122 Pemahaman Masyarakat Pesisir Lampung akan Bahaya Harmful Algae Bloom pada Sumber Pangan Laut Inayah Hidayati1,* 1 Pusat Penelitian Kependudukan, LIPI, Jakarta Selatan 12710, Indonesia Email: * Dikirim : 8 Juli 2020 Diterima: 25 September 2020 Abstrak: Harmful Algae Bloom (HABs) menyebabkan berbagai dampak pada kehidupan laut terutama kejadian kematian fauna serta secara tidak langsung berpengaruh pada kesehatan manusia yang mengkonsumsi sumber pangan laut. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena masyarakat pesisir menggantungkan kehidupannya pada hasil laut serta mengkonsumsi sumber pangan laut. Secara umum, masyarakat pesisir Lampung telah mengetahui adanya HABs namun belum semua memahami mengapa dan bagaimana peristiwa tersebut terjadi secara mendalam serta dampak bagi kesehatan manusia. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat akan bahaya HABs yang berdampak pada sumber pangannya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data survei yang didukung dengan hasil wawancara mendalam dan focus group discussion. Hasil kajian menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden pernah mengetahui informasi dan bahaya mengenai HABs (57 persen). Penyebaran informasi mengenai kejadian dan penanganan HABs di Lampung belum begitu bagus. Saat terjadi HABs, hanya 54 persen masyarakat yang mengetahui terjadinya kematian ikan karena peristiwa tersebut. padahal kematian ikan tersebut terjadi kurang lebih selama 3 hari berturut- turut. Media yang diharapkan menyebarluaskan informasi kejadian HABs belum begitu berperan, masyarakat yang mengetahui berita kematian ikan sebagian besar karena melihat langsung. Sedikit sekali masyarakat yang mengetahui berita kematian ikan akibat HABs melalui media cetak maupun elektronik. Kata kunci: Harmful Algae Blooms, pesisir, sumber pangan laut Abstract: Harmful Algae Bloom (HABs) causes various impacts on sea life, especially the incidence of fauna death and indirectly affects the health of humans who consume seafood sources. This research is essential to do because coastal communities depend their lives on marine products and consume seafood sources. In general, Lampung coastal communities are aware of the existence of HABs, but not all understand why and how these events occur in-depth and the impact on human health. The research objective is to determine the level of public understanding of the dangers of HABs that have an impact on food sources. The data used in this study are survey data supported by focus group discussions. The results of the study showed that more than half of respondents had known information and hazards regarding HABs (57 per cent). Dissemination of information about the incidence and handling of HABs in Lampung is not very good. When there were HABs, only 54 per cent of the people were aware of fish deaths due to these events. The media which is expected to disseminate information on the HABs incident has not yet played a significant role, most of the people who know about the news of fish deaths have seen it firsthand. Very few people know about the news of fish deaths due to HABs through print and electronic media. Keywords: Harmful Algae Blooms, coastal, seafood sources JPIG (Jurnal Pendidikan dan Ilmu Geografi) Vol. 5, No. 2, September 2020 Halaman: 122-131 Online: http://ejournal.unikama.ac.id/index.php/JPIG/
123 Pendahuluan Laut mempunyai luas sebesar 97 persen dari permukaan bumi dan menampung berbagai biota di dalamnya. Data United Nation (2016) menyatakan lebih dari 3 milyar penduduk di dunia menggantungkan kehidupannya pada sumberdaya laut. Jumlah spesies yang hidup didalam laut mencapai 200.000 spesies yang sudah diidentifikasi dan tak menutup kemungkinan masih banyak spesies yang belum ditemukan. Manusia diuntungkan oleh kekayaan spesies laut yang sebagian besar dapat dimanfaapkan sebagai sumberdaya pangan protein hewani. Tidak bisa dipungkiri lebih dari 3 milyar penduduk di bumi menggantungkan sumber pangan proteinnya dari hasil laut. Dari segi perekonomian dan ketenagakerjaan, laut juga memberikan penghidupan bagi masyarakat. Perikanan laut di seluruh dunia sudah melibatkan lebih dari 200 juta penduduk untuk bekerja di sektor ini, mulai dari proses tangkap, budidaya hingga pengolahan hasil laut (United Nation, 2016). Penduduk yang hidup dipesisir laut tidak bisa dilepaskan dari peran laut di penghidupan sehari-harinya. Bagi mereka laut menjadi sumber penghidupan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan juga sumber pangan termurah dibandingkan jenis sumber makanan protein hewani lainnya. Interaksi antara manusia dan alam di lingkungan pesisir dan laut tak selamanya tanpa masalah. Sumberdaya pangan laut terkadang mengalami berbagai kerusakan atau penurunan kualitas sehingga tidak layak dikonsumsi. Bahkan pada kondisi tertentu sumber pangan yang berasal dari laut dapat mengakibatkan keracunan yang berlanjut pada kematian. Salah satu bahaya yang mengancam keamanan sumber pangan laut adalah terjadinya Menurut Sidabutar (2000), Harmful Algae Blooms (HABs) yang merupakan pertumbuhan fitoplankton di air laut maupun air payau yang dapat mengakibatkan kematian masal ikan atau biota laut lainnya dengan toksik yang dikeluarkan oleh fitoplankton tersebut. Fitoplankton sendiri sebenarnya mempunyai peran dalam proses fotosintesa untuk menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air, namun saat jumlahnya berlebihan (blooming) maka akan menurunkan kualitas air. Pertumbuhan fitoplankton yang berlebih karena pengkayaan zat hara dapat menimbulkan dampak negatif karena menghasilkan senyawa toksin. Keberadaan fitoplankton tersebut akan memengaruhi kondisi populasi biota yang ada di perairan tersebut (Sutomo, 2005). Pada beberapa kasus perairan dapat berubah warna menjadi merah (red tide). Penelitian yang dilakukan oleh Praseno dan Sugesti (2000) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 31 macam plankton HABs dan tujuh diantaranya dapat menyebabkan red tide. Kasus red tide di Teluk Lampung menyebabkan kematian masal ikan sehingga mengganggu hasil tangkapan nelayan (Muawanah dkk, 2004). Kasus ekstrim red tide juga ditemukan di Cirebon Jawa Barat yang menyebabkan kematian akibat mengkonsumsi hasil laut yang terkena HABs (Muawanah et al, 2004). Korban meninggal karena keracunan kerang yang terkena tokin dengan gejala tubuh demam, muntah-muntah, kondisi tubuh melemah dan sesak nafas. Dampak HABs pada perikanan tangkap tentu saja membuat hasil tangkapan menurun drastis (Glibert et al, 2005). Nelayan harus berlayar menjauhi perairan yang terkena red tide untuk menangkap ikan maupun jenis tangkapan lainnya. Hal ini tentu saja menambah biaya produksi bagi para nelayan. Pada perikanan budidaya, yang pada kasus Teluk Lampung adalah keramba, kejadian red tide memberikan dampak merugikan yang sangat besar (Muawanah dkk, 2004). Ikan-ikan yang berada dalam keramba mengalami kematian masal dan hal ini meningkatkan potensi keracunan bagi perairan diluar keramba. Secara ekonomi, nelayan budidaya mengalami kerugian besar karena ikan-ikan yang mati tersebut tidak layak konsumsi sehingga harus dimusnahkan. Selain memberikan dampak langsung pada nelayan tangkap dan budidaya, kejadian red tides memberikan dampak langsung pada masyarakat di sepanjang pesisir laut. Air yang terkena HABs mengakibatkan gatal-gatal serta mengakibatkan keracunan jika masyarakat mengkonsumsi hasil laut terutama kepiting dan kerang-kerangan.
124 Berdasarkan latar belakang ini maka penelitian ini penting untuk dilakukan karena masyarakat pesisir menggantungkan kehidupannya pada hasil laut serta mengkonsumsi sumber pangan laut. Masyarakat pesisir Lampung telah mengetahui adanya HABs namun belum semua memahami mengapa dan bagaimana peristiwa tersebut terjadi secara mendalam serta dampak bagi kesehatan manusia. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat akan bahaya HABs yang berdampak pada sumber pangannya. Metode Penelitian Jumlah kuesioner yang disebar untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat Lampung akan bahaya HABs sebanyak 200 kuesioner dengan responden yang tinggal di Kecamatan Padang Cermin, lokasi tersebut merupakan daerah dengan wilayah perairan yang terdampak HABs. Pemilihan lokasi ini diharapkan dapat menggambarkan karakteristik daerah yang terkena HABs di Lampung. Selain menggunakan data kuesioner, untuk mendapatkan pemahaman dari responden dilakukan focus group discussion. Narasumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat pemerintah lokal, akademika, komunitas masyarakat yang tinggal di pesisir. Untuk menjawab pertanyaan penelitian dilakukan pengolahan data yang merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan penelitian dengan metode atau teknik tertentu. Kemudian data yang sudah diolah tersebut siap untuk dianalisis. Analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca dan diinterpretasikan. Tujuan analisis data adalah untuk mendapatkan informasi yang lebih sederhana yang hasil interpretasinya dapat digunakan untuk mencari makna dan implikasi yang lebih luas dari hasil-hasil penelitian. Analisis data pada penelitian inidilakukan secara Deskriptif–Eksplanasi, yakni suatu penelitian yang mendeskripsikan/melukiskan realitas sosial yang ada di masyarakat serta berusaha menjelaskan sesuatu yang telah terjadi di daerah penelitian. Hasil Penelitian dan Pembahasan Kesadaran Masyarakat Terhadap Fenomena Harmful Algae Blooms (HABs) Indonesia sebagai negara maritim cukup rentan terkena Harmful Algae Blooms (HABs) yang mengganggu keseimbangan ekosistem perairan dan memberikan dampak kerugian secara ekonomi. Algae merupakan salah satu mikroorganisme akuatik yang dapat berperan sebagai penyebab pencemaran pada air permukaan (Baker, 1998). Algae blooming merupakan peristiwa meledaknya populasi algae pada ekosistem perairan karena meningkatnya kandungan nutrient seperti fosfat dan nitrogen (Haag, 2017). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ledakan algae adalah nutrien, salinitas, intensitas cahaya, temperature, PH dan aerasi (Aditya dkk, 2015). Biasanya fenomena blooming alga ini berwarna hijau, namun pernah juga ditemui warna kuning kecoklatan, merah itu semua bergantung pada spesies dan pigmen warna yang dibawanya. Perubahan warna air laut tersebut terjadi hanya dalam periode tertentu. HABs yang semakin meluas dipicu oleh perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan. Pertumbuhan penduduk telah mengakibatkan peningkatan jumlah total limbah yang dihasilkan, baik limbah domestic, pertanian, maupun industri. Pada kegiatan pertanian, para petani biasanya menggunakan pestisida atau insektisida untuk memberantas hama tanaman agar tanaman tidak rusak,namun sisa-sisa dari pestisida mencemari perairan. Limbah domestik yang kaya nutrien juga menjadi penyumbang terbesar terjadinya algae blooming. Menurut Sidabutar (2001), Algae Blooming menyebabkan gangguan di perairan seperti menghambat penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan, algae yang mengalami blooming menghasilkan senyawa beracun yang berakibat pada kematian biota perairan. Ketika ganggang
125 yang mengalami blooming mati, sel-selnya akan turun ke dasar perairan dan mengalami pembusukan sehingga terjadi peningkatan populasi bakteri pembusuk yang membutuhkan banyak oksigen. Apabila tidak segera ditangani fenomena algae blooming akan menjadi masalah yang cukup serius. Fenomena ini akan mengakibatkan kematian masal biota laut yang menjadi sumber mata pencaharian sebagian penduduk. Kematian ikan tersebut disebabkan karena kekurangan zat makanan dan kekurangan cahaya matahari karena algae yang hidup di permukaan air akan menghalangi sinar matahari masuk ke dasar perairan. Dan ada pula spesies algae yang juga memproduksi toksin, yang tentu merugikan organisme lain termasuk manusia. Melalui proses rantai makanan, toksin tersebut akan berpindah dan terakumulasi pada zooplankton dan kerang- kerangan yang memakannya. Selanjutnya, zooplankton akan dimakan oleh ikan sehingga menyebabkan ikan mati. Demikian pula halnya dengan kerang-kerangan yang dimakan oleh hewan lain atau manusia, maka hewan dan manusia itupun akan keracunan bahkan menyebabkan kematian. Untuk mengurangi terjadinya HABs bisa dilakukan pengawasan ketat terhadap pengolahan limbah industri dan pertanian maupun membatasi perkembangan tambak-tambak budidaya rumput laut, ikan, udang, dan sebagainya. Pembatasan penggunaan pupuk pada pertanian juga dapat menjadi solusi mengurangi terjadinya HABs meskipun merugikan industri pertanian. HABs di Teluk Lampung Perairan di Indonesia yang cukup sering terjadi HABs antara lain perairan Lampung. HABs di Lampung dikenal sebagai pasang merah atau red tide. Algae blooming di Lampung terjadi karena adanya polusi limbah domestik perkotaan atau budidaya perikanan dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lampung. Selain itu terjadinya blooming juga dipicu oleh ketersediaan sinar matahari yang cukup melimpah dan tidak adanya turbulensi dalam air, saat air dalam kondisi tenang lebih dari enam jam maka potensi terjadinya bloom semakin besar. Kerugian yang dirasakan penduduk di Lampung adalah kematian ikan-ikan budidaya di keramba jaring apung. HABs di Lampung terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama karena bentuk geografis teluk Lampung yang menjorok kearah daratan sehingga arus tambak berputar di sekitar wilayah tersebut. Lampung sendiri merupakan salah satu provinsi yang menjadi pusat produksi perikanan budidaya nasional sehingga HABs merupakan ancaman yang cukup serius di wilayah ini. Fenomena HABs tidak akan mengakibatkan dampak yang serius apabila masyarakat sudah tanggap dan siap menghadapi dampaknya. Masyarakat pesisir diharapkan memiliki kesadaran atas apa yang terjadi di lingkungannya. Saat masyarakat sudah lebih sensitif terhadap lingkungannya maka dampak fenomena HABs bisa diminimalisir korbannya. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat, khususnya masyarakat pesisir, sangat dipengaruhi dengan latar belakang sosial ekonomi dan kondisi lingkungan yang mendukungnya (pemerintah setempat dan komunitas masyarakat). Secara ringkas, hasil data kuesioner Teluk Lampung menunjukkan perbedaan. Masyarakat di Teluk Lampung lebih paham akan adanya HABs. Namun saat ditanyakan apakah pernah menemukan perubahan warna air laut, lebih dari setengah responden di daerah penelitian pernah melihat sendiri perubahan warna laut. Artinya masyarakat sebenarnya sudah pernah tahu mengenai HABs namun dengan pemahaman yang masih belum sama antara satu sama lain. Kesadaran masyatakat untuk menghadapi bahaya HABs di Lampung masih kurang. Hal ini diindikasikan bahwa responden yang melapor ke pemerintah setempat saat melihat fenomena HABs masih sangat kecil (dibawah 20 persen). Namun ternyata pemerintah juga kurang menanggapi bahaya HABs. Informasi mengenai tindakan yang harus dilakukan
126 masyarakat juga sangat sedikit sekali. Responden yang pernah mendapatkan informasi untuk mengatasi dampak HABs kecil sekali. Informasi tersebut juga bukan dari pemerintah setempat namun dari media seperti TV dan Koran. Pemahaman dan Pengetahuan Terhadap Fenomena Harmfull Algae Bloomings Pemahaman masyarakat pesisir Teluk Lampung akan fenomena HABs sudah cukup bagus. Hal ini terlihat pada pahamnya masyarakat akan istilah Harmfull Algae Blooms. Menurut data yang diperoleh sejumlah 57 persen responden mengatakan tahu dan pernah mendengar mengenai HABs. Pengetahuan masyarakat di Teluk Lampung sudah cukup bagus karena fenomena HABs sudah cukup sering terjadi di perairan wilayah tersebut. Pengetahuan masyarakat tersebut dipengaruhi oleh aktifnya peran pemerintah lokal maupun pemerintah pusat (melalui Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung – Kementerian Kelautan). Tingkat kedalaman pemahaman masyarakat akan HABs juga mendalam hingga mampu menjelaskan warna apa yang dilihat selama fenomena tersebut. Gambar 1. Warna Laut yang pernah dilihat responden (Sumber: Data Survei) Sebanyak 70.3 persen masyarakat pesisir Teluk Lampung mengatakan pernah melihat laut berubah warna secara langsung. Warna air laut yang dilihat masyarakat responden cukup beragam. Sebagian besar masyarakat melihat air laut berubah warna dari kemerahan (52 persen) hingga kecoklatan (20 persen) dan orange (16 persen). Kecil sekali persentase masyarakat yang melihat laut berubah warna menjadi hijau. Perubahan warna menjadi merah dan turunannya ini disebabkan oleh jenis HABs yang terjadi di Lampung. Hasil survei juga memperlihatkan bahwa lebih dari separuh responden melihat perubahan warna air laut pada awal tahun 2013, walaupun responden tidak bisa menyebutkan dengan persis tanggal dan bulannya. Perubahan warna juga dilihat masyarakat kurang lebih antara 1-3 hari (63.2 persen). Sebagian besar masyarakat yang pernah melihat perubahan warna air laut karena fenomena HABs bermatapencaharian sebagai nelayan (84,5 persen). Hal ini sangat masuk akal mengingat sebagian besar waktu nelayan dihabiskan di perairan laut. Bahkan nelayan petambak acapkali menginap di laut hingga berhari-hari sehingga kelompok masyarakat inilah yang paling peka melihat perubahan kondisi perairan laut. Masyarakat pesisir Lampung juga mampu mengidentifikasikan kondisi lingkungan saat terjadi HABs. Ciri lingkungan saat terjadi HABs antara lain terjadi (i). Hujan lebat yang turun sesekali kemudian diikuti panas terik. (ii). Perairan terlihat tenang, tidak berombak, dan arus tidak terlalu kencang. (iii). Air laut terlihat keruh, kotor, dan mulai berubah warna. (iv). Air laut ketika disentuh terasa licin dan berlendir. (v). Terjadi kematian masal hewan laut. Sebagian 37% 24% 9% 11% 19% kemerahan kekuningan kehijauan orange kecoklatan
127 besar masyarakat pesisir mengatakan merasakan dan atau melihat air laut terlihat keruh, kotor, dan mulai berubah warna (32,9 persen) serta air laut ketika disentuh terasa licin dan berlendir. Masyarakat mulai menyadari bahwa setelah terjadi perubahan kondisi lingkungan tersebut akan muncul red tide atau algae blooming. Saat air terlihat keruh dan kotor seperti terkena tumpahan minyak dan warnanya mulai berubah (menjadi gelap keruh) masyarakat khususnya petani tambak mulai melakukan tindakan agar tidak terjadi kerugian yang lebih besar. Peristiwa red tide di Teluk Lampung pada umumnya terjadi di pagi hari dan secara perlahan mulai meluas di perairan yang tenang. Masyarakat pesisir Lampung juga mampu mengidentifikasikan kondisi lingkungan saat terjadi HABs. Ciri lingkungan saat terjadi HABs antara lain terjadi (i). Hujan lebat yang turun sesekali kemudian diikuti panas terik. (ii). Perairan terlihat tenang, tidak berombak, dan arus tidak terlalu kencang. (iii). Air laut terlihat keruh, kotor, dan mulai berubah warna. (iv). Air laut ketika disentuh terasa licin dan berlendir. (v). Terjadi kematian masal hewan laut. Sebagian besar masyarakat pesisir mengatakan merasakan dan atau melihat air laut terlihat keruh, kotor, dan mulai berubah warna (32,9 persen) serta air laut ketika disentuh terasa licin dan berlendir. Masyarakat mulai menyadari bahwa setelah terjadi perubahan kondisi lingkungan tersebut akan muncul red tide atau algae blooming. Saat air terlihat keruh dan kotor seperti terkena tumpahan minyak dan warnanya mulai berubah (menjadi gelap keruh) masyarakat khususnya petani tambak mulai melakukan tindakan agar tidak terjadi kerugian yang lebih besar. Peristiwa red tide di Teluk Lampung pada umumnya terjadi di pagi hari dan secara perlahan mulai meluas di perairan yang tenang. Terjadinya fenomena HABs di Teluk Lampung disebabkan oleh perilaku masyarakat disekitarnya. Perilaku masyarakat yang akan memicu terjadinya HABs lebih parah lagi antara 10,09 9,08 32,9 45,1 2,83 0, 12,5 25, 37,5 50, 1 2 3 4 5 Persepsi Responden Keterangan: 1 = hujan lebat yang turun sesekali diikuti panas terik 2 = perairan terlihat tenang, tidak berombak, dan arus tidak terlalu kencang 3 = air laut terlihat keruh, kotor, dan mulai berubah warna 4 = air laut ketika disentuh terasa licin dan berlendir 5 = terjadi kematian masal hewan laut Gambar 2. Kondisi Lingkungan Saat Terjadi HABs (%) (Sumber: Data Survei)
128 lain membuang berbagai limbah baik limbah rumah tangga maupun limbah dalam skala yang lebih besar lagi (misalnya pabrik) ke laut. Lebih dari separuh responden membuang limbah ke laut. Hal tersebut diperparah lagi oleh adanya aliran keramba jaring apung (KJA) yang semakin memperparah kerusakan di laut seperti adanya abrasi maupun pendangkalan atau bahkan penumpukan sampah di perairan. Adanya buangan limbah, baik limbah rumah tangga, pertanian maupun industri, yang bermuara di perairan laut menyebabkan konsentrasi nutrient yang berasal dari proses pencemaran air dengan zat-zat makanan yang berlebih ke dalam ekosistem air semakin besar dan meningkatkan terjadinya algae blooming, terutama kandungan ion fosfat (PO3-) dan Nitrogen (N) yang ternyata menguntungkan bagi beberapa spesies alga. Dan inilah yang akan menyebabkan populasi algae menjadi tidak terkontrol. Apabila tidak segera ditangani, fenomena HABs akan menjadi masalah yang cukup serius. Fenomena ini akan menyebabkan ikan, atau organisme lain yang masih satu ekosistem mengalami kematian. Kematian ini lebih disebabkan karena kekurangan zat makanan dan kekurangan cahaya matahari. Karena alga yang hidup di permukaan air akan menghalangi sinar matahari masuk ke dasar perairan. Dan ada pula spesies alga yang juga memproduksi toksin, yang tentu merugikan organisme lain termasuk manusia. Kejadian HABs yang menyebabkan kematian ikan di Lampung ternyata tidak diketahui semua responden. Hanya separuh responden yang mengetahui ataupun mendengar kabar adanya kematian mendadak ikan dan biota laut lainnya. Kejadian kematian ikan diketahui sebagian besar responden, hanya sedikit responden yang mengetahui adanya kematian ikan mendadak sebelum tahun 2012. Rata-rata kematian ikan tersebut terjadi selama 3 hari (54,23 persen). Responden mengetahui kabar tersebut dari melihat langsung maupun media cetak. Gambar 3. Persentase Lama Kematian Ikan di Teluk Lampung (Sumber: Data Survei) Beruntung fenomena HABs tidak menimbulkan korban jiwa di kawasan Teluk Lampung. Belum ditemukan korban yang mininggal karena memakan biota laut yang tercemar HABs. Hanya 8,51 persen responden yang mengatakan bahwa di daerahnya pernah ada orang yang sakit karena mengkonsumsi ikan dan biota laut lainnya yang terkena HABs. Sebagian besar korban keracunan makanan dari laut dengan ciri mual, muntah, pusing, hingga radang tulang. Selain melakukan pengobatan ke dokter, 3,8 persen responden mengatakan bahwa ada juga pengobatan secara tradisional dengan meminum obat alami seperti santan ke kelapa dan susu. Ada juga yang mengatakan ada pengobatan dengan cara sedekah laut namun frekuensinya 1,8519 8,3333 13,8889 48,1481 2,7778 17,5926 7,4074 0,00 12,50 25,00 37,50 50,00 62,50 I hari 2 hari 3 hari 7 hari 14 hari 30 hari 90 hari
129 sangat kecil. Adat maupun budaya juga nyaris tidak pernah dilakukan jika terjadi fenomena HABs. Kesadaran masyatakat untuk menghadapi bahaya HABs di Lampung sudah cukup bagus. Hal ini diindikasikan bahwa responden yang melapor ke pemerintah setempat saat melihat fenomena HABs sudah mencapai 42,5 persen. Walaupun respon pemerintah masih kurang. Saat ada masyarakat yang melapor, hanya 9,1 persen responden yang mengatakan ada tindakan lanjutan dari pemerintah untuk mengatasi dampak HABs. Pemerintah setempat belum mempunyai program khusus untuk memberikan informasi mengenai penanganan HABs pada masyarakat. Saat ini sebagian besar masyarakat justru memperoleh informasi mengenai HABs dari media televise. Idealnya masyarakat seharusnya tahu lebih dulu daripada stasiun televise maupun media lainnya. Informasi mengenai HABs sangat penting untuk diketahui seluruh masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir laut. Nelayan merupakan kelompok yang harus mempunyai pengetahuan mengenai HABs lebih banyak dibanding masyarakat yang tinggal di perbukitan misalnya karena nelayan yang akan merasakan dampak langsung. Menurut masyarakat, nelayan merupakan pihak pertama yang menginformasikan terjadinya HABs kepada masyarakat luas. Informasi dasar yang harus dimiliki masyarakat mengenai HABs adalah penyebab HABs, cirri-ciri HABs, tindakan yang harus dilakukan saat terjadi HABs, cara penanganan HABs, dan dampak HABs. Dari keseluruhan informasi penting tersebut, masyarakat pesisir teluk Lampung menganggap informasi mengenai tindakan yang harus dilakukan saat terjadi fenomena HABs adalah yang paling penting. Gambar 4. Persentase Asal informasi mengenai HABs (Sumber: Data Survei) Fenomena algae blooming yang terjadi di Teluk Lampung hingga saat ini masih menyisakan persoalan bagi nelayan budidaya. Ribuan ikan mati saat terjadi ledakan alga. Kematian ikan budidaya yang menyebabkan kerugian besar secara ekonomi membuat para petambak, terutama petambak kerapu, enggan melakukan usaha budidaya. Pertumbuhan alga yang sangat besar dapat mengganggu dan menutup insang ikan dan menyebabkan kematian masal. Fenomena yang diprediksi akan terus terjadi karena dampak pemanasan global ini memerlukan upaya tindakan yang tepat agar dapat meminimalisir kerugian. Salah satu contoh indakan yang harus segera dilakukan saat perairan terkena HABs adalah dengan memindahkan ikan yang ada 3,3 69,5 7,2 17,9 2,1 0,0 17,5 35,0 52,5 70,0 87,5 pemerintah setempat TV Radio media cetak forum warga
130 di keramba jarring apung ke daratan untuk sementara hingga kondisi perairan pulih kembali. Apabila masyarakat mengetahui berbagai macam tindakan yang harus dilakukan saat terjadi HABs maka akan sangat menolong kondisi mereka. Kesimpulan Masyarakat pesisir Lampung Teluk telah mengetahui adanya HABs namun belum semua memahami mengapa dan bagaimana peristiwa tersebut terjadi secara mendalam. Hal ini terlihat dari hasil survey bahwa lebih dari separuh responden pernah mengetahui informasi mengenai HABs (57 persen), bahkan sebagian besar pernah melihat airlaut berubah warna menjadi kemerahan, kecoklatan, hingga orange. Berbeda halnya dengan masyarakat pesisir Teluk . Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui dan tidak memahami adanya HABs (63,3 persen). Tingkat pendidikan masyarakat tidak membuat mereka lebih paham mengenai HABs. Hal ini ditunjukkan dari hasil survey, yaitu 26,7 persen masyarakat berpendidikan SMA justru tidak tahu HABs, sementara hanya 3,8 persen masyarakat yang tidak tamat SD justru mengetahui adanya HABs. Namun walaupun banyak masyarakat yang tidak memahami HABs, sebanyak 66,2 persen ternyata pernah melihat air laut berubah warna. Tetapi masyarakat tidak tahu bahwa perubahan warna tersebut disebabkan karena terjadinya HABs. Penyebab utama terjadinya HABs menurut masyarakat Lampung maupun adalah sampah, baik sampah organik rumah tangga maupun limbah pertanian, yang dibuang ke laut.Walaupun masyarakat sudah mengetahui bahwa perilaku sehari-harinya terkadang menyebabkan timbulnya HABs namun masyarakat masih sulit untuk mengubah kebiasaannya. Kondisi ini diperparah dengan topografi kedua wilayah yang berbukit-bukit sehingga menyebabkan aliran limbah organic ke laut semakin besar. Penyebaran informasi mengenai kejadian dan penanganan HABs di Lampung belum begitu bagus. Arus informasi seharusnya menjadi bagian terpenting untuk membuat masyarakat lebih memahami kejadian HABs. Media yang diharapkan menyebarluaskan informasi kejadian HABs belum begitu berperan, masyarakat yang mengetahui berita kematian ikan sebagian besar karena melihat langsung. Sedikit sekali masyarakat yang mengetahui berita kematian ikan akibat HABs melalui media cetak maupun elektronik. Masyarakat yang mengetahui kejadian HABs di Lampung memiliki kesadaran yang cukup bagus untuk melaporkan kepada pemerintah setempat. Masyarakat yang melaporkan kejadian HABs mencapai 42,5 persen. Namun tindakan pemerintah setempat untuk mengatasi HABS dari pelaporan masyarakat belum cukup terlihat (9,1 persen). Sepertihalnya dengan masyarakat, pemerintah setempat juga kurang menganggap HABs sebagai bencana mendesak yang harus segera ditangani. Hasil survey menunjukkan hanya 5,7 persen responden yang mengatakan ada tindakan lanjutan dari pemerintah untuk mengatasi HABs. Minimnya perhatian pemerintah terhadap HABs berimbas pada terbatasnya informasi mengenai tindakan yang harus dilakukan oleh masyarakat saar terjadi HABs. Masyarakat Lampung menganggap pengetahuan mengenai tindakan dan ciri-ciri munculnya HABs adalah yang terpenting. Apabila masyarakat memahami ciri-ciri munculnya HABs secara komprehensif maka masyarakat bisa meminimalisir kerugian yang akan ditimbulkan sehingga tetap waspada dalam memanfaatkan hasil laut sebagai sumber pangan dan protein.
131 Ucapan Terimakasih Terima kasih kepada Hikmah Thoha, Tumpak Sibadutar dan Triyono dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Tulisan ini Bagian dari rangkaian terkait Fenomena HABs yang dilakukan di Lampung dan Ambon. Daftar Rujukan Aditya, V., Koswara, A., Fitriya, N., Rachman, A., Sidabutar, T., & Thoha, H. (2015). Public Awareness on Harmful Algal Bloom (Hab) in Lampung Bay. Marine Research in Indonesia, 38(2), 71-75. Baker, B. (1998). Harmful algal blooms. Bioscience, 48(1), 12. Glibert, P.M., D.M. Anderson, P. Gentien, E. Granéli and K.G. Sellner. 2005. The global, complex phenomena of Harmful Algal Blooms. Oceanography, 18: 136–147. Haag, A. L. (2007). Algae bloom again. Nature, 447. Muawanah, A., A. Kartikasari and P. Hartono. 2004. Current status of HAB monitoring in Lampung Bay. In: Panggabean, L.M.G. (ed), Natural toxins of microalgae. Oseana, 31: 1–12. Sidabutar, T. (2001). Harmful algal blooms in Indonesian waters. Harmful algal blooms 2000. Sidabutar, T. (2016). Mass Mortality of Fish in Lampung Bay, Indonesia. Omni- Akuatika, 12(1). Sutomo, A. B. (2005). dengan cara menarik jaring plankton dari kedalaman 100 m ke permukaan, sedang untuk zooplankton. Pertemuan Ilmiah Tahunan ISOI 2003, Jakarta, 10-11 Desember 2003: prosiding, 78. |