Siapa orang yang disebut pahlawan

Ilustrasi peringatan Hari Pahlawan.

Jakarta - Setiap orang bisa menjadi pahlawan di era sekarang. Kuncinya adalah memiliki semangat dan perjuangan yang luar biasa dalam mengabdikan diri melalui profesi masing-masing secara bertanggung jawab untuk kebaikan bangsa dan negara.
Nilai-nilai kepahlawanan harus terinternalisasi di dalam setiap warga negara sehingga dapat terwujud dalam tindakan sehari-hari. Nilai-nilai tersebut sangat bermanfaat dalam menangkal musuh di era digital, yakni anasir pemecah belah bangsa yang bergirilya menggunakan senjata kabar bohong (hoax).

Demikian benang merah wawancara BeritaSatu.com dengan Ketua DPR Bambang Soesatyo, Gubernur Jatim terpilih Khofifah Indar Parawansa, Bupati Sleman Sri Purnomo, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, Ketua DPP PDI-P Andreas Hugo Pareira, dan Waketum DPP Partai Gerindra Arief Poyuono,terkait nilai kepahlawanan masa kini.

Menurut Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo, sekarang kepahlawanan bukan lagi mati di medan tempur. Pahlawan nasional yang gugur di medan pertempuran rela melakukan semuanya itu demi sebuah cita-cita luhur bangsa dan negara. Untuk saat ini, mereka yang memiliki tekad dan mampu membuktikan hal yang sama, walau tidak bertempur di peperangan, adalah juga pahlawan.

Di era kemerdekaan dan pembangunan, pahlawan adalah mereka yang habis-habisan bekerja dalam memperjuangkan pluralisme, keadilan, dan membela kebenaran. Demikian juga orang-orang yang mampu membuka lapangan pekerjaan, bekerja dalam upaya mengurangi penduduk miskin dan memberantas kebodohan.

“Mereka yang mengangkat harkat bangsa Indonesia lewat berbagai prestasi yang mengharapkan nama Indonesia di pentas dunia adalah juga pahlawan. Nilai-nilai kepahlawanan ini, mari kita wujudkan dalam kehidupan kita saat ini," kata Bamsoet.

Senada dengan Bamsoet, Khofifah mengatakan, pahlawan-pahlawan saat ini tidak berteriak-teriak menyebut dirinya sebagai pahlawan. Mereka itu adalah guru-guru kita, orangtua kita, yang membesarkan kita.

Tokoh pahlawan sejati yang menjadi idola dan sekaligus menginspirasi Khofifah adalah ibu. Sosok ibu merupakan tokoh pahlawan yang tidak pernah lelah berjuang untuk anak-anaknya. Sosok ibunya berjuang memberikan yang terbaik kepada (anak-anak)-nya, termasuk mengantarkannya menjadi cerdas dan pintar. “Ibu sosok yang mampu mengantarkan (saya) melewati gelombang kehidupan,” kata mantan Menteri Sosial RI ini.

Pahlawan di zaman sekarang ini adalah pahlawan yang harus meneruskan perjuangan para pahlawan bangsa sebelumnya dengan mengisi kemerdekaan itu sendiri dengan memperkokoh persatuan dan kesatuan. Ke depan, pahlawan-pahlawan yang ada di sekitar kita itu selalu berpikir positif dan konstruktif, yang membangun dan merekatkan persatuan bangsa untuk semata-mata memajukan (rakyat) Indonesia ke depan.

Menurut Khofifah, Indonesia masih kekurangan perempuan pahlawan nasional. Ketika ia menjabat Mensos, dari total 169 pahlawan nasional yang diakui hanya 13 orang di antaranya perempuan. Tanpa maksud membeda-bedakan terkait gender, ia mengaku bangga bisa ikut berkontribusi mendukung usulan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) mengusulkan Laksamana Malahayati sebagai pahlawan perempuan asal dari Aceh, di tahun 2017 sebagai pahlawan nasional.

Untuk mendapat gelar pahlawan nasional dari Presiden, nama diusulkan oleh kelompok masyarakat kemudian dikaji Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pahlawan (TP2GP) yang melibatkan unsur TNI, Polri, Perpustakaan Nasional, Kementerian Sekretariat Negara dan sejarawan, bersama Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan RI yang diketuai Menteri Pertahanan.

Menurut Khofifah, untuk bisa menjadi pahlawan di masa kini, bukan hal yang sulit. Selama mereka sudah berkorban, baik tenaga, pikiran, waktu, maupun materi untuk kepentingan orang banyak, maka dialah pahlawan yang sesungguhnya.

Internalisasi
Fahri Hamzah menyatakan, sangat penting untuk menginternalisasi nilai-nilai kepahlawanan dari para pahlawan nasional yang gugur saat era perang kemerdekaan, khususnya soal kesukarelawanan dan kemampuan memikul beban orang lain.

Bagi Fahri, tetap penting mendalami atau mengendapkan dalam perasaan dan pikiran tentang nilai-nilai kepahlawanan yang ada dalam pahlawan nasional, seperti keberanian, kesukarelawanan, dedikasi, pengabdian, kekuatan hati, kemantapan, dan idealisme yang berjuang tanpa pamrih untuk kemerdekaan.

"Jadi internalisasi nilai-nilai itu, yang diendapkan dalam diri satu bangsa, lebih penting diutamakan lebih dulu. Dari situ kita akan temukan, salah satu watak esensial kepahlawanan adalah kesukarelawanan dan kemampuan memikul beban orang,” ujar Fahri.

Dengan internalisasi itu, lanjut Fahri, diyakininya bahwa semua warga masyarakat akan mampu menghadapi secara bersama apapun masalah yang dihadapi. Jika nilai-nilai itu belum diinternalisasikan, Fahri khawatir definisi kepahlawanan baru yang coba ditawarkan di masa kini, akan menjadi bias karena adanya kepentingan.

Fahri menyontohkan, sebenarnya adalah tugas negara untuk memperjuangkan pluralisme, keadilan, dan menyediakan lapangan pekerjaan. Namun kegagalan negara dalam mewujudkannya, misalnya, tertutupi oleh pengondisian bahwa masyarakat yang harus mewujudkannya agar bisa menjadi pahlawan di masa kini.

“Ini penting sehingga masyarakat tak menjadi korban dari ketidakmampuan aparat negara dalam mengatasi masalah yang ada. Makanya, jauh lebih baik kembali ke nilai dasar supaya kita tak meleset. Kalau itu kita punya, saya yakin beban bisa kita tanggung," beber Fahri.

Sedangkan, Sri Purnomo menyoroti musuh bersama saat ini yakni hoax yang sengaja dihembuskan untuk memecah belah persatuan bangsa. “Penangkal berita hoax tetap berada pada masyarakat. Hoax harus kita tangkal. Jangan kita larut,'' ujarnya, Jumat (9/11).

Caranya adalah dengan mengabaikan hoax serta melaporkan. Menjaga kedaulatan dan pertahanan negara adalah tanggung jawab semua elemen masyarakat dan bangsa Indonesia. Semua harus saling bersinergi untuk menciptakan rasa aman dan nyaman.

Perkembangan teknologi pasti selalu berimplikasi pada hadirnya sosial media dengan muatan informasi yang mudah diakses semua kalangan, sehingga tidak sedikit yang memanfaatkannya untuk mengubah moral serta kepribadian masyarakat.
“Hoax harus dianggap ancaman. Semacam agresi sosial,” tegasnya.

Andreas Hugo Pareira menilai semangat persatuan merupakan semangat kepahlawanan yang mengedepankan kepentingan nasional namun cenderung meluntur di sebagian kalangan elite nasional saat ini. Hoax dan ujaran kebencian membuat semangat persatuan dan kesatuan, yang dulu diperjuangkan para pahlawan nasional, terus memudar.

Menurut Andreas, faktanya memang beberapa elite yang sangat berambisi meraih kekuasaan, justru menggunakan media sosial sebagai instrumen untuk mengadu domba dan memecah belah masyarakat. “Elite semacam itu memang rendah kualitas kenegarawanan dan melihat politik sebagai cara meraih kekuasaan dengan berbagai macam cara termasuk media sosial,” kata Andreas.

Ketika semangat kepahlawanan masa kini terwujud melalui kerja keras di segala bidang, Indonesia justru masih disibukkan dengan persoalan-persoalan dalam negeri akibat ulah elite-elite yang ambisius. “Kita kehilangan momentum untuk melakukan konsolidasi secara nasional demi mempercepat pembangunan bangsa, meningkatkan daya saing di lingkungan melalui kerja-kerja yang produktif,” kata Andreas.

Sedangkan menurut Arief Poyuono jika elite politik dan pemerintah berkomitmen dengan janjinya menjalankan pemerintahan maka dengan sendirinya tidak akan ada hoax. Arief masih percaya bahwa masyarakat tidak akan mempan dipengaruhi hoax. Masyarakat sudah jauh lebih cerdas.

Arief mencontohkan, Presiden Jokowi mengatakan bahwa ada politik identitas dan politik penyebaran kebencian yang dimainkan misalnya dalam Pilkada DKI namun hingga hari ini Arif mengaku tidak melihat perpecahan di masyarakat Jakarta.
Begitu juga tentang isu-isu kalau Joko Widodo itu anak PKI. Ia mengaku sangat tidak suka dan tidak setuju isu itu dibesar besarkan dan memang nyatanya isu-isu PKI sudah tidak laku di masyarakat.

Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini

Sumber: BeritaSatu.com


Persoalan gelar pahlawan akhir-akhir ini menjadi isu yang marak dan menarik. Banyak gagasan yang muncul terkait dengan gelar pahlawan ini. Demikian pula sebagian kelompok mengusulkan kepada salah seorang tokoh nasional untuk diberi gelar “pahlawan”, sementara kelompok lain menolaknya, karena dianggap belum memenuhi kriteria sebagai sosok pahlawan. Di negeri kita ini sudah banyak pahlwan yang berjuang untuk menegakkan kemerdekaan bangsa dan negara. Mereka memiliki jasa besar terhadap generasi penerus bangsa. Tanpa perjuangan mereka, maka negeri ini tidak ada. Jasa besar inilah yang mesti dihargai dan dihormati, termasuk para sahabat dan keluarga mereka.


Siapa Sesungguhnya Pahlawan Itu?


Kata pahlawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai orang yang berjuang dengan gagah berani dalam membela kebenaran. Secara etimologis ada juga yang memaknai pahlawan berasal dari akar kata pahala, dan berakhiran wan, pahalawan. Artinya, mereka pantas memperoleh pahala karena jasa-jasanya bagi perjuangan menegakkan kebenaran.


Jika kita merujuk kata pahlawan dalam KBBI, maka menjadi pahlawan adalah hal yang memungkinkan bagi seseorang, bahkan siapa pun yang berjuang dalam membela kebenaran bisa menempati posisi sebagai seorang pahlawan. Pahlawan adalah gelar untuk orang yang dianggap berjasa terhadap orang banyak dan berjuang dalam mempertahankan kebenaran. Dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan, seseorang dijuluki pahlawan karena jasa-jasanya dalam memperjuangkan negara dan bangsa ini untuk menmperoleh kemerdekaannya. Seorang pahlawan berjuang karena mencintai negeri dan tanah tumpah darahnya (Hubb al-wathan min al-iman).


Dalam perspektif Islam, pahlawan dapat dimaknai sebagai orang Islam yang berjuang menegakkan kebenaran (al-haq) demi memperoleh ridha Allah semata. Kredo dan doktrinnya adalah: limardhatillah wa li i’lai kalimatillah hiya l-‘ulya. Kata kuncinya adalah kebenaran (al-haq) dan ridha Allah swt. Di sini maknanya, kebenaran adalah segala sesuatu (baik yang berupa perintah maupun larangan) yang datang dari Allah Swt melalui ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Saw. (Wama atakum al-Rasulu fakhuzuhu wama nahakum ‘anhu fantahu). Dengan demikian, pahlawan dalam perspektif Islam harus memiliki koridor dan konteks ini (memperjuangkan kebenaran dan untuk menjunjung nilai luhur Islam sebagai agama yang benar). Dalam konteks makro, pahlawan Islam adalah orang Islam yang berjuang membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan Negara dari penindasan dan penjajahan.


Dalam perspektif Islam, yang disebut pahlawan pasti memiliki kontribusi atau jasa besar bagi orang lain, karena semua ajaran dalam Islam memiliki implikasi positif bagi orang lain, bahkan untuk semesta alam ini (semua makhluk hidup), sebagaimana sabda Nabi: Khair al-Nas anfa’uhum li al-nas dan firman Allah: Wama arsalnaka illa rahmatan li al-‘alamin. Mengenai berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan ini banyak disebut dalam al-Quran, di antaranya adalah:


“Perangilah mereka sehingga tidak ada lagi penindasan, dan yang ada hanya keadilan dan keimanan kepada Allah (QS, 2:193) seluruhnya dan dimana saja (QS, 8:39). Dan kenapa kamu tidak berperang di jalan Allah. dan untuk mereka yang lemah, laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berkata “Tuhan, keluarkanlah kami dari kota ini yang penduduknya zalim; dan berilah kami dari pihak-Mu orang yang dapat menjadi pelindung, dan berilah kami dari pihak-Mu penolong.” (QS, 4:75).


Sesungguhnya para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, yang kita ketahui maupun yang tidak, mereka hidup di hati kita. Jadi sebetulnya pahlawan itu tidak pernah mati, karena jasa-jasanya selalu dikenang oleh orang banyak. Kebaikannya selalu tertabur dalam jiwa umat, sehingga tak pernah sirna untuk dikenang dan didoakan arwahnya setiap saat. Meskipun secara lahiriyah sudah mati, namun secara hakiki belum, ia mati tetapi hidup. "Dan janganlah kalian sekali-kali mengatakan bahwa orang-orang yang berjuang (terbunuh) di jalan Allah itu mati melainkan mereka hidup tetapi kita tidak merasakan". QS al-Baqarah: 154. Pahlawan dalam Islam adalah orang yang berani memperjuangkan Islam sampai ia menang atau mati. Oang-orang yang berjuang itu pun tidak memperdulikan apakah ia bakal mendapat penghargaan atau tidak dari institusi manapun, yang mereka harapkan adalah keridhaan dari Allah Swt.


Dalam Islam kategori berjuang (jihad) itu ada beberapa macam, di antaranya adalah jihad memerangi hawa nafsu (jihad al-nafs), termasuk jihad memerangi syetan, jihad memerangi orang kafir (jihad al-kuffar), jihad memerangi orang munafik (jihad al-nifaq). Dan menurut Rasulullah, justru jihad yang paling besar adalah jihad memerangi hawa nafsu. Hal ini pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw saat usai perang Badar. Beliau berkata kepada para sahabatnya: “Kita masih akan menghadapi perang yang lebih dahsyat lagi.” Kata sebagian sahabat: “Perang apalagi ya Rasul? Bukankah ini perang yang dahsyat”? Jawab Nabi: “Perang melawan hawa nafsu”.


Pahlawan yang tanpa tanda jasa pun juga banyak, misalnya para guru dan para generasi tua yang berjasa kepada generasi penerusnya. Ada sebuah cerita menarik terkait dengan kisah kepahlawanan ini. Alkisah, seorang raja Persia yang bernama Kisrâ Anû Syirwân melakukan turba ke rumah-rumah para penduduk. Ketika ia tiba di satu rumah, di sana ia menemukan seorang kakek yang menanam pohon di halaman rumahnya. Sang raja tertawa dan bertanya, "Wahai kakek, kenapa engkau menanam sebuah pohon yang akan berbuah 10-20 tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun ke depan, sedangkan engkau mungkin tahun depan sudah mati dan tentu engkau tidak dapat menikmati buah-buahan yang telah engkau tanam itu". Dengan senyum dan penuh optimisme sang kakek menjawab, "Wahai raja, laqad gharas-a man qabla-nâ fa akal-nâ wa naghris-u nahn-u li-ya’kul-a man ba‘da-nâ, orang-orang sebelum kita telah menanam pohon dan buah dari pohon tersebut kita nikmati sekarang, maka kita menanam kembali pohon yang buah-buahnya akan dinikmati oleh orang-orang setelah kita" (Didaat: 2008).


Banyak pahlawan yang tercatat dalam sejarah Islam baik pada zaman Nabi maupun pada masa-masa sesudahnya yang tak terhingga jumlahnya. Ada juga pahlawan besar Islam yang coba mengobarkan semangat jihad Nabi dengan menggaungkan Sirah Nabawiyah-nya, misalnya saja Shalahuddin Al-Ayyubi. Shalahuddin Al-Ayyubi telah terukir namanya dalam sejarah perjuangan umat Islam karena ia mampu menumpas tentara multinasional Salib dari seluruh benua Eropa. Guna membangkitkan kembali ruh jihad di kalangan umat Islam yang saat itu telah terlena dengan perjuangan yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad Saw., maka Shalahuddin inilah yang mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad Saw. (maulid al-Rasul). Melalui media peringatan itu diungkaplah sikap kesatria dan kepahlawanan Nabi Muhammad Saw.. Hingga kini peringatan itu menjadi tradisi di kalangan masyarakat Islam, tak terkecuali di Indonesia. Rasa tanggung jawab terhadap agama (Islam) telah ia baktikan di kalangan umat Islam menghadapi serbuan tentara ke tanah suci Palestina selama dua puluh tahun, dan akhirnya dengan kegigihan dan kemampuannya ia dan pasukannya dapat memukul mundur bala tentara yang dipimpin oleh Richard The Lionheart (Richard Si Hati Singa) dari Inggris. Inilah salah satu contoh pahlawan besar Islam yang bisa disebut di sini, dari sekian pahlawan-pahlawan Islam yang lain. Di setiap penghujung abad selalu muncul pahlawan-pahlawan yang tegak memperjuangkan kebenaran di muka bumi ini.


Hanya yang perlu dipahami, bahwa perjuangan yang ditegakkan atas nama Islam tidak dimonopoli oleh sekelompok Islam itu sendiri. Karena ada sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam ketika memperjuangkan Islam justru malah merugikan orang lain dan memerangi orang-orang yang tidak bersalah, maka yang demikian itu tidak dibenarkan adanya. Perjuangan Islam mesti tidak akan merugikan siapa pun. Ketika Nabi Muhammad Saw. berjuang menegakkan Islam, yang ditegakkan Nabi adalah menegakkan nilai-nilai kemanusiaan universal: keadilan, kesamaan, toleransi dan hak-hak orang lain tetap diperhitungkan. Sikap Nabi yang toleran dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang memang lahir dari ajaran Islam inilah yang kemudian memposisikan Islam sebagai agama rahmat. Nabi sendiri menegaskan: Ahabb al-adyan ila Allah al-hanifiyyat al-samhah. ***