Sebutkan ciri atau karakteristik yang terkandung dalam sila ke-3 dan ke-4 pancasila

1.Ketuhanan Yang Maha Esa

Mengandung pengakuan atas keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta

beserta isinya. Oleh karenanya sebagai manusia yang beriman yaitu meyakini

adanya Tuhan yang diwujudkan dalam ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa

yaitu dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

Mengandung rumusan sifat keseluruhan budi manusia Indonesia yang mengakui

kedudukan manusia yang sederajat dan sama, mempunyai hak dan kewajiban

yang sama sebagai warga negara yang dijamin oleh negara.

3. Persatuan Indonesia.

Merupakan perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang mengatasi paham perseorangan, golongan, suku bangsa, dan mendahulukan persatuan dan kesatuan

bangsa sehingga tidak terpecah-belah oleh sebab apa pun.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

Merupakan sendi utama demokrasi di Indonesia berdasar atas asas musyawarah dan asas kekeluargaan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Merupakan salah satu tujuan negara yang hendak mewujudkan tata masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

tirto.id - Butir-butir sila ke-5 Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" isinya memuat makna dan nilai-nilai luhur yang hendaknya bisa diterapkan oleh segenap masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

Pada hari terakhir sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945, Sukarno memperkenalkan 5 sila. Dalam pidato yang dilontarkan Bung Karno secara spontan itulah tercetus nama Pancasila yang nantinya memuat isi dan penjelasan butir-butir pengamalannya.

Advertising

Advertising

“Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal, dan abadi," imbuh tokoh nasional yang pada akhirnya menjadi presiden pertama Republik Indonesia ini.

Buku Pancasila dalam Pusaran Globalisasi (2017) suntingan Al Khanif menyebutkan, Pancasila harus dikemukakan isi dan artinya secara kontekstual sehingga nilai-nilainya bisa ditemukan dalam semua kebudayaan bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur Pancasila inilah yang akan digali sebagai jalan keluar untuk menghadapi segala tantangan.

Selain sebagai dasar negara, Pancasila juga menjadi pilar ideologis bagi segenap bangsa Indonesia. Berasal dari bahasa Sanskerta, Pancasila terdiri dari kata panca yang berarti "lima", dan sila yang bermakna "prinsip" atau "asas".

Dengan demikian, Pancasila bisa dimaknai sebagai rumusan dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Adapun isi 5 sila dalam Pancasila yaitu (1) Ketuhanan yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Baca juga:

Pengamalan Butir-Butir Sila ke-5 Pancasila

Yudi Latif dalam Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011) berpendapat bahwa sila “Keadilan Sosial" (Sila ke-5) merupakan perwujudan yang paling konkret dari prinsip-prinisp Pancasila.

Sila ke-5 adalah satu-satunya sila dalam Pancasila yang dilukiskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dengan menggunakan kata kerja “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok perikemanusiaan, simpul persatuan, dan matra kedaulatan rakyat. Dengan kata lain, keadilan sosial merupakan perwujudan sekaligus cerminan imperatif etis keempat sila dalam Pancasila lainnya.

Rumusan itu telah diuraikan Notonegoro melalui buku Pancasila Dasar Filsafat Negara (1974), bahwa Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia diliputi dan dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, serta Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Baca juga:

Isi Pengamalan Butir-Butir Sila ke-5 Pancasila

Sila ke-5 dalam Pancasila berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Wujud pengamalan Sila ke-5 Pancasila ini dirinci lagi menjadi 11 butir, antara lain:

  1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan.
  2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
  3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  4. Menghormati hak orang lain.
  5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
  6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
  7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
  8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
  9. Suka bekerja keras.
  10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
  11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Baca juga:

Baca juga artikel terkait PANCASILA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - isw/isw)

Penulis: Iswara N Raditya Editor: Addi M Idhom

NILAI-NILAI PANCASILA YANG TERKANDUNG DALAM UPACARA TRADISIONAL LABUHAN PANTAI NGLIYEP DI DESA KEDUNGSALAM KECAMATAN DONOMULYO KABUPATEN MALANG

Yulia Sukma Dewi Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Malang Jalan Semarang Nomor 5

Email:

Abstrak

Pada artikel ilmiah ini disajikan informasi mengenai sejarah upacara tradisional labuhan di Pantai Ngliyep, prosesi upacara tradisional labuhan di Pantai Ngliyep yang meliputi rangkaian kegiatan sebelum pelaksanaan upacara tradisional labuhan Pantai Ngliyep dan pelaksanaan upacara tradisional labuhan Pantai Ngliyep, serta nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam upacara tradisional labuhan di Pantai Ngliyep meliputi nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kata Kunci: Nilai, Pancasila, Upacara Tradisional Labuhan.

Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kemajemukan suku dan budaya, pulau di Indonesia terbentang luas dari Sabang hingga Merauke memperlihatkan betapa beragamnya suku, budaya, kepercayaan, agama dan bahasa daerahnya. Setiap keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia memiliki karakteristik dan ciri khas yang berbeda pada aspek sosial maupun budayanya. Kebudayaan dan masyarakat memiliki keterkaitan yang sangat erat, kebudayaan dijadikan sebagai hal yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia yaitu sebagai pemersatu dan sebagai jati diri sehingga masyarakat tersebut tidak dapat meninggalkan budaya yang sudah dimilikinya sejak jaman dahulu. Hanafie, Rita (2016:37-38) menjelaskan bahwa “kebudayaan adalah sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia sehingga dalam kehidupan sehari-sehari kebudayaan itu bersifat abstrak”. Menurut Edward B. Tylor sebagaimana dikutip oleh (Hanafie, Rita. 2016: 34) “kebudayaan adalah kompleks yang mengatur pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Pada dasarnya dapat diketahui bahwa kebudayaan erat kaitannya dengan Pancasila. Pancasila dijadikan sebagai pandangan hidup bagi bangsa dalam segala seluk-beluk aspek kehidupan, masyarakatnya sangatlah berpegang teguh terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila merupakan cerminan kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, setiap kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia selalu berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila memiliki banyak makna yang berarti bagi kebudayaan Indonesia salah satunya yaitu mengatur dan mewadahi kebudayaan di Indonesia.

Salah satu warisan dari kebudayaan yang ada dalam masyarakat adalah tradisi. Tradisi biasa dipahami sebagai hal-hal yang dilakukan secara turun-temurun oleh suatu kelompok masyarakat sebagai pengetahuan, doktrin, dan kebiasaan yang didalamnya mengandung pesan-pesan simbolik. Pantai Ngliyep Desa Kedungsalam Kecamatan Donomulyo Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur terdapat tradisi yang hingga saat ini masih dilaksanakan dan dipertahankan serta dilestarikan yaitu upacara tradisional labuhan yang biasanya disebut sebagai (Larung Sesaji) yang dilaksanakan setiap bulan Maulud. Menurut Sumarsih (1989:1) mengatakan bahwa “Upacara tradisional secara umum dapat diartikan sebagai tingkah laku resmi yang dilakukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan kepada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai kaitan di luar kemampuan manusia”. Definisi tentang labuhan juga diutarakan oleh Sumarsih (1989:35) bahwa “Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya sama dengan larung yaitu membuang sesuatu ke dalam air (sungai atau laut)”. Upacara tradisional labuhan tersebut menjadi keunggulan dan keunikan bagi kelompok masyarakat di Desa Kedungsalam. Keunikan yang ada pada upacara tradisional labuhan tersebut terletak pada ritual memasak, dimana juru masaknya adalah seorang laki-laki. Mengingat kegiatan upacara tradisional labuhan bersifat sakral dan sudah lama dikenal serta dilaksanakan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di daerah pantai Ngliyep maupun masyarakat daerah lain. Pada saat upacara tradisional labuhan dilaksanakan maka banyak pendatang dari daerah lain yang hadir untuk menyaksikan dari kalangan tua maupun muda. Mirisnya, para pendatang tersebut hanya hadir untuk sekedar melihat upacara tradisional labuhan tersebut sebagai hiburan belaka tanpa memandang adanya sisi kesakralan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Banyak dari pendatang tersebut tidak menyadari bahwa dalam upacara yang mereka nilai sebagai hiburan terdapat nilai-nilai Pancasila yang senantiasa selalu dilakukan diantaranya terdapat Nilai Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai Kerakyatan dan Nilai Keadilan. Tradisi tersebut dipertahankan secara turun-temurun dari setiap generasi ke generasi, namun dalam penerapannya belumlah tentu generasi yang ada  mengetahui nilai-nilai apa yang terkandung dalam tradisi tersebut. Berdasarkan pemikiran tersebut maka dari itu, penelitian dirasa perlu karena dapat memberikan informasi serta pengetahuan kepada generasi penerus bangsa bahwasannya nilai-nilai Pancasila juga terdapat dalam tradisi-tradisi yang ada di Indonesia misalnya pada Upacara Tradisional Labuhan Pantai Ngliyep.

Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti melakukan penelitian dengan judul “Nilai-Nilai Pancasila yang Terkandung Dalam Upacara Tradisional Labuhan Pantai Ngliyep di Desa Kedungsalam Kecamatan Donomulyo Kabupaten Malang”. Berdasarkan judul tersebut  peneliti akan mengungkap beberapa nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam upacara tradisional labuhan di Pantai Ngliyep.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai sejarah upacara tradisional labuhan di Pantai Ngliyep, prosesi upacara tradsional labuhan di Pantai Ngliyep, dan apa saja nilai-nilai pancasila yang terkandung dalam prosesi upacara tradisional labuhan di Pantai Ngliyep. Subjek penelitian ini adalah Kepala Desa Kedungsalam yaitu Bapak Misdi, panitia pelaksana upacara tradisional labuhan di Pantai Ngliyep yaitu Bapak Iwan Yuyanto, dan pelaku sejarah ( keturunan Eyang Atun) yaitu Bapak Kaseno. Lokasi penelitiannya berada di Desa Kedungsalam Kecamatan Donomulyo Kabupaten Malang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunkan adalah teknik analisis data Miles dan Huberman, yaitu pengumpulan data, reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini dijelaskan secara spesifik mengenai

(1) sejarah upacara tradisional labuhan di Pantai Ngliyep,

(2) prosesi upacara tradisional labuhan di Pantai Ngliyep,

(3) nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam prosesi upacara tradisional labuhan di Pantai Ngliyep.

Sejarah Upacara Tradisional Labuhan di Pantai Ngliyep

1.Periodesasi 1900-1913

Pada sekitar tahun 1900-an, di daerah hutan belantara kedatangan seorang linuwih bernama Eyang Kyai Thalib yang bersal dari Mataram, Jawa Tengah. Beliau beserta dengan pandereknya membabat hutan Gung Liwang Liwung dijadikan sebagai tempat pemukiman, semakin hari para pendatang dari Mataram semakin banyak sehingga pemukiman warga kemudian dijadikan sebagai Desa yang diberi nama Desa Kedungsalam.

Pada awal tahun 1913, Eyang Kyai Thalib yang menjadi Kepala Desa pertama pada saat itu kebingunagan dengan datangnya wabah, yakni wabah kelaparan, paceklik dan wabah pagebluk. Pagebluk merupakan penyakit aneh yang memiliki ciri-ciri apabila seorang yang sakit pada pagi hari maka sore harinya bisa meninggal, apabila sore hari sakit maka pagi harinya bisa meninggal. Wabah pagebluk tersebut dinamakan pagebluk Saparan karena terjadi pada bulan Sapar (bulan jawa). Dalam kebingungannya Eyang Kyai Thalib teringat kepada keponakan perempuannya bernama Eyang Atun yang tinggal di Dukuh Wotgalih, Desa Wonokerto, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Kemudian diajaklah Eyang Atun untuk melakukan semedi di Gunung Kombang yang terletak di Pantai Ngliyep. Akhirnya, Eyang Kyai Thalib dan Eyang Atun mendapatkan wangsit atau petunjuk dari Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa beliau beserta dengan masyarakat Desa Kedungsalam harus melaksanakan labuhan atau larungan sesaji di Gunung Kombang. Pada tanggal 13 Maulud/ Mulud 1331 H, Eyang Kyai Thalib beserta dengan masyarakat Desa Kedungsalam melakukan labuhan sesaji untuk yang pertama kalinya. Setelah dilakukan labuhan berangsur-angsur wabah tersebut sirna.

2.Periodesasi 1913-1979

Pada tahun 1913 setelah Eyang Atun meninggal dunia , ketua Adat dari upacara tradisional labuhan Pantai Ngliyep diteruskan kepada cucu Eyang Atun yaitu Eyang Supiyadi.

3.Periodesasi 1979-2010

Setelah Eyang Supiyadi meninggal dunia, upacara tradisional labuhan sesaji dilanjutkan oleh adik dari Eyang Supiyadi yaitu Mbah Supangat. Mbah Supangat meninggal dunia pada tahun 2010.

4.Periodesasi 2010-sekarang

Setelah Mbah Supangat meninggal dunia, upacara tradisional labuhan Pantai Ngliyep diwariskan kepada Bapak Gatot hingga saat ini. Bapak Gatot merupakan anak laki-laki dari Mbah Supangat. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Munir (2016:8) mengatakan bahwa, “...kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol-yang mereka terima tanpa sadar/tanpa dipikirkan-, yang semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

Prosesi Upacara Tradisional Labuhan di Pantai Ngliyep

Prosesi upacara tradisional labuhan di Pantai Ngliyep sebagai berikut:

1.Pembukaan acara diadakan pukul 14.00 di Pantai Ngliyep oleh dua orang laki-laki sebagai pembawa acara.

2.Berdo’a bersama, pembacaan doa dibacakan oleh Bapak Hendri Catur Manunggal,

3.Kotekan lesung yang dilakukan oleh ibu-ibu posyandu lansia Desa Kedungsalam sebagai penyambutan dari Bapak Wakil Bupati Malang yaitu Bapak Drs. H. Moh. Sanusi, M.M. lagu yang dimainkan berjudul lesung jumengglung,

4.Pembacaan sejarah labuhan Gunung Kombang oleh Bapak Iwan Yuyanto.

5.Sambutan oleh Bapak Drs. H. Moh. Sanusi., M.M selaku Wakil Bupati Malang

6.Sambutan oleh Ketua Umum Raden Mas Rosid

7.Pemberangkatan jodang atau sesaji yang akan dilarungkan dengan iring-iringan barisan.

8.Pelarungan dilakukan di Gunung Kombang, yang pertama dilarungkan adalah tenggok berisi sesajian kurang lebih berisi nasi ketan putih, badek (air tape). Tenggok tersebut dilarungkan oleh Bapak Gatot, kemudian pelarungan kepala kambing oleh Bapak Wakil Bupati Malang dan seterusnya.

9.Acara upacara tradisional labuhan di tutup dengan selamatan di rumah lumbung pada pukul 17.00, acara selamatan atau gendurenan tersebut dihadari oleh banyak kalangan masyarakat dari yang tua hingga yang muda, dari kalangan kerabat labuh maupun dari masyarakat sekitar. Selamatan menggunakan bacaan-bacaan secara islami kemudian dilanjutkan dengan pembagian berkat yang berisi nasi dan potongan daging ayam atau daging kambing serta sate. Pembagian berkat tersebut dibagikan secara adil oleh para panitia labuhan, acara gendurenan atau selamatan ini merupakan kegiatan terakhir yang wajib dilakukan oleh masyarakat setelah kurang lebih 10 jam rumah lumbung pantang di datangi oleh perempuan, laki-laki yang berada dirumah lumbung selama preosesi memasak harus berpuasa dan tidak boleh mengenakan baju berwarna hijau gadung. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Hambali Hasan (1985:1) “Upacara tradisional merupakan suatu kegiatan sosial yang melibatkan warga masyarakat pendukungnya dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan, yang mengandung aturan-aturan yang wajib dipenuhi dan dilaksanakan oleh masyarkat”.

Nilai-Nilai Pancasila Yang Terkandung Dalam Prosesi Upacara Tradisional Labuhan di Pantai Ngliyep

1.Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa

Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa tercermin ketika proses penyembelihan hewan yang akan di korbankan untuk labuhan diawali dengan bacaan bassmallah, nilai Ketuhanan juga tercermin ketika seluruh masyarakat Desa Kedungsalam dan sekitarnya serta masyarakat pendatang ( kerabat labuh) yang berbeda agama serta kepercayaan bekerjasama mempersiapkan upacara labuhan mereka saling hormat menghormati sehingga menciptakan suasana kerukunan hidup antar umat beragama, serta dengan tetap lestarinya upacara tradisional labuhan tersebut merupakan wujud percaya dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta pada saat prosesi do’a bersama di Pantai Ngliyep juga dengan doa’doa islami. Pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan Munir (2016: 147) ... beberapa butir nilai yang terkandung dalam sila pertama Pancasila, yakni: a) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, b) hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup, c) saling hormat menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, d) tidak memaksakan kehendak suatu agama kepercayaan kepada orang lain.

2.Nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab tercermin ketika masyarakat Desa Kedungsalam sebelum pelaksanaan upacara tradisional labuhan mengadakan kegiatan kemanusiaan yakni shodaqohan anak yatim, serta sikap saling menghormati dan menghargai antara masyarakat sekitar rumah lumbung dan kerabat labuh juga terlihatkan ketika masyarakat sekitar rumah lumbung mempersilahkan kerabat labuh perempuan untuk tinggal dirumahnya karena rumah lumbung pantang didatangi perempuan pada saat pukul 03.00-12.00 siang. peneliti juga menemukan bahwasannya ketika masyarakat saling tolong-menolong dalam mempersiapkan acara upacara labuhan tersebut karena pada dasarnya manusia hidup tidak bisa tanpa bantuan dari orang lain. Pernyataan tersebut sesuai dengan beberapa pendapat Munir (2016:148) mengenai butir Pancasila sila kedua, yakni:

a) mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban sesama manusia,

b) saling mencintai sesama manusia,

c) mengembangkan sikap tenggang rasa,

d) tidak semena-mena terhadap orang lain,

e) menjunjung tinggi nilai kemanusiaan,

f) gemar melakukan kegiatan kemanusiaan,

g) berani membela kebenaran dan keadilan,

h) bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat dunia internasional dan dengan itu harus mengembangkan sikap saling hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain. Selain itu Munir (2016:143) mengatakan, “setiap manusia dituntut untuk adil dengan sesama. Manusia di dunia ini tidak hidup sendirian, pasti membutuhkan bantuan orang lain”.

3.Nilai Persatuan Indonesia

Nilai Persatuan Indonesia tercermin ketika masyarakat sekitar dan masyarakat pendatang (kerabat labuh) yang berbeda agama dan kepercayaan datang ke Pantai Ngliyep Desa Kedungsalam berkumpul untuk mempersiapkan upacara tradisional labuhan karena adanya rasa persatuan. Peneliti juga menemukan bahwa nila Persatuan Indonesia yang jarang sekali masyarakat sadari tercermin ketika masyarakat Desa Kedungsalam dan sekitarnya tetap ingin menjaga dan melestarikan budaya dan tradisi upacara tradisional labuhan Pantai Ngliyep sebagai wujud cinta tanah air, dengan lestarinya upacara tradisional labuhan tersebut berarti masyarakat Desa Kedungsalam dan sekitar sudah menyatakan kecintaannya terhadap tanah air Indonesia. Pernyataan tersebut sesuai dengan beberapa butir nilai Pancasila sila ketiga pendapat Munir (2016:148) yakni:

a) menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

b) rela berkorban demi bangsa dan negara,

c) cinta tanah air,

d) berbangga sebagai bagian dari Indonesia,

e) mmemajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang berBhineka Tunggal Ika.

4.Nilai Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan

Berdasarkan temuan penelitian nilai Pancasila sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan tercermin ketika sebelum pelaksanaan labuhan, panitia terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan Bapak Gatot selaku Ketua Adat untuk menemukan suatu mufakat atau keputusan bersama, pada saat musyawarah tersebut pemimpin dijadikan sebagai pedoman namun pemimpin juga tidak boleh seenaknya sendiri artinya pemimpin haruslah mendengarkan dan menerima saran dan pendapat dari anggota yang lain, selain itu dalam pelaksanaan upacara labuhan masyarakat setempat beserta dengan kerabat labuh saling bergotong royong mempersiapkan upacara labuhan. Setelah upacara tradisional labuhan Pantai Ngliyep selesai masyarakatpun masih bergotong-royong untuk membersihkan rumah lumbung agar bersih dan rapi seperti semula. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Munir (2016:149) beberapa butir nilai yang terkandung dalam sila keempat Pancasila, yakni:

a) mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat diatas kepentingan pribadi dan golongan,

b) tidak memaksakan kehendak pada orang lain,

c) mengutamakan budaya rembug musyawarah dalam mengambil keputusan bersama,

d) berembug atau musyawarah sampai mencapai konsensus atau kata mufakat yang diliputi dengan semangat kekeluargaan.

5.Nilai Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tercermin pada saat prosesi yang terakhir yakni pada saat selamatan atau gendurenan yang bertempat di rumah lumbung Desa Kedungsalam, pada saat pembagian berkat berupa nasi putih, sate kambing jumbo, dan daging ayam pembagian berkat tersebut dibagikan secara adil oleh panitia, untuk masyarakat yang beberapa hari sebelumnya sudah membantu tapi pada saat selamatan di rumah lumbung  berhalangan hadir maka panitia juga menyisihkan sebagian sate kambing dan daging ayam untuk bapak ibu yang berghalangan hadir tersebut sebagai wujud menghormati dan menghargai atas bantuan yang telah disalurkan beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara labuhan. Peneliti juga menemukan bahwa pada saat pembagian sate daging kambing dan daging ayam tersebut dilakukan secara adil oleh panitia, apabila satu orang mendapatkan satu tusuk sate saja maka yang lain juga harus mendapatkan satu tusuk. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Munir (2016:149) secara singkat, ada beberapa butir nilai yang terkandung dalam sila ke-5 Pancasila, yakni:

a) bersikap adil terhadap sesama,

b) menghormati hak-hak orang lain,

c) menolong sesama,

d) menghargai orang lain,

e) melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1.Sejarah upacara tradisional labuhan berawal tahun 1900-an, di hutan belantara kedatangan linuwih bernama Eyang Kyai Thalib, beliau beserta dengan pandereknya membabat hutan Gung Liwang Liwung dijadikan pemukiman. Awal tahun 1913 terjadi wabah kelaparan, paceklik, dan pagebluk. Wabah pagebluk memiliki ciri-ciri apabila orang yang sakit pada pagi hari sore harinya bisa meninggal, apabila sore hari sakit pagi harinya bisa meninggal. Eyang Kyai Thalib teringat kepada keponakan perempuannya bernama Eyang Atun, kemudian diajaklah Eyang Atun untuk bersemedi di Gunung Kombang. Beliau mendapatkan petujuntuk bahwasannya harus melaksanakan labuhan sesaji. Pada tanggal 20 Februari 1913 dilakukan labuhan sesaji yang pertama, setelah dilakukan labuhan sesaji wabah pun berangsur-angsur sirna.

2.Prosesi upacara tradisional labuhan di Pantai Ngliyep sebagai berikut:

(a) Pembukaan acara tepat pukul 14.00 di Pantai Ngliyep oleh pembawa acara,

(b) Berdoa bersama, pembacaan doa oleh Bapak Hendri Catur Manunggal,

(c) Kotekan lesung yang dilakukan oleh ibu-ibu posyandu lansia Desa Kedungsalam sebagai penyambutan dari Bapak Wakil Bupati Malang,

(d) Pembacaan sejarah labuhan Gunung Kombang oleh Bapak Iwan Yuyanto,

(e) Sambutan oleh Bapak Drs. H. Moh. Sanusi., M.M selaku Wakil Bupati Malang,

(f) Sambutan oleh Ketua Umum Yayasan Pelestari Budaya,

(g) Pemberangkatan jodang atau sesaji yang akan dilarungkan,

(h) Pelarungan dilakukan di Gunung Kombang,

(i) Yang terakhir, selamatan atau gendurenan di rumah lumbung.

3.Nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam prosesi upacara tradisional labuhan di Pantai Ngliyep meliputi:

(a) Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,

(b) Nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab,

(c) Nilai Persatuan Indonesia,

(d) Nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan,

(e) Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Saran

1.Kepada Panitia Upacara Tradisional Labuhan: Agar Upacara tradisional dapat berjalan dengan baik dan khidmat, sebaiknya panitia Upacara Tradisional Labuhan saling berkoordinasi antara satu dengan yang lain mengenai rundown, penyebaran informasi Upacara Tradisional, serta lebih menertibkan pengunjung yang datang ke Pantai Ngliyep

2.Kepada Masyarakat Desa Kedungsalam dan sekitarnya: Agar Upacara Tradisional Labuhan tetap lestari, sebaiknya masyarakat tetap turut berpartisipasi dalam acara Upacara Tradisional Labuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 2007. Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Al Hakim, dkk. Suparlan.2014. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Konteks Indonesia. Malang: Madani (kelompok Intrans Publising) Wisma Kalimetro.

C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil. 2011. Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Fauzi, Achmad. 2005. Pancasila “Tinjauan dari Konteks sejarah, Filsafat, Ideologi Nasional & Ketatanegaraan Republik Indonesia”. Edisi Revisi. Malang. PT. Danar Brawijaya.

Hambali, Hasan dkk. 1985. Upacara Tradisional yang berkaitan dengan peristiwa Alam dan Kepercayaan Sumatera Selatan. Jakarta

Hanafie, Rita. 2016. Ilmu Sosial Budaya. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.

Kaelan. 2002. Filsafat Pancasila. Yogyakarta. Paradigma.

Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. https: //kkbi.web.id> upacara. (Online) Diakses pada tanggal 25 September 2018

Koentjaraningrat. 1980. Sejarah teori Antropologi 1. Jakarta: Aksara Baru.

Kristiono, Natal. 2018. Keterampilan Kepramukaan (Scouting Skills) Untuk Penegak. Ebook (Online). diakses pada tanggal 25 September 2018.

Liliweri, Alo.2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Lkis Yogyakarta.

Moleong, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muchson, AR. 2000. Dasar-Dasar Pendidikan Moral. Yogyakarta: UNY.

Munir, MBM, dkk. 2016. Pendidikan Pancasila. Malang: Madani Media.

Setijo,  Panji, S.H. 2010 Pendidikan Pancasila Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa Edisi Kelima. Jakarta: PT Grasindo.

Sumarsih, Sri B.A, dkk. 1989. Upacara Labuhan Kraton Yogyakarta. Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soelaeman, M. Munandar. 2007. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: PT. Refika Aditama.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

S