PKI melempar isu adanya Dewan Jenderal di tubuh

Dewan Jenderal disebut akan mengkudeta Presiden Sukarno.

Republika/Mardiah

Pengkhianatan G30S/PKI

Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi ShahabDalam sidang tahunan MPR Agustus 2003, ada tuntutan agar Ketetapan (Tap) MPRS No 25/MPRS/1966 dicabut, dan ajaran komunis yang dilarang melalui Tap tersebut dibolehkan kembali. Tap ini keluar setelah ditumpasnya pemberontakan G30S/PKI pada 30 September 1965. Kini, lepas dari adanya berbagai pendapat tentang peristiwa 53 tahun silam, saya punya pengalaman tidak terlupakan.

Saat itu, sebagai wartawan pemula di Kantor Berita Antara, saya ditugaskan meliput pidato Presiden Sukarno pada Rapat Teknisi di Istora Senayan. "Bung cukup dengar dari televisi. Tapi, yang Bung liput hanya amanat Bung Karno. Pidato-pidato lainnya tak usah," kata pimpinan redaksi memberi penugasan kepada saya.

Kala itu TVRI yang baru mulai siaran sore hari diwajibkan siaran langsung bila presiden memberikan amanat pada rapat-rapat umum yang hampir tiap malam digelar. Dalam pidatonya, Bung Karno menyitir dialog antara Kresna dan Arjuna dalam perang Baratayudha. Arjuna ragu-ragu karena dalam perang ini ia harus berhadapan dengan kerabat dan gurunya sendiri.

Chaerul yang juga tokoh Partai Murba yang antikomunis itu telah meninju Aidit.

Situasi menjelang G30S memang sangat memanas dan menegangkan. Hampir setiap hari demo-demo kelompok kiri bermunculan. Sasaran utamanya, antara lain menuntut pembubaran HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang dituduh antek DI/TII dan Masyumi. DI/TII dan Masyumi kala itu telah dilarang pemerintah, seperti dilarangnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) saat ini.

Beberapa hari menjelang G30S, Aidit dalam rapat umum Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi mahasiswa di Indonesia yang terkait dengan PKI, mengatakan, "CGMI lebih baik pakai sarung kalau tidak bisa bubarkan HMI." Kala itu HMI merupakan organisasi mahasiswa militan yang banyak pengikutnya dan dapat mengimbangi kekuatan mahasiswa kiri.

PKI melempar isu adanya Dewan Jenderal di tubuh

Soeharto dan G30S PKI

Pertentangan sengit juga terjadi antara PKI dan Partai Murba. Kala itu beredar isu: Dalam sidang kabinet yang dipimpin Bung Karno di Istana Bogor terjadi perdebatan sengit antara Aidit dan Chaerul Saleh, Ketua MPRS, yang dekat dengan Bung Karno. Konon, Chaerul yang juga tokoh Partai Murba yang antikomunis itu telah meninju Aidit. Menjelang G30S Murba pun dibubarkan.

Pada 30 September 1965 koran-koran memuat berita pernyataan tokoh PKI Anwar Sanusi. "Ibu pertiwi hamil tua, dan peraji (dukun beranak)-nya sudah siap untuk kelahiran sang bayi."

Sebelumnya, Wakil PM/Menlu Subandrio mengatakan, "Akan terjadi kristalisasi, di mana yang dulunya kawan akan menjadi lawan."

Sementara pertentangan antara kelompok militer (AD) dengan komunis makin meruncing. Terutama mengenai usul PKI untuk membentuk angkatan ke-5 dengan mempersenjatai buruh dan tani. Selain itu, nasakomisasi di tubuh ABRI pun mendapat tentangan kuat, kecuali dukungan Menteri/KSAU Marsekal Omar Dhani.

  • g30s pki
  • pemberontakan pki
  • partai komunis indonesia
  • alwi shahab

PKI melempar isu adanya Dewan Jenderal di tubuh

sumber : Pusat Data Republika

Pertentangan antara PKI dan Angkatan Darat (AD) - Adanya perbedaan ideologi serta kepentingan antara PKI dan Angkatan Darat menyebabkan keduanya bersaing satu sama lain. Sesuai dengan ideologi yang dianutnya, PKI berkepentingan merintis berdirinya negara komunis. Adapun Angkatan Darat sebagai kekuatan pertahanan negara berkepentingan mengamankan Pancasila sebagai dasar negara. Pada bulan Januari 1965 PKI mengajukan gagasan pembentukan angkatan kelima. Gagasan tersebut berisi tuntutan agar kaum buruh dan tani dipersenjatai Hal tersebut dilakukan untuk menggalang kekuatan menghadapi neokolonial imperialisme (nekolim) Inggris dalam rangka Dwikora. Pada bulan Mei 1965, PKI melempar isu adanya Dewan Jenderal dalam tubuh Angkatan Darat. Menurut PKI, Dewan Jenderal ditafsirkan sebagai badan yang mempersiapkan perebutan kekuasaan dari Presiden Soekarno. Angkatan Darat secara tegas menolak gagasan pembentukan angkatan kelima. Menurut Men/Pangad Letnan Jenderal Ahmad Yani, pembentukan angkatan kelima tidak efisien dan merugikan revolusi Indonesia. Penolakan pembentukan angkatan kelima dinyatakan pula oleh Laksamana Muda Martadinata atas nama Angkatan Laut. Mereka hanya dapat menerima jika angkatan kelima berada dalam lingkungan ABRI dan ditangan komando perwira yang profesional.

Adapun dalam menanggapi adanya isu Dewan Jenderal, pimpinan Angkatan Darat meyakinkan presiden akan kesetiaan mereka terhadap pemerintah. Pimpinan Angkata Darat menyatakan bahwa dewa yang ada dalam Angkatan Darat bukan Dewan Jenderal, melainkan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) yang bertugas memberikan usul kepada Men/Pangad tentang promosi jabatan dan pangkat para perwira tinggi. Di tengah persaingan antara PKI dan Angkatan Darat, pada bulan Juli 1965 muncul berita tentang memburuknya kesehatan Presiden Soekarno. Menurut tim dokter yang khusus didatangkan dari RRC, ada kemungkinan presiden akan lumpuh atau meninggal. Pimpinan PKI yang mengetahui berita itu langsung dari dokter-dokter RRC, merasa perlu segera mengambil tindakan. Pemberontakan G-30-S/PKI Letnan Kolonel Untung sebagai pimpinan gerakan memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan unutk mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965. Pada dini hari itu, mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama dari Angkatan Darat. Para perwira Angkata Dara tersebut disiksa dan dibunuh yang kemudian dimasukkan ke dalam satu sumur tua di Lubang Buaya yang terletak di sebelah selatan Pangkalan Udara Utama Halim Perdanankusuma. Enam jenderal korban dari TNI Angkatan Darat tersebut adalah sebagai berikut :

  • Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat atau Men/Pangad). 
  • Mayor Jenderal R. Suprapto (Deputi II Pangad). 
  • Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo (Deputi III Pangad). 
  • Mayor Jenderal Siswondo Parman (Asisten I Pangad). 
  • Brigadir Jenderal Donald Izacus (Asisten IV Pangad). 
  • Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur). 
Ketika terjadinya penculikan para perwira Angkatan Darat, Jenderal A.H. Nasution yang juga menjadi target penculikan berhasil menyelamatkan diri setelah kakinya tertembak. Namun, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban sasaran tembak dan kemudian gugur. Ajudan Jenderal A.H Nasution yang bernama Letnan Satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban, sedangkan Pembantu Letnan Polisi Karel Satsuit Tubun gugur pada saat melakukan perlawanan terhadap gerombolan yang berusaha menculik Jenderal A.H. Nasution. Pembunuhan dan penculikan serupa juga terjadi di Yogyakarta dan menimbulkan korban Komando Resimen 072 Pamungkas Kolonel Katamso serta Kepala Staf Korem 072 Pamungkas Letkol Sugiyono. Keduanya dibunuh dengan kejam di Kentungan, daerah markas suatu batalion yang dikuasai oleh perwira komunis. Penumpasan G-30-S/PKI

Setelah menerima laporan terjadinya penculikan para pemimpin TNI Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat) segera mengamibl langkah-langkah untuk memulihkan keamanan di ibu kota. Langkah-langkah tersebut yaitu dengan menyelamatkan dua objek vital, yaitu Gedung RRI dan pusat telekomunikasi. 

Dalam waktu dua puluh lima menit resimen RPKAD di bawah Sarwo Edhi berhasil merebut kedua objek tersebut. Pada pukul 20.10 WIB Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat megeluarkan pernyataan resmi yang isisnya memberitahukan kepada seluruh rakyat bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965 telah terjadi peristiwa penculikan beberapa perwira tinggi Angkatan Darat yang dilakukan oleh golongan kontrarevolusioner yang menamakan dirinya Gestapu (Gerakan 30 September).

Selanjutnya, mereka telah mengambil alih kekuasaan negara. Mayor Jenderal Soeharto menegaskan bahwa kekuatan Gestapu dapat dihancurkan dan NKRI yang berdasarkan Pancasila pasti tetap jaya. Pidato Mayor Jenderal Soeharto tersebut dapat meredakan kegelisahan rakyat dan mereka dapat mengetahui gambaran yang jelas tentang situasi negara.

Operasi penumpasan dilanjutkan dengan sasaran Pangkalan Udara Utama/ Lanuma Halim Perdanakusuma, yang menjadi basis kekuatan G-30-S/PKI. Operasi ini bertujuan untuk mecari tempat dan mengusut nasib para Jenderal yang diculik.

Kemudian operasi dilanjutkan ke Lubang Buaya. Atas petunjuk dari Ajudan Brigadir Polisi Sukitman, pada tanggal 3 Oktober ditemukan sumur tua tempat penguburan jenazah para perwira Angkatan Darat. Pada tanggal 4 Oktober dilakukan pengangkatan seluruh jenazah para perwira dan pada tanggal 5 Oktober para perwira dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Para perwira dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta diberikan pangkat setingkat lebih tinggi secara anumerta.