melukainya?

Dia kesalahan terbesar pria itu. Kejam sekali tuduhan Kenzo kepadanya.

Setelah kejadian itu, dia belum berbicara dengan Kenzo hingga detik ini kecuali di kantor jika dia harus menggantikan Rahmi atasannya menemui Kenzo. Mengingat kantor. Dia langsung teringat dengan pekerjaannya. Astaga ... Rere lupa jika dia harus bekerja. Matilah!

"Maaf. Mungkin kita bisa berbicara lain kali. Saya harus bekerja," ujar Rere gelisah. Dia langsung berbalik dan turun ke ruangannya.

Suci baru membuka mulutnya untuk mencegah, tapi gerakan Rere begitu cepat dan gesit. Dia langsung berdecak lalu terkekeh. Sepertinya dia harus ikut turun dan menyusul Rere sebelum Kenzo dan kekuasaan pria itu membentaki Rere. Dia tahu betapa kerasnya lelaki itu.

*

*

"Anda pikir anda bekerja di mana? Seenaknya datang dan pergi sesuka Anda?!" Kenzo memukul meja kerja Rere hingga komputernya bergetar, dan kopinya yang ada di dekat komputer mengguling dengan isi yang jatuh membasahi celana dan bajunya.

Dia tak tahu jika Kenzo melakukan pemeriksaan dadakan. Setiap meja karyawan didatangi dan kemudian Kenzo berhenti di kubikelnya yang kosong. Saat dia tiba, dia langsung disambut wajah berang Kenzo. Masih ingat bagaimana bodohnya dia yang pura-pura tak bersalah dan malah melewati Kenzo dan duduk di kursinya.

"Maaf," lirihnya.

"Sepertinya Anda sangat ingin kehilangan pekerjaan ini."

Rere mendongak memberanikan diri memandang kemarahan di mata Kenzo. Dia menggeleng cepat. "Saya terlambat kar--"

"Karena saya meminta tolong dia untuk mencarikan saya obat." Suci datang menginterupsi. Dia mendekati Kenzo dengan wajah cemberut. "Jangan membentaki karyawan, Kenzo. Maag kakak tadi kambuh. Jadi minta tolong dia."

Rere mengerutkan keningnya bingung karena Suci membahasakan dirinya dengan sebutan 'kakak' kepada Kenzo.

Mata tajam pria itu langsung menatap tajam sorot lembut Suci. Lalu dia mengeluarkan nafas panas dari mulutnya. Dia tahu bukan begitu kejadiannya. Pasti Suci hanya sedang melindungi Rere. "Baiklah, " jawabnya enggan memperpanjang masalah yang akan berujung nasihat panjang dari Suci yang tak akan cukup waktu sehari. "Lanjutkan pekerjaan kamu," perintah Kenzo lalu berbalik melangkah menuju lift.

Suci terkikik melihat Kenzo yang selalu mengalah padanya. "Ganti baju dan celana--"

"Tidak perlu. Ini bukan masalah," jawab Rere lalu berdiri dan meninggalkan Suci. Dia berjalan cepat menuju kamar mandi dan di depan wastafel dia membersihkan noda kopi yang sudah meresap hingga ke celana dalamnya.

Tubuhnya bergetar karena isakannya meluncur lembut bersama air mata. Dia menangis bukan karena kemarahan Kenzo melainkan kebencian yang bisa dia lihat dari sorot mata Kenzo untuknya.

Mengapa dia tak mau pria itu membenci dirinya? Mengapa dia selalu lemah dengan setiap bentakan pria itu? Mengapa Kenzo memperlakukannya begini? Mengapa dia seakan menjadikan Kenzo berarti dihidupnya hingga selalu sedih dan merasa tersakiti dengan setiap tingkah dan ucapan suami yang tak mengakuinya itu?