Undang-undang tentang korupsi dan hukumannya

Undang-undang tentang korupsi dan hukumannya

Terdakwa mantan Menteri KKP, Edhy Prabowo, mengikuti sidang vonis kasus suap ekspor benih lobster secara virtual, dari gedung KPK, Jakarta, Kamis, 15 Juli 2021. Edhy juga wajib membayar uang pengganti sebesar Rp.10,7 miliar serta pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun. TEMPO/Imam Sukamto

TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo divonis 5 tahun penjara kasus korupsi ekspor benur. Dia masih pikir-pikir untuk mangajukan banding. “Kami pikir-pikir,” kata Edhy dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis, 15 Juli 2021.

Vonis hukuman tersebut menurut pegiat antikorupsi terlalu ringan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai vonis 5 tahun penjara terhadap eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabow terlalu ringan. “Bagi ICW, Edhy sangat pantas untuk diganjar vonis maksimal, setidaknya 20 tahun penjara,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Jumat, 16 Juli 2021. Sementara KPK masih pikir-pikir untuk ajukan banding.

Lalu, yang menjadi problematika lebih mendalam adalah masyarakat sering mempertanyakan regulasi terkait hukuman yang diberikan kepada para koruptor. Mereka terkadang juga merasa bingung, mengapa si pemberi hukuman itu tidak memberikan hukuman sesuai dengan tindakan yang sudah dilakukan oleh para koruptor. Ibarat, hukuman yang dikeluarkan itu tidak setimpal dengan perilaku yang sudah dibuat.

Sebenarnya ada salah satu kebijakan yang secara jelas dan lengkap mengatur adanya hukuman tindak pidana korupsi. Kebijakan tersebut bernama Undang-Undang KUHP No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kebijakan ini memang dibentuk khusus untuk membuat jera para koruptor.

Adapun isi salah satu pasal yang ada di dalam Undang-Undang KUHP No.31 Tahun 1999 tentang hukuman yang layak diberikan kepada para koruptor, berikut merupakan bunyinya :

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00.

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Dalam isi pasal tersebut jelas bahwa pelaku korupsi atau para koruptor akan diberikan sanksi berupa pidana penjara minimal empat tahun maksimal dua puluh tahun dengan denda minimal sebesar dua ratus juta dan maksimal satu miliar. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, berdasarkan ayat 2 tersebut, para koruptor bisa mendapatkan pidana mati, semua tergantung data-data pelaporan dan mekanisme ketika para koruptor beraksi.

PRIMANDA ANDI AKBAR

Baca: ICW: Edhy Prabowo Harusnya Divonis 20 Tahun, Saat Korupsi Dia Pejabat Publik

Penulis: Gloria Beatrix

Undang-undang tentang korupsi dan hukumannya
Undang-undang tentang korupsi dan hukumannya

Pengertian tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang kemudian mengalami perubahan lagi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 adalah:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Melalui pengertian tindak pidana korupsi dari Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor ini, terlihat bahwa terdapat 3 (tiga) unsur yaitu melawan hukum, untuk memperkaya diri sendiri, dan kerugian negara.[1] Ketiga unsur ini harus saling berhubungan dan dapat dibuktikan keberadaannya. Adapun jenis tindak pidana korupsi terbagi dalam 7 (tujuh) kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12C UU Tipikor, yaitu:

  1. Tindak Pidana Korupsi yang merugikan keuangan negara (Pasal 2 dan Pasal 3);
  2. Tindak Pidana Korupsi berupa praktek suap menyuap (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a dan b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c dan huruf d;
  3. Tindak Pidana Korupsi berupa penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, huruf b dan huruf c);
  4. Tindak Pidana Korupsi berupa pemerasan (Pasal 12 huruf e, huruf f dan huruf g);
  5. Tindak Pidana Korupsi berupa perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h;
  6. Tindak Pidana Korupsi berupa benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i);
  7. Tindak Pidana Korupsi berupa gratifikasi (Pasal 12 B jo. Pasal 12 C).

Pelaku dari tindak pidana korupsi ini berasal dari pegawai negeri atau penyelenggara negara, penegak hukum, atau siapa saja dalam jabatannya yang merugikan keuangan negara.[2] Setelah pelaku ditangkap, pelaku dari tindak pidana korupsi ini akan ditangani oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan pengadilan khusus dalam Peradilan Umum.[3]

Sementara itu, pengertian penggelapan berdasarkan dari Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) adalah:

“Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum, sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena salah telah melakukan penggelapan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau dengan hukuman denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah.”

Penggelapan ini merupakan kejahatan yang hampir sama dengan pencurian, tetapi pada saat terjadi penggelapan, barang sudah berada pada pelaku tanpa melalui kejahatan atau melawan hukum.[4] Selain itu, kejahatan ini dapat dilakukan oleh siapapun sepanjang barang tidak dikuasai pelaku secara melawan hukum. Dalam proses beracara, pelaku penggelapan akan ditangani di lingkungan Peradilan Umum, baik di Pengadilan Negeri sebagai pengadilan pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding.[5]

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penggelapan yang diatur dalam ketentuan pasal 372 KUHP dapat dilakukan oleh setiap orang, sementara penggelapan yang diatur dalam UU Tipikor merupakan penggelapan yang hanya dapat dilakukan oleh pegawai negeri dalam jabatannya. Selain itu tindak pidana korupsi terbagi dalam 7 bentuk dimana penggelapan dalam jabatan hanya salah satu bentuk dari tindak pidana korupsi.

Dasar Hukum :

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berada pada Buku Kedua tentang Kejahatan Bab XXIV tentang Penggelapan (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaga Negara Nomor 1660).
  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874).
  3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Nomor 134 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150).
  4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016

Referensi :

[1] M. Dani Pratama Huzaini, Memahami Kembali Delik Formil Pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58b107c37432b/memahami-kembali-delik-formil-pada-pasal-2-dan-pasal-3-uu-tipikor/ (diakses 10 Maret 2021).

[2] Brian Lemuel Rachman, Tinjauan Hukum Atas Sanksi Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Luar Biasa di Indonesia, Lex Et Societaris, Volume VI-Nomor 2, April 2018, halaman 1.

[3] Normand Edwin Elnizar, Bingung Mau Berperkara? Mari Kenali Jenis-Jenis Pengadilan di Indonesia, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b4f09b41a4e1/bingung-mau-berperkara-mari-kenali-jenis-jenis-pengadilan-di-indonesia (diakses 10 Maret 2021).

[4] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor:Politeia, 1995), halaman 258.

[5] Normand Edwin Elnizar, Supra note Nomor 3.