Pemerintahan SBY jk berupaya mewujudkan swasembada pangan upaya ini dilakukan dengan cara

Sungguh ironis. Sebagai negara agraris dan memiliki lahan yang subur, ternyata Indonesia masih tergantung pada pangan impor untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Bahan-bahan makanan pokok mulai dari beras, jagung, kedelai, tepung terigu, gula pasir hingga daging sapi masih diimpor dari sejumlah negara.

Swasembada pangan atau pun ketahanan pangan hingga kini masih menjadi cita-cita. Kedaulatan pangan pun masih sangat jauh dari harapan sepanjang semua kebutuhan masih dipenuhi dari impor. Negara wajib memenuhi kebutuhan pangan bagi 250 juta penduduknya. Sesuai amanat konstitusi, pangan bukan lagi menjadi hal yang strategis dan pokok, tetapi menjadi hak asasi manusia. Kalau kemudian pangan tidak dipenuhi oleh negara, maka negara melanggar hak asasi manusia.

Jadi, pemenuhan kebutuhan pangan bagi segenap bangsa Indonesia wajib dilakukan oleh negara. Tantangan memenuhi kebutuhan pangan bagi seluruh rakyat kian berat.

Salah satu tantangan utama adalah tingginya laju pertumbuhan penduduk. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah sekitar 1,1% per tahun atau 2,5 juta, maka permintaan pangan pun terus meningkat. Jika tidak diimbangi dengan peningkatan

produksi, ketergantungan terhadap impor pangan akan terus terjadi. Indonesia sudah tergantung pada impor pangan dalam 10 tahun terakhir.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), impor pangan pada 2003 tercatat US$ 3,34 miliar, sedangkan pada 2013 impor pangan mencapai US$ 14,90 miliar, atau tumbuh empat kali lipat. Melonjaknya nilai impor tersebut karena produksi pangan di dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan dan pertumbuhan jumlah penduduk. Kontribusi pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) pun terus turun dari waktu ke waktu, yaitu 15,19% pada 2003 dan menjadi 14,43% pada 2013.

Pemerintah harus segera mengambil kebijakan di bidang pangan dengan arah yang jelas. Salah satunya adalah dengan melanjutkan program swasembada pangan dan peningkatan kesejahteraan petani. Jangan sampai terjadi target swasembada pangan tercapai tapi hidup petani tetap miskin. Kita masih ingat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Oktober 2012 mencetuskan program swasembada pangan untuk lima komoditas pokok, yaitu beras, jagung, gula, kedelai, dan daging sapi. Namun, program tersebut hingga kini belum terwujud.

Setelah pemerintahan berganti, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga ingin mewujudkan Indonesia yang berswasembada pangan. Di hadapan para peserta Jakarta Food Security Summit (JFSS), Kamis (12/2), Presiden Jokowi mengungkapkan keyakinannya bahwa Indonesia dalam kurun waktu tiga sampai empat tahun ke depan mampu mencapai swasembada pangan. Keyakinan Jokowi itu setelah ia berdialog dengan para petani, nelayan, petambak yang menyatakan bahwa hasil pertaniannya meningkat dua kali lipat.

Kita punya peluang besar untuk wewujudkan swasembada pangan. Indonesia memiliki lahan yang luas dan subur untuk dijadikan sentra-sentra produk beras, jagung, kedelai dan tanaman pangan lainnya. Negara kita terletak di wilayah tropis dan memiliki curah hujan yang cukup sehingga memungkinkan ragam tanaman bisa tumbuh dengan baik. Kita juga memiliki semua sumber daya yang bisa dioptimalkan untuk mewujudkan swasembada pangan.

Di awal pemerintahannya, Jokowi telah memulai upaya ke arah penciptaan swasembada pangan dengan merevitalisasi waduk dan irigasi yang ada. Pembangunan sejumlah waduk dan irigasi yang baru juga sudah dicanangkan oleh Jokowi. Tidak hanya membangun infrastruktur pertanian, peningkatan produktivitas hasil pertanian juga akan dilakukan untuk mengimbangi konsumsi yang terus  meningkat. Maklum saja, masyarakat Indonesia merupakan konsumen nasi yang sangat besar di dunia, sekitar 130 kilogram per kapita per tahun. Angka itu empat kali lebih banyak dibandingkan konsumsi nasi masyarakat Jepang yang mencapai 30 kg/kapita/tahun.

Tingginya konsumsi nasi masyarakat Indonesia menjadi tantangan yang nyata bagi pemerintahan Jokowi dalam mewujudkan swasembada pangan untuk komoditas beras. Karena itu, diversifikasi pangan harus juga menjadi okus perhatian pemerintah agar  masyarakat kita tidak tergantung pada komoditas beras dalam memenuhi kebutuhan pangan. Masyarakat harus dibiasakan mengurangi konsumsi beras dan menggantinya dengan jagung dan ketela untuk memenuhi kebutuhan zat karbohidrat.

Tidak hanya diversifikasi pangan, masyarakat Indonesia juga harus terus didorong untuk meningkatkan konsumsi lauk guna memenuhi kebutuhan zat protein. Kita harus mencontoh masyarakat Jepang yang lebih sedikit makan nasi dan lebih banyak makan lauk. Peningkatan konsumsi lauk masyarakat sebenarnya mudah dilakukan karena kita memiliki sumber perikanan tangkap (laut) yang besar dan sentra produksi daging sapi di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Dengan produksi ikan tangkap mencapai 8 juta ton per tahun, Indonesia tidak akan kesulitan untuk memenuhi sumber protein ikan. Namun, data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkap bahwa tingkat konsumsi ikan per kapita masyarakat Indonesia pada 2013 yang sebesar 35 kg/kapita/tahun masih jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia (56,1 kg/kapita/tahun) dan Singapura (48,9 kg/kapita/tahun), bahkan Filipina (35,4 kg/kapita/tahun).

Mewujudkan swasembada pangan memang suatu keharusan. Sebab, ketergantungan pada impor pangan akan semakin berat bebannya seiring terbukanya pasar bebas, baik di tingkat global maupun regional. Namun, swasembada pangan hanya akan tercipta jika semua pihak dilibatkan dan dapat menikmati hasilnya. Peningkatan kesejahteraan petani, nelayan, dan petambak yang menjadi ujung tombak swasembada pangan juga harus menjadi sasaran dari kebijakan pemerintah.

Editor : Juang N Hutagalung ()

Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia

Senin, 20 Okt 2014 08:25 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia selama dua periode mulai 2004 sampai 2014 ternyata belum cukup bagi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk dapat mewujudkan program swasembada pangan. Terus bertambahnya kebutuhan pangan rakyat Indonesia seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi pangan dari sawah dan kebun petani lokal.Data Kementerian Perdagangan menyebutkan, nilai impor pangan dalam lima tahun terakhir SBY memimpin terus mengalami peningkatan. Pada 2009 lalu jumlah bahan pangan yang diimpor tercatat sebanyak 12,36 juta ton, kemudian sampai akhir 2013 jumlahnya meningkat 60,03 persen menjadi 19,78 juta ton.Sementara sepanjang Januari-Juni 2014, jumlah pangan yang diimpor sudah mencapai 10,90 juta ton. Tidak hanya beras, tetapi juga gandum dan tepung gandum, gula, kedelai, jagung, susu, buah, sayur, sapi dan daging sapi, garam, kentang, minyak goreng, sampai cabe.Uang yang seharusnya bisa mensejahterakan petani lokal, justru dinikmati negara lain yang mengekspor bahan pangan tersebut ke Indonesia. Nilainya pun fantastis, bukan lagi jutaan rupiah tetapi miliaran dolar Amerika Serikat. Kementerian Perdagangan mencatat, untuk mengimpor bahan pangan tersebut Indonesia harus membayar US$ 9,54 miliar sepanjang 2013. Angka tersebut naik 86,69 persen dibandingkan nilai impor bahan pangan pada 2009 yang tercatat sebesar US$ 5,11 miliar. Sementara sampai pertengahan 2014 nilai impor pangan Indonesia sudah menyentuh angka US$ 4,99 miliar.Kondisi tersebut dianggap cukup membuktikan SBY hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan topangan sektor industri dan melupakan keunggulan sektor agraria yang dulu pernah diagungkan Indonesia. Insentif pajak justru banyak diberikan kepada pemilik modal lokal dan asing yang berencana membangun pabrik baru di Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang luar biasa, permintaan lahan untuk industri dan infrastruktur meningkat tajamMuhammad Tassim Billah
Terus bertambahnya jumlah kawasan industri baru, harus dibayar mahal dengan mengorbankan lahan pertanian yang mengakibatkan produksi pangan nasional turun drastis. Para petani tradisional yang masih mengandalkan hidupnya dari kegiatan bercocok tanam, pada akhirnya harus rela menjual sawah dan kebun kepada perusahaan pengembang kawasan industri dan perumahan akibat harga jual padi, buah, dan sayur yang tidak cukup untuk makan sehari-hari.Sensus Rumah Tangga dan Perusahaan Pertanian Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah rumah tangga di Indonesia yang menjalani profesi sebagai petani turun 5 juta selama SBY memimpin. Jika pada akhir 2003 jumlahnya masih berjumlah 31,23 juta rumah tangga, namun pada akhir 2013 tersisa 26,14 juta rumah tangga atau turun 16,32 persen.Deputi Bidang Statistik Produksi BPS Adi Lumaksono menjelaskan, penurunan terbesar terjadi pada petani gurem yang rata-rata memiliki areal pertanian kurang dari setengah hektar. "Hasil panen para petani gurem tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya produksi. Akhirnya banyak yang menjual sawah, kemudian beralih kerja menjadi buruh kasar atau menjadi pembantu di Timur Tengah dan Hong Kong,” jelas Adi pada Seminar Nasional Ikatan Perstatistikan Indonesia di Jakarta, September lalu.Adi menyebutkan rata-rata pendapatan rumah tangga petani sekitar Rp 12,41 juta per tahun atau sekitar Rp 1,03 juta per bulan, lebih rendah dibanding rata-rata upah minimum provinsi terendah di Indonesia sebesar Rp 1,2 juta per bulan. Pendapatan tersebut jelas tidak mencukupi untuk menghidupi anggota keluarga petani dengan layak.Kepala BPS Suryamin mengatakan penjualan sawah dan kebun petani telah meningkatkan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan atau kawasan industri rata-rata 1,5 persen per tahun. Pada 2013 luas lahan panen komoditas padi turun 1,92 persen menjadi 265.310 hektar dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara produktivitas seluruh lahan tersebut hanya meningkat sebesar 0,06% menjadi 0,03 kuintal per hektar dibandingkan 2012.Kementerian Pertanian mendata, total lahan pertanian dan perkebunan di Indonesia hanya tersisa 8 juta hektar. Sebagian besar justru didominasi lahan perkebunan komoditas yang dimiliki oleh perusahaan besar seperti pengolahan kelapa sawit."Pembangunan perumahan jangan lagi menggunakan daerah lahan subur. Gunakan lahan-lahan kering. Pemerintah baru harus membuat peraturan yang melarang lahan subur digunakan sebagai lahan perumahan. Berikan tindakan tegas bagi yang melanggar," kata Suryamin.Perlindungan terhadap lahan-lahan subur menurutnya harus dilakukan agar Indonesia tidak mengalami krisis lahan yang bisa mengganggu produktivitas pertanian dan membuat lebih banyak lagi impor pangan di masa depan."Pemerintah harus memperbaiki infrastruktur dasar seperti irigasi dan akses jalan sehingga dapat meningkatkan produktivitas pertanian. Masyarakat juga harus dirangsang lagi untuk kembali bertani dengan memberikan kepastian akan harga jual, pasokan bibit dan pupuk, serta dibukakan pasar," Adi Lumaksono menambahkan.

Dampak MP3EI

Pemerintahan SBY jk berupaya mewujudkan swasembada pangan upaya ini dilakukan dengan cara
Jumlah rumah tangga yang menjalani profesi sebagai petani turun 5 juta (16,32 persen) selama SBY memimpin. (Reuters/Beawiharta)

Kementerian Pertanian tidak menampik terjadinya peningkatan alih fungsi lahan tersebut. Muhammad Tassim Billah, Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian mengatakan berkurangnya lahan pertanian terjadi dalam kurun lima tahun terakhir terutama sejak dimulainya pembangunan proyek-proyek dalam masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI)."Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang luar biasa, permintaan lahan untuk industri dan infrastruktur meningkat tajam," kata Tassim.Bahkan Tassim menilai rencana program Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang akan mencetak 1 juta hektar sawah baru di luar Pulau Jawa akan sulit dilakukan. “Tidak akan mudah, karena 30 persen lahan pertanian yang subur terdapat di Pulau Jawa. Sementara di Pulau Jawa sudah padat pemukiman penduduk,” ujarnya.Menurut Tassim satu-satunya cara yang bisa dilakukan pemerintahan baru untuk menambah lahan pertanian adalah dengan mengonversi lahan hutan. “Mungkin bisa saja dari lahan hutan dengan memerintahkan Dinas Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional. Satu juta hektar itu sangat luas dan bisa dibagikan kepada 1 juta petani baru," kata Tassim.

Solusi Kartu Petani Sampai Resi Gudang

Pemerintahan Joko Widodo diminta lebih gencar lagi menerapkan Undang-Undang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang mengatur penggunaan lahan pertanian. UU tersebut juga mengatur pelarangan penggunaan lahan subur sebagai lahan perumahan atau industri.Tassim menjelaskan Kementerian Pertanian saat ini tengah mengusulkan rencana penerbitan Kartu Petani yang akan dibagikan ke seluruh Indonesia. Tassim berharap Presiden Joko Widodo dapat mendukung rencana tersebut ."Dengan kartu ini, pemerintah bisa mengontrol langsung sehingga subsidi yang diberikan tidak salah sasaran,” ujarnya. Masukan bagi pemerintah tidak hanya datang dari Kementerian Pertanian. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhapi) awal Oktober ini juga berkumpul membahas masukan yang bisa dilakukan pemerintahan Joko Widodo untuk memperbaiki kondisi pangan Indonesia yang memprihatinkan.Erwidodo, Peneliti Utama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) menilai kebijakan SBY mengesampingkan sistem resi gudang membuat Indonesia tidak bisa menjaga ketahanan pangan. Resi gudang sebagai bukti kepemilikan barang yang disimpan di gudang kelolaan pemerintah dinilai bermanfaat bagi petani. Sebab, petani tidak perlu menjual langsung hasil panennya jika harga sedang turun. Harga produk pertanian yang terjaga tersebut akan membuat petani nyaman menjalankan pekerjaannya dan tidak beralih ke profesi lain.“Di Tiongkok dan Vietnam, ketahanan pangannya tercipta karena sistem ini. Hampir seluruh negara di dunia memiliki sistem pergudangan yang dikelola dengan baik untuk produk pertanian. Gudang adalah pendukung utama untuk meningkatkan produksi," kata Erwidodo.

Joko Widodo masih beruntung sebab selain menerima warisan masalah pangan, SBY ternyata masih mewariskan anggaran sebesar Rp 55,58 triliun untuk membenahi persoalan pangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah (APBN) 2015. Alokasi dana subsidi pangan, pupuk, dan benih tersebut meningkat 36,32 persen dibandingkan 2014 yang sebesar Rp 40,77 triliun. Seiring dengan bergantinya pucuk pimpinan pemerintahan, bola panas urusan perut rakyat kini berada di tangan Joko Widodo.

LIVE REPORT

LIHAT SELENGKAPNYA