تَفَكَّرُوا في خلق الله ولا تتفكروا في ذات الله makna yang tepat dari hadits tersebut adalah

تَفَكَّرُوا في خلق الله ولا تتفكروا في ذات الله makna yang tepat dari hadits tersebut adalah

Ilustrasi (karangkraf.com) Ilustrasi (karangkraf.com)

Beberapa kali kita sering membaca pesan siaran yang berisi kumpulan-kumpulan hadits beserta artinya. Hadits-hadits tersebut seenaknya dipahami berdasarkan artinya. Padahal, dalam memahami hadits, kita tidak boleh serta merta sekadar mengacu pada arti bahasannya. Diperlukan beberapa keilmuan untuk dapat memahami sebuah hadits secara holistik, mulai takhrij hadits, rijalul hadits, ilmu matan hadits yang meliputi fiqhul matan dan naqd matan.

Salah satu hadits yang pernah dijumpai di pesan siaran adalah terkait menguap adalah berasal dari setan.

التَّثَاؤُبُ مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَالَ هَا ضَحِكَ الشَّيْطَانُ

Artinya: “Menguap itu dari setan. Maka bila seorang dari kalian menguap hendaklah sedapat mungkin ditahannya karena bila seseorang dari kalian menguap dengan mengeluarkan suara haa, setan akan tertawa.” (Imam Bukhari, al-Jâmiʽ al-Saḥîḥ, [Beirut: Dâr Tûq an-Najah, 1422 H), j. 4, h. 125.)

Jika ditakhrij hadits tersebut memang diriwayatkan dari beberapa kitab hadits sahih, mulai Bukhari, Muslim, Ibn Huzaimah, Ibn Hibban, Musnad Ahmad dan beberapa kitab lain.

Dengan disebutkan dalam kitab-kitab sahih di atas, secara otentitas memang tidak diragukan lagi. Namun bukan berarti dengan seenaknya memahami hadits tersebut sesuai terjemahannya. Jika kita hanya mengacu pada terjemahan hadits tersebut, kita pasti akan mengira bahwa menguap adalah berasal dari setan.

Hal ini akan menjadikan hadits menjadi kurang sesuai dengan akal kita. Bagaimana mungkin makhluk bernama setan tersebut bisa melakukan apa pun terhadap diri kita, termasuk membuat kita menguap. 

Para sahabat sendiri, tidak serta merta memahami sebuah hadits berdasarkan zahirnya, terlebih jika hadits tersebut bertentangan dengan akal. Para sahabat selalu menggunakan akalnya ketika memahami hadits. Salah satu hadits yang dikritik para sahabat karena bertentangan dengan akal adalah hadits tentang “Wudhu setelah memegang jenazah.” (Lihat: Musfir Abdullah ad-Damini, Maqâyîs Naqd al-Mutûn, (Riyadh: Jamiah Saud al-Islamiyah, 1984 M), h. 111.)

Lalu bagaimana dengan hadits tentang menguap di atas?

Imam an-Nawawi, sebagaimana dikutip al-Mubarakfuri dalam Tuḥfatul Aḥwadzi-nya menyebutkan bahwa yang dimaksud menguap dari setan tersebut bukan berarti asal-muasal menguap adalah dari setan, atau setan yang membuat kita menjadi menguap.

Menurut Imam an-Nawawi, yang dimaksud menguap dari setan adalah hanya sebatas majaz, yakni pernyataan dalam hadits tersebut adalah peringatan Rasul untuk menjauhi hal-hal yang menyebabkan kita menguap, seperti makan terlalu banyak. Karena ketika kita makan terlalu banyak, maka tubuh akan terasa berat dan malas untuk berbuat sesuatu.

قال النووي أضيف التثاؤب إلى الشيطان لأنه يدعو إلى الشهوات إذ يكون عن ثقل البدن واسترخائه وامتلائه والمراد التحذير من السبب الذي يتولد منه وهو التوسع في المأكل وإكثار الأكل 

Artinya: “Imam an-Nawawi berpendapat bahwa kata ‘menguap’ disandarkan kepada setan karena menguap dapat menyebabkan seseorang mengikuti syahwatnya karena beratnya badan, lemasnya badan dan gemuknya badan. Dan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah peringatan Rasul SAW atas sebab-sebab yang dapat membuat kita menjadi menguap, yakni terlalu besar tempat makanan dan terlalu banyak makan.” (Abu al-ʽAla al-Mubarakfuri, Tuḥfatul Aḥwadzi, (Beirut: Dar Kutub, T.t), j. 8, h. 18.)

Dari pernyataan Imam an-Nawawi tersebut menunjukkan bahwa sebab yang dapat membuat kita menjadi menguap itulah yang merupakan ciri dari setan, bukan menguapnya yang berasal dari setan. 

Syekh Badruddin al-Aini berpendapat, jika ada suatu hadits yang menyebutkan suatu perkara yang disandarkan kepada setan, maka sesuatu tersebut sangat dibenci Rasul.

وإنما جعله من الشيطان كراهة له لأنه إنما يكون مع ثقل البدن وامتلائه وميله إلى الكسل والنوم، وأضافه إلى الشيطان لأنه هو الذي يدعو إلى إعطاء النفس شهواتها

Artinya, “Ketika hal tersebut (menguap) dijadikan bagian dari setan, maka itu adalah bentuk bencinya Rasul terhadap hal itu.  Karena menguap selalu bersamaan dengan beratnya badan dan penuhnya badan (penuhnya perut karena makanan) serta menjadikan tubuh malas dan tidur. Dan Rasul menyandarkan hal itu kepada setan karena dapat menjadikan tubuh bersyahwat (untuk tidur dan malas).” (Lihat: Badruddin al-Aini, Umdatul Qari, (Beirut: Dar Ihya at-Turats, T.t), j. 15, h. 178.)

Al-Aini juga menyebutkan hal senada dengan Imam an-Nawawi bahwa murad (maksud dan tujuan) hadits tersebut adalah untuk memperhatikan cara makan dan tidak terlalu banyak makan.

Lalu, apakah kita tidak boleh menguap?

Jelas boleh, jika kita tidak melaksanakan hal-hal yang penting, seperti ibadah dan belajar. Karena menguap adalah salah satu tanda kita bahwa perlu istirahat dan tidur. 

Konteks menguap dalam hadits di atas adalah ketika sedang shalat. Beberapa mukharrij memasukkan hadits tersebut dalam dua bab: pertama, bab tentang sifat iblis dan bala tentaranya; kedua, bab tentang larangan menguap ketika shalat. Hal ini bisa dicek dalam kitab Sahih Bukhari, Muslim, Ibn Hibban, Bulughul Maram, dan beberapa kitab lain. 

Wajar saja jika Rasul benci dengan orang yang menguap, karena hal itu dilakukan pada saat shalat dan ibadah-ibadah yang lain.

Oleh karena itu, membaca hadits tidak boleh serta merta hanya dengan membaca terjemahannya, karena hal itu menjadikan pesan-pesan yang ada di dalam hadits tidak bisa tersampaikan dengan penuh dan sebagaimana mestinya. Wallahu a’lam.

(Muhammad Alvin Nur Choironi)

Kumpulan Khutbah Jumat Bulan Safar

تَفَكَّرُوا في خلق الله ولا تتفكروا في ذات الله makna yang tepat dari hadits tersebut adalah
Dalam empat ayat surat al-Ghasyiyah ini, Allah mengajak kita berpikir sejak dari yang paling tidak terpisah dari keseharian masyarakat Arab waktu itu, Unta.

BincangSyariah.Com – Mungkin banyak di antara kita yang ingin melihat Allah secara langsung di dunia ini, padahal wujud dan sifatnya saja sampai sekarang masih belum dapat dijelaskan oleh para filsuf dan pemikir Islam, sebab pengetahuan kita tidak akan mungkin sampai pada bagaimana dzatiyyah Allah swt sebagaimana yang diterangkan dalam QS. Al-An’am: 103:

لَّا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui

Oleh karenanya, menurut ulama tidak perlu memikirkan terlalu mendalam dzatiyyah Allah, sebaliknya pikirkan dan renungi saja kekuasaan Allah dalam penciptaan makhluk-makhluknya. Kata mereka:

تفكروا في خلق الله ولا تتفكروا في ذات الله

Memikirkan dan merenungi (tadabbur) ciptaan Allah merupakan aktualisasi dari pemanfaatan akal pikiran yang Allah perintahkan dalam banyak ayat. Misalnya kutipan ayat yang berbunyi, afala tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir?), afala ta’qilun (apakah kamu tidak berakal?), afala yatadabbarun (apakah mereka tidak berdabbur?), afala tubsirun (apakah kamu tidak melihat?) dan afala tazakkarun (apakah kamu tidak mengambil pelajaran?)

Usaha ini penting dan perlu dilakukan demi menguatkan iman kepada Allah swt. Banyak di luar sana para ilmuan yang tertarik memeluk Islam setelah mendapati kesesuaian isyarat ilmiah ajaran Islam dengan temuan sains, bahkan konon Nabi Ibrahim mantap keimanannya pada Allah setelah melewati perenungan lama atas fenomena kosmologi sehari-hari berupa terbit dan terbenamnya matahari, bulan dan bintang. Ini diceritakan dalam QS. Al-An’am: 75: 79.

Dalam khazanah Islam, fenomena alam semesta disebut sebagai ayatullah al-kauniyyah yang berarti tanda-tanda (kekuasaan) Allah dalam bentuk fenomena alam. Sebagaimana ayat al-Qur’an yang menjadi guidance of life, perlu dibaca dan dipahami, ayat-ayat Allah di alam juga perlu diperhatikan dan direnungi. Orang-orang yang mampu mengambil pelajaran dari ayat kauniyyah ini oleh QS. Ali Imran: 190-191 dijuluki dengan Ulul Albab.

Di antara ayat al-Qur’an yang mengajak untuk ‘membaca’, mentadabburi dan merenungi fenomena alam adalah QS. Al-Ghasyiyah: 17-20. Empat ayat ini membicarakan fenomena unta, langit, gunung dan dataran bumi. Melalui pembacaan atas tafsir para ulama terhadap ayat-ayat ini akan diketahui keajaiban-keajaiban ciptaan Allah tersebut. Berikut bunyi ayat dan terjemahannya:

أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ

وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ

وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ

وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ

( 17 )   Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan?

( 18 )   Dan kepada langit, bagaimana ia ditinggikan?

( 19 )   Dan kepada gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?

( 20 )   Dan kepada bumi bagaimana ia dihamparkan?

Muhammad Abduh berpendapat bahwa dipilihnya unta, langit, gunung dan dataran bumi sebagai bahan perenungan sebab hal-hal inilah yang sering dilihat dan mudah ditemui oleh masyarakat Arab ketika itu. Selain itu menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, terdapat munasabah (benang merah) yang menghubungkan keempat hal tersebut. Kafilah yang bepergian melewati padang pasir dengan unta, ketika di malam hari menjadikan bintang di langit sebagai petunjuk arah. Di siang hari sebelum terik panas matahari menyengat, mereka berteduh dan beristirahat di kaki-kaki gunung. Mereka dapat mudah melakukan perjalanan ke berbagai daerah itu tentunya karena bumi yang bundar ini telah dihamparkan oleh Allah swt.

Merenungi Unta

Dalam Al-Ghasyiyah: 17, Allah berfirman,

أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan?

Pada ayat ini dan tiga ayat berikutnya, Allah mengajak kita untuk mengamati alam ciptaan-Nya yang menakjubkan. Ajakan tersebut diikuti kata “ila” yang secara struktural tidak harus ditambahkan ke dalam redaksi ayat. Kata “ila” yang biasa diartikan “kepada” pada masing-masing ayat, menurut M. Quraish Shihab menunjukkan arti lebih dari sekadar melihat sesuatu, yakni merenung secara mendalam apa rahasia yang ada di baliknya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang diutarakan Ibn ‘Asyur dalam tafsirnya.

Terkait unta, hewan ini telah sejak lama diakui sebagai peliharaan yang paling banyak memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-hari manusia, khususnya bagi bangsa arab dahulu. Ia dapat digunakan sebagai tunggangan yang efektif untuk melintasi gurun sahara yang luas lagi panas, sekaligus sebagai sumber makanan yang dagingnya halal dimakan, susunya dapat diminum dan bulunya dapat dijadikan bahan pakaian.

Ada banyak keistimewaan unta yang tidak dimiliki binatang-binatang lain. Muhammad Abduh menyebutkan di antaranya adalah bahwa unta meski memiliki tubuh dan kekuatan yang besar, ia sangat patuh kepada tuannya sekalipun seorang yang lemah atau anak kecil. Unta juga dikenal berwatak sabar menghadapi beratnya perjalanan, haus dan lapar.

Langit sebagai Atap Bumi

وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ

Dan kepada langit, bagaimana ia ditinggikan?

Ayat ini mengajak kita merenungi bagaimana langit yang terlihat seakan-akan ditinggikan tanpa tiang ini terdiri dari banyak benda langit. Bintang-bintang dan benda langit lainnya dengan kuasa Allah tidak jatuh menimpa bumi sebagaimana benda-benda di bumi yang jatuh ke bawah tertarik gravitasi bumi. Mereka sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Anbiya: 33, berputar mengitari orbitnya sendiri sehingga tidak saling bertabrakan termasuk dengan bumi kita ini.

Bintang-bintang di langit bagi kafilah yang sedang melakukan perjalanan melewati padang pasir berperan penting sebagai petunjuk arah di malam hari. Pada masa sebelum ditemukannya kompas, mereka memanfaatkan rasi bintang di langit supaya dapat tetap melanjutkan perjalanan saat gelapnya malam.

Gunung sebagai Pasak Bumi

وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ

Dan kepada gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?

Gunung ditegakkan Allah dengan kokohnya. Menurut para pakar, ada manfaat lain yang lebih substansial dari gunung selain sekadar digunakan sebagai tempat berteduh para musafir di kaki-kaki gunung di tengah terik panas dan terpaan angin gurun pasir tengah hari.

Syekh Thanthawi dalam tafsir Al-Wasith meyatakan bahwa gunung yang berdiri tegak di atas tanah sesungguhnya akarnya menancap erat di perut bumi bagaikan sebuah pasak yang itu gunanya menjaga bumi dari gempa akibat guncangan kerak bumi itu sendiri.

Bumi yang Datar

وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ

Dan kepada bumi bagaimana ia dihamparkan?

Beberapa tahun belakangan dunia sempat dihebohkan oleh kelompok yang mempropagandakan bahwa bumi itu berbentuk datar (flat earth). Di antara argumentasi teologis mereka adalah ayat di atas. Ayat tersebut dan beberapa ayat lain ‘ditarik’ paksa pemahamannya untuk melegitimasi temuan ‘ilmiah’ mereka. Hal itu tentu tidak dapat dibenarkan, sebab ilmu pengetahuan bersifat relatif, sehingga bila terbukti salah atau tidak disepakati kebenarannya oleh mayoritas, maka ayat al-Qur’an tersebut ‘terancam’ untuk ikut disalahkan.

Pendapat seperti itu, mengutip Imam ar-Razi (w. 656 H), penulis tafsir Mafatihul Ghaib juga menceritakan di zamannya ada yang meyakini itu. Mereka mau menjelaskan bahwa sesuatu yang bulat apabila volumenya sangat besar, maka akan terlihat seperti datar. Demikian pula dengan bumi yang  begitu besar bagi ukuran manusia, terlihat rata dan datar dalam perspektif mereka. Dengan begitu, manusia dapat mudah berjalan di atasnya, bahkan sampai ke seluruh penjuru dunia. Justru inilah yang menjadi bukti kekuasaan Allah, sesuatu yang bulat terasa datar dan rata.

Wallahu a’lam