Proses yang tidak menyumbangkan karbon ke atmosfer adalah proses

Btari Nadine

Karbon sebagai unsur, sangat berperan penting dalam pembentukan kehidupan di bumi. Semua makhluk hidup memiliki unsur karbon dalam tubuhnya, meski dalam bentuk senyawa dengan unsur lain seperti hidrogen dan oksigen. Namun kali ini, kita akan membahas tentang senyawa karbon dioksida (CO2), khususnya yang terkandung dalam gas emisi yang dihasilkan dari aktivitas manusia dan industri.

Pengertian Jejak Karbon

Dalam dua dekade terakhir, istilah emisi karbon sangat familiar di telinga kita. Istilah ini muncul beriringan dengan topik-topik perubahan iklim lainnya seperti efek rumah kaca, krisis iklim dan jejak karbon. Sebagai generasi yang hidup di tengah krisis iklim, masa depan bumi semakin bergantung pada tindakan kita sekarang. 

Jejak karbon adalah jumlah emisi atau gas rumah kaca (termasuk karbon dioksida) yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia dalam kurun waktu tertentu. Seiring dengan bertambahnya populasi dan globalisasi, jejak karbon pun semakin tinggi dan memengaruhi iklim dunia secara negatif. 

Sebelum mengambil tindakan lebih lanjut dalam mengubah pola hidup, kita harus menyadari seberapa besar perubahan yang perlu kita lakukan dengan cara melihat jejak karbon (carbon footprint) kita.

Dari mana jejak karbon berasal?

Setiap kegiatan yang kita lakukan, dan setiap barang yang kita gunakan atau konsumsi, selalu memberikan pengaruh terhadap lingkungan. Sebagai contoh, kita mengonsumsi wagyu steak yang diimpor dari Jepang di sebuah restoran di tengah kota. Emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas tersebut dapat ditarik sejauh peternakan sapi. 

Sistem pencernaan sapi mengandung bakteri tertentu yang mampu mencerna serat seperti rumput. Namun, proses pencernaan ini menyebabkan sapi mengeluarkan metana, gas rumah kaca yang 28-34 kali lebih ‘kuat’ dari karbon dioksida dalam rentang 100 tahun.

Selanjutnya, emisi karbon terbentuk dari proses penyembelihan, pengemasan, hingga pengiriman daging antarnegara. Proses penyajian pun juga Penyimpanan menghasilkan emisi karbon, mulai dari penyimpanan daging dalam freezer hingga dimasak. Belum lagi emisi karbon yang dihasilkan dari perjalanan kita ke restoran steak tersebut.

Berikut ini beberapa aktivitas manusia yang menghasilkan emisi karbon:

  • Pembakaran bahan bakar fosil, seperti memasak dengan gas dan mengendarai mobil, menghasilkan karbon dioksida (CO2)
  • Proses perkebunan dan peternakan menghasilkan gas metana (CH4), seperti pada kotoran hewan ternak
  • Perubahan penggunaan lahan, seperti deforestasi hutan, pertanian, perkebunan, dan urbanisasi

Jejak karbon yang kita hasilkan akan memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan kita di bumi, seperti kekeringan dan berkurangnya sumber air bersih, timbul cuaca ekstrim dan bencana alam, perubahan produksi rantai makanan, dan berbagai kerusakan alam lainnya.

Penyebab Jejak Karbon

Banyak sekali aktivitas kita yang tidak disadari menimbulkan jejak karbon, seperti aktivitas-aktivitas berikut:

Penggunaan Kendaraan

Bahan bakar fosil masih menjadi sumber energi utama bagi kendaraan dan industri. Pembakaran bensin, solar, dan gas akan menghasilkan emisi karbon. Sehingga, bepergian menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil akan meningkatkan kontribusi kita terhadap emisi karbon dunia. Jika menggunakan kendaraan nol emisi seperti sepeda tidak memungkinkan, cobalah untuk lebih sering menggunakan transportasi umum daripada kendaraan pribadi.

Penggunaan Listrik dan Air

Listrik masih sangat mengandalkan sumber energi tak terbarukan, seperti batu bara. Semakin besar energi listrik yang digunakan, tentu akan menghasilkan emisi karbon lebih banyak dari pembakaran bahan bakar fosil pada pembangkit listrik.

Selain itu, meski air merupakan energi terbarukan, untuk mengelola air bersih yang bisa kita gunakan, membutuhkan banyak energi yang berasal dari energi tak terbarukan. Maka dari itu, usahakan agar kita menghemat penggunaan air dan listrik dalam kehidupan sehari-hari kita.

Konsumsi Makanan

Makanan yang kita konsumsi menghasilkan apa yang disebut dengan jejak karbon. Daging misalnya, menghasilkan jejak karbon yang sangat besar dibanding bahan makanan lain. Jejak karbon ini merupakan akumulasi dari emisi karbon yang dihasilkan mulai dari peternakan, produksi, pengolahan daging, hingga distribusi.

Cara Menghitung Jejak Karbon

Jejak karbon dapat direpresentasikan dalam carbon dioxide equivalent (CO2e). Gas-gas rumah kaca potensinya disetarakan dengan bahaya potensi gas karbon dioksida. Jumlah dan potensi gas rumah kaca dapat dihitung dengan cara:

(Jumlah emisi gas rumah kaca) X (Indeks GWP atau Global Warming Potential)

Contoh:

1 kg gas metana (CH4) x 28 = 28 kg CO2e

Semakin tinggi nilai indeks jejak karbon yang kita hasilkan, semakin tinggi juga konsentrasi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer. Tingginya konsentrasi gas rumah kaca tersebut akan berujung pada peningkatan suhu bumi dan perubahan iklim.

Jika rata-rata jejak karbon untuk satu orang saat ini adalah 4 ton per tahun, bayangkan berapa jejak karbon yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan raksasa dengan rantai industri global? Padahal, untuk menghindari kenaikan suhu bumi 2℃, jejak karbon global rata-rata harus turun hingga di bawah 2 ton pada 2050.

Cara Mengurangi Jejak Karbon

Tentunya, sebagai individu ada berbagai metode yang dapat kita lakukan untuk mengurangi jejak karbon pada aktivitas kita. 

  • Mengurangi konsumsi barang atau makanan impor
  • Mengurangi packaging sekali pakai
  • Menggunakan transportasi umum atau bahan bakar yang lebih hemat energi
  • Cabut arus listrik yang tidak terpakai dan gunakan alat elektronik hemat energi
  • Berpartisipasi dalam proyek-proyek hijau

Menjaga Jumlah Emisi Karbon Lewat Perdagangan Karbon di Bursa

Urgensi penanganan masalah iklim akibat emisi karbon semakin mendesak. Tidak hanya berasal dari masyarakat, pemerintah dan swasta raksasa pun perlu mencanangkan komitmen global untuk permasalahan ini. 

Pada 12 Desember 2015, sebanyak 195 negara termasuk Indonesia, menyepakati perjanjian iklim global yang dikenal sebagai Perjanjian Paris (Paris Agreement). Perjanjian ini sepenuhnya bersifat sukarela, di mana semua negara yang menyepakatinya berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan memastikan suhu global tidak naik lebih dari 2˚C (3.6˚F); menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1.5˚C (2.7˚F). Perjanjian Paris mulai berlaku efektif pada 4 November 2016. 

Melanjutkan dari kesepakatan tersebut, skema-skema perdagangan karbon karbon global pun dilaksanakan untuk menjaga jumlah emisi karbon yang dikeluarkan ke atmosfer. Terkait pengawasan emisi karbon, perdagangan karbon umumnya dilakukan melalui bursa komoditi dengan standar satuan tertentu. 

“Karbon” yang dimaksud dalam perdagangan karbon di bursa adalah kredit karbon. Secara sederhana, kredit karbon merepresentasikan ‘hak’ menghasilkan karbon. Kredit ini dihasilkan oleh proyek-proyek penghijauan dengan metode perhitungan potensi penyerapan karbon yang telah diakui secara global.

Sementara itu, usaha maupun instansi yang menghasilkan emisi karbon lebih dari kredit (atau ‘hak’) yang dimiliki, dapat membeli kredit karbon yang dijual di pasar karbon. Dengan demikian, kita dapat mengontrol sekaligus menyeimbangkan jumlah emisi karbon yang dikeluarkan ke atmosfer bumi dan menjaga kenaikan suhu global di bawah 1.5˚C.

Pemanasan global maksudnya adalah meningkatnya suhu di permukaan bumi akibat emisi karbon ke atmosfer lebih banyak daripada pengikatan karbon oleh tumbuhan sehingga konsentrasi karbon di atmosfer meningkat sehingga menyebabkan efek rumah kaca.

Siklus karbon dapat digambarkan sebagai berikut.

  • Karbon yang ada di udara diikat oleh tumbuhan melalui fotosinthesis. Ketika tumbuhan melakukan respirasi (pernafasan), karbon dikeluarkan lagi ke atmosfer.
  • Hasil dari fotosinthesis menjadi biomassa tumbuhan yang sebagian dimakan herbivor, maka karbon masuk ke herbivor. Ketika herbivor melakukan respirasi, karbon kembali ke atmosfer.
  • Sebagian dari tumbuhan menjadi kayu bakar, dan ketika dibakar, karbon kembali ke atmosfer
  • Sebagian tumbuhan mengalami dekomposisi (penguraian) oleh mikroba, dalam proses dekomposisi ini mengeluarkan karbon kembali ke atmosfer.
  • Herbivor dimakan karnivor, karbon menjadi biomassa karnivor. Ketika karnivor melakukan respirasi, karbon kembali ke atmosfer.
  • Sebagian herbivor dan karnivor menjadi bangkai dan terjadi proses penguraian (didekomposisi), karbon kembali ke atmosfer.
  • Sebagian hewan dan tumbuhan terkubur dalam tanah selama jutaan tahun menjadi batubara, minyak dan gas (fossil fuel). Dimanfaatkan manusia untuk bahan bakar fosil, karbon kembali ke atmosfir

Adanya siklus karbon tersebut, agar tidak terjadi pemanasan global diperlukan adanya penyerapan dari atmosfir melalui tumbuhan dalam jumlah yang besar. Karena tumbuhan dalam proses fotosintesis memanfaatkan karbon. Oleh karena itu pengembangan areal hijau, penghutanan kembali (reboisasi) dan pelestarian hutan sangat diperlukan. Apakah hutan yang ada saat ini memiliki kemampuan penyerapan karbon yang setara dengan pelepasan krabon ke atmosfir pada siklus karbon seperti tersebut di atas? Benarkah tanaman perkebunan seperti sawit dapat menjadi penyerap karbon yang setara dengan hutan yang terkorversi. Untuk daerah perkotaan, perlu ada desain jalan dengan diikuti oleh penghijauan di sepanjang jalan. Begitu juga untuk jalan antar kota penanaman pohon menjadi paket pemeliharaan dan perlindungan jalan.