Dalam konteks karier dan pekerjaan, perilaku sama pentingnya dengan kemampuan/keterampilan. Perilaku Anda membawa dampak kepada orang di sekeliling Anda, dan dampak itu bisa langsung diamati atau dirasakan oleh mereka. Perilaku Anda bisa disukai, atau sebaliknya, malah dibenci oleh banyak orang; bisa memancarkan perilaku Kristus sehingga orang bisa mengenal Kristus lewat kebiasaan Anda sehari-hari, atau justru sebaliknya, orang jadi menghindari dan sebal terhadap kekristenan karena ulah atau tabiat Anda. Filipi 2:5 menegaskan, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,” dan dalam konteks karier/pekerjaan pun kebenaran ini berlaku. Perilaku Anda harus mencerminkan pikiran dan perasaan Kristus. Apa saja sikap dan perilaku kerja yang mencerminkan pikiran dan perasaan Kristus? Berikut beberapa contohnya, yang dapat kita latih pada diri kita masing-masing. Yohanes 16:33, “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” Dari perkataan Yesus ini, jelaslah bahwa Anda sudah memiliki Yesus yang akan memberikan damai sejahtera-Nya yang menjadi kekuatan agar kita tetap tenang dan sabar saat menghadapi kesulitan. Tenanglah dan sabarlah, karena Yesus telah “mengatasi” segala masalah dunia di atas kayu salib dan damai sejahtera-Nya tetap menyertai Anda dalam “segala cuaca”. Sikap/perilaku sebaliknya yang perlu diwaspadai: gelisah/panik, kesal, tertekan Ibrani 13:5, “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu.” Menghasilkan uang dan merencanakan masa depan ialah hal yang baik, karena memang setiap orang perlu uang untuk hidup. Namun, motivasi kerja “cinta uang” akan mengundang tabiat dosa dan memengaruhi pola hidup kita hingga menjauh dari Firman Tuhan. Banyak orang terobsesi kaya dengan cepat karena pernah dihina, miskin, atau direndahkan; lalu ketika dewasa membalas dendam dalam berkarier/bekerja, dengan cara mengejar ambisi mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Orang-orang yang memiliki motivasi yang salah seperti ini tidak akan tenteram, walaupun sudah memiliki uang banyak, karena hidup mereka tanpa sadar telah diperbudak (menjadi hamba) oleh uang sehingga tak pernah merasa cukup. Sikap/perilaku sebaliknya yang perlu diwaspadai: iri, tamak/serakah
Kolose 3:23, “Apa pun yang kamu lakukan, kerjakanlah itu dengan segenap hatimu, seperti bekerja untuk Tuhan, bukan untuk manusia.” Pada dasarnya, kita yang sudah mengenal Kristus bekerja bagi Kristus. Kristuslah Tuan kita; kita melayani Dia. Kristuslah yang telah memiliki hidup kita karena Dia telah membayar lunas harganya lewat kematian-Nya di kayu salib menebus kita. Karena itu, lakukan pekerjaan Anda dengan sepenuh hati untuk Dia. Ini berarti Anda selalu berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan hasil yang berkualitas, bahkan termasuk jika lingkungan kerja Anda malas atau tidak peduli. Orang Kristen sudah seharusnya menjadi yang terbaik di lingkungan kerjanya. Jadilah “emas di antara tumpukan batu”, karena demikianlah Anda bersinar dan berbeda sebagai murid Kristus. Ingatlah, prestasi kerja dan teladan Anda adalah kesaksian yang diperhatikan oleh orang lain. Sikap/perilaku sebaliknya yang perlu diwaspadai: malas, bekerja “hitung-hitungan”, cuek/tidak peduli 1 Timotius 6:18, “Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi.” Bagikan waktu, pengetahuan, dan sumber daya Anda dengan lingkungan kerja Anda: anggota tim kerja yang Anda pimpin, rekan sekerja, atasan, bahkan para pekerja lain yang tidak langsung berhubungan kerja dengan Anda. Firman Tuhan pun mengajar kita tentang prinsip “terlebih berkat dari memberi daripada menerima”. Jangan berpikir untuk pelit berbagi apa pun, termasuk ilmu atau keterampilan. Kadang, kita khawatir orang yang menerima ilmu/keterampilan itu nantinya tidak akan berkontribusi kembali kepada tim/perusahaan (misalnya karena berpindah pekerjaan), padahal cara berpikir seperti ini akan melahirkan sikap kerja yang pelit, tidak peduli orang lain, egois, dan mau menang sendiri. Tuhan telah berjanji bahwa jika Anda memberi Anda pun akan menerima dan diberkati. Jadilah murah hati dan alamilah bahwa apa yang Anda tabur akan Anda tuai sendiri. Sikap/perilaku sebaliknya yang perlu diwaspadai: kikir, pelit, egois Kolose 3:17, “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.” Semua profesi atau pekerjaan terhormat di mata Tuhan dan menyenangkan Tuhan, asalkan dilakukan sesuai kebenaran-Nya. Tidak penting apakah Anda seorang direktur eksekutif atau buruh atau penjual asongan – itu semua sama nilainya di mata Tuhan. Tuhan jauh lebih tertarik pada hati Anda, bukan pada kepintaran, keterampilan, prestasi, atau jabatan Anda. Hati yang mengucap syukur ialah hati yang menyadari pekerjaan, kebaikan, dan berkat-berkat Tuhan. Ketika Tuhan melihat hati kita mengucap syukur di dalam aktivitas kita bekerja sehari-hari, Tuhan senang dan akan memberkati lagi lebih banyak/luas lagi. Sikap/perilaku sebaliknya yang perlu diwaspadai: suka mengeluh, menggerutu, berpikir negatif Amsal 22:4, “Ganjaran kerendahan hati dan takut akan TUHAN adalah kekayaan, kehormatan dan kehidupan.“ Kerendahan hati artinya mengakui ketergantungan Anda pada Tuhan, dan itu tidak ada hubungannya dengan kelemahan. Menjadi rendah hati tidak pernah berarti menyangkal bakat yang diberikan Tuhan. Kerendahan hari lahir dari penyerahan diri kita kepada Tuhan; sikap yang siap dibentuk Tuhan, mau menaati Firman Tuhan, siap dikritik atau dikoreksi, mau belajar dari kesalahan, dan berlapang dada menerima kesalahan atau kegagalan lalu senantiasa memperbaiki diri. Kerendahan hati Anda akan meninggikan Tuhan dan mengundang Dia untuk campur tangan ke dalam hidup Anda. Tuhan memberkati orang yang rendah hati dan menentang orang yang sombong. Sikap/perilaku sebaliknya yang perlu diwaspadai: sombong, menganggap diri sendiri lebih/paling unggul Amsal 11:23, “Keinginan orang benar mendatangkan bahagia semata-mata, harapan orang fasik mendatangkan murka.” Lakukan hal yang benar untuk alasan yang benar dan dengan cara yang benar; inilah yang dimaksud dengan ketulusan. Orang yang memiliki hati yang lurus, murni, dan apa adanya akan senantiasa berusaha benar, tanpa memperhitungkan keuntungan pribadinya sebagai pamrih. Sering kali, justru orang-orang yang tuluslah yang paling banyak mengalami mukjizat Tuhan, karena Tuhan mengganjar ketulusan hati mereka dengan berlimpah-limpah. Hati adalah perbendaharaan (penyimpanan) hidup kita. Dari hati yang baik (tulus), akan mengalir ucapan dan perilaku yang baik pula, dan ini akan terpancar di lingkungan kerja. Orang banyak akan melihat sikap ketulusan Anda dan diberkati pula karenanya. Sikap/perilaku sebaliknya yang perlu diwaspadai: licik, berpura-pura, manipulatif Mari kita melatih diri untuk mempraktikkan sikap/perilaku kerja yang memancarkan kasih Kristus setiap saat. Bangunlah manusia roh Anda dengan terus memberi diri untuk merenungkan Firman dan diajar lalu diubah oleh Firman; maka Anda akan sanggup memancarkan Kristus melalui sikap/perilaku kerja Anda. Hasilnya, semakin banyak orang akan diberkati melalui kehidupan Anda di dalam pekerjaan/karier.
SIFAT-SIFAT GEREJA KATOLIK Gereja adalah persekutuan orang-orang yang dipanggil dan dihimpun oleh Allah sendiri, oleh karena itu disadari pula bahwa Gereja adalah suatu persekutuan yang khas. Mulai dari jaman yang langsung menyusul era rasul, Gereja diyakini mempunyai keempat sifat yaitu:
Keempat sifat itu memang kait mengait, tetapi tidak merupakan rumus yang siap pakai. Gereja memahaminya dengan merefleksikan dirinya sendiri dengan karya Roh Kudus di dalam dirinya. Gereja itu Ilahi sekaligus insane, berasal dari Yesus dan berkembang dalam sejarah. Gereja itu bersifat dinamis, tidak sekali jadi dan statis, oleh karena itu sifat-sifat Gereja tersebut harus selalu diperjuangkan. A. Gereja Kristus yang Satu
1. Arti Gereja yang Satu Gereja yang satu: Gereja yang tampak sebagai perwujudan kehendak tunggal Yesus Kristus untuk dalam Roh Kudus tetap hadir kini di tengah manusia untuk menyelamatkan (LG 8) Kesatuan Gereja pertama-tama dinyatakan dalam kesatuan iman (lih. Ef 4:3-6) yang mungkin dirumuskan dan diungkapkan secara berbeda-beda. Kessatuan juga dalam satu Injil, satu babtisan, dan satu jabatan yang dikaruniakan kepda Petrus dan kedua belas rasul. Kesatuan yang hakiki dan konkret diungkapkan oleh Paulus dalam model “tubuh”: Tubuh itu dibentuk dengan babtis dan diaktualisasikan dengan Prayaan Pemecahan Roti (1Kor 10:17).
Kesatuan tidak sama dengan keseragaman sebagai “Bhineka Tunggal Ika”, baik dalam Gereja Katolik sendiri maupun dalam persekutuan ekumenis, sebab kesatuan Gereja bukanlah semacam kekompakan organisasi atau kerukunan social. Yang utama bukan soal struktur organisasi yang lebih bersifat lahiriah, tetapi Injil Kristus yang diwartakan, dirayakan, dan dilaksanakan di dalam hidup sehari-hari. Kristus memang mengangkat Petrus menjadi katua para rasul, supaya kolegialitas para rasul tetap satu dan tidak terbagi. Di dalam diri Petrus, Kristus menetapkan asas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap kelihatan. Kesatuan ini tidak boleh dilihat pertama-tama secara universal. Tidak hanya Paus tetapi masing-masing uskup (pemimpin Gereja lokal) menjadi asas dan dasar yang kelihatan dari kesatuan dalam Gereja. Kristus akan tetap mempersatukan Gereja, tetapi pihak lain disadari pula bahwa perwujudan konkret harus diperjuangkan dan dikembangkan serta disempurnakan terus menerus. Oleh karena itu kesatuan iman mendorong semua orang Kristen supaya mencari “persekutuan” dengan semua saudara seiman. Singkat kata, Gereja yang satu itu terungkap dalam:
2. Memperjuangkan kesatuan Gereja
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa
“pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja adalah kesatuan Allah yang
Tunggal dalam tiga pribadi Bapa, Putra dan Roh Kudus” (UR 2). Tatapi, bagaimana
kesatuan Ilahi itu diwujudkan secara insane, merupakan pertanyaan yang amat
besar.
Kesatuan Gereja pertama-tama harus
diwujudkan dalam persekutuan konkret antara umat beriman yang hidup bersama
dalam satu Negara atau daerah yang sama. Tuntutan zaman dan tantangan
masyarakat merupakan dorongan kuat untuk menggalang kesatuan iman dalam
menghadapi tugas bersama. Kesatuan Gereja terarah kepada kesatuan yang jauh
melampaui batas-batas Gereja dan terarah kepada semua orang yang “berseru
kepada Tuhan dengan hati yang murni” (2 Tim 2:22)
Sedangkan untuk menggalakkan persatuan “antar-Gereja” misalnya
Kesatuan Gereja tidak identik dengan uniformitas. Kesatuan Gereja di luar bidang esensial Injili memungkinkan keanekaragaman. Kesatuan harus lebih tampak dalam keanekaragaman. B. Gereja Kristus yang Kudus 1. Arti Gereja yang Kudus
Gereja yang kudus berarti Gereja menjadi perwujudan kehendak Allah yang Mahakudus untuk sekarang juga mau bersatu dengan manusia dan mempersatukan manusia dalam kekudusanNya (bdk LG 8,39,41 dan 48). Gereja yang kudus itu dipandang sebagai tanda Gereja yang benar. Bahkan sebelum rumusan Syahadat dikenal, orang telah menyebut Gereja sebagai ‘yang kudus”. Hal itu menentukan sikap terhadap para pendosa. Secara obyektif sifat “kudus” berarti bahwa dalam Gereja adalah sarana keselamatan dan rahmat Tuhan di dunia serta merupakan tanda rahmat yang kudus, yang akan menang secara definitif pada akhir jaman. Secara subyektif sifat “kudus” berarti bahwa Gereja tak akan kehabisan tanda dan orang kudus (bdk. Ibr 2:1), jadi menyangkut kekudusan subyeknya.
Ajaran ini dipahami bersama dengan
ajaran iman bahwa para pendosa itupun anggota Gereja sehingga Gereja tak hanya
ada pendosa tetapi adalah pendosa sejauh warganya dan pemukanya memang para
pendosa yang masih berdosa dan akan berdosa. Itulah mengapa Gereja harus
senantiasa menguduskan diri dengan memperbarui terus menerus (UR 4:6) Gereja itu kudus karena sumber dari mana ia berasal, karena tujuan ke mana ia diarahkan, dan karena unsure-unsur Ilahi yang otentik di dalamnya adalah kudus.
2. Memperjuangkan Kekudusan Gereja Kekudusan Gereja dijelaskan dalam Konstitusi Lumen Gentium. Dikatakan bahwa “Kita mengimani bahwa Gereja tidak akan kehilangan kesuciannya, sebab, Kristus Putra Allah, yang bersama dengan Bapa dan Roh Kudus dipuji bahwa hanya Dialah kudus, mengasihi Gereja sebagai MempelaiNya” (LG 9). Gereja itu kudus karena kristus, Kepala gereja, membuatnya (anggotanya yang tetap berdosa) kudus. Kekudusan juga terungkap dengan “aneka cara pada masing-masing orang”. Kekudusan Gereja bukanlah suatu sifat yang seragam, yang sama bentuknya untuk semua, melainkan semua mengambil bagian dalam satu kesucian Gereja, yang berasal dari Kristus, yang mengikut sertakan Gereja dalam GerakanNya kepada Bapa ole Roh Kudus. Pada taraf misteri Ilahi, Gereja sudah suci: “Di dunia ini, Gereja sudah ditandai oleh kesucian yang sesungguhnya, meskipun belum sempurna” (LG 48). Ketidaksempurnaan ini menyangkut pelaksanaan insani, sama seperti kesatuannya Dalam hal kekudusan yang pokok bukan bentuk pelaksanaannya, melainkan sikap dasarnya. Kudus diartikan sebagai “yang dikuduskan Tuhan”. Jadi, pertama-tama “kudus” itu menyangkut seluruh bidang sacral dan keagamaan. Yang suci bukan hanya tempat, waktu, barang yang dikuduskan Tuhan atau orang, tetapi yang kudus itu Tuhan sendiri. Semua yang lain, barang maupun orang yang disebut “kudus” karena termasuk lingkup kehidupan Tuhan Kekudusan tidak datang dari Gereja, tetapi dari Allah yang mempersatukan Gereja dengan Kristus dalam Roh Kudus. Gereja disebut kudus karena Kristus sebagai kepala menguduskan anggotaNya. Jadi, kekudusan Gereja tidak terutama diartikan secara moral, tetapi secara teologial, meyangkut keberadaan dalam lingkup hidup Allah. Anggota Gereja adalah “orang kudus” yang dipanggil untuk hidup secara kudus di tengah-tengah dunia yang tidak mengindahkan Yang Mahakudus. Gereja adalah milik Allah (1Ptr 2:9) dan karenanya kehendak Ilahi harus ditaati di dalam Gereja dan oleh anggotanya. Usaha yang dapat diperjuangkan menyangkut kekudusan anggota-anggota Gereja, misalnya:
C. Gereja yang Katolik 1. Arti dan Makna Gereja yang Katolik Secara harafiah, kata “katolik” menunjukkan Gereja yang berkembang “di seluruh dunia”. Memang benar, Gereja tersebar ke mana-mana, namun tidak benar bahwa tidak ada tempat yang tidak ada Gereja. Dalam bahasa Yunani “katolik” berarti menyeluruh atau umum. Ignatius dari Antiokhia yang pertama kali menggunakan istilah ini, mengatakan bahwa “di mana ada uskup, di situ ada jemaat, seperti di mana ada Kristus, di situ ada Gereja “katolik”. Hai ini mau mengatakan bahwa dalam perayaan Ekaristi, yang dipimpin oleh uskup, hadir bukan hanya untuk jemaat setempat tatapi juga selurug Gereja. Jadi, gagasan pokok bukanlah bahwa Gereja telah tersebar ke seuruh dunia, melainkan bahwa dalam setiap jemaat setempat hadirlah Gereja seluruhnya.
Gereja selalu lengkap atau penuh, artinya tidak ada Gereja setengah-setengah atau sebagian. Gereja setempat (paroki, stasi) bukanlah “cabang” Gereja universal. Setiap Gereja setempat, bahkan setiap perkumpulan orang beriman yang sah, merupakan seluruh Gereja. Selanjutnya, kata “katolik” dipakai untuk menyebut Gereja yang benar, Gereja universal yang dilawankan dengan sekte-sekte. Kata katolik tidak hanya mempunyai arti geografis (tersebar ke seluruh dunia), tetapi juga “menyeluruh”, dalam arti “lengkap” berkaitan dengan ajarannya, serta “terbuka” dalam arti tertuju kepada siapa saja. Pada jaman Reformasi, kata “katolik” muncul lagi untuk membedakan dengan Gereja-gereja Protestan. Sejak itu, kata “katolik” secara khusus dimaksudkan umat Kristen yang mengakui Paus sebagai pemimpin Gereja universal. Dalam syahadat kata “katolik” masih mempunyai arti “universal” atau “umum”. Ternyata “universal” pun mempunyai dua arti, yang kuantitatif dan kualitatif:
Segi kuantitatif adalah faktor
geografis, yang mana memperoleh warganya dari semua bangsa dan hidup di tengah
segala bangsa. Gereja sebagai sakramen Roh Kudus mempunyai pengaruh dan daya
pengudus yang tidak terbatas pada anggota Gereja saja, melainkan juga terarah
pada dunia. Dengan sifat katolik ini dimaksudkan bahwa Gereja mampu mengatasi
keterbatasannya sendiri untuk berkiprah ke seluruh dunia. Singkatnya, Gereja bersifat katolik karena terbuka bagi dunia, tidak sebatas pada tempat tertentu, bangsa dan kebudayaan tertentu, waktu dan golongan masyarakat tertentu. Kekatolikan Gereja tampak dalam:
2. Mewujudkan kekatolikan Gereja
Gereja bersifat universal, umum dan terbuka. Oleh sebab itu perlu diusahakan antara lain Sikap terbuka dan menghormati kebudayaan, adat istiadat bahkan agama bangsa manapun. Bekerja sama dengan pihak mana saja yang berkehndak baik dalam mewujudkan nilai-nilai yang luhur di dunia ini. Selalu berusaha untuk memprakarsai dan memperjuangkan suatu dunia yang baik untuk umat manusia.
Untuk setiap orang kristiani
diharapkan memiliki jiwa yang besar dan keterlibatan penuh dalam kehidupan
masyarakat, sehingga dapat member kesaksian bahwa “katolik” artinya terbuka
untuk apa saja yang baik dan siapa saja yang berkehendak baik. D. Gereja yang Apostolik 1. Arti Gereja yang apostolik
Apostolik berasal dari kata Yunani,
“ApostellO” (mengutus, menguasakan) yang berate utusan, suruhan, wakil resmi
yang diserahi misi tertentu. Kata “apostolic” kemudian dipaki untuk menyebut
para rasul. Gereja yang apostolik berarti bahwa Gereja yang berasal dari para
rasul, dan tetao berpegang teguh pada kesaksian iman mereka. Kesadaran bahwa
Gereja dibangun atas dasar para rasul dengan Kristus ebagai batu penjuru, sudah
ada sejak jaman Gereja perdana. Gereja bersifat apostolik berarti Gereja mengakui diri sama dengan Gereja Perdana, yakni Gereja para rasul. Hubungan historis ini tidak dimengerti sebagai pergantian orang, melainkan segala kelangsungan iman dan pengakuan. Sifat apostolik juga tidak berarti bahwa Gereja hanya mengulang-ulang apa yang sejak dahulu diajarkan dan dilakukan Gereja. Keapostolikannya berarti bahwa dalam perkembangan hidup, tergerak oleh Roh Kudus, dan Gereja senatiasa berpegang pada Gereja para rasul sebagai norma imannya. Gereja selalu membaharui dan menyegarkan dirinya. Sifat apostolik harus mencegah Gereja dari rutinisme yang bersifat ikut-ikutan. Dalam hal ini, seluruh Gereja tidak hanya bertanggung jawab atas ajaran Gereja, tetapi juga dalam pelayanannya. Singkatnya, Gereja disebut apostolic karena Gereja berhubungan dengan para rasul yang diutus Kristus. Hubungan itu tampak dalam:
2. Mewujudkan keapostolikan Gereja Keapostolikan Gereja tidak berarti Gereja sekarang hanya merupakan copyan dari Gereja para rasul. Gereja sekrang hanya terarah kepada gereja para rasul sebagai dasar dan permulaan imannya. Karena pewartaan para rasul dan penghayatan iman mereka terungkap dalam Kitab Suci, maka sifat keapostolikan gereja akan tampak terutama dalam kesetiaan kepada Injil. Kesatuan dengan Gereja purba adalah kesatuan hidup, yang pusatnya adaah Kitab Suci dan Tradisi. Secara konkret, tradisi selalu merupakan konfrontasi terus-menerus antara situasi gereja sepanjang masa dan pewartaan Kitab Suci. Gereja harus senantiasa menafsirkan dan mengevaluasi situasi konkret berpangkal pada sikap iman Gereja para rasul. Jadi usaha untuk keapostolikan Gereja, antara lain:
Sumber: 1. Iman Katolik 2. Seri Murid-murid Yesus 3. Dewasa dalam Penghayatan Iman Sumber tulisan http://www.widiagung.co.cc/2009/03/sifat-sifat-gereja.html |