Seseorang yang shalat namun lupa belum niat maka shalatnya

AKURAT.CO, Shalat adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh siapa saja yang sudah berikrar pada agama Islam. Shalat menjadi rutinitas yang harus dijalankan lima kali dalam sehari oleh orang Muslim. Tidak melakukannya, maka dianggap berdosa. Untuk dapat menyempurnakan shalat seorang Muslim harus mengetahui rukun-rukun shalat.

Salah satu rukun shalat adalah niat. Persoalan niat, banyak orang Islam tidak tahu bagaimana sebenarnya esensi niat. Kebanyakan mereka sekadar mengucapkan niat ushalli fardha dzuhri 'arba'a raka'âtin mustaqbilal qiblati adâ'an ma'muman lillahi ta'âlâ tanpa tahu bagaimana esensi niat.

Imam Nawawi dalam kitab Safinah An-Najah menyebutkan bahwa niat itu tempatnya di hati. Wa makânuhu al-Qalbu; tempatnya niat di dalam hati. Bukan di mulut. Kebanyakan orang memahami demikian, bahwa niat shalat itu sekadar diucapkan. Esensi niat dalam shalat menurut Mazhab Syafi'i adalah di dalam hati.

Hati seorang Muslim ketika sudah shalat, tepatnya saat memulai takbiratul ihram, harus fokus bahwa dirinya hendak melakukan shalat, karena Allah Swt. Jadi, sebetulnya, tanpa diucapkan pun niatnya sudah sah. Tanpa perlu dilafalkan dalam ucapan.

Lalu mengapa kebanyakan orang masih memahami niat hanya dalam mulut saja? Memang karena para ulama kita menjelaskan demikian, tapi sebenarnya mereka juga menegaskan bahwa yang esensi itu dalam hati. Mulut mengucapkan sekadar untuk menuntun hati agar ikut khusyu.

Di dalam kitab Fath al-Qarîb disebutkan bahwa ketika seorang yang masih awam dalam ilmu agama, nilai shalat yang dihitung paling utama adalah niat. Jika niatnya benar, khusus, maka seluruh amalan shalatnya diterima. Jika tidak, maka shalatnya dipertimbangkan.

Oleh sebab itu, hendaknya di dalam shalat seseorang harus fokus terlebih dahulu dalam niat. Perbaiki niatnya. Usahakan ketika akan shalat bisa fokus memang untuk shalat, lupakan hal-hal lain di luar shalat. Sehingga, shalatnya menjadi bernilai ibadah dan diterima Allah.

Sebaliknya, jangan karena niat kita hanya di mulut, dan hati ke mana-mana, sehingga akan memutus kesahan ibadah shalat kita. Sayang-sayang, karena kita sudah capek melakukan rukun dan syaratnya, tetapi karena niat hanya di mulut, sementara hati tidak fokus untuk niat shalat, sehingga shalat kita tidak dihitung ibadah. Na'uzubillah. []

6. Syajar ad-Durr dibunuh oleh suaminya sendiri karena a. cemburu b. perebutan harta warisan C. ambisi kekuasaan d. salah paham 7. Bangsa Mamluk Bahri … berasal dari pulau a. Giftun b. Raudhah C Mahmya d. Zamalek 8. Arti dari Mamluk Bahri adalah budak raja b. budak lautan budak daratan d. budak terbuang 9. Izzudin Aybak memerintah Daulah Mamluk selama tahun. a. empat lima b. C. enam d. tujuh 10. Kekuasaan Mamluk Bahri berlangsung pada tahun a. 1250-1389 M b. 1345-1400 M C 1278-1312 M d. 1356-1441 M 11. Mengangkat hakim yang mewakili empat mazhab merupakan kemajuan Mamluk Bahri dalam bidang a pendidikan b. pemerintahan C. militer d. keislaman dan diplomatik​

ه أنظر إلى الجمل الآتية . 1 ثم أذهب إلى المدرسة 2 استجم في الحمام 3 ازتدي الملابس و أنتيقظ من النوم 5 اتناول الفطورbantu kak​

. يذاكر حسن دروسه في غرفة المذاكرة في الساعة الثامنة ليلا Hasan menulis pelajarannya di ruang belajar. pada jam 20.00 (jam delapan malam) Hasan mengha … fal pelajarannya di ruang . belajar pada jam 19.00 (jam tujuh malam) Hasan membaca pelajarannya di ruang belajar で pada jam 19.00 (jam tujuh malam) Hasan menghafal pelajarannya di ruang .. belajar pada jam 20.00 (jam delapan malam)bantu ya kak​

lafaz .... artinyaa. negerib. bertempatc. anakd. harta(lafazmya ada digambar)​

jelaskan syarat cara mengerjakan shalat dhuha​

1. apa yg kamu pelajari hari ini? 2. manfaat apa saja yang dapat kamu ambil melalui pembelajaran hari ini? 3. keterampilan apa saja dapat kamu kuasai … melalui pembelajaran hari ini? 4. apa yang kamu lalukan setelah melalui pembelajaran hari ini?​

Al-qur’an adalah kitab yang menjadi mukjizat yang diturunkan kepada nabi muhammad saw. tertulis dalam mushaf, disampaikan secara mutawatir dan yang me … mbacanya merupakan ibadah. pendapat ini dikemukakan oleh

Ada tiga cara berdakwah dalam mencegah/memberantas kemunkaran yang dijelaskan dalam hadits rasulullah saw yaitu dengan tangan (kekuasaan), dengan lisa … n (perkataan) dan dengan hati (do’a). berikut ini adalah contoh berdakwah dengan lisan yaitu….

Adapun substansi dakwah nabi muhamad di makkah adalah ....

Allah swt berdiri sendiri untuk selama-lamanya. allah swt. memberikan pelajaran kepada manusia supaya hidup tidak selalu bergantung kepada orang lain. … hidup harus punya semangat mandiri dalam segala situasi dan kondisi.al-asma’ul husna yang sesuai dengan deskripsi tersebut adalah ....

Niat adalah salah satu syarat sah shalat. Difinisi niat adalah sengaja melakukan shalat yang akan ia kerjakan dan menentukannya dengan hati, tidak disyari’atkan melafazhkannya.

Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai panutan kita tidak melafadzkannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung mengucapkan “Allahu Akbar” dan tidak membaca sesuatu apapun sebelumnya.

Kemudian bila dikembalikan kepada pengertian niat secara bahasa, maka niat adalah bermakna kehendak yang ada dihati. Jadi niat itu letaknya dalam hati dan tidak diucapkan. Inilah yang difatwakan oleh para ulama.

Ibnu Abil Izzi rahimahullah menjelaskan bahwa niat tidak pernah diucapkan oleh imam yang empat, hanya sebagian ulama muta’khirin mengatakan itu wajib.

Hal ini pula yang mengakibatkan adanya ikhtilaf diantara sebagian ulama.

Wallahu'alam bis shawab
 

Penulis : Agung-Pribadi

Sumber : Kompas TV

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab a, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ` bersabda,“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (H.R. Bukhari, no.1 dan Muslim, no.1907)

Definisi Niat

Niat secara bahasa berarti al-qashd (keinginan). Sedangkan niat secara istilah syar’i, yang dimaksud adalah berazam (bertedak) mengerjakan suatu ibadah ikhlas karena Allah, letak niat dalam batin (hati).

Al-Fadhl bin Ziyad v berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdullah -yakni Ahmad- tentang niat dalam beramal. Aku bertanya, ‘Apakah niat itu?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang mengendalikan dirinya ketika hendak beramal agar tidak menginginkan pujian manusia.’” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam I/26).

Niat Letaknya Di Hati

Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat adalah di dalam hati. Ibnu Taimiyah v mengatakan,“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v menjelaskan, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

Perlukah Melafalkan Niat?

Melafalkan niat tidak ada asalnya (tidak memiliki landasan) dalam agama Islam. Akan tetapi, hanya merupakan salah paham beberapa orang dari perkataan Imam Syafi’i ketika beliau mengatakan bahwa seseorang tidak sah (untuk) melakukan shalat kecuali harus dengan ucapan. Maksud dari ucapan beliau adalah ucapan takbiratul ihram, tetapi mereka menafsirkan dengan tafsir yang salah, yaitu melafalkan niat. Sebagai bukti maksud perkataan Imam Syafi’i adalah takbiratul ihram dan bukan melafalkan niat adalah sebagai berikut,

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Imam Syafi’i sendiri langsung membahas masalah takbiratul ihram. Kemudian tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang melafalkan niat. Bahkan, tidak ada hadits yang lemah sekalipun tentang hal itu. Juga melafalkan niat tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah, para sahabatnya, para tabi’in, dan empat imam mazhab sekalipun. Orang-orang yang mengajarkan supaya melafalkan niat, ternyata berbeda-beda dalam lafalnya, padahal mereka semua mengaku bermadzhab Syafi’i. Ini menunjukkan bahwa imam mereka memang tidak pernah mengatakan hal ini dan mereka hanya membuat-buat tanpa dasar (hanya berdasarkan akal mereka).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v berkata, “Sebagian pengikut Imam Syafi’i telah salah memahami perkataan Imam Syafi’i ketika beliau menyebutkan perbedaan antara shalat dan ihram. Dalam penjelasannya itu Imam Syafi’I mengatakan, “…shalat permulaannya adalah ucapan.” Sebagian pengikutnya itu memahami bahwa yang beliau maksudkan adalah mengucapkan niat, padahal yang beliau maksudkan tidak lain adalah takbiratul ihram.” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/362).

Macam-Macam Niat

Niat ada dua macam: (1) niat pada siapakah ditujukan amalan tersebut (al-ma’mul lahu), (2) niat amalan. Niat jenis pertama adalah niat yang ditujukan untuk mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat. Inilah yang dimaksud dengan niat yang ikhlas. Sedangkan niat amalan itu ada dua fungsi:

Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan, tanpa ada niat mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula maksudnya adalah ibadah. Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dibedakan dengan niat.

Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah lainnya. Ada ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang termasuk rawatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar shalat sunnah saja (shalat sunnah mutlak). Semuanya ini dibedakan dengan niat.

Ikhlash Syarat Diterimanya Amal

Al-Fudhail bin ‘Iyadh v menafsirkan firman Allah ` yang artinya, “…untuk menguji siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (Q.S. al-Mulk [67]: 2)

Beliau berkata, “Yakni, yang paling ikhlas dan paling benar dan (sesuai tuntunan Allah). Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak akan diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Jadi harus ikhlas dan benar. Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Allah, dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah Rasulullah.” (Kitab Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam I/36).

Hadirkan Niat Ikhlash Saat Beramal

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v berkata, “Dan wajib atas seseorang mengikhlaskan niat kepada Allah dalam seluruh ibadahnya dan hendaklah meniatkan ibadahnya semata-mata untuk mengharap wajah Allah dan negeri akhirat. Inilah yang diperintahkan oleh Allah ldalam firman-Nya, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 5)

Yakni, mengikhlaskan niat setiap amalan hanya kepada-Nya. Hendaknya kita menghadirkan niat dalam semua ibadah, misalnya ketika wudhu; kita niatkan berwudhu karena Allah l dan untuk melaksanakan perintah Allah l. Tiga perkara berikut (yang harus dihadirkan dalam niat): (1). Berniat untuk beribadah, (2). Berniat beribadah tersebut karena Allah semata, dan (3). Berniat bahwa ia menunaikannya demi melaksanakan perintah Allah.” (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/10).

Pahala Amalan Bergantung Pada Niat

Rasulullah ` bersabda, “Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat.” Imam An-Nawawi berkata, “Jumhur ulama berkata, ‘Menurut ahli bahasa, ahli ushul dan yang lain lafadz إِنَّمَا digunakan untuk membatasi, yaitu menetapkan sesuatu yang disebutkan dan menafikan selainnya. Jadi, makna hadits di atas adalah bahwa amalan seseorang akan dihisab (diperhitungkan) berdasarkan niatnya dan suatu amalan tidak akan dihisab bila tidak disertai niat.” (Kitab Syarah Shahih Muslim XIII/47).

Abdullah bin al-Mubarak v berkata, “Bisa jadi amal shalih yang kecil dibesarkan nilainya oleh niat, dan bisa jadi amal shalih yang besar dikecilkan nilainya karena niat pula.” (Kitab Jami’ al-‘Ulum Wa al-Hikam 1/35).

Berniat Tapi Terhalang

Orang yang berniat melakukan amalan shalih namun terhalang melakukannya bisa dibagi menjadi dua: Pertama, amalan yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan atau rutinitas (rajin untuk dijaga). Lalu amalan ini ditinggalkan karena ada uzur, maka orang seperti ini dicatat mendapat pahala amalan tersebut secara sempurna. Sebagaimana Nabi ` bersabda, “Jika salah seorang sakit atau bersafar, maka ia dicatat mendapat pahala seperti ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar) atau ketika sehat.” (H.R. Bukhari,no.2996). Kedua,  jika amalan tersebut bukan menjadi kebiasaan, maka jika sudah berniat mengamalkannya namun terhalang, akan diperoleh pahala niatnya (saja).

Dalilnya adalah seperti hadits yang kita bahas kali ini. Begitu pula hadits  mengenai seseorang yang  diberikan harta lantas ia gunakan dalam hal kebaikan, di mana ada seorang miskin yang berkeinginan yang sama jika ia diberi harta. Orang miskin ini berkata bahwa jika ia diberi harta seperti si fulan, maka ia akan beramal baik semisal dia. Maka Nabi ` bersabda, “Ia sesuai niatannya dan akan sama dalam pahala niatnya.” (H.R. Tirmidzi no.2325. Syaikh  al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).  (Lihat pembahasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:36-37).

Musta’in Billah

Mahasiswa Ilmu Kimia FMIPA UII

Referensi

Jami’ Al ‘Ulum Wal Hikam, karya Al-Hafizh Ibnu Rajab (736-395 H.), Tahqiq Syaikh Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Ibnul Jauzi, Dammam – KSA.

Majmu’ Al-Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H.), dikumpulkan dan disusun oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim An-Najdi dibantu oleh anaknya, Muhammad.

Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah Al-Harrani. Penerbit Dar Al-Wafa’.

Syarah Riyadhus Shalihin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Al-Wathan, Riyadh – KSA.

Syarah Shahih Muslim, karya Imam An-Nawawi (607 H.), Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut – Lebanon.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA