Tidak sembarang dapat menjadi seorang mujtahid pernyataan berikut yang bukan termasuk syarat menjadi

Tidak sembarang dapat menjadi seorang mujtahid pernyataan berikut yang bukan termasuk syarat menjadi
khatam quran di tengah pandemi. ©2020 Merdeka.com/Arie Basuki

JABAR | 21 April 2021 09:01 Reporter : Andre Kurniawan

Merdeka.com - Islam adalah agama yang sempurna. Agama ini memperhatikan umatnya dari urusan-urusan yang penting, hingga hal-hal kecil dalam kehidupan. Maka beruntunglah bagi kaum muslimin, karena kehidupannya sudah diatur sedemikian rupa oleh agama Islam. Adalah Al Quran dan Sunnah yang menjadi dua sumber pedoman dalam hidup seorang muslim.

Tapi sebagai salah satu agama terbesar di dunia, umat Islam juga sering dihadapkan dengan berbagai permasalahan, terutama yang berkaitan dengan syara atau ibadah. Oleh karena itu, selain menggunakan Al Quran dan Sunnah, ulama juga menggunakan ijma dan qiyas sebagai instrumen untuk membantu memecahkan masalah umat.

Selain itu, para ulama juga harus melakukan ijtihad dalam mencari solusi permasalahan yang dihadapi umat Islam. Berbagai perbedaan mazhab yang kita kenal saat ini merupakan hasil dari ijtihad. Kita tahu tidak ada yang salah dari mazhab-mazhab tersebut karena itu semua merupakan hasil terbaik dari para mujtahid untuk menemukan hukum terbaik.

Dengan adanya ijtihad, Islam menjadi agama yang luwes, dinamis, fleksibel sesuai dengan dinamika zaman.

Dalam artikel kali ini, kami akan membawa Anda untuk memahami lebih lanjut mengenai pengertian ijtihad, fungsinya, dan juga mengetahui bagaimana rukun serta syarat dari seorang mujtahid.

2 dari 5 halaman

Dikutip dari jurnal yang berjudul 'Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam', kata ijtihad berasal dari kata “al-jahd” atau “al-juhd”, yang memiliki arti “al-masyoqot” (kesulitan atau kesusahan) dan “athoqot” (kesanggupan dan kemampuan) atas dasar pada firman Allah Swt dalam QS. Yunus ayat 9 yang artinya: ..”dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”.

Pengertian ijtihad sendiri dapat dilihat dari dua sisi, yakni pengertian ijtihad secara etimologi dan pengertian ijtihad secara terminologi.

Pengertian ijtihad secara etimologi memiliki pengertian: “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”. Sedangkan pengertian ijtihad secara terminologi adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau yang lainnya untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar maksud dan tujuan umum dari hikmah syariah yang terkenal dengan maslahat.

Kemudian Imam al-Amidi menjelaskan pengertian ijtihad yaitu mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara yang bersifat dhanni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.

Sedangkan menurut mayoritas ulama ushul fiqh, pengertian ijtihad adalah pencurahan segenap kesanggupan (secara maksimal) seorang ahli fikih untuk mendapatkan pengertian tingkat dhanni terhadap hukum syariat.

3 dari 5 halaman

Dasar dari ijtihad adalah Al Quran dan Sunnah. Jadi para ulama tidak sembarang menentukan hukum dari suatu permasalahan.

Allah SWT berfirman dalam ayatnya yang artinya,

“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat”. (QS. An-Nisa’: 105).

Fungsi ijtihad sendiri di antaranya adalah:

  1. fungsi ijtihad al-ruju’ (kembali):mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada al-Qur’an dan sunnah dari segala interpretasi yang kurang relevan.
  2. fungsi ijtihad al-ihya (kehidupan): menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan Islam semangat agar mampu menjawab tantangan zaman.
  3. fungsi ijtihad al-inabah (pembenahan): memenuhi ajaran-ajaran Islam yang telah di-ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi yang dihadapi.

4 dari 5 halaman

Adapun rukun ijtihad adalah:

  1. al-Waqi’ yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi tidak diterangkan oleh nash,
  2. mujtahid ialah orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan untuk ber-ijtihad dengan syarat-syarat tertentu,
  3. mujtahid fill ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi), dan
  4. dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fill.

5 dari 5 halaman

Mujtahid adalah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tatbiq (penerapan hukum). Terdapat banyak perbedaan dalam menentukan syarat-syarat mujtahid. Adapun syarat-syarat yang telah disepakati adalah:

  • Mengetahui al-Qur’an
    Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer sebagai fondasi dasar hukum Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam.
  • Mengetahui Asbab al-Nuzul
    Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat mengetahui al-Qur’an secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks tetapi juga akan mengetahui secara sosial-psikologis.
  • Mengetahui Nasikh dan Mansukh
    Hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai berdalih menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah di-nasikh-kan dan tidak bisa dipergunakan untuk dalil.
  • Mengetahui As-Sunnah
    Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
  • Mengetahui Ilmu Diroyah Hadis
    Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para perawi hadis, syarat-syarat diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, tingkatan kata dalam menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi hadis dan hal-hal yang tercakup dalam ilmu hadis. Kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam menggunakan hadis sebagai dasar hukum.
  • Mengetahui Hadis yang Nasikh dan Mansukh
    Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak boleh dipergunakan.
  • Mengetahui Asbab Al-Wurud Hadis
    Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai asbab al-nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi dan lokus hadis tersebut muncul.
  • Mengetahui Bahasa Arab
    Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam karena teks otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab.
  • Mengetahui Tempat-Tempat Ijma
    Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama sehingga tidak terjerumus dalam memberikan fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma.
  • Mengetahui Ushul Fiqh
    Ilmu ushul fiqh, yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha untuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk mengambil istinbat hukum dari nash dan mencocokkan cara pengambilan hukum yang tidak ada nashhukumnya.
  • Mengetahui Maksud dan Tujuan Syariah
    Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan memelihara kepentingan manusia.
  • Mengenal Manusia dan Kehidupan Sekitarnya
    Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zaman, masyarakat, problem, aliran ideologi, politik dan agamanya serta mengenal sejauh mana interaksi saling memengaruhi antara masyarakat tersebut.
  • Bersifat Adil dan Takwa
    Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh mujtahid benar-benar proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam istinbat hukumnya.
(mdk/ank)

Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA Sat 28 December 2013 01:01 | 14405 views

Bagikan lewat

Tidak sembarang dapat menjadi seorang mujtahid pernyataan berikut yang bukan termasuk syarat menjadi

Tidak sembarang dapat menjadi seorang mujtahid pernyataan berikut yang bukan termasuk syarat menjadi

Ide besar kelompok Qadariyah dan Ahlu Az-Zhahir yang yang mewajibkan kepada seluruh ummat Islam untuk melihat dalil dalam perkara furu’ (baca: fiqih) dan tidak boleh sama sekali mengikut (taqlid) saja kepada pendapat para ulama sepertinya mendapat tantangan yang keras dari mayoritas ulama sejagad.

Betapa tidak, karena akhir dari pendapat ini mewajibkan setiap muslim sampai pada derajat mujtahid. Semua saja, tanpa membedakan anatara Arabiy (Arab) dan A’jamiy (non Arab) dimana hanya para mujtahidlah yang berhak berbicara dalil secara utuh, disaat mereka yang awam tidak memiliki hak itu.

Ide ini besar dari dua kelompok ini diungkap oleh Al-Khattab dalam kitabnya At-Tamhid seperti yang dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Raudhah An-Nazhir dalam pembahasan bab At-Tqlid.  

Mujatahid

Secara bahasa kata mujtahid itu adalah ism fa’il (bentuk subyek) dari fi’il (kata kerja) ijtahada-yajtahidu-ijtihad yang berarti mencurahkan semua kemampuan dan usaha dalam suatu pekerjaan [بذل المجهود واستفراغ الوسع في فعل]

Maka mujtahid adalah orang yang mengeluarkan segala kemampuan dan usahanya dalam suatu pekerjaan. Dari sini kita bisa menilai bahwa mereka yang hanya membawa ranting kayu yang kecil dan ringan itu tidak bisa disebut sebagai mujtahid, berbeda dengan mereka yang membawa tumpukan karung beras atau semen yang membutuhkan tenaga maksimal.

Dalam fiqih term mujtahid ini digunakan untuk menyebut mereka yang sudah mengeluarkan segala usaha dan kemampuannya untuk mengetahui hukum-hukum syariat, sampai pada keyakinan bahwa sudah tidak ada kekuatan setelah itu [أن يبذل الوسع في الطلب إلى أن يحس من نفسه بالعجز عن مزيد طلب]. Ini adalah definisi yang diberikan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa, dan definisi ini mempunyai kemiripan dengan definisi yang digambarkan oleh Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam.

Syarat Mujtahid

Tentunya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seseorang sebelum akhirnya dia mencoba untuk mencurahkan segala kemampuannya dalam mengetahui hukum-hukum syariat, dimana ketika syarat ini belum terpenuhi maka seberapapun usaha yang dia lakukan tetap saja belum masuk dalam katagori mujtahid.

Ibarat bekerja, maka hanya mereka yang memenuhi syarat sajarah yang akan diberikan kesempaan untuk bekerja, itupun setelah melalui berbagai penilain dari banyak hal. Jika tidak memenuhi kualifikasi, dengan sadar biasanya mereka akan mundur sendiri, tidak ngeyel dengan berteriak sesukanya dengan teriakan yang mengganggu tidur siang.

Hampir disetiap kitab-kitab Ushul Fiqih para ulama berbicara masalah ini, ada yang menuliskan secara panjang lebar, namun ada juga yang memberikan pandangannya secara singkat. Namun jika disimpulkan, kira-kira hampir semua ulama akan sepakat dengan beberapa poin berikut:

  • Bahwa seorang mujtahid harus menguasai semua sumber hukum, baik sumber yang disepakati (al-muttafaq) seperti: Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas, maupun sumber yang diperselisihkan (al-mukhtalaf) seperti: Al-Istishab, Al-Istihsan, Mashalih Al-Mursalah, Al-Urf, Qaul As-Shahabi, Syar’u Man Qablana, Sadd Az-Dzari’ah, Amal Ahli Al-Madinah, dan seterusnya.
  • Seorang mujtahid harus menguasai kesemuanya itu detail, bukan setengah-setengah. Terhadap Al-Quran misalnya, maka seorang mujtahdi harus menguasai seluruh ayat yang berbicara masalah hukum, dan mampu mengahdirkannya dalam waktu yang tidak lama.
  • Terhadap sunnah juga seperti itu, setidaknya seorang mujtahid mampu menghadirkan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum, juga mengerti masah periwayatan dan status hadits, setidaknya terhadap kitab-kiab hadits yang sekarang sudah dibukukan sudah menguasainya dan bisa menghadirkan hadits dari sumber-sumber tersebut.
  • Mengetahui perkara ijma’, mana saja perkara yang sudah ada kata sepakat dari semua ulama (ijma’), baik ijma’ sharih mapun ijma’ sukutiy, setidaknya seorang mujtahid harus tahu bahwa perkara yang sedang dibahas sudah ada ijma’nya, atau masuk dalam ranah khilaf, atau itu masuk kajian kontemporer.
  • Seorang mujtahid juga mengerti bagaimana cara menggunakan dalil, karena yang terpenting dalam membahas sebuah perkara itu bukan hanya dalil, namun cara menggunakannya dalil tersebut juga tidak kalah pentingnya. Misalnya mengerti masalah pendalilan secara bahasa, mengetahui mana dalil yang sudah dihapus keberlakuannya dan mana pula dalil yang menghapusnya, apakah dalil Al-Quran boleh dihapus keberlakuannya oleh hadits, semua ini dibahas pada ilmu nasikh dan mansukh, faham mana dalil yang umum (‘am) dan khusus (khas), mengerti mana dalil yang mutlak (mutlaq) dan terikat (muqayyad), faham mana dalil nash dan mana pula dalil mafhum, dan seterusnya.
  • Tentunya kesemuanya itu tidak bisa dilakukan jika seorang yang ingin menjadi mujtahid tidak mengerti bahasa Arab. Maka penguaaan bahasa Arab menjadi keharusan bagi mujtahid.  Sehingga seorang mujtahid memang benar-benar bisa membedakan antara lafazh shorih dan kinayah, zhohir dan mujmal, haqiqah dan majaz, ‘am dan khash, , mutlaq dan muqayyad, nash dan fahwa, dan seterusnya.

Ini adalah gambaran umum tentang syarat mujtahid, lebih detailnya penjelasan seperti ini bisa didapat dalam banyak kitab ushul seperi: Kitab Al-Mustashfa, Raudhah An-Nazhir, Kasy Al-Asrar, Nihayah As-Sul, Al-Mahsul, Al-Ihkam, Irsyad Al-Fuhul, Syarh Tanqih Al-Fushul.

Dengan mengetahui standar dalam pencapaian starata mujtahid tersebut maka barulah bisa kita simpulkan bahwa mereka yang tidak atau belum sampai pada penguasaan syarat-syarat tersebut belum bisa kita sebut sebagai seorang mujtahid, dan umumnya yang bukan mujtahid itu disebut dengan awam.

Penolakan Dari Jumhur

Ternyata tidak mudah mencapai level mujtahid, dan memang seperti itulah seharusnya, bahwa agama ini harus dibawa oleh mereka yang benar-benar menjadi pilihan. Dengan syarat yang sedemikian rupa maka mustahil rasanya jika semua orang dimuka bumi ini diharuskan untuk sampai derajat tersebut, maka inilah alasan pertama yang membuat mayoritas ulama membantah pendapat yang mengharuskan semua muslim sampai pada derajat mujtahid dan tidak boleh bertaqlid kepada selain mereka.

Butuh keseriusan dalam hal ini, dan butuh pembelajaran tingkat tinggi, mungkinkah gerangan orang-orang yang di Pasar Minggu Jaksel sini bisa sampai pada derajat mujtahid, disaat dalam kesehariannya mereka habiskan waktunya di pasar, menyediakan makanan beras, sayuran dan buahan?

Mampukah para sopir angkot dan metro mini belajar semua hal di atas, sehingga mereka juga kelak akan sampai pada derajat mujtahid? Disaat pikiran mereka disetiap harinya memikirkan setoran sewa angkot, juga memikirkan makan untuk anak istri.

Mampukah para pembelajar fisika, kimia, biologi, tehnik, menyediakan waktunya untuk belajar keilmuan syariah sehingga mereka juga sampai pada derajat mujtahid? Disaat sebagian besar diantara mereka tidak fasih membaca Al-Quran dan tidak bisa sama sekali bahasa Arab.

Lalu bagaimana nasib para pekerja kantor yang kesehariannya bergelut dengan dengan laporan-laporan kerjanya, pergi subuh pulang malam, kapankah mereka belajar bahasa Arab sebingga bisa menyimpulkan hukum dari Al-Quran dan Hadits?

Kenyataan di atas adalah bantahan kedua dari mayoritas ulama atas ide yang dilontarkan oleh mereka yang menghendaki semua kita sampai pada derajat mujtahid. Dan bahwa ternyata justru bumi ini akan tidak stabi jika semua kita menjadi mujtahid, disinilah hikmahnya bahwa sebagian kita dijadikan awam, karena kehadiran mereka justru membawa kestabilan hidup di bumi.

Orang Awam Wajib Mengikut (Taqlid)

Jika memang seperti itu maka tidak ada pilihan lain bagi mereka yang awam kecuali hanya mengikut saja. Mengikut para ulama mujtahid khususnya dalam perkara furu’, dimana sebagian besar masalah fiqih masuk dalam ranah furu’. Bahkan dengan tegas Ibnu Qudamah mengatakan wajib hukumnya bertaqlid kepada para ulama mujtahid.

Jika dalam satu negri ada banyak mujtahid maka mereka yang awam berhak untuk mengikut siapa saja dari ulama mujtahid yang ingin mereka ikuti [للعاميِّ أن يقلد من شاء من المجتهدين], kaidah ini masyhur dikalangan ulama ushul,  bahkan sebagian menganggap perkara ini sudah ada konsensus (ijma’).

Tinggal lagi permaslahan berikutnya adalah menentukan dan memilih siapa saja dari ulama kita yang masuk dalam level mujtahid. Ini penting untuk diketahui karena pada dasarnya sangat jelas bedanya antara ulama mujtahid, ulama yang belum sampai pada derajat mujtahid, ustadz, artis, pelawak dan dukun. Jangan sampai istilah ini menjadi bias, hanya karena media yang selalu menghadirkan mereka di televisi.

Jika kita adalah awam, sekiranya tidak ada kehiaan sama sekali dengan menyadari keawaman kita, dan setinggi-tingginya level awam tetap saja kita bukan mujtahid yang mempunyai hak utuh untuk berbicara dalil dengan sangat vokal, apalagi jika seandainya kita adalah awam pada level akut.

Proses belajar melalui majlis taklim, pesantren akhir pekan, melalui website, setidaknya menjadi awal dari bagaimana menyadarkan diri agar kita tahu bahwa sebenarnya selama ini kita tidak tahu, dengan pembelajaran seperti itu setidaknya kita bisa menaikkan level awam kita agar tidak berada pada posisi starata paling bawah, berharap sedikit demi sedikit kita juga mulai membaca dalil-dalil yang mereka gunakan.

Tidak Ada Paksaan dan Tidak Boleh Memaksa

Memang kebenaran dalam ranah fiqih hanya ada satu, namun tidak ada yang mengetahui secara pasti mana yang satu itu, kebenaran yang satu itu hanya ada disisi Allah.

Ulama mujtahid hanya ditugaskan untuk berusaha semaksimal mungkin mengeluarkan seluruh kemampaunnya untuk mengetahui hukum dari sebuah perkara, atas usaha yang maksima ini mereka mendapat satu kebaikan, dan jika usaha itu bertepatan dengan apa yang ada disisi Allah SWT maka mereka mendapat satu kebaikan lagi.

Inilah yang membedakan antara keduanya, jika hasil ijtihad mereka benar mereka mendapatkan dua kebaikan dan jika hasil ijtihad mereka salah mereka mendapatkan satu kebaikan, dan inilah satu-satunya kesalahan yang tidak berdosa.

Dalam adabnya seorang mujtahid tidak boleh memaksakan hasil ijtihadnya kepada mujtahid lainnya, karena hasil ijtihad mujtahid yang satu tidak lebih utama dari hasil ijtihad mujtahid yang lainnya, jika mereka saja tidak boleh memaksakan, maka sudah barang tentu sesama awam juga tidak boleh saling memaksakan pendapat yang dikuti dengan awam lainya.

Apalagi sesama awam sampai saling memusuhi, membid’ahkan, atau malah mengkafirkan awam lainnya, hanya karena mereka berbeda dalam pilihan dalam wilayah furu’. Dan perlu juga diketahui bahwa dalam masalah aqidah juga ada ranah furu’nya, dimana khilaf pada ranah furu’ aqidah sama seperti khilaf dalam ranah furu’ fiqih.   

Oleh karenanya kita sering mendengar ungkapan yang sangat bijak dari para pendahulu kita: “Pendapat saya benar, namun bisa jadi salah, dan pendapat yang lain salah, akan tetapi mungkin saja benar”.

Wallahu A’lam Bisshawab

Baca Lainnya :

more...