Momen pejuang Indonesia hijrah dari Jabar ke Jateng. ©YouTUbe/Album Sejarah Indonesia
JATENG | 19 April 2022 09:43 Reporter : Shani Rasyid Merdeka.com - Di masa penjajahan Belanda, rakyat Indonesia hidup serba sulit. Berbagai kebijakan politik yang cepat berubah mau tak mau turut berdampak pada kehidupan mereka. Hal ini pula yang terjadi setelah Perjanjian Renville pada tahun 1947 di mana Belanda hanya mengakui eksistensi Republik Indonesia pada wilayah Yogyakarta, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sebagai konsekuensi dari perjanjian itu, pasukan TNI dan Laskar Rakyat harus keluar dari wilayah yang tidak diakui Belanda. Maka terjadilah peristiwa perpindahan secara besar-besaran yang dikenal dengan istilah “hijrah”. Pada momen hijrah ini, para pejuang ini turut membawa istri dan anak-anak mereka. Dalam sebuah foto yang diperlihatkan oleh kanal YouTube Album Sejarah Indonesia, terekam momen hijrah pasukan TNI dan Laskar Rakyat dari daerah Kuningan, Jawa Barat, menuju daerah Jawa Tengah. Foto itu sendiri diambil pada 6 Februari 1948 oleh fotografer asal Belanda, N. Kroeze. Berikut kisah selengkapnya: 2 dari 4 halaman
©YouTUbe/Album Sejarah Indonesia Dalam sebuah foto, tampak 3-4 anggota tentara Belanda sedang menunggu kedatangan para pejuang Indonesia. Tampak pula salah seorang perwira sedang meneropong jauh ke depan melihat apakah para pejuang sudah tiba. Di foto berikutnya, tampak perwakilan pejuang Indonesia menghadap para tentara itu. Sementara itu di belakangnya barisan TNI dan pejuang menunggu keputusan masuk wilayah Belanda. Kedatangan pasukan pejuang itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Abimanyu. Dengan didampingi dua ajudannya, Kolonel Abimanyu berjalan menuju gedung untuk bertemu komandan Belanda. 3 dari 4 halaman
©YouTUbe/Album Sejarah Indonesia Dalam foto berikutnya, tampak seorang komandan Belanda, Kolonel M.H.P.J Paulissen sedang diwawancarai oleh jurnalis dari ANTARA. Kolonel Paulissen sendiri merupakan perwakilan Belanda yang berunding dengan Kolonel Abimanyu. Dalam pertemuan itu, dia menjabat sebagai komandan Brigade W. Salah satu batalyon di bawah Brigade W ini adalah Batalyon KNIL. Ribuan pasukan KNIL di antaranya berasal dari orang-orang pribumi asli yang berperang dengan saudara setanah airnya sendiri. Pejuang Indonesia Dikumpulkan ©YouTUbe/Album Sejarah Indonesia Dalam sebuah foto, terlihat para pejuang Indonesia berjalan menuju titik kumpul. Mereka kemudian dibariskan pada sebuah tanah lapang yang luas. Di sana, para pejuang juga membawa serta istri dan anak-anak. Mereka semua dikumpulkan sebelum selanjutnya akan dibawa menggunakan truk militer Belanda menuju Jateng. 4 dari 4 halaman
©YouTUbe/Album Sejarah Indonesia Dalam sebuah foto, tampak di tengah barisan seorang ayah menggendong anaknya yang masih balita. Sementara pasukan lain dibariskan untuk mendapat arahan dari komandan. Di antara barisan itu, ada seorang pejuang muda yang diperkirakan masih berusia 10-15 tahun. Tinggalkan Kampung Halaman ©YouTUbe/Album Sejarah Indonesia Dalam foto berikutnya, tampak para pejuang sudah berada di atas truk milik militer Belanda untuk selanjutnya pergi ke tempat tujuan hijrah. Di sini sang fotografer hanya memotret dari kejauhan. Tampak pula dari balik semak-semak dua orang asisten rumah tangga (ART) milik orang Belanda hanya bisa menyaksikan momen kepergian para pejuang itu. (mdk/shr) Baca juga: Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi pada tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di Jakarta.[1] Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Perjanjian ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook.
Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia. Gubernur Jendral Van Mook dari Belanda memerintahkan gencatan senjata pada tanggal 5 Agustus. Pada 25 Agustus, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang diusulkan Amerika Serikat bahwa Dewan Keamanan akan menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda secara damai dengan membentuk Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Belgia yang dipilih oleh Belanda, Australia yang dipilih oleh Indonesia, dan Amerika Serikat yang disetujui kedua belah pihak.
Pada 29 Agustus 1947, Belanda memproklamirkan garis Van Mook yang membatasi wilayah Indonesia dan Belanda. Republik Indonesia menjadi tinggal sepertiga Pulau Jawa dan kebanyakan pulau di Sumatra, tetapi Indonesia tidak mendapatwilayah utama penghasil makanan. Blokade oleh Belanda juga mencegah masuknya persenjataan, makanan dan pakaian menuju ke wilayah Indonesia.
Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tetapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi.
Delegasi Indonesia terdiri dari ketua : Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, wakil : Mr. Ali Sastroamidjojo dan Agus Salim, anggota : Dr. Leimena, Mr. Latuharhary, dan Kolonel T.B. Simatupang. Delegasi Belanda dipimpin oleh Raden Abdul Kadir Widjojoatmodjo.
Setelah disepakati pada 17 Januari 1948 perjanjian Renville memuat beberapa persetujuan, yaitu:[2] Berakhirnya agresi militer Belanda I dan disetujuinya perjanjian Renville mengubah arah perpolitikan Indonesia. Golongan kiri yang selama awal kemerdekaan ditempatkan dalam struktur pemerintahan mulai tersingkir. Tersingkirnya golongan kiri merupakan cikal bakal terjadinya pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948 ditengah konflik yang masih terjadi antara pihak Belanda dan Republik. Perjanjian Renville mengurangi wilayah kekuasaan Indonesia yang telah diakui secara de facto sangat merugikan pihak Indonesia. Wilayah-wilayah penghasil kebutuhan pokok telah dikuasai oleh pihak Belanda menyebabkan perekonomian Indonesia memburuk terlebih ketika Belanda melakukan blokade-blokade ekonomi. Pemblokadean ekonomi merupakan salah satu taktik pihak Belanda untuk melemahkan Indonesia.[3] Perjanjian ini juga mengakibatkan TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantong di wilayah pendudukan Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur. Kondisi ini melahirkan peristiwa Long March Siliwangi, sebuah perjalanan panjang para tentara Divisi Siliwangi dari Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dampak dari peristiwa ini melahirkan sebuah pemberontakan oleh Kartosuwiryo dan pasukannya yang tidak ingin keluar dari Jawa Barat yang saat itu berada di kekuasaan Belanda untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.[4]
|