Perbedaan harga buatan jerman dengan buatan china berapa kalinya

Masalah Taiwan dan Laut China Selatan adalah titik api '(hotspot)', yang berisiko memicu Perang Dunia (PD) III.  Indikasi ini terjadi  menyusul hot spot pertama lewat perang proksi antara NATO vs Rusia di Ukraina akibat -menurut Rusia- ulah AS, yang terus memanasi Rusia. 

Provokasi AS ini sebagaimana klaim Rusia dan mitranya China,  akhirnya memicu 'operasi militer' massal Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2-22, sebagaimana laporan Patrick Sorongan dari Suara Pemred berikut ini.  

DISEBUT PD III karena perang ini akan sangat dahsyat dan mengerikan, tak lagi perang konvensional sebagaimana dalam PD I dan II.  

Ini  karena  PD III bakal melibatkan berbagai jenis senjata canggih termasuk serangan siber dan kecerdasan buatan (artificial inteligence/AI) dari dua kubu, yakni AS bersama NATO yang dipimpinnya vs blok China-Rusia. 

Jika perang terjadi, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) akan menggandeng puluhan anggotanya, jika negara-negara itu setuju.  

Begitu pula dengan aliansi China-Rusia yang kemungkinan menggandeng negara-negara yang selama ini menjadi korban sanksi Barat. 

Sebutlah banyak  negara bekas Uni Soviet di Eropa Timur, Korea Utara, Irak, Pakistan di Asia, atau banyak negara di Benua Amerika.

Toh diprediksi bahwa tak semua negara anggota NATO dan mitra AS, yang mau diajak untuk berperang.   

Negara sebesar India, yang dijuluki 'benua kecil', adalah importir utama  untuk produk minyak Rusia. Sementara Benua Eropa,  yang banyak negaranya adalah anggota NATO, bergantung dari pasokan gas alam Rusia lewat pipa gas Nordstream.  

Sebagaimana Korea Selatan (Korsel) yang merupakan sekutu militer AS, juga akan berhati-hati, karena China adalah mitra dagang terbesar Korsel.   

China dan AS sendiri adalah dua kekuatan global yang sedang bersaing kuat baik teknologi dan perekonomian selain militer.

Dari aspek militer, berdasarkan peringkat 10 Kekuatan Militer Dunia 2022 versi  Global Fire Power, AS berada di peringkat pertama disusul Rusia, China, India, Jepang, Korsel, Inggris, Pakistan, Brasil, dan  Italia.

Peringkat Global Firepower ini, antara lain,  mengacu dari kekuatan militer dan keuangan hingga kemampuan logistik dan geografi. 

Juga terdapat 10  negara paling kuat di dunia pada 2022 dari kajian US News and World Report bekerjasama dengan BAV Group dan Wharton School of the University of Pennsylvania. 

Ke-10 negara ini, yakni AS, China, Rusia, Jerman, Inggris, Jepang, Perancis, Korea Selatan, Arab Saudi, dan  Uni Emirat Arab. 

Dilansir dari  World Population Review (WPR), Senin, 18 Juli 2022, negara-negara paling kuat di dunia ini,  membentuk pola ekonomi global, mempertahankan militer yang kuat, dan menetapkan kebijakan luar negeri yang efeknya bergema di seluruh dunia.  

Kajian ini dilakukan pada 2021 dengan mensurvei lebih dari 20.000 orang di seluruh dunia. 

Responden diminta untuk mengaitkan 80 negara dengan lima atribut: aliansi militer, aliansi internasional, pengaruh politik, pengaruh ekonomi, dan kepemimpinan. 

Menurut survei pada 2020, yang dirilis pada 2021, AS adalah negara paling kuat di dunia.  AS memiliki ekonomi terbesar di dunia, dengan PDB 20,93 triliun dolar pada 2020, dan anggaran militer paling besar sebesar 778 miliar dolar pada 2020.  

Pengeluaran pertahanan AS lebih tinggi seklaipun sepuluh pembelanja pertahanan terbesar berikutnya digabung, yakni China, India, Rusia, Inggris, Arab Saudi, Jerman, Prancis, Jepang, Korea Selatan, dan Italia. 

China dan Rusia masing--masing adalah negara paling kuat kedua dan ketiga, yang dikenal dengan pengeluaran militer dan bentangan fisik yang luas.  

China juga memiliki ekonomi yang besar dengan PDB sebesar 14.3 triliun dolar AS.  

Berikutnya dalam daftar tersebut adalah Jerman, Inggris, Jepang, dan Prancis, yang semuanya memiliki ekonomi besar,  dan mendistribusikan bantuan internasional dalam jumlah besar. 

Meskipun beberapa negara telah berpindah peringkat, sembilan dari sepuluh negara teratas adalah yang kembali dari daftar tahun sebelumnya.  

Satu-satunya entri baru adalah Uni Emirat Arab, yang berada di peringkat 10,  dan mendorong Israel turun ke peringkat 11.  

Sebutan terhormat untuk negara-negara paling kuat di dunia adalah Kanada, India, dan Turki. 

China Ubah Peta Politik Global

Jika terjadi perang, maka dibandingkan kubu AS, kubu China-Rusia akan didukung negara-negara yang fanatik anti-Barat.

Korea Utara dan Iran, misalnya,  yang dilaporkan sedang menggenjot progam senjata nuklirnya kendati diprotes Barat dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). 

Seperti halnya perkembangan tunggal lainnya, kebangkitan China selama dua dekade terakhir telah mengubah lanskap politik global.  

Dimulai dengan masuknya China ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada Desember 2001, China dengan cepat mengubah ekonominya dari 'pabrik untuk dunia' berbiaya rendah menjadi pemimpin global dalam teknologi canggih.  

Sepanjang jalan, China telah mengubah rantai pasokan global, tetapi juga diplomasi internasional, memanfaatkan keberhasilannya untuk menjadi mitra perdagangan dan pembangunan utama bagi negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Sebagai catatan, Indonesia lewat politik luar negeri 'abu-abu' bebas-aktif, pun menjadi mitra terbesar China dalam pembangunan insfrastuktur, semisal pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, di Provinsi Kalimantan Timur.

Adapun  kemunculan Beijing sebagai kekuatan global, juga telah menciptakan ketegangan dengan AS, yang merasa terganggu dengan upaya hegemoni dunianya.  

Ekspektasi awal bahwa integrasi China ke dalam ekonomi global akan mengarah pada liberalisasi di dalam negeri dan moderasi di luar negeri,  telah terbukti terlalu optimis.

Ini terutama terjadi sejak Presiden Xi Jinping naik ke tampuk kekuasaan di Tiongkok pada 2012.

Sebaliknya, Xi telah mengawasi tindakan keras domestik terhadap perbedaan pendapat, untuk menopang dan memperluas kontrol Partai Komunis China (PKC) atas setiap aspek masyarakat China.  

Dalam catatan Suara Pemred, taipan China pemilik Alibaba Group yakni Jack Ma, sempat 'tiarap' lama pada 2021.  

Ini karena Jack Ma dihajar pemerintahnya menyusul pernyataan nekatnya di  Shanghai bahwa kebijakan ekonomi pemerintahan China adalah produk usang alias 'peninggalan orangtua'. 

Reformasi ekonomi yang diperlukan di China, memang telah menjadi masalah, sementara praktik perdagangan dianggap tidak adil. 

Umpamanya untuk transfer teknologi paksa dan pembatasan lain untuk perusahaan asing yang beroperasi di China,  telah mengakibatkan perang dagang dengan AS, dan meningkatkan kritik dari Eropa.  

Ketika AS 'Iri' dengan 'Tiktok Cs'

Tapi, tindakan keras China ini, juga tak lepas pula dari dampak  sikap Barat terutama AS pada 2019 terkait produk-produk tenologinya. Ini sudah termasuk produk-produk media sosial China, yang dituding disusupi mata-mata negara itu. Misalnya, TikTok, WeChat, Youku Tudou, Baidu, atau Weibo.

'Kebangkitan diam-diam' China telah memberi jalan bagi ekspresi aspirasi kekuatan besar yang lebih vokal dan postur internasional yang lebih tegas. Ini terutama yang berkaitan dengan sengketa teritorial China di Laut China Selatan.

Dikombinasikan dengan program modernisasi militer Beijing, membuat banyak negara Asia dan AS menyadari bahwa kekuatan ekonomi China akan memiliki implikasi geopolitik.  

Pandemi COVID-19 pada awalnya membuka peluang bagi Beijing untuk memperluas pengaruhnya. 

Tetapi sejak itu membuat negara-negara ini mempertanyakan kredibilitas China sebagai pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dan masa depan rantai pasokan yang telah memicu kisah sukses ekonominya. 

Banyak pengamat di Barat berasumsi bahwa mengintegrasikan China ke dalam ekonomi global akan mengarah pada liberalisasi domestik, dan moderasi internasional.  

Sebaliknya, di bawah Presiden Xi, China telah mengantongi keuntungan dari kenaikan ekonominya, sambil menindak sedikit perbedaan pendapat domestik, yang muncul di bawah para pemimpin sebelumnya. 

Ketika optimisme tentang kebangkitan China mulai memudar pada akhir pemerintahan Presiden AS Barack Obama, komunitas kebijakan luar negeri AS dengan cepat merangkul konsensus bipartisan tentang perlunya bersikap keras terhadap Beijing.  

Tetapi,  perang dagang mantan Presiden Donald Trump, di tengah seruan untuk 'memisahkan' ekonomi kedua negara secara lebih luas, tidak memberikan hasil yang menentukan.  

Sejak menjabat, menurut World Population Review, pemerintahan Presiden Joe Biden, yang memerintah  AS sejak 2021, telah mencoba untuk mempertahankan tekanan ke Beijing. 

Namun, China merasa AS tak adil, termasuk banyak mencampuri urusan dalam negerinya, terutama terkait kebijakan 'Satu China' atas Pulau Taiwan serta wilayah leluhurnya di Laut China Selatan.  

Tiongkok pun merasa perlu membangun kekuatan mliter demi menjaga kedaulatannya.  

Dan, dulunya merupakan tentara darat yang memiliki personel berat dan tidak lengkap, militer China telah merombak dirinya menjadi kekuatan yang mampu bertempur di darat dan laut, di udara dan luar angkasa, serta di domain cyber.  

Peralatan mutakhir China juga semakin banyak dipasok oleh industri pertahanan China yang telah menjadi pemain global. 

Pelosi ke Taiwan, Klimaks Murka China

Kesepatan antara AS dna China tentang prinsip 'Satu China' terkait Taiwan dianggap oleh China telah dikhianati oleh AS.

Sejak Rabu, 3 Agustus 2022,  Angkatan Laut dan Udara Tiongkok  memblokade Taiwan, terhitung selama kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelocy di pulau 'sarang pemberontak'.

Latihan militer di sekitar Pulau Taiwan oleh Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) ini terus berlanjut sejak kunjungan Pelosi pada Rabu lalu.

Blokade bersama tersebut  merupakan persiapan Tiongkok untuk melakukan serangan lau, darat dan udara, dengan melibatkan senjata-senjata tercanggih.

Melibatkan  pula jet tempur siluman J-20 dan rudal hipersonik DG-17, latihan ini digenjot  setelah Pelosi mendarat di pulau yang dianggap secara serius melanggar kedaulatan China.

Latihan tersebut belum pernah terjadi sebelumnya, karena rudal konvensional PLA diperkirakan akan terbang di atas Taiwan untuk pertama kalinya.

Dengan blokade laut dan  udara tersebut, dilansir   dari tabloid Pemerintah China, Global Times, untuk kali pertamanya  PLA memasuki area dalam jarak 12 mil laut dari Pulau Taiwan.

Blokade ini menunjukkan bahwa  tidak akan ada lagi apa yang disebut garis tengah. Para ahli menilai, dengan mengelilingi Taiwan sepenuhnya maka PLA benar-benar memblokade Taiwan.

Tindakan ini menunjukkan kontrol mutlak penuh daratan China atas segala sesuatu terkait upaya kemerdekaan Taiwan. 

Komando Laut Timur PLA pada Rabu mengorganisir Angkatan Laut, Angkatan Udara, Pasukan Roket, Pasukan Dukungan Strategis, dan Pasukan Dukungan Logistik Gabungan.

Semua matra militer ini  terlibat dalam latihan gabungan,  yang berorientasi untuk pertempuran realistis di laut dan ruang udara di utara, barat daya, dan tenggara pulau.

Siaran pers Komando Laut Timur PLA menyatakan, blokade bersama, serangan laut, serangan darat dan latihan tempur udara ini menjadi inti dari operasi tersebut.

"Latihan tersebut untuk menguji kemampuan operasional gabungan pasukan," kata siaran pers.

Ini adalah pertama kalinya PLA akan meluncurkan artileri jarak jauh langsung melintasi Selat Taiwan, sebagai langkah menunjukkan kemauan kuat PLA dalam menjaga kedaulatan nasional dan integritas teritorial.

Latihan ini juga untuk menggagalkan upaya pemisahan diri lewat 'kemerdekaan Taiwan', dan kekuatan campur tangan eksternal. Demikian Zhang Junshe, seorang peneliti senior di Akademi Penelitian Angkatan Laut PLA, mengatakan kepada Global Times, Rabu. 

Senada itu, pakar militer China daratan Zhang Xuefeng  menilai, jika rudal konvensional PLA diluncurkan dari daratan ke arah barat Taiwan dan mengenai sasaran di timur, ini berarti rudal akan terbang di atas pulau. 

"Dan, ini  belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Zhang. 

Zhang  juga menunjukkan bahwa lima dari zona latihan terletak di sebelah timur,  yang disebut garis tengah Selat Taiwan, dan ini berarti bahwa keberadaan garis tersebut telah ditolak melalui tindakan nyata PLA. 

Beberapa zona latihan juga untuk pertama kalinya ditetapkan untuk mencakup area dalam jarak 12 mil laut ke pulau Taiwan. 

"Tetapi karena Taiwan sebagai bagian dari China, maka apa yang disebut laut teritorial Taiwan juga merupakan laut teritorial China," lanjut Zhang. 

Juga, latihan PLA di sekitar Taiwan dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa negara Tiongkok mampu memblokade seluruh pulau. 

"Ini juga menunjukkan bahwa masalah Taiwan bisa dilakukan oleh Tiongkok melalui cara-cara yang tidak damai, jika situasinya tidak dapat diperbaiki lagi," kata para pengamat. 

Dari area latihan militer PLA yang ditunjuk, operasi tersebut dapat menimbulkan ancaman bagi pelabuhan utama dan jalur pelayaran di Taiwan, membentuk penyumbatan total.  

Gaya penyumbatan ini bisa menjadi salah satu rencana aksi yang diambil di masa depan untuk mencapai reunifikasi secara paksa. 

Hal ini ditegaskan oleh Herman Shuai, nota bene seorang purnawiran berpangkat letnan jenderal dari Taiwan kepada Global Times, Rabu. 

Dua area latihan utara yang ditunjuk oleh PLA terletak di lepas pantai Pelabuhan Keelung dan Pelabuhan Taipei, area latihan pusat terletak di lepas Pelabuhan Taichung, area latihan selatan terletak di lepas Pelabuhan Kaohsiung.

"Sedangkan yang di timur, terletak di lepas Pelabuhan Hualien. Area latihan adalah 'templat' untuk "mengunci Taiwan," kata Shuai.  

"Jika latihan PLA memakan waktu lama, itu akan menjadi penghalang besar bagi Taiwan," tambahnya.

"Latihan PLA kali ini komprehensif dan sangat ditargetkan, menunjukkan tekad untuk menyelesaikan pertanyaan Taiwan sekali, dan untuk semua," kata pakar militer China daratan, Song Zhongping.

Latihan tersebut harus dilihat sebagai latihan rencana perang.

"Jika terjadi konflik militer di masa depan, kemungkinan rencana operasional yang saat ini sedang dilatih, akan langsung diterjemahkan ke dalam operasi tempur," kata Song.

"Itu berarti bahwa rencana pertempuran kami telah dijelaskan kepada AS dan pihak berwenang Taiwan," lanjutnya.

Dengan demikian, katanya: "Kami cukup percaya diri untuk memberi tahu mereka tentang konsekuensi dari provokasi lebih lanjut dengan cara ini."

"Dibandingkan dengan krisis Selat Taiwan pada 1996, kekuatan militer PLA kali ini telah meningkat pesat,"  kata para analis.

Peningkatan Kekuatan Militer Sejak 1966

"Pada 1996, kami tidak memiliki kapal induk, perusak besar Tipe 055, atau rudal hipersonik," ujarnya. "...…sejak itu, kemampuan kami untuk menyerang, menangkap, dan membunuh,  telah sangat meningkat,  dan pilihan serta kepercayaan militer kami telah meningkat,” tambah Song.

Sementara itu, Shuai percaya bahwa pada  1996, kemampuan pertahanan diri Taiwan relatif kuat, kemampuan proyeksi PLA masih belum mencukupi, dan jumlah kapal perang amfibi terbatas.  

Juga,  Korps Marinir Angkatan Laut PLA serta Angkatan Udara tidak memiliki keunggulan mutlak. 

Itu sebabnya PLA ketika itu tidak memiliki kemampuan untuk memblokir pulau itu sepenuhnya.

 "Itu hanya menggunakan metode uji peluncuran rudal untuk mengirim peringatan, tetapi itu tidak menimbulkan ancaman apa pun ke laut lepas Taitung dan Hualien, belum lagi kapal induk AS," ujar Shuai.  

Tapi sekarang, lanjutnya, telah  berbeda karea PLA telah berkembang bertahun-tahun. 

"Apakah itu dengan kapal perusak besar Tipe 055, kapal induk atau kapal pendarat amfibi, sekarang sepenuhnya memiliki kekuatan untuk memblokade Pulau Taiwan," tambahnya.

Tidak mencegat penerbangan Pelosi,  bukan berarti kegagalan PLA.  Sebaliknya, China daratan memilih untuk menghindari insiden yang dapat memicu Perang Dunia III.   

Pihak berwenang Tiongkok mengumumkan pada Rabu bahwa sejumlah 'pemisah Taiwan' serta beberapa perusahaan yang terkait dengan kegiatan separatis,  akan dihukum sesuai hukum.

Zhang Hua, peneliti di Institut Studi Taiwan, Akademi Ilmu Sosial China, menilai bahwa undang-undang tentang menghukum separatis Taiwan sudah lengkap, dan berlaku di daratan. 

"Pemisah Taiwan dapat diadili menurut Hukum Pidana Tiongkok karena memecah belah negara, menghancurkan reunifikasi tanah air,  dan membahayakan keamanan nasional," kata pakar itu. 

Zhang Wensheng, wakil dekan Institut Penelitian Taiwan di Universitas Xiamen menambahkan bahwa setelah reunifikasi, maka daratan Tiongkok dapat mengumpulkan bukti terhadap separatis Taiwan sesuai dengan hukum pidana. 

Bisa didirikan suatu pengadilan khusus untuk untuk mengadili mereka secara in absentia, dan memaku semua orang di mana pun mereka berada. 

Selain itu, ruang lingkup sanksi dapat diperluas ke anggota keluarga separatis Taiwan.  

Ini berarti mereka akan dilarang melakukan pertukaran bisnis dengan China daratan dan institusi tempat mereka bekerja juga harus dimasukkan dalam daftar sanksi. 

Pakar China daratan menilai bahwa tidak dapat dikesampingkan lagi bahwa lebih banyak peraturan terhadap separatis Taiwan akan diadopsi di masa depan.  

Mempertimbangkan bahwa Undang-undang Anti-Pemisahan lebih merupakan kerangka dan hukum prinsip, maka pemerintah pusat dapat merumuskan undang-undang khusus. 

UU ini  menargetkan separatis Taiwan, serupa dengan undang-undang keamanan nasional untuk Wilayah Administratif Khusus Hong Kong.  

Presiden Taiwan Berperilaku seperti Budak?

Media China menilai bahwa Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menerima Pelosi bagai seorang budak yang dikunjungi majikannya.

Tsai bahkan bersikap seperti hewan,  mencakar dan membungkuk di hadapan Pelosi, yang bersama delegasinya berkunjung  selama 16 jam di Taiwan,  pulau yang diklaim China sebagai 'sarang separatis'.

Global Times dalam ulasannya, Kamis,  4 Agustus 2022,  menilai bahwa Pelosi diterima 'sangat terhormat' seperti seorang 'permaisuri'. 

Media pro-kemerdekaan juga menggambarkan pilihan hotel tempat Pelosi bersam delegasinya menginap dengan  ungkapan kelas 'kekaisaran'. 

Juga terlihat  patuhnya Tsai saat bertemu Pelosi, membungkuk dan mencakar, yang mengesampingkan perbuatan kotor para separatis Taiwan, yang berubah menjadi pengkhianat demi keuntungan pribadi. 

"Perbudakan mereka saja sudah cukup untuk mempermalukan diri mereka sendiri ke pilar rasa malu dalam sejarah," tulis Global Times.  

Pada Rabu sore,  Pelosi meninggalkan Taiwan, yang disebut tabloid ini sebagai 'meninggalkan Taiwan di China', kemudian  terbang ke Korea Selatan.  

Selama  di Taiwan, Pelosi dan Tsai Ing-wen melakukan 'aksi ganda', masing-masing dengan pikiran tersembunyinya sendiri.  

Ucapan mereka tampak seperti kalimat lama yang sama,  yang telah mereka latih berkali-kali sebelumnya.  

"Mereka saling menyanjung, tampak gembira, dan terinspirasi. Ini tampaknya tidak hanya aneh, tetapi juga buruk, dengan latar belakang ketegangan di Selat Taiwan," kecam media ini.

Untuk menunjukkan apa yang disebutnya sebagai dukungan kuat untuk pulau itu, Pelosi menyatakan bahwa AS 'berpihak pada Taiwan'.

Pelosi kemungkinan ingin membuat dunia terkesan sebagai seorang berusia 82 tahun, yang 'menawarkan dukungan' ke Taiwna.

Kendati ada bahaya terkait manuvernya, ini sebagai cara untuk menutupi tujuan jahat dari kunjungannya.  

"Hal ini mengingatkan kita pada fenomena umum dalam komunitas internasional dalam beberapa tahun terakhir: beberapa politisi AS yang diklaim sebagai pendukungnya akan berada dalam masalah," tambah Global Times. 

Sebagai politisi AS dengan peringkat tertinggi ketiga, Pelosi tanpa malu-malu menyatakan bahwa AS 'tidak akan meninggalkan komitmennya terhadap Taiwan. 

Pernyataan ini dinilai sebagai pelanggaran terhadap komitmen politik serius Washington terhadap China.  "Di mana kredibilitas nasional AS?" tulis  Global Times.   

Pelosi dianggap telah mengklaim penentangannya terhadap 'upaya sepihak untuk mengubah status quo'. 

Selain itu, Pelosi telah mengambil inisiatif untuk menimbulkan masalah demi kepentingan politiknya sendiri.

Inisiatif Pelosi ini diklaim ceroboh karena menghasut pasukan 'kemerdekaan Taiwan'.  

Pelosi bahkan berteriak-teriak bahwa dia berharap perjalanannya akan 'membuka jalan bagi kunjungan lain oleh anggota parlemen AS'. "Bagaimana mungkin ini tidak mengubah status quo?" tulis Global Times. 

Pelosi juga menempatkan sikap bahwa dia bersedia bekerja dengan Taiwan, untuk 'mengatasi tantangan eksternal'. 

Padahal, Pelosi sebenarnya meminta otoritas DPP sebagai partai yang berkuasa di pulau itu,  untuk membayar upeti kepadanya dalam bentuk terselubung.  

Pelosi dianggap melubangi Taiwan sambil meletakkannya di tong bubuk.  "Bisa dibilang, kunjungan Pelosi ke Taiwan hampir seperti memahat," tambah Global Times. Jelas" tulisnya,

"Mata Pelosi selalu tertuju pada berapa banyak keuntungan politik dalam negeri yang akan diperolehnya dari langkah ini." 

"Tsai perlu menunjukkan bahwa dia tersanjung, tetapi sulit baginya untuk tidak memikirkan harga yang akan dibayar oleh otoritas DPP setelah Pelosi kembali ke AS," kecam Global Times.

Ditambahkan, legelisahan dan kecemasan Tsai ini tidak akan berkurang, tetapi akan terus menyebar, dan meningkat.

Ini akhirnya akan berubah menjadi keputusasaan kolektif pasukan kemerdekaan Taiwan di depan tren umum reunifikasi lintas-Selat.

Bagi Pelosi, yang memiliki sedikit waktu tersisa dalam karir politiknya, kunjungan ini sangat memuaskan kesombongannya.  

Global Times menulis, Pelosi adalah politisi yang sangat khas di Washington, karena arogan, paranoid, dan bersemangat untuk tampil.  

Banyak orang mungkin masih ingat adegan di mana dia secara terbuka merobek salinan pidato kenegaraan presiden Donald Trump pada 2020.  

Pelosi bahkan menyatakan dengan cara yang mencolok bahwa dia merobeknya karena itu adalah 'manifesto ketidakbenaran'. 

"Betapa ironisnya. Kebohongannya di Taipei juga tanpa ampun akan dirobek oleh sejarah. Dalam karir politik yang panjang Pelosi, kasus seperti itu tidak jarang terjadi," tambah Global Times. 

Pelosi dianggap  tidak bercita-cita untuk menjadi konstruktif sama sekali, atau mempertimbangkan gambaran besarnya.  

Sosok seperti itu, yang menutup mata terhadap oposisi dari semua pihak, perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan. 

Global Times menyebut, Pelosi bersikeras pergi ke Taiwan untuk menggelar pertunjukan badut.

Fakta bahwa orang yang berpikiran sempit bahkan bisa menjadi 'politisi nomor tiga' di Washington, cukup mengejutkan banyak orang.

"Perlu dicatat, kali ini banyak politisi Republik (Partai Republik, lawan dari partainya Presiden Joe Biden, Demokrat), seperti Mike Pompeo dan Marco Rubio, menghasut dengan penuh semangat, membentuk suara anti-China bipartisan," tambah Global Times. 

Menurut Global Times, hal  ini membuat Gedung Putih ragu-ragu, takut dikritik sebagai 'lunak terhadap China', dan memanjakan kunjungan Pelosi ke Taiwan.  

Kebijakan China dari AS sebenarnya telah diculik oleh atmosfir yang begitu terdistorsi, sehingga pragmatisme dan rasionalitas harus mundur secara signifikan.  

Kata-kata dan perbuatan radikal, arogan dan berisiko menjadi tidak terkendali.  

Yang menggelikan, lanjut Global Times,  setelah memanjakan perjalanan provokatif Pelosi maka Washington meminta China untuk tidak meningkatkan tindakan balasan.  

"Sungguh permintaan yang arogan dan menyedihkan," kecam Global Times. 

Kenyataan ini dinilai menyedihkan karena Washington memiliki semakin sedikit pengungkit untuk menekan China, dan pertanyaan tentang Taiwan hampir menjadi satu-satunya masalah yang dapat digunakannya. 

Tapi, bagaimanapun semua itu percuma. Kunjungan Pelosi dinilai telah menegaskan kepada dunia bahwa AS adalah perusak terbesar perdamaian di lintas Selat Taiwan.  

Karena itu, tindakan balasan apa pun yang diadopsi China dibenarkan dan perlu.  Ini secara objektif akan mempercepat proses reunifikasi China.

Serangkaian latihan militer oleh daratan untuk melawan eskalasi kolusi AS-Taiwan, sebenarnya akan membentuk blokade sementara di Pulau Taiwan.  

Beberapa separatis di Taiwan sudah mulai menghitung berapa hari gas alam mereka bisa bertahan.  

"Apakah Pelosi yang membual tentang 'solidaritas' selama di Taiwan peduli?" lanjutnya. "Siapa yang akan percaya bahwa akan ada 'teman baik' untuk menyelamatkan mereka.

"Ini akan terjadi ketika 'kemerdekaan Taiwan' menemui jalan buntu? Mereka hanya akan ditinggalkan sebagai pion," tambah Global Times.*** 

Reporter, penulis & editor: Patrick Sorongan

Sumber: Berbagai sumber