Panel pada relief di candi borobudur atau wayang beber mempunyai kemiripan dengan komik

sebagai Cikal Bakal Komik Indonesia ISSN 2656-9973 MENGGUNJING RELIEF CANDI BOROBUDUR SEBAGAI CIKAL BAKAL KOMIK INDONESIA Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Ma Chung Villa Puncak Tidar N-01, Doro, Karangwidoro, Kec. Dau, Malang, Jawa Timur, 65151 e-mail : Abstraksi Merujuk pada kajian sejarah Komik Indonesia, sebagian besar kritikus dan peneliti bersepakat bahwa komik pertama Indonesia adalah Put On karya Kho Wan Gie, yang terbit pada tahun 1930-an di harian Sin Po dalam bentuk medium komik strip yang bernuansa humor. Namun sebagian diantaranya menganggap relief candi Borobudur, wayang beber, dan wayang kulit sebagai cikal bakal komik Indonesia. Hal ini menjadi ganjil ketika menganggap Put On sebagai komik Indonesia pertama, sembari meyakini relief candi Borobudur merupakan cikal bakal bentuk komik sebagai medium. Keduanya, secara historis tidak memiliki hubungan logis, baik dari segi kelanjutan (continuities) maupun perubahan (changes). Klaim semacam itu juga disebabkan oleh kejumbuhan pengertian tradisional komik yang ahistoris. Kejumbuhan ini menyebabkan relief candi Borobudur terseret ke dalam kategori komik (atau setidaknya mirip komik ), dan diklaim sebagai cikal bakal komik Indonesia. Esai ini mengekplorasi konteks sosio-historio-kultural untuk mendedahkan hal tersebut. Dari uraian argumen didapatkan beberapa kesimpulan bahwa : 1) Relief candi Borobudur tidak dapat dikatakan sebagai cikal bakal komik Indonesia, keduanya tidak memiliki kontinuitas dan juga garis genealogi yang cukup jelas; 2) Komik Indonesia modern tidak mewarisi tradisi relief maupun wayang dari segi stilisasi, teknik, material, proyeksi aksonometri dan juga arah baca; 3) Bentuk, struktur, karakteristik, dan medium komik Indonesia di awal-awal masa kemunculannya, dikenal oleh komikus Indonesia melalui proses belajar kepada pelukis/seniman asing, atau pengenalan terhadap komik Eropa dan Amerika yang terlebih dahulu masuk dan beredar di Indonesia. Kata Kunci : Komik, Borobudur, Candi, Wayang, Relief Abstract Referring to the study of Indonesian Comics, most of the critics and researchers agreed on Indonesia's first comic is Put On, (Kho Wan Gie), published in the 1930s in Sin Po Daily in the form of humorous strip comic medium. Most consider the reliefs of the Borobudur temple, wayang beber, and wayang kulit as "forerunners" of Indonesian comics. This is an odd compilation that considers Put On as the first Indonesian comic while believing the relief of the Borobudur temple as the forerunner to the form of comics as a medium. Also, historically it has no logical connection, both in terms of continuity (continuity) and change (change). Such claims are also related to the triumph of ahistorical traditional notions of comics. This incident caused the relief of Borobudur temple to be dragged into the comic category, or claimed to be the forerunner of Indonesian comics. This essay explores the socio-historio-cultural context to expose this. From the description of the arguments obtained several conclusions that: 1) Relief of the Borobudur temple cannot be approved as the forerunner of Indonesian comics, which have no continuity and also the genealogy line is quite clear; 2) Modern Indonesian comics do not inherit relief or puppet traditions in terms of stylization, technique, material, axonometric revolution and also the direction of reading; 3) The form, structure, characteristics, and mediums of Indonesian comics in the early days of their emergence, were known by Indonesian comic artists through the learning process for foreign painters/artists, or by introducing European and American comics which were sent in advance and transferred to Indonesia. 53 Volume 02, Nomor 01, Mei 2020

Keywords: Comic, Borobudur, Candi, Wayang, Relief Beberapa waktu yang lalu, ketika melakukan studi tentang komik Indonesia, saya dihadapkan pada beberapa jurnal ilmiah dan buku referensi. Beberapa literatur tersebut saya jadikan rujukan dalam menyusun tinjauan pustaka, landasan teori, dan juga historiografi singkat mengenai komik Indonesia. 1 Tiga diantaranya yakni, pertama; Komik Indonesia yang merupakan terjemahan dari Les Bandes Desinees Indonesiennes karangan peneliti Perancis Marcell Bonneff; kedua, Asian Comics karangan John A. Lent; dan yang ketiga, Komik : Dunia Kreatif Tanpa Batas karangan Indiria Maharsi. Ketiganya memuat historiografi singkat tentang komik Indonesia. Dalam Asian Comics, Lent memaparkan sejarah komik Indonesia pada chapter 7, setelah sebelumnya ia memaparkan sejarah komik di Asia Barat (East Asia), China, Hong Kong, Taiwan, dan Cambodia dalam 6 chapter, dan setelahnya Malaysia, Myanmar, dan Philipines. Dalam chapter tersebut, Lent memulai sejarah komik Indonesia (The Beginnings) dengan Put On karya Kho Wan Gie, sebagai komik pertama Indonesia. Lent mengatakan bahwa Put On merupakan The earliest known indigenous newpaper strip, published in 1931 in Indonesianese-language daily Sin-Po. 2 Baik Lent, Bonneff, dan juga Maharsi, ketiganya sepakat bahwa komik pertama Indonesia adalah Put On, yang terbit pada tahun 1930an di harian Sin Po dalam bentuk medium komik strip yang bernuansa humor. Bonneff juga mengatakan bahwa Put On merupakan Komik Timur yang muncul berkat surat kabar besar Sin Po, sebuah media komunikasi Cina peranakan yang berbahasa Melayu. 3 Maharsi juga mengatakan bahwa karakter komik Indonesia pertama muncul dalam karakter seorang peranakan Tionghoa yang bernama Put On karya Kho Wan Gie. 4 Dalam pernyataan tersebut, Maharsi menyebut kata karakter sebanyak dua kali, yang pertama dalam kalimat karakter komik Indonesia, dan yang kedua karakter seorang peranakan Tionghoa. Yang pertama tentunya cukup problematis dan ambigu, apakah mengacu pada karakter (ciri-ciri khusus) gaya gambar, ataukah isi dari komik tersebut, tentunya membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Uniknya, meskipun Bonneff dan Maharsi bersepakat bahwa komik Indonesia pertama adalah Put On, keduanya memulai historiografi mereka dari era klasik Indonesia. Bonneff mengawali catatannya dari sub-bab Gambar-gambar Pertama ( Prasejarah Komik ), sedangkan Maharsi mengawali dari sub-bab berjudul Borobudur dan Wayang Beber, Cikal Bakal Komik Indonesia?. Di akhir sub-bab itu, Bonneff mengatakan demikian : Sejarah komik Indonesia dapat ditelusuri sampai ke masa prasejarah. Bukti pertama terdapat pada monumen-monumen keagamaan yang terbuat dari batu itu. Kemudian, lebih dekat dengan masa kini, ada wayang beber dan wayang kulit yang menampilkan tipe penceritaan dengan sarana gambar yang dapat dianggap sebagai cikal bakal komik. Nampaknya yang dimaksud oleh Bonneff sebagai monumen-monumen keagamaan yang terbuat dari batu itu adalah candi, dan ia berpendapat bahwa candi, wayang beber, dan juga wayang kulit adalah cikal bakal komik. Pernyataan tersebut tentunya ambivalen, karena di awal sub-bab tersebut, sebenarnya Bonneff telah menyatakan kehati-hatiannya : 1 Kajian yang saya lakukan adalah analisis isi terhadap komik Sandhora karya Teguh Santosa (1970). Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan makna primer, sekunder, dan intrinsik yang membentuk dunia motif artistik, gambar komik, dan nilai simbolik dalam komik tersebut. Dengan menggunakan metode sejarah dan pendekatan teori ikonografi dan ikonologi Erwin Panofsky, kajian ini menemukan bahwa tema yang diangkat dalam komik tersebut ini adalah kemanusiaan dalam konteks pluralisme dan multikulturalisme dalam setting cerita di Indonesia. Tema komik ini menunjukkan betapa kuatnya komitmen terhadap paradigma estetik Humanisme Universal, yang populer pada paruh kedua 1960-an hingga tahun 1980-an. Di samping itu, tema tersebut merupakan kristalisasi simbol dari pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan/humanisme, kebebasan berekspresi, dan kesetaraan manusia, serta upaya perjuangan budaya dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan martabat diri bangsa Indonesia di tengah masyarakat global. Kajian ini diterbitkan dalam bentuk monograf dengan judul Menimbang Sandhora : Telaah Komik Teguh Santosa, pada Oktober 2017, oleh Ma Chung Press. 2 Lihat John A. Lent, Asians Comics, Univ. Press of Mississippi, (2015: hlm. 131). 3 Lihat Marcell Bonneff, Komik Indonesia, Penerbit KPG bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris, (2008: hlm. 19) 4 Lihat Indiria Maharsi, Komik : Dunia Kreatif Tanpa Batas, Kata Buku, Yogyakarta, (2011: Hlm. 40). 54 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

Tentu saja agak terburu-buru jika kita menganggapnya sebagai bentuk arkhais dari komik, istilah yang diperuntukkan suatu genre yang sedang diusahakan didefinisikan secara jelas. Pernyataan itu dipaparkan Bonneff setelah ia menyinggung tentang lukisan di gua Lascaux yang berasal dari era prasejarah. Kahati-hatian Bonneff nampaknya semakin menipis ketika ia mulai membahas relief candi Borobudur, wayang beber, dan wayang kulit, yang kemudian menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa ketiganya merupakan cikal bakal komik. Sebagaimana para orientalis pada umunya, agaknya Bonneff juga terperanjat, terbuai oleh keindahan dan keagungan seni Nusantara. Senada dengan Bonneff, Maharsi di awal sub-babnya memberi judul dengan sebuah pertanyaan : Borobudur dan Wayang Beber, Cikal Bakal Komik Indonesia?, dan nampaknya pertanyaan itu sekaligus merupakan jawaban, ia mengatakan demikian : Dalam kaitannya dengan perkembangan sejarah komik Indonesia tidak bisa lepas dari relief Borobudur dan Wayang Beber. Dua peninggalan sejarah Nusantara ini bisa dikatakan sebagai cikal bakal komik Indonesia, walaupun formatnya tidak seperti komik modern, namun setidaknya peninggalan-peninggalan tersebut menjadi semacam bukti sejarah akan munculnya sebuah medium baru dalam ranah seni rupa modern yang disebut komik. Lepas dari nilai historis maupun seninya tentang kemungkinan bahwa monumen tersebut menjadi cikal bakal komik, sebetulnya sejarah Indonesia mencatat akan kehadiran sebuah karya besar bangsa sendiri yang sejajar dengan karya bangsa lain. Dan dalam kenyataannya nilai-nilai estetis benda bersejarah tersebut kalau dilihat dari bentuk atau formatnya bisa juga dikatakan sebagai asalmuasal medium yang disebut komik. 5 Agaknya, anggapan Maharsi bahwa relief candi Borobudur merupakan asal-muasal komik didasarkan pada kesamaan oleh apa yang ia sebut sebagai : bentuk atau formatnya. Oleh karena adanya kesamaan itu, maka menurut Maharsi, dengan sendirinya relief candi Borobudur menjadi bukti sejarah akan munculnya sebuah medium baru dalam ranah seni rupa modern yang disebut komik. Tentang hal itu, Maharsi kembali menadaskannya kembali : Gambar-gambar (relief) yang di frame (panel) saling berurutan, bersebelahan dan berdekatan (jukstaposisi) dan bertujuan untuk memberikan informasi (menjadi manusia sempurna) benar-benar memakai prinsip yang terdapat dalam komik. Sehingga sangat pas jika candi Borobudur dikatakan sebagai cikal bakal komik, dan kita harus bangga karenanya. 6 Melalui pernyataan Maharsi di atas, saya dapat menangkap tujuan luhur dari klaim relief candi Borobudur sebagai cikal bakal komik Indonesia, yakni sebuah upaya untuk membangkitkan kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang lengkap dengan buah peradaban tinggi di masa lampau. Sayangnya, klaim tersebut tidak disertai penjelasan logis, justru kemudian menukik kepada upaya-upaya menggugah emosi/ perasaan, dan membangkitkan semangat pembaca untuk dapat menerima klaim tersebut. Semacam argumentum ad populum. 7 Kesamaan bentuk dan format yang dimaksud oleh Maharsi tersebut nampaknya ada pada panel, berurutan (sekuensial) dan jukstaposisi. Sekuensial dan terjukstaposisi, keduanya merupakan properties dari definisi komik yang cukup populer, yang sampai saat ini masih problematik : Komik adalah seni sekuensial yang terjukstaposisi. Hanya karena memiliki properties yang identik, dan secara historis relief mendahului komik, maka bukan berarti kelahiran komik di Indonesia disebabkan oleh adanya penciptaan relief candi Borobudur di masa lampau. Dengan menganggap relief candi 5 Ibid, (Hlm. 33-34) 6 Ibid. (Hlm. 36) 7 Pada argumentum ad populum pembuktian sesuatu secara logis tidak dipentingkan. Yang diutamakan adalah menggugah perasaan massa pendengar, membangkitkan semangat, atau membakar emosi pendengar agar menerima suatu konklusi tertentu. Hal semacam ini banyak dijumpai pada kampanye politik, orasi, propaganda dan atau sejenisnya. Lihat Surajiyo, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar, Bumi Aksara, Jakarta. (2014: Hlm. 50-52). 55 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

Borobudur sebagai cikal bakal komik Indonesia, menurut saya, Maharsi (atau juga Bonneff) telah terjerembab dalam false cause-post hoc ergo propter hoc. 8 Di satu sisi, cikal bakal memiliki padanan kata sebagai asal-muasal, atau genealogi, yang kesemuanya mensyaratkan kesinambungan atau kontinuitas. Klaim relief candi Borobudur sebagai cikal bakal komik Indonesia, baik pada Bonneff maupun Maharsi, tidak dijumpai suatu penjelasan yang cukup memadai tentang kontinuitasnya. Untuk kali yang kedua, mereka berdua tersungkur pada false cause-non causa pro causa. 9 Kontinuitas dalam perubahan dan perkembangan sebuah bentuk karya seni merupakan suatu keniscayaan. Sebagaimana Claire Holt mengemukakan bahwa wayang kulit yang telah ada terlebih dahulu merupakan cikal bakal bentuk relief candi Jawa Timur, maka antara relief candi dengan wayang kulit memiliki kontinuitas, ia mengungkapkan demikian : Relief-relief naratif pada dinding candi Jawa Timur dikerjakan dengan gayagaya yang tidak dikenal sebelum ini. Dua kecenderungan berkembang : di satu pihak, sebuah penggambaran idilik dari adegan-adegan cerita-cerita seperti Arjuna Wiwaha atau siklus Panji digambarkan dengan keindahan yang lembut dalam perasaan yang hampir romantik. Bentuk-bentuk manusia sangat indah, dengan anggota badan yang ramping serta busana yang sederhana. Rincian-rincian dalam pemandangan tetap bentuk-bentuk alamiah. Di sisi yang lain, sebuah genre wayang berkembang, satu gaya yang di dalamnya makhluk-makhluk manusia dan supermanusia digambarkan dengan gaya yang hampir dua-dimensi, yang bentukbentuknya terstilisasi tinggi mendekati bentuk-bentuk dari boneka-boneka wayang kulit. Mengelilingi figur-figur ini, alam menjadi semakin terstilisasi, menyediakan setting magis dan supernatural. Sebagai tambahan pada dua gaya utama ini, ada relief-relief yang memadukan beberapa bentuk dari keduanya, atau yang berdiri sendiri dengan kekhasan dalam proporsi atau dengan penanganan rincian-rincian dekoratifnya. 10 Dari keterangan Claire Holt itu dapat diperoleh pemahaman bahwa bentuk relief candi periode Jawa Timur dipengaruhi oleh wayang kulit. Adapun wayang kulit tentunya lahir setelah pendahulunya, wayang beber, dan wayang beber didahului oleh relief candi periode Jawa Tengah, yang kadang juga disebut sebagai wayang batu. Bergerak maju ke depan, setelah muncul wayang kulit, lahir banyak sekali bentuk-bentuk seni wayang, diantaranya wayang krucil, wayang klithik, dan wayang topeng yang mengambil bentuk wajah dari wayang kulit, bukan secara langsung dari wajah manusia. Hari ini kita telah mengenal banyak sekali bentuk kontemporer dari wayang, seperti wayang suket, wayang plastik, serta sajian Wayang Hip Hop, dan Wayang Kampung Sebelah (WKS) di Yogyakarta. Bentukbentuk baru (sajian) wayang tersebut, memiliki kontinuitas yang logis-historis, kesemuanya berakar dari relief, baik secara bentuk maupun isi. Namun bagaimana dengan komik? Apakah komik Indonesia memang benar-benar berakar dari relief candi Borobudur? Sebelum melanjutkan pembahasan lebih jauh tentang hal ini, nampaknya kita perlu menyamakan persepsi, mengenai komik semacam apa yang saya maksud disini. Mana yang komik, dan mana yang bukan komik, komik mana yang tergolong komik Indonesia dan mana yang bukan. Mungkin agak klise ketika terdapat upaya untuk mendefinisikan segala sesuatu disini, kita sudah jenuh dengan segala macam definisi karena seringkali dianggap tidak memiliki manfaat praktis. Tapi menurut saya, pangkal kejumbuhan itu terjadi dari sini, sebuah definisi komik yang ambigu dan ahistoris, yang kemudian menyeret secara paksa relief ke dalam kategori komik. Upaya mendefinisikan komik dan komik Indonesia pernah 8 False cause-post hoc ergo propter hoc, adalah kesalahan pikiran pada penarikan kesimpulan bahwa sebuah peristiwa dapat dijadikan sebab bagi peristiwa lainnya karena menurut faktanya, peristiwa yang pertama secara kebetulan mendahului yang lain. Lihat E. Sumaryono, Dasar-dasar Logika, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. (1999: Hlm. 16). 9 Kemungkinan kesalahan pikiran dalam menduga peristiwa/sesuatu yang menjadi sebab yang sebenarnya bagi dampak suatu peristiwa. Ibid. 10 Lihat Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), Bandung. (2000 : Hlm. 84). 56 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

saya uraikan dalam tulisan sebelumnya. Namun dengan pertimbangan beberapa hal di atas, saya rasa penting untuk menampilkannya kembali disini. 11 Definisi Komik yang Problematik Term comics berasal dari bahasa Inggris yang berarti lucu (humorous). Comic (noun) didefinisikan sebagai seseorang yang menghibur orang dengan menceritakan lelucon (someone who entertains people by telling jokes). 12 Istilah ini dipinjam dari dunia teater, sebagaimana Charlie Chaplin dikatakan sebagai comic film actor karena memainkan peran dalam film bertema komedi. Sejalan dengan hal tersebut, komikus dan juga kartunis senior Indonesia Toni Masdiono, mengemukakan bahwa memang pada awal kemunculannya, komik banyak bertemakan humor, sehingga selanjutnya tetap disebut sebagai comic meskipun tidak bertemakan humor atau komedi. 13 Istilah komik seringkali dipergunakan secara bergantian dengan istilah novel grafis, cerita bergambar (cergam), manga, kartun, sastra visual, seni sekuensial, atau graphic naratives. Ketiga istilah yang terakhir mulai mencuat belakangan, seiring dengan mulai tumbuh dan berkembangnya kajian tentang komik, di mana para akademisi, kritikus seni, sastrawan dan para budayawan mendudukkan komik sebagai karya seni yang layak dikaji dan diapresiasi sebagaimana karya seni rupa dan sastra yang lain. Dalam memahami komik, pertama-tama kita harus memisahkan komik sebagai sebuah bentuk seni (art form), dan komik sebagai sebuah medium. Sebagai salah satu bentuk seni, komik disikapi sebagaimana lukisan, patung, fotografi, film, ataupun novel, sedangkan medium komik dapat beragam, baik dalam bentuk buku seperti yang lazim kita ketahui, ataupun komik-strip yang dimuat dalam surat kabar, majalah, dan belakangan webcomics menjadi medium alternatif bagi distribusi maupun penikmatan komik. Untuk dapat menjadi komoditas ekonomi, maka komik (sebagai bentuk seni) harus menemukan mediumnya, Duncan & Smith mengemukakan : A medium is a channel for communicating, and includes familiar favorites such as radio, television, or the printed page. When we use term medium in this book, we are addressing the social reality of comic book, such as their function as economic comodities 14 Medium komik dapat dipahami sebagai aneka saluran distribusi komik, atau semacam etalase yang didalamnya terdapat seni komik. Adapun pembahasan komik sebagai bentuk seni disikapi dari sudut pandang aspek kreatif dalam mengomunikasikan makna atau gagasan melalui medium komik. Eisner memberikan pengertian mengenai komik sebagai berikut :...Sequential art as a means of creative expression, a distinct discipline, an art and literary form that deals with arrangement of picture or images and words to narrate a story or dramatize an idea." 15 Gagasan Eisner mendudukkan komik sebagai seni sekuensial sebagai sarana ekspresi kreatif menyadarkan kita bahwa disamping sebagai sebuah bentuk seni rupa, komik juga memiliki unsur sastra. Sequence dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai barisan, atau urutan. Dalam matematika, urutan adalah suatu daftar tertata. Sebagaimana suatu himpunan, urutan memuat "anggota" atau "elemen" (juga disebut "term" atau "istilah"). Jumlah elemen tertata (kemungkinan tak terhingga) disebut panjang urutan. Berikut contoh beberapa urutan sederhana : 11 Lihat, Menyoal Komik sebagai Karya Seni Rupa dan Sastra, dalam Purnomo (Ed.) An Anthology of Scientific Articles July 2016. ISBN 978-602-9155-16-7, Universitas Ma Chung Press, Malang. (2016: Hlm. 95-116) 12 Dalam Cambridge Dictionary 13 Dalam wawancara pada tanggal 30 Mei 2016. 14 Lihat Randy Duncan dan Matthew J. Smith, The Power of Comics : History, Form, and Culture, The Continuum, International Publishing Group Inc., New York. (2009: Hlm. 1). 15 Lihat Will Eisner, Comics & Sequential Art, Poor House Press, Florida. (2000: Hlm. 5) 57 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

{1,2,3,4,5, }; {1,3,5,7,9, }; {1,2,4,7,11, } Dari sekuen yang pertama pada contoh tersebut, dapat dipahami angka-angka yang terdapat dalam kurung kurawal sebagai elemen sekuen, dan secara berurutan memiliki pola. Setelah mengetahui pola dalam sekuen, maka kita dapat memprediksi angka yang akan muncul kemudian. Di dalam komik, panel-panel disusun sebagai sebuah urutan (sekuen), dimana didalamnya terdapat sebuah pola, dari situ kemudian lahirlah makna. Dari situ kita dapat memahami alur cerita ataupun karakterisasi didalamnya, atau dengan perkataan lain, bahwa satu panel merupakan kelanjutan dari panel sebelumnya. McCloud mendefinisikan komik sebagai gambar-gambar dan lambang-lambang lain yang terjukstaposisi dalam turutan tertentu, bertujuan untuk memberikan informasi dan/atau mencapai tanggapan estetis dari pembaca. 16 Setelah komik merupakan gambar-gambar yang berurutan dengan sebuah pola sehingga bermakna, maka ia juga merupakan gambar-gambar yang terjukstaposisi. Juxtaposition atau jukstaposisi adalah the act or an instance of placing two or more things side by side, atau suatu tindakan menempatkan dua atau lebih suatu hal secara berdampingan. Di samping itu jukstaposisi juga dipahami sebagai penempatan dua objek secara berdampingan. Jukstaposisi disini dipahami bagaimana di dalam komik, ruang (space) dimanfaatkan untuk meletakkan panel-panel secara berdampingan atau bersebelahan sebagaimana angka 1,3,5,..dst., seperti dalam contoh sekuen di atas. Sejalan dengan Eisner dan Mc Cloud, Duncan & Smith juga mengungkapkan bahwa Comics is a useful general term for designating the phenomenon of juxtaposing images in a sequence. 17 Bedanya, Duncan & Smith melihat komik lebih sebagai fenomena. Pemahaman yang majemuk melahirkan beberapa istilah yang juga merujuk kepada komik, diantaranya adalah : Picture stories (Rodolphe Topffer, 1845), Pictorial narratives (Frans Masereel & Lynd Ward, 1930), Picture novella (Drake Waller, 1950), Illustories (Charles Biro, 1950), Picto-fiction (Bill Gaine, 1950), Sequential art/graphic novel (Will Eisner, 1978), Nouvelle manga (Frederic Boilet, 2001). 18 Graphic narative merupakan term yang relatif baru untuk menyebut komik, pertama kali digagas oleh David Kunzle, dan disusul kemudian oleh beberapa pakar komik Hillary L. Chute dan Marianne Dekoven. Mereka beranggapan bahwa istilah graphic narratives memiliki konten yang lebih netral daripada komik, karena tidak terikat/terhubung langsung secara historis maupun kultural dengan era atau gaya tertentu. Adapun komik selalu merujuk kepada era atau gaya tertentu yang mendorong munculnya genre dalam komik. Artinya, graphic narrative memiliki cakupan yang lebih luas, karena fokus kepada dua gagasan, yakni (1) Graphic, bentuk visual tak bergerak/statis (a composed and nonanimated visual form); dan (2) Narrative, cerita yang dibuat (crafted story). 19 Dari sini dapat dipahami bahwa graphic narrative mencakup gambar/ilustrasi statis tunggal yang tidak terjukstaposisi, seperti relief ataupun lukisan naratif. Saraceni mengungkapkan dua karakteristik penting komik, yakni : 1) Menggunakan baik kata-kata maupun gambar; dan 2) teks diorganisir menjadi unit-unit yang berurutan, dan 3) elemen grafis terpisah satu sama lain. 20 16 Lihat Scott McCloud, Memahami Komik, Penerbit KPG, Jakarta. (2008: Hlm. 20). 17 Randy Duncan dan Matthew J. Smith, Op.cit. (Hlm. 3). 18 Indiria Maharsi, Op.cit. (Hlm. 4) 19 Lihat Robert S. Petersen, Comics, Manga, and Graphic Novels : A History of Graphic Narratives, World Wide Web, California. (2011: Hlm. xv). 20 Lihat Mario Saraceni, The Language of Comics, Routledge, NY & London. (2003: Hlm. 5). 58 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

Gambar 1. Panel disusun secara berurutan, dengan pola, di mana satu panel merupakan kelanjutan dari panel sebelumnya, sekaligus terjukstaposisi. (Sumber : Sandhora, Teguh Santosa, 1970). Adapun istilah novel grafis (graphic novel), menurut Petersen, meskipun banyak orang saat ini merasa nyaman dengan istilah seni komik (comic art), namun beberapa orang juga menyebut novel grafis justru untuk tingkatan yang lebih rendah. Tahun 1960, dalam kuliah umum yang diselenggarakan oleh Bristol Literary Society, novelist John Updike secara spekulatif mengemukakan mengenai sebuah bentuk baru dari novel yang mungkin mampu mengambil hati masyarakat, ia mengatakan demikian : I see no intrinsic reason why a doubly talented artist may not arise and create a comic-strip novel masterpiece 21 Updike bukan satu-satunya orang yang mencoba untuk mempertimbangkan kemungkinan yang lebih prestisius di masa depan bagi penceritaan bergambar (graphic storytelling). Awal tahun 1964, Richard Kyle, seorang anggota yang tampak menonjol dan gemar berbicara terus terang dari komunitas penggemar buku komik, menyadari pentingnya kematangan dalam berkarya pada komik-komik yang diproduksi di Eropa. Ia juga menyatakan hasratnya untuk menyamai komik-komik yang diterbitkan di Amerika. Awal tahun 1964, Kyle menyarankan untuk menggunakan istilah Graphic story dan Graphic novel untuk membedakan komik dengan pengerjaan yang lebih serius dengan buku komik yang dikerjakan secara biasa-biasa saja seperti yang ada di kios-kios komik (run-of-the-mill comic books). 22 Pada dasarnya istilah novel grafis mengacu kepada komik yang memiliki intensi lebih pada aspek kesusastraan. Terkait dengan hal ini, Saraceni menungkapkan bahwa term novel grafis lahir sebagai upaya untuk menciptakan sebuah istilah yang lebih menggambarkan bentuk seni komik, menjelang akhir tahun 1970-an di Inggris dan Amerika. 'Novel grafis', diciptakan untuk menggantikan 'buku komik'. Namun, penggantian tidak pernah benar-benar terjadi saat istilah itu diadopsi terutama untuk alasan komersial. Bahkan, perbedaan antara 'buku komik' dan 'novel grafis' tidak lebih dari soal label, dan hampir tidak ada hubungannya dengan konten atau dengan fitur lainnya. Dari sini dapat dipahami bahwa novel grafis merupakan istilah dari medium komik, sebagaimana buku komik, dan tidak pernah menyentuh komik sebagai bentuk seni. 23 Sejalan dengan Saraceni, Duncan & Smith menyatakan bahwa sejumlah orang berusaha keras untuk merehabilitasi citra komik dengan menggunakan istilah yang berbeda, yakni novel grafis, untuk menggambarkan karya yang lebih ambisius. Untuk pencipta (komikus), label novel grafis memungkinkan karya mereka agak jauh dari konotasi komersial dan terbitan berkala. Untuk penerbit, novel grafis adalah istilah yang membantu mengangkat status produk mereka dan memudahkannya untuk masuk ke ke toko buku, perpustakaan, dan akademi. 24 Nampaknya, istilah novel grafis muncul karena inferioritas komik sebagai akibat dari stereotip picisan yang selama ini melekat padanya. 21 Randy Duncan dan Matthew J. Smith, Op.cit. (Hlm. 70). 22 Mario Saraceni, Loc.cit. 23 Mario Saraceni,Op.cit., (Hlm. 4) 24 Randy Duncan dan Matthew J. Smith, Op.cit. (Hlm.4). 59 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

Mengenai novel grafis ini, ada hal yang cukup menarik. Jika Saraceni mengungkapkan bahwa istilah Novel grafis diciptakan pada tahun 1970-an, maka komikus Indonesia asal Medan, Taguan Hardjo telah menggunakan istilah itu pada tahun 1962. Dari sini kemudian Lent menyimpulkan bahwa novel grafis sebagai salah satu jenis dari seni komik (comic art) sudah ada di Indonesia sejak tahun 1962, ketika Taguan Hardjo menciptakan Morina, yang diterbitkan oleh Firma Haris di Medan. 25 Dalam sampul depan (cover) komik Morina terdapat kata Nopel Bergambar yang merupakan dialek lokal dari novel bergambar atau novel grafis. Definisi Mc Cloud mengenai komik sebagai gambar-gambar dan lambang-lambang lain yang terjukstaposisi dalam turutan tertentu, bertujuan untuk memberikan informasi dan/atau mencapai tanggapan estetis dari pembaca ini merupakan definisi yang lazim dipergunakan dalam memahami komik. Sejauh yang saya amati, baik Maharsi maupun Duncan & Smith, dan beberapa esai tentang komik menyepakati pengertian ini. Pengertian ini tentu tidak salah, karena memang betul gambar-gambar yang ada pada komik benarbenar terjukstaposisi, berurutan, menyampaikan informasi, dan sudah barang itu ia merupakan sebuah bentuk seni. Namun pengertian tersebut nampaknya perlu dipahami sesuai dengan konteksnya, karena jika tidak, maka pengertian tersebut menjadi problematik. Gambar 2. Komik Morina (1962) karya Taguan Hardjo menggunakan istilah Nopel bergambar. (Sumber : www.carrotacademy.com) Dalam sebuah tulisannya, Aaron Meskin melakukan kritik tajam terhadap definisi komik yang diajukan oleh Hayman & Pratt yang ia anggap melanjutkan pengertian tradisional Will Eisner dan Scott McCloud yang problematis. 26 Dengan sangat teliti, Meskin melakukan kritik terhadap pernyataan Hayman & Pratt mengenai komik : x is a comic if x is a sequence of discrete, juxtaposed pictures that comprise a narrative, either in their own right or when combined with text. 27 Senada dengan Eisner dan McCloud bahwa komik menurut Hayman & Pratt mensyaratkan sebuah gambar yang sekuensial, terjukstaposisi, naratif, dan dapat pula dikombinasikan dengan teks. Kondisi berupa gambar (piktorial) dan sekuensial dari komik yang diungkapkan oleh Hayman & Pratt tersebut dikiritisi oleh Meskin. Ia mempertanyakan mengenai sifat piktorial dan sekuensial seperti apa yang disyaratkan sehingga mampu membedakan komik dengan entitas lain yang memiliki properties atau fitur yang sama. Entitas lain tersebut misalnya; lukisan berseri yang tergantung di sebuah galeri, atau foto esai yang kerap disusun secara berdampingan, dan satu merupakan kelanjutan dari yang lain, atau bahkan ilustrasi panduan memasak di majalah/tabloid, petunjuk teknis penggunaan suatu produk, atau langkah-langkah instruksonal yang lain. Kesemuanya itu juga dapat bersifat sekuensial dan jelas piktorial, bahkan pada umumnya dilengkapi dengan teks. 25 John A. Lent, Op.Cit. (Hlm. 148). 26 Lihat Aaron Meskin, Defining Comics?, dalam The Journal of Aesthetics and Art Criticism, 65 (4), Autumn 2007, Blackwell Publishing dan American Society for Aesthetics. (2007: Hlm. 369-379). 27 Lihat Greg Hayman dan Henry John Pratt, What are Comics?, dalam David Goldblatt dan Lee Brown (Eds.), A Reader in Philosophy of The Arts, Pearson Education Inc. (2005: Hlm. 419-424). 60 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

Petunjuk-petunjuk teknis yang piktorial dan sekuensial itu tidak diciptakan dibawah pretensi seni, sehingga, mampu memberikan informasi namun tidak mampu mencapai tanggapan estetis dari pembaca sebagaimana definisi McCloud. Mengikuti McCloud, Hayman & Pratt mengungkapkan kondisi ketiga yang harus dipenuhi oleh komik setelah piktorial dan sekuensial, yakni terjukstaposisi. Mengenai hal itu Hayman & Pratt mengatakan demikian : In comics, the visual images are distict, (paradigmatically side-by-side), and laid out in a way such that they could conceivably be seen all at once. Between each pictorial image is a perceptible space; we ll call this the gutter. 28 Apa yang diungkapkan oleh Hayman & Pratt tersebut sekaligus mengatakan bahwa eksistensi gutter meniscayakan keberadaan panel dalam komik, oleh karena itu jukstaposisi menjadi niscaya pula. Dalam hal ini, jukstaposisi digadang-gadang menjadi salah satu fitur yang mampu membedakan komik dengan seni gambar bergerak seperti film, animasi, video, dan lain sebagainya. Namun bagaimana jika film tersebut berada dalam medium rol film (film reel)? Maka pada rol film tersebut nampak gambar-gambar yang dibatasi oleh panel, terjukstaposisi, dan juga sekuensial. Seketika itu pula kita akan dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang mungkin tidak memerlukan jawaban, Apakah ini juga dapat disebut sebagai komik?. Kondisi keempat dari komik sebagaimana yang diungkapkan Hayman & Pratt yakni bersifat naratif. Artinya, di dalam komik haruslah terdapat narasi, atau dengan perkataan lain, komik merupakan sebuah bentuk storytelling. Narasi dalam komik dapat dipahami sebagai sesuatu yang menghubungkan dan menyatukan urutan gambar dalam komik, sesuatu yang menyatukan itu adalah narasi. 29 Sejauh yang kita semua tahu, dan mungkin sebagian besar pembaca komik, sudah sewajarnya komik bersifat naratif. Namun apakah mungkin sebuah komik tidak bernarasi? (nonnarrative comics). Kenyataannya memang ada komik yang tidak bernarasi. Mengenai hal ini, dalam rangka kritik terhadap fitur naratif dalam komik, Meskin memberikan counterexamples terhadap fitur itu, yakni Comical Comics dan Cubist Be-Bop Comics yang diterbitkan R. Crumb s Carload O Comics di Amerika. Dalam Cubist Be-Bop Comics mungkin kita dapat menemukan isi (content) tiap panel, namun nyaris kita tidak dapat menemukan hubungan isi antar panel dalam komik strip tersebut. Meskipun menghidari narasi bukan tujuan utama dari penciptaan komik ini, namun tiap panel nampaknya tetap terhubung dengan cara yang lain, panel strip dihubungkan secara tematis (musik jazz), dan juga secara formal (karena susunan sudut dan bentuk panelnya membentuk arah yang berbeda). Sampai di sini nampaknya narasi tidak menjadi sebuah kondisi yang penting atau mutlak bagi komik, hanya saja dapat dianggap sebagai kondisi yang umum, atau fitur standar dari komik. Begitu pula dengan kondisi-kondisi yang lain dari komik dalam definisi Hayman & Pratt; piktorial, sekuensial, dan jukstaposisi. Kritik Meskin terhadap empat fitur/kondisi komik ini menunjukkan bahwa definisi tersebut cukup problematik, apalagi setelah ia menemukan bahwa definisi ini ternyata ahistoris, situasi menjadi semakin pelik. Mengenai ini, Meskin mengungkapkan demikian : The Hayman and Pratt definition of comics is ahistorical. In this, they are in accord with Kunzle, Eisner, McCloud, and Carrier, who also eschew any historical element in their proposed definitions Simply put, spatially juxtaposed pictorial narratives existed well before the birth of comics in the nineteenth century and any definition that characterizes these as comics is guilty of artistic anachronism. 30 28 Ibid. 29 Aaron Meskin, Loc.cit. 30 Ibid. 61 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

Gambar 3. Cubist Be-Bop Comics yang diterbitkan R. Crumb s Carload O Comics di Amerika. Banyak sekali gambar-gambar naratif sekuensial di belahan manapun di dunia ini yang lahir jauh sebelum lahirnya komik di Amerika, seperti A Harlot s Progress karya William Hogarth tahun 1731; 31 Bayeux Tapestry yang dibuat pada tahun 1066 di Mexico; termasuk juga relief candi Borobudur. Jika merujuk pada definisi Hayman & Pratt, maka ketiganya termasuk dalam ketegori komik tanpa terkecuali, oleh karena ketiganya jelas piktorial, naratif, sekuensial, dan terjukstaposisi. Di sinilah menurut saya pangkal kejumbuhan itu, pengertian ahistoris yang menyebabkan relief candi Borobudur terseret ke dalam kategori komik (atau setidaknya mirip komik ), lalu melahirkan klaim ralief candi Borobudur cikal bakal komik Indonesia. Hal ini dalam istilah Meskin disebut sebagai anakronisme artistik (artistic anachronism). 32 Definisi Hayman & Pratt menemui kegagalan dalam memperhitungkan konteks historis di mana suatu karya seni diproduksi. Tradisi Seni Rupa Barat dalam Komik Komik, sebagaimana bentuknya seperti yang telah kita ketahui sekarang, lahir di Eropa dan Amerika dalam sebuah situasi sosio-kultural, alam pikiran, dan kebudayaan yang sepenuhnya modern. 33 Adalah Rodolphe Töpffer (1799-1846), seorang guru, penulis, pelukis, kartunis, dan karikaturis asal Swiss menciptakan Les Amours de Monsieur Vieux Bois pada tahun 1827. Karyanya itu dicetak dan dipublikasikan di Eropa (dalam beberapa bahasa) pada tahun 1837 dalam judul Histoire de M. Vieux Bois, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk dipublikasikan di Inggris pada tahun 1841, dan di Amerika pada tahun 1842 dalam judul The Adventures of Mr. Obadiah Oldbuck. Komik tersebut dipublikasikan sebagai suplemen surat kabar sebelum dicetak menjadi buku komik tersendiri. 34 31 A Harlot s Progress karya William Hogarth adalah 6 lukisan dan cukilan berseri yang menceritakan kisah seorang wanita muda M. (Moll atau Marry) Hackabout yang tiba di London dan kemudian menjadi pelacur (lihat gambar 3). Panel pertama lukisan ini mengilustrasikan Moll Hackabout tiba di London di Bell Inn, Cheapside, Inggris. Panel kedua mengilustrasikan Moll menjadi seseorang yang berkecukupan, sebagai istri pedagang yang kaya raya. Panel ketiga bercerita bahwa Moll telah kehilangan kehidupannya yang mewah dan menjadi seorang pelacur biasa. Panel keempat bercerita tentang Moll yang berbisnis candu/ganja di penjara Bridewell. Panel kelima menceritakan tentang Moll yang sakit sipilis. Panel keenam menceritakan kematian Moll karena sipilis. Lukisan ini kemudian juga diangkat menjadi sebuah film dengan judul yang sama di tahun 2006. 32 Anakronisme adalah ketidakcocokan dengan zaman tertentu; atau penempatan tokoh, peristiwa percakapan, dan unsur latar yang tidak sesuai menurut waktu di dalam karya sastra 33 Dalam konteks ini, komik yang dimaksud adalah sebuah bentuk seni (art form), yang disikapi sebagaimana lukisan, patung, fotografi, film, ataupun novel, tentunya berbeda dengan komik sebagai medium, sebagaimana yang diungkapkan oleh Duncan & Smith sebelumnya. Bonneff mengatakan bahwa komik lahir di Amerika. 34 Duncan & Smith, Op.cit. (Hlm. 22-26). 62 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

Gambar 4. A Harlot s Progress karya William Hogarth tahun 1731. (Sumber : elrelojdesol.com, Paintings by Famous Painters) Karya ini dianggap sebagai komik pertama di Eropa dan Amerika, atau bahkan dunia, karena dalam karya ini tampak bagaimana karakteristik komik sebagai bentuk seni (art form) mulai terbentuk, yakni dengan adanya elemen gutter, dan juga balon kata (balloons), dan lain sebagainya. Disamping itu medium yang dipergunakan juga sebagaimana karakteristik komik pada saat ini, dicetak di atas kertas, murah, dan dapat didaur ulang (disposable), untuk menjangkau situasi publik melalui distribusi dan penggandaan. The Adventures of Mr. Obadiah Oldbuck dicetak dan dipublikasikan di Amerika dalam 40 halaman, dengan ukuran 8½ "x 11". Buku komik ini dijahit salah satu sisi, dan di dalamnya ada 6 sampai 12 panel per halaman. Tidak terdapat balon kata, namun ada teks di bawah panel untuk menggambarkan ceritanya. Komik yang salinannya ini ditemukan di Oakland, California pada tahun 1998 itu mengisahkan tentang Mr. Vieux Bois yang bertemu dengan seorang wanita muda dan langsung jatuh cinta. Usahanya dalam mendekati wanita itu diabaikan, yang kemudian menyebabkan dirinya menjadi putus asa. Dia mencoba untuk bunuh diri dengan jatuh pada pedangnya sendiri dan kemudian dengan menggantung dirinya sendiri. Namun kedua upaya tersebut gagal, dan kisah berlanjut pada adegan-adegan humor slapstick. Komik lahir, tumbuh, dan berkembang dalam setting sosio-kultural dan alam pikiran masyarakat Eropa dan Amerika abad ke-19. Sehingga, komik sebagai bentuk seni (art form) maupun sebagai medium, karakteristiknya tidak dapat dilepaskan dari tradisi seni rupa barat. Semenjak Renaissance (abad ke-14 s/d abad ke-17), sebagaimana filsafat klasik Yunani, orang tidak lagi memusatkan perhatiannya kepada Tuhan dan Surga, melainkan kepada dunia saja, dan dalam dunia itu yang merupakan pusat utama adalah manusia. Dari yang theosentris menjadi anthroposentris. Manusia merupakan individu yang kongkret menjadi pusat pandangan dan pengetahuan dengan segala kekuatannya, dan terutama budinya. 35 Adalah Rene Descartes (1596-1650) seorang filsuf dan matematikawan Perancis yang mengungkapkan bahwa budi atau rasiolah yang menjadi sumber dan pangkal serta pengertian, dan budilah yang memegang pimpinan dalam segala pengertian. 36 Rasio manusia menjadi panglima, eksistensi manusia didefinisikan dari sebuah kesadaran sebagai individu yang berdiri sendiri, terpisah dari dunia dan objek-objek, serta kemampuanya untuk 35 Lihat Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Rineka Cipta, Jakarta. (2005: Hlm. 98-99). 36 Ibid. 63 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

berpikir. Dari sini lahirlah thesisnya yang terkenal, cogito ergo sum, atau je pense donc je suis ; I think, therefore I am ; atau aku berpikir, maka aku ada. Pemikiran Descartes tersebut menjadi tonggak bedirinya filsafat modern, oleh karena itu, ia dianggap sebagai bapak filsafat modern. Pemikiran Descartes berkembang dan berpengaruh cukup luas, termasuk juga dalam sejarah seni rupa Barat. Gambar 5. The Adventures of Mr. Obadiah Oldbuck (1840an), karya Rodolphe Töpffer (1799-1846). (Sumber : Darmouth College Library (NC1659.T58 A6213 1840z), www.darmouth.edu) Pada gambar-gambar atau lukisan-lukisan dan juga seni pahat serta arsitektur zaman Renaisans, menampakkan cirinya yang nyata mengenai hukum naturalisme dan komposisi yang melebar (horizontal). Sebelum Renaisans, orang belum begitu memperhatikan anatomi, proporsi, dan juga perspektif, karena orang sudah merasa puas jika sudah dapat berbuat sebaik-baiknya untuk tujuan agama atau pemujaan, sebagaimana sikap yang theosentris dan tuntutan karya yang ideoplastis. 37 Dalam zaman Renaisans orang mulai memusatkan perhatian kepada alam, terutama kepada manusia, sehingga hukumhukum kenyataan mulai diselidiki dan dipergunakan. Pengaruh Renaisans dalam seni lukis 37 Ideoplastis adalah bentuk-bentuk (boleh juga disebut sebagai simbol) yang digenerasi dari aktivitas mental, atau rendered symbolic or conventional through the mental remodeling of natural subjects. Ideoplastis sebagai salah satu aspek dalam seni lukis, berupa ide, pengalaman, pendapat, emosi, fantasi, dan lain-lain. Aspek ini lebih bersifat rohaniah sebagai dasar penciptaan seni. Dalam kutub yang berseberangan terdapat aspek fisioplastis, yang meliputi hal-hal yang menyangkut masalah teknis, termasuk organisasi elemen-elemen visual seperti garis, ruang, warna tekstur, bentuk (shape) dengan prinsip-prinsipnya. 64 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

terlihat pada anatomi, proporsi, perspektif, warna, cahaya, dan juga mengenai tema. 38 Mengenai prinsip estetika/seni Renaisans ini, Osborne mengatakan demikian : During the Renaissance important advances were made in the practice and technique of visual arts leading in the direction of greater naturalism and there was particularly close linkage between the nascent interest in empirical science and the study of the arts. The discovery of scientific perspective and the elaboration of mathematical theories of proportion were outstanding achievement of the period. 39 Selanjutnya Osborne juga menguraikan beberapa karakteristik, atau prinsip-prinsip estetika Renaisans yakni : 1) Seni lukis dan seni pahan merupakan sesuatu yang bersumber dari pikiran dan kecerdasan, yang tidak semata-mata dipelajari melulu soal keahlian, atau dengan perkataan lain, merupakan klaim bahwa seniman tidak semata-mata seorang tukang, melainkan seorang intelektual. 2) Seni merupakan tiruan alam, dan untuk tujuan itu, ilmu-ilmu empiris memberikan pedoman yang bermanfaat; 3) Kesenian plastis, seperti sastra, mengejar tujuan moral dan perbaikan sosial, oleh karena itu bercita cita ideal; 4) Keindahan, yang merupakan tujuan dari seni, juga merupakan tujuan dari segala hal, terdiri dari keteraturan, harmoni, proporsi, dan kepatutan. Kesemuanya itu, harus dimodelkan secara matematis; 5) Puisi dan seni rupa mencapai kesempurnaan dan bentuk definitif di zaman kuno; dan 6) Seni tunduk pada aturan kesempurnaan yang secara rasional dapat dipahami dan dapat diformulasikan dan diajarkan dengan tepat. Sebagaimana aturan-aturan ini melekat dalam karya-karya kuno klasik dan dapat dipelajari. 40 Dari prinsip-prinsip estetika Renaisans yang dipaparkan oleh Osborne tersebut, nampak bahwa seni/estetika Renaisans mengandaikan seorang seniman yang juga merupakan intelektual publik, berpedoman pada ilmu-ilmu alam/empirik dalam menciptakan karya seni, menaruh perhatian lebih pada nilai intrinsik seni secara matematis, menciptakan bentuk-bentuk yang definitif sebagai bentuk yang sempurna dalam karyanya, dan tunduk pada rasionalisme. Prinsip-prinsip itu dapat dirujuk pada karya-karya klasik zaman kuno (Yunani). Cara pandang semacam ini nampak pada karya-karya seni lukis Renaisans. Ambil contoh karya pelukis Italy Rafaello Sanzio atau Raphaell Santi (1483-1520), yang berjudul The Virgin and Child with Saint John the Baptist (dibuat tahun 1507, yang sebelumnya juga dilukis da Vinci juga dalam medium charcoal sekitar tahun 1499). Dalam lukisan tersebut, di awal masa Renaisans, meskipun tema yang dibawakan masih seputar teologi dan kerohanian, namun kita dapat melihat bagaimana anatomi dikerjakan dengan begitu akurat, alam sekitar dilukiskan secara obyektif-akurat, berikut warna dan cahaya yang realistik. Dan yang paling penting, nampak bagaimana latar belakang digambarkan sesuai dengan perspektif mata manusia. Pendeknya, apa yang menjadi prinsip-prinsip estetika Renaisans ada di sana. Dalam karyanya yang lain, The School of Athens (dibuat sekitar tahun 1509 1511), juga menampakkan anatomi manusia yang akurat sebagaimana temuan ilmu biologi, komposisi yang matematis dengan keseimbangan formal yang simetris, serta teknik menggambar perspektif di latar belakang lukisan yang benar-benar obyektif-akurat. Dalam lukisan itu juga ditampakkan patung bergaya klasik Yunani, yang agaknya menjadi rujukan 38 Sejarah seni rupa tentunya tidak dapat dilepasakan dari sejarah peradaban dunia. Merujuk pada sejarah peradaban yang secara umum terdapat pada berbagai referensi, pembabakan terdiri dari : 1) Zaman Kuna (± 4000 SM s/d 476 M, jatuhnya kekaisaran Romawi); 2) Zaman Tengah (± 476 M s/d 1492 M, atau sampai ditemukannya benua Amerika); 3) Zaman Baru (± 1492 M s/d 1789 M, atau sampai dengan revolusi Perancis); dan 4) Zaman Modern (± 1789 M s/d sekarang). Sejarah seni rupa masuk dalam periode-periode tersebut. Dari ± 1500 M adalah zaman Renaisans, yang telah dimulai pada ± 1420. Renaisans sebagai aliran dalam seni dilanjutkan dengan aliran Barok hingga akhir abad ke-18. Paham zaman tengah disebut teosentris, oleh karena setiap aktivitas manusia dipusatkan kepada Tuhan. Manusia merasa dirinya tidak berdaya, hina dina, karena segala yang terjadi adalah kehendak yang Mahakuasa. Pada zaman ini, semua kegiatan seni ditujukan kepada hal-hal yang berhubungan dengan Ketuhanan dan kerohanian. Pada zaman ini pula muncul gejala kapitalisme, yang melahirkan kaum borjuis (kaum kaya pemilik modal). Para filsuf dan seniman mulai mendapatkan perhatian dan bantuan dari kalangan borjuis ini, oleh karena memang ada keuntungan material yang mereka peroleh. Pandangan yang semula dipusatkan kepada masalah Ketuhanan dan kerohanian, kini dipusatkan kepada manusia, atau dikatakan sebagai anthroposentris. Lahirlah era Renaisans yang anthroposentris dan dengan cirinya yang individualistis. Mengenai hal ini, secara ringkas dapat ditilik pada Djauhar Arifin, Sejarah Seni Rupa, CV Rosda, Bandung. (1985: Hlm. 97-111). 39 Lihat Harold Osborne, Aesthetic and Art Theory : An Historical Introduction, E.P. Dutton & Co., Inc., New York. (1970: Hlm. 145) 40 Ibid. (Hlm. 145-146) 65 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

dalam menerapkan prinsip-prinsip anatomi. 41 Hal yang sama juga tampak dalam lukisannya yang berjudul The Fire in the Borgo (1514). Prinsip-prinsip estetika Renaisans, yang rasional, individualistis, berpedoman pada ilmu-ilmu alam/empirik, menyajikan bentuk-bentuk obyektif dan definitif, serta menjadikan manusia sebagai titik pangkal dalam segala pengertian itu, secara teknikal nampak pada lukisan serial A Harlot s Progress karya William Hogarth tahun 1731 (lihat gambar 3). Artinya, manusia sebagai titik pangkal dalam segala pengertian (kesadaran atas subyek) telah menjadi tradisi seni rupa Barat. Gambar 5. Lukisan karya Rafaello Sanzio atau Raphaell Santi (1483-1520), yang berjudul The Virgin and Child with Saint John the Baptist (1507) (kiri); The School of Athens (dibuat sekitar tahun 1509 1511) (kanan-atas); dan The Fire in the Borgo (1514) (kanan-bawah). Sumber : elrelojdesol.com, Paintings by Famous Painters. Lalu bagaimana dengan komik? Jika kita meninjau kembali The Adventures of Mr. Obadiah Oldbuck, karya Rodolphe Töpffer, juga menampakkan tradisi seni rupa Barat yang lahir semenjak abad Renaisans ini. Meskipun gambar dalam karya Töpffer tersebut karikatural (begitu juga pada komik-komik lain pada umumnya), dan telah mengalami deformasi pada dunia gambar alam benda, namun kita masih dapat mengenali objek manusia dan benda-benda disana. 42 Dalam batas tertentu, objek manusia dan alam benda masih bersifat obyektif dan ikonis. Sifat karikatural dalam penggambaran tokoh-tokoh dan obyek-obyek dalam komik ini merupakan hal yang wajar di dalam komik, biasanya dicapai dengan distorsi ataupun deformasi. Tidak hanya pada genre humor, hal ini selalu dijumpai dalam beragam gaya gambar dan juga genre dalam komik. Dalam The Adventures of Mr. Obadiah Oldbuck halaman 5, pada panel pertama dan kedua (gambar 6), kita dapat melihat bagaimana prinsip menggambar perspektif diterapkan. 41 Disamping keindahan alam dan moral, bangsa Yunani juga mengenal pengertian keindahaan dalam konteks estetik berdasarkan penglihatan, mereka menyebutnya sebagai symmetria. Mengenai symmetria, Polyclitus (Polycleitus atau Polykleitos) seorang pematung Yunani dari sekolah Argos (School of Argos) yang hidup sekitar tahun 450-415 SM, menuliskannya dalam sebuah risalah yang berjudul Canon. Canon berisi kajian teori estetika yang didasarkan atas matematika untuk menuju ke sebuah kesempurnaan artistik, terutama untuk bagian-bagian tubuh manusia dan proporsi, sehingga patung sosok manusia dapat menjadi lebih seimbang, dinamis, ketegangan pada bagian tertentu, dan juga arah gerak tubuh menjadi lebih terdefinisikan (dynamic counterbalance). Konsep yang diajukan oleh Polyclitus iniliah yang disebut sebagai symmetria. Patung-patung atlet muda Yunani yang dibuat oleh Polyclitus nampak seimbang, ritmis, halus dan juga detail, yang merupakan implementasi terbaik dari konsep-konsepnya. Hal ini merubah tradisi dalam penciptaan patung Yunani yang pada awalnya kaku dan dengan pose yang frontal. Tidak hanya konsep filosofis, symmetria hadir juga sebagai suatu panduan praktis dalam penciptaan karya seni, khususnya patung. Konsep symmetria Polyclitus terinspirasi dari prototip Mesir, dan pengaruh dari filsafat matematika Phytagoras. Lihat J.J. Pollitt, Art and Experience in Classical Greece, Cambridge University Press, London. (1972: Hlm. 106). 42 Karikatural, di mana ciri khas khas atau kekhasannya sengaja dibesar-besarkan (exaggerated) untuk menghasilkan efek lucu atau aneh. Caricature dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Italia caricatura atau caricare yang artinya membesarbesarkan (exaggerate). Penyangatan (exaggeration) itu biasanya dengan melakukan dirtorsi pada bagian-bagian tertentu. Distorsi adalah penggambaran bentuk yang menekankan pada pencapaian karakter, dengan cara menyangatkan wujudwujud tertentu pada benda atau obyek yang digambar. Sedangkan deformasi adalah penggambaran bentuk yang menekankan pada interpretasi karakter, dengan cara mengubah bentuk obyek dengan cara menggambarkan obyek tersebut dengan hanya sebagian yang dianggap mewakili, atau pengambilan unsur tertentu yang mewakili karakter hasil interpretasi yang sifatnya sangat hakiki. 66 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

Dalam karya tersebut, juga nampak bagaimana latar belakang digambarkan secara obyektifakurat, sebagaimana The Virgin and Child with Saint John the Baptist karya Rafaello Sanzio, namun setelah melewati proses perubahan wujud secara deformatif. Penerapan prinsip menggambar perspektif dan penggambaran obyek secara natural-obyektif-akurat juga semakin menguat dalam The Yellow Kids (1894) karya kartunis Amerika Richard F. Outcault (1863-1928) yang muncul kemudian. Tidak hanya dalam kedua komik sepuh itu, gejala berpedoman pada ilmu-ilmu alam/empirik, menaruh perhatian lebih pada nilai intrinsik seni secara matematis, menciptakan bentuk-bentuk yang definitif sebagai bentuk yang sempurna dalam karyanya, dan tunduk pada rasionalisme, juga menunjukkan dirinya pada komik-komik masa kini, dalam beragam gaya gambar maupun genre. Di masa kini, dalam komik-komik produksi Marvel maupun DC kita dapat melihat bagaimana realitas digambarkan dengan bersandar sepenuhnya pada ilmu-ilmu alam/empirik yang sangat rasional, sebagaimana mata manusia melihat. Karakter-karakter manusia digambarkan begitu ideal, manusia menjadi titik pangkal dalam segala pengertian. Dalam gaya manga, di mana karakter manusia digambarkan disamping terdistorsi juga sangat deformatif, namun kita dapat melihat bagaimana realitas dunia dalam latar belakang digambarkan begitu detail, natural-obyektif, akurat, dan rasional, melampaui karakter/obyekobyek manusia. Melalui pengamatan tersebut, mulai masa seni lukis Renaisans hingga era lahirnya komik, pada keduanya nampak sebuah kontinuitas yang cukup jelas dalam beragam aspeknya. Dalam komik Batman, kita dapat melihat apa yang kerap kita sebut sebagai gaya Amerika, dengan ciri khasnya di mana nyaris setiap tokoh/karakter digambarkan begitu berotot (distorsi), serta teknik gambar perspektif yang akurat pada latar belakang. 43 Sebaliknya, pada Tintin karya Herge (Georges Remi), nampak bagaimana pendekatan deformasi diimplementasikan, baik dalam penggambaran karakter maupun latar belakang. Gambar 6. Halaman 6 komik The Adventures of Mr. Obadiah Oldbuck karya Töpffer (atas); dan Yellow Kids (1894) karya kartunis Amerika Richard F. Outcault (1863-1928) (bawah). (Sumber : Darmouth College Library (NC1659.T58 A6213 1840z), www.darmouth.edu) 43 Karakter Batman diciptakan pertama kali oleh Bob Kane, nama Batman diberikan oleh Bill Finger, setelah mengalami redesain menjadi lebih mirip kelelawar. Bob Kane adalah sahabat Will Eisner di SMA De Witt Clinton. Lihat Anton W.P., Kisah Komikus Legendaris Dunia, Buku Kata, Solo. (2010: Hlm. 49) 67 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

Gambar 7. Komik Batman, Tintin karya Herge, dan juga Bakuman karya Takeshi Obata & Tsugumi Ohba. Bagaimana dengan Komik Indonesia? Bagaimana dengan komik Indonesia?, sebuah pertanyaan yang mengarahkan kita pada pokok permasalahan awal. Sebagaimana pembicaraan sebelumnya, nampaknya penting untuk menyamakan persepsi mengenai apa yang dimaksud dengan komik Indonesia. Dalam studi yang telah lalu, saya mengajukan prasaran mengenai kriteria-kriteria sebuah komik hingga ia dapat disebut sebagai komik Indonesia, yang akan saya bicarakan kembali di sini. Bukan perkara yang sepele untuk menentukan sebuah komik itu merupakan komik Indonesia atau bukan. Memang ada beberapa acuan untuk dapat menentukan dan juga menakar ke-indonesia-an sebuah komik. Diskusi yang cukup panjang pernah terjadi di kalangan komikus dan juga para kritikus dalam mencari jati diri komik Indonesia. Diskusi yang menjadikan gaya gambar sebagai acuan untuk menakar ke-indonesia-an sebuah komik kerap menemui jalan buntu, bahkan cenderung menjebloskan diri ke dalam kurungan polemik tak berkesudahan. 44 Sebetulnya konsep gaya sangat diperlukan untuk studi seni, namun dapat menjadi sumber kebingungan karena kata tersebut memiliki begitu banyak arti yang berbeda. Kadang-kadang, gaya mengacu pada periode sejarah tertentu ataupun wilayah georafis tertentu (misalnya gaya kolonial, gaya abad pertengahan, gaya Amerika, atau gaya Eropa dan lain sebagainya). Gaya dapat dipandang sebagai pendekatan teknis tertentu dalam penciptaan seni (misalnya impresionis, naturalis, atau pointilis, dan lain sebagainya). Kata "gaya" juga digunakan sebagai sebuah bentuk persetujuan, atau sebagai 44 Saya masih ingat dalam berbagai forum diskusi mengenai komik di sekitar tahun 2005-2008, dalam bentuk sarasehan ataupun seminar dalam event-event komik seringkali terjadi perdebatan tentang gaya Indonesia. Yang saya ingat, di Pekan Komik Indonesia 4 (tahun 2005) di Malang terjadi hal demikian, dan terus berlanjut-berlarut pada Pekan Komik Nasioal (PKN 2) di UK Petra Surabaya, hingga dalam sesi sarasehan di Pekan Komik Indonesia 5 tahun 2007 di Malang. Perdebatan semacam itu seringkali dibumbui dengan rasa sentimen terhadap gaya gambar manga Jepang. Hal ini justru malah memunculkan kecenderungan untuk, meminjam istilah Mohammad Hadid, kritikus komik asal Yogyakarta, dalam sebuah obrolan di warung kopi, sebagai Fasis Gaya. Dan fasis gaya ini nampaknya masih berlangsung hingga sekarang. 68 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

pengakuan akan prestasi tingkat tinggi yang ada pada seseorang (misalnya gaya Teguh, gaya Affandi, atau gaya Pram, dan lain sebagainya). Pada makna yang paling luas dan paling umum, yang dimaksud sebagai gaya seni ialah pengelompokan atau klasifikasi karya seni (berdasarkan waktu, wilayah, penampilan, teknik, subject matter, dan sebagainya) yang memungkinkan studi lebih lanjut dan analisis terhadap karya seni. Menjadikan gaya gambar sebagai acuan untuk menentukan ke-indonesia-an sebuah komik tentunya cukup menyulitkan, karena pengaruh beragam kebudayaan yang saling bersilang sengkarut dalam teknik penciptaan karya pada komikus di Indonesia. Namun ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan acuan untuk untuk mendefinisikan kata Indonesia dalam frasa komik Indonesia, yakni 1) Komikus tersebut adalah orang Indonesia (warga negara Indonesia); 2) Menggunakan setting tempat, waktu, atau peristiwa di Indonesia; 3) Karakter dan perwatakan tokoh dalam komik khas Indonesia. Iwan Gunawan, seorang kritikus komik Indonesia, sekaligus akademisi Institut Kesenian Jakarta mengungkapkan bahwa sejauh komik tersebut diterbitkan pertama kali di Indonesia, dan oleh penerbit Indonesia, maka komik tersebut adalah komik Indonesia. 45 Kedua kriteria terakhir yang diungkapkan oleh Gunawan tersebut dapat menjadi kriteria yang keempat dan kelima. Beberapa kriteria tersebut tentunya tidak beku dan bersifat cair, karena selalu ada kemungkinan komik-komik yang tidak dapat memenuhi beberapa diantaranya, baik di masa lalu maupun yang akan datang. Seperti yang sudah saya ungkapkan sebelumnya, baik Bonneff, Lent, dan juga Maharsi, ketiganya menyepakati bahwa komik pertama Indonesia adalah Put On, yang terbit pada tahun 1930an di harian Sin Po dalam bentuk medium komik strip yang bernuansa humor. Dalam komik strip Put On, meskipun isi (content) yang dibawakan bertemakan Indonesia, kita dapat melihat secara formal, komik pertama Indonesia ini tidak berbeda (atau justru sama) dalam segala aspeknya sebagai komik (dalam pengertian art form maupun medium), dengan komik Barat. Kita juga melihat prinsip exaggeration, teknik menggambar perspektif, alam benda yang digambarkan secara obyektif, karakteristik komik sebagai bentuk seni, yakni dengan adanya elemen gutter, dan juga balon kata (balloons), dan lain sebagainya, sebagaimana komik Barat, berikut melekat tradisi seni rupa Barat di dalamnya. Hal ini wajar, karena Kho Wan Gie mengikuti sebuah kursus lukis tertulis di sebuah lembaga seni di Washington, Amerika. Bersama Siauw Tiek Kwie (komikus Sie Djin Koei), dia belajar melukis pada J. Frank dan H.V. Velthuisen. 46 Tidak banyak informasi mengenai J. Frank dan H.V. Velthuisen ini. Namun yang dimaksud H.V. Velthuisen ini mungkin Henry van Velthuysen (1881-1954), seorang pelukis naturalis-mooi indie asal Belanda. Kemungkinan yang masuk akal, belajarnya Kho Wan Gie kepada Henry van Velthuysen ini adalah belajar seni lukis Barat, bukannya silpasastra, atau ilmu membuat relief candi. Hal ini dapat dipahami karena Kho Wan Gie sebelum menciptakan Put On, ia bekerja sebagai pelukis. Bagaimana dengan R.A. Kosasih yang menyajikan kisah Mahabharata, Sri Asih (Superhero Indonesia pertama), dan kisah Ramayana (Sri Rama dan Dewi Shinta) sebagaimana pada relief candi Prambanan? Menjawab pertanyaan ini, nampaknya kita harus melihat dengan jelas aspek bentuk dan isi seni. Sebagaimana seni lukis, patung, dan seni grafis, komik juga terdiri dari bentuk (form) dan juga isi (content). Meskipun tidak mutlak, keduanya menjadi parameter dalam menilai seni. Bentuk adalah segala hal yang pertamatama tertangkap oleh penerima atau penikmat seni, nilainya terdiri atas nilai bahan seni atau juga disebut medium. Medium tersebut mengandung nilai warna, tekstur, garis, dan bangun tertentu. Adapun isi seni merupakan ide, gagasan, dan makna yang terkandung dalam obyek seni yang mampu membangkitkan perasaan tertentu. 47 Dalam komik sebagai bentuk seni, McCloud mengungkapkan bahwa bentuk seni, yaitu media, yang dikenal sebagai komik 45 Dalam wawacara tanggal 23 Oktober 2016. 46 Lihat tulisan editor, Riwayat Kho Wan Gie, dalam Put On : Komik Strip Pertama Indonesia, Edisi Sin Po, diterbitkan ulang oleh Suara Harapan Bangsa bersama Pustaka Klasik. (2014: Hlm. 156) 47 Lihat Jacob Sumardjo, Filsafat Seni, Penerbit ITB, Bandung. (2000: Hlm. 115-116). 69 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

adalah wadah yang dapat menampung berbagai macam gagasan dan gambar. 48 Artinya, komik sebagai seni visual sekuensial yang terjukstaposisi dan bersifat naratif dengan beragam elemen-elemen khasnya, dapat memuat (sebagai wadah dalam istilah McCloud) isi (narasi, kisah, cerita, atau makna) apapun. Dalam komik karya R.A. Kosasih, kisah/kakawin Mahabharata dan Ramayana adalah isi dari komik. Adapun medium atau bentuknya, komik R.A. Kosasih pada kenyataannya menunjukkan karakteristik komik dalam tradisi seni rupa Barat. Di dalamnya melekat segala macam properties komik barat (pictorial, narrative, juxtaposition, sequential), berserta segala macam elemennya (gutter, balloon, caption, dan lain sebagainya). Bahkan dari segi komik sebagai medium, komik R.A. Kosasih teridentifikasi sebagai comic books, sebagaimana komik dalam tradisi seni rupa Barat. Gambar 8. Komik Sri Rama & Dewi Shinta Karya R.A. Kosasih, menceritakan epos Ramayana (atas), dan cuplikan Komik strip Put On karya Kho Wan Gie (bawah) R.A. Kosasih lahir pada tanggal 3 April 1919 di Bondongan, Bogor. Semenjak kecil Kosasih gemar membaca komik strip Tarzan di koran-koran bekas belanjaan ibunya. 49 Agaknya, Tarzan inilah yang menginspirasi dirinya untuk menciptakan karakter Tjempaka, semacam Tarzan perempuan di sekitar tahun 1950an. Kosasih bekerja sebagai ilustrator botani di Kementrian Kehutanan Hindia-Belanda di tahun 1939. Ia mengembangkan karakter Sri Asih bersama dengan sahabatnya Tan Eng Hiong (Tatang Prawira) ke dalam buku komik sebanyak 32 halaman di sekitar tahun 1954. 50 Mengenai Sri Asih ini, Bonneff mengatakan demikian : Tokoh-tokoh imitasi dari superhero Amerika mulai bermunculan, misalnya Sri Asih. Komik yang diterbitkan sejak tahun 1954 oleh penerbit Melodi di Bandung itu mirip dengan Superman, dan dianggap sebagai komik superhero Indonesia yang pertama. semula ada godaan untuk mereproduksi komik yang sukses, namun kemudian muncul usaha untuk membatasinya, yaitu dengan menciptakan pahlawan Indonesia berdasarkan model Amerika. Sri Asih, Kapten Komet, Popo, adalah 48 Scott McCloud, Op.Cit. (2008: Hlm.5). 49 Lihat Anton W.P., Kisah Komikus Legendaris Dunia, BukuKatta, Jakarta. (2010: Hlm. 115-120) 50 John. A. Lent, Op.Cit. (2008: Hlm. 134). 70 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

beberapa contoh dari usaha transposisi itu. Dibalik tokoh-tokoh Kapten Komet, Kapten Tjahjono, Siti Gahara, mudah sekali ditemukan figur Flash Gordon. Keadaan ini menunjukkan bahwa model Amerika dapat diterima di seluruh dunia, dan menjadi landasan dan acuan bagi produksi nasional. 51 Beberapa hal diatas menunjukkan bahwa komik Indonesia, di awal-awal masa lahir, tumbuh, dan berkembangnya, benar-benar berakar dari tradisi seni rupa Barat. Komik Indonesia, baik sebagai bentuk seni maupun sebagai medium di awal-awal kemunculannya sudah menunjukkan karakteristik sebagaimana komik yang ada di Eropa dan Amerika. Jika komik sebagai bentuk seni dan medium benar-benar berakar dari barat, namun isi (content) komik meskipun sedikit banyak juga terpengaruh superhero Amerika. Komikus Indonesia berupaya memunculkan narasi-narasi lokal Nusantara dalam karyanya. Menimbang hal tersebut, saya mejadi agak kesulitan ketika harus menemukan kontinuitas komik Indonesia dengan relief candi Borobudur. Saya tidak menemukan aspek-aspek komik sebagai bentuk seni berikut karakteristiknya dalam relief candi Borobudur, dan juga sebaliknya, saya juga tidak menemukan karakteristik relief candi Borobudur ada pada komik. Beberapa hal yang nampak sama dari keduanya adalah sifatnya yang piktorial, naratif, dan terjukstaposisi. Jika sifat-sifat itu yang menjadi acuan, apa yang tidak termasuk? Banyak sekali gambar-gambar naratif-sekuansial di belahan dunia ini, baik yang berasal dari masa kini maupun masa lampau. Meskipun komik dan relief candi Borobudur sama-sama piktorial, naratif, dan terjukstaposisi, namun keduanya sungguhlah berbeda. Riset yang cukup panjang mengenai bahasa rupa relief candi dan wayang beber telah dilakukan oleh Primadi Tabrani. 52 Mengenai bahasa rupa relief candi dan wayang beber, saya mencoba untuk meringkas, menambahkan, dan membandingkannya dengan komik modern dalam beberapa aspek seperti panel, teks, warna, dan gambar sebagai berikut : 1. Panel Jika menggunakan cara pandang komik modern, relief candi dan wayang beber umumnya berbentuk strip. Panjang panel relief candi umumnya lebih panjang dari tingginya. Sedangkan pada wayang beber yang terpanjang sekitar 1,66 kali tinggi dan terpendek sekitar 1,07 tingginya. Pada relief candi, garis batas panel nampak jelas, sedangkan pada wayang beber umumnya terdiri dari 4 panel tiap gulungan, tanpa garis pembatas yang jelas, batasnya adalah obyek-obyek yang nampak terlokalisir. Elemen panel pada relief, wayang beber, dan juga komik mungkin tidak nampak perbedaan yang cukup mencolok. 2. Teks Pada relief candi dan juga wayang beber tidak dijumpai adanya teks dalam bentuk apapun, oleh karena narasi verbal disampaikan secara oral oleh pendeta/agamawan pada relief candi, dan dalang pada wayang beber. Hal ini berbeda dengan komik, di mana teks ditempatkan dalam balon kata, caption, dan juga muncul dalam sound lettering. 3. Warna Relief candi saat ini tentunya tidak berwarna, dalam arti warna yang muncul adalah warna asli dari batu yang dipahat. Adapun pada wayang beber sangat kaya warna, sebagaimana komik modern. 4. Gambar Dibanding ketiga aspek sebelumnya, aspek gambar pada relief dan wayang beber ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Pertama, Obyek-obyek dalam komik dengan tradisi seni rupa Barat, kecenderungannya digambarkan secara obyektifnaturalis, dengan perubahan wujud secara distorsif maupun deformatif, baik pada 51 Marcell Bonneff, Op.Cit. (2008: Hlm. 24-27). 52 Riset bahasa rupa yang dilakukan oleh Prof. Dr. Primadi Tabrani kemudian dibukukan dalam judul Bahasa Rupa. Di dalamnya memuat esai-esai penelitian Tabrani mulai dari bahasa rupa gambar anak, televisi, komik hingga relief dan wayang beber. Lihat Primadi Tabrani, Bahasa Rupa, Penerbit Kelir, Bandung. (2009). 71 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020

obyek manusia maupun alam benda. Pada relief candi dan juga wayang beber (begitu pula pada wayang kulit, wayang topeng, wayang golek, wayang klithik, dsb.) mengalami perubahan wujud (dari bentuk asli referennya) dengan jalan stilisasi. 53 Kedua, komik modern dalam penggambaran dunianya secara umum menggunakan teknik gambar perspektif yang rasional, dan empirik, sebagaimana penglihatan manusia sebagai individu sehari-hari, benda-benda yang letaknya lebih dekat dengan mata terlihat lebih besar dan benda-benda yang terletak lebih jauh dengan mata terlihat lebih kecil. Semakin jauh letak benda dari mata kita, benda itu akan terlihat semakin kecil hingga akhirnya hanya tampak sebagai titik saja. Gambar 9. Relief Sayembara Memanah candi Borobudur, dan cara membacanya. (Sumber : Tabrani, 2009, p 55). Relief candi tidak menggunakan teknik gambar perspektif, namun menggunakan proyeksi aksonometri, yang juga nampak pada lukisan tradisional China, dan kebanyakan artefak seni lukis peradaban Timur. 54 Dalam proyeksi Aksonometri, tampilan obyek tampak 53 Stilisasi adalah cara penggambaran untuk mencapai bentuk keindahan dengan cara menggayakan obyek atau benda yang digambar, yaitu dengan cara menggayakan setiap kontur tiap obyek atau benda tersebut. Stilisasi tidak mengejar kemiripan dengan obyek acuan, namun lebih kepada mengoptimalkan nilai estetik intrinsik. Cara penggambaran ini nampak pada motif batik yang merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk tumbuhan dan hewan, pada wayang topeng yang merupakan stilisasi dari wajah manusia, dan juga wayang kulit. Jika deformasi adalah mengurangi (menyederhanakan bentuk, hingga pada aspek yang substansif), maka stilisasi lebih kepada menambahkan. Lihat Dharsono Sony Kartika & Nanang Ganda Perwira, Pengantar Estetika, Penerbit Rekayasa Sains, Bandung. (2004: Hlm. 103). 54 Mengenai proyeksi aksonometri dalam relief candi Borobudur dan wayang beber ini, merupakan hasil pemikiran sahabat saya Syarifuddin, seorang kurator, kritikus seni, dan juga peneliti seni asal kota Malang. Hal tersebut disampaikan kepada saya 72 Volume 02, Nomor 01, Maret 2020