Pada prasasti apa di ceritakan mengenai perjalanan suci raja pertama Kerajaan Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanegara?

Terjemahan Prasasti Kota Kapur bisa anda lihat di Museum Timah Pangkal Pinang.

Intisari-Online.com - Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan bercorak Buddha yang didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa pada abad ke-7.

Kerajaan ini terletak di tepian Sungai Musi, di daerah Palembang, Sumatera Selatan.

Masa kejayaannya diraih pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa sekitar abad ke-9.

Pada masa pemerintahannya, kerajaan ini mengontrol perdagangan di jalur utama Selat Malaka.

Sementara daerah kekuasaannya, antara lain Sumatera dan pulau-pulau sekitar Jawa bagian barat, sebagian Jawa bagian tengah, sebagian Kalimantan, Semenanjung Melayu, dan hampir seluruh perairan Nusantara.

Kebesarannya juga dapat dilihat dari keberhasilannya di beberapa bidang, seperti bidang maritim, politik, dan ekonomi.

Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai salah satu kerajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan memberi banyak pengaruh di Nusantara.

Sejumlah peninggalan Kerajaan Sriwijaya menjadi bukti keberadaannya, berikut ini 9 prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya.

Baca Juga: Dalam Dirinya Mengalir Darah Mongolia, Inilah Permaisuri Xiao Zhuang, Lahir dengan Misi Rahasia untuk Jadikan Putranya Seorang Kaisar, Dia Berhasil Bangun Citra Kerajaan China yang Positif

Baca Juga: Begini Cara Menghitung Weton Sebelum Menikah, Menurut Perhitungan Primbon Jawa, Kecocokan Suami Istri Berdasarkan Penjumlahan Neptu Weton dengan Pembagi 4


Page 2


Page 3

Pada prasasti apa di ceritakan mengenai perjalanan suci raja pertama Kerajaan Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanegara?

Heru Dahnur/kompas.com)

Terjemahan Prasasti Kota Kapur bisa anda lihat di Museum Timah Pangkal Pinang.

Intisari-Online.com - Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan bercorak Buddha yang didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa pada abad ke-7.

Kerajaan ini terletak di tepian Sungai Musi, di daerah Palembang, Sumatera Selatan.

Masa kejayaannya diraih pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa sekitar abad ke-9.

Pada masa pemerintahannya, kerajaan ini mengontrol perdagangan di jalur utama Selat Malaka.

Sementara daerah kekuasaannya, antara lain Sumatera dan pulau-pulau sekitar Jawa bagian barat, sebagian Jawa bagian tengah, sebagian Kalimantan, Semenanjung Melayu, dan hampir seluruh perairan Nusantara.

Kebesarannya juga dapat dilihat dari keberhasilannya di beberapa bidang, seperti bidang maritim, politik, dan ekonomi.

Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai salah satu kerajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan memberi banyak pengaruh di Nusantara.

Sejumlah peninggalan Kerajaan Sriwijaya menjadi bukti keberadaannya, berikut ini 9 prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya.

Baca Juga: Dalam Dirinya Mengalir Darah Mongolia, Inilah Permaisuri Xiao Zhuang, Lahir dengan Misi Rahasia untuk Jadikan Putranya Seorang Kaisar, Dia Berhasil Bangun Citra Kerajaan China yang Positif

Baca Juga: Begini Cara Menghitung Weton Sebelum Menikah, Menurut Perhitungan Primbon Jawa, Kecocokan Suami Istri Berdasarkan Penjumlahan Neptu Weton dengan Pembagi 4

Pada prasasti apa di ceritakan mengenai perjalanan suci raja pertama Kerajaan Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanegara?

Pada prasasti apa di ceritakan mengenai perjalanan suci raja pertama Kerajaan Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanegara?
Lihat Foto

Wikimedia/Gunawan Kartapranata

Prasasti Kedukan Bukit

KOMPAS.com - Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan bercorak Buddha yang terletak di tepi Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan.

Pendiri Kerajaan Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanasa.

Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa.

Pada masanya, kerajaan yang didirikan pada abad ke-7 ini banyak memberi pengaruh di nusantara.

Selain mengontrol perdagangan di jalur utama Selat Malaka, kebesarannya juga dapat dilihat dari keberhasilannya di bidang maritim, politik, dan ekonomi.

Berikut ini beberapa peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang dapat membuktikan keberadaan dan kebesarannya.

Baca juga: Mengapa Kerajaan Sriwijaya Disebut Kerajaan Maritim?

Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya

1. Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Batang, Kedukan Bukit, Palembang, pada 29 November 1920.

Prasasti berangka tahun 683 Masehi ini ditulis dengan huruf Pallawa dan Bahasa Sanskerta.

Prasasti Kedukan Bukit berisi tentang berdirinya Kerajaan Sriwijaya dan raja pertamanya yang bernama Sri Jayanegara, melakukan perjalanan suci menggunakan perahu bersama 20.000 tentaranya.

Pada prasasti apa di ceritakan mengenai perjalanan suci raja pertama Kerajaan Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanegara?

Pada prasasti apa di ceritakan mengenai perjalanan suci raja pertama Kerajaan Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanegara?
Lihat Foto

DOK.KOMPAKS

Alat pencetak koin pada masa Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan di Sungai Musi, Palembang Sumatera Selatan.

KOMPAS.com - Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang bercorak Buddha di Nusantara.

Kerajaan Sriwijaya diperkirakan berdiri pada abad ke-7 oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga dan menjadi raja pertama.

Pada masanya Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha di Asia Tenggara dan Asia Timur.

Bukti keberadaan Kerajaan Sriwijaya

Ada beberapa bukti mengenai berdiri dan berkembangnya Kerajaan Sriwijaya di Nusantara.

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (2019) karya Edi Hernadi, sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya yang penting adalah prasasti.

Prasasti-prasasti tersebut ditulis dengan huruf Pallawa. Bahasa yang dipakai adalah Melayu Kuno.

Baca juga: Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Maritim Terbesar di Nusantara

Berikut bukti keberadaan Kerajaan Sriwijaya:

Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang. Prasasti tersebut tertulis 604 saka (683 M).

Dalam prasasti tersebut isinya menerangkan bahwa seorang bernama Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci (siddhayatra) dengan menggunakan perahu.

Ia berangkat dari Minangatamwan dengan membawa tentara 20.00 orang hingga di Upang (Palembang). Di sana ia mendirikan vihara.

Daftar Maharaja Sriwijaya

Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah maharaja Sriwijaya pertama yang diasumsikan sbg pendiri Kadatuan Sriwijaya. Namanya disebut dalam beberapa prasasti awal Sriwijaya dari belakang seratus tahun VII yang disebut sbg "prasasti-prasasti Siddhayatra", karena menceritakan perjalanan sucinya mengalap berkah dan menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Dia berkuasa sekitar perempat terakhir seratus tahun VII sampai awal seratus tahun VIII, tepatnya antara kurun 671 masehi sampai 702 masehi.

Biografi

Menurut I Tsing, seorang pendeta Buddha yang pernah mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan, terkesan hendak kegunaan raja Sriwijaya ketika itu,[1] dan raja tersebut kemudian dihubungkan dengan prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya yang juga berada pada seratus tahun ke-7, bertarikh 682 yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang,[2] merujuk kepada orang yang sama.[3][4] Walaupun kemudian beberapa sejarawan berlainan pendapat tentang penafsiran dari beberapa kata yang terdapat pada prasasti tersebut.[5][6][7]

Menurut Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 saka (683 masehi), menceritakan seorang Raja bergelar Dapunta Hyang melaksanakan Siddhayatra (perjalanan suci) dengan naik perahu. Dia berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa satu armada dengan kekuatan 20.000 bala tentara menuju ke Matajap dan menaklukan beberapa kawasan. Beberapa prasasti lain yang ditemui juga menceritakan Siddhayatra dan penaklukkan wilayah sekitar oleh Sriwijaya, yaitu prasasti yang ditemukan di Kota Kapur di Pulau Bangka (686 masehi), Karang Brahi di Jambi Hulu (686 masehi) dan Palas Pasemah di selatan Lampung, semua menceritakan peristiwa yang sama. Dari keterangan prasasti-prasasti ini, mampu disimpulkan bahwa Dapunta Hyang mendirikan Kerajaan Sriwijaya setelah mengalahkan musuh-musuhnya di Jambi, Palembang, Selatan Lampung dan Pulau Bangka,[8] dan bahkan melancarkan serangan ke Bhumi Jawa yang mungkin mengakibatkan keruntuhan kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat.

Nama dan asal usul

Dapunta Hyang dipercayai sbg suatu gelar penguasa yang dipakai maharaja Sriwijaya periode awal.[9] Gelar Dapunta juga ditemukan dalam Prasasti Sojomerto (akhir seratus tahun ke-7) yang ditemukan di kawasan Batang, pesisir utara Jawa Tengah, yaitu Dapunta Selendra yang dipercaya sbg nama leluhur wangsa Sailendra. Istilah hyang sendiri dalam norma budaya istiadat asli Nusantara merujuk kepada keberadaan spiritual supernatural tidak kasat mata yang dikaitkan dengan roh leluhur atau dewata, sehingga diduga Dapunta Hyang melaksanakan perjalanan "mengalap berkah" sbg memperoleh kekuatan spiritual atau kesaktian. Kesaktian ini ditambah dengan kekuatan bala tentaranya, menjadi sbg legitimasi sbg menaklukkan daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Kekuatan spiritual ini pula yang menjadikan persumpahan Dapunta Hyang diasumsikan bertuah dan ditakuti para datu (penguasa daerah) bawahannya, yang kebanyakan diikat kesetiaannya kepada Sriwijaya dalam suatu prasasti dan upacara persumpahan ditemani kutukan bagi siapa saja yang mengkhianati Sriwijaya.

Slamet Muljana mengaitkan Dapunta Hyang di dalam Prasasti Kedukan Bukit sbg "Sri Jayanasa", karena menurut Prasasti Talang Tuwo yang berangka tahun 684 masehi, Maharaja Sriwijaya ketika itu adalah Sri Jayanasa. Karena jarak tahun antara kedua prasati ini hanya setahun, karenanya probabilitas akbar "Dapunta Hyang" di dalam Prasasti Kedukan Bukit dan "Sri Jayanasa" dalam Prasasti Talang Tuwo adalah orang yang sama.[10]

Asal-usul Raja Jayanasa dan letak sebenarnya dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan pandai sejarah. Karena kesamaan bunyinya, mempunyai yang berpendapat Minanga Tamwan adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanghari. Sementara Soekmono berpendapat Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (Tamwan berfaedah temuan), yakni sungai Kampar kanan dan sungai Kampar kiri di Riau,[11] yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Pendapat lain menduga armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatera, yakni dari Semenanjung Malaya.[12]

Rujukan

  1. ^ Takakusu, Junjiro (1896). A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing. London: Oxford. 
  2. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9. 
  3. ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient 18 (6): 1–36. 
  4. ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO) 30: 29–80. 
  5. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  6. ^ Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah norma budaya istiadat Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 
  7. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  8. ^ Elfriede Hermann, Karin Klenke, Michael Dickhardt (2009). Form, Macht, Differenz : Motive und Felder ethnologischen Forschens. Universitätsverlag Göttingen. hlm. 254-255. ISBN 978-3-940344-80-9. 
  9. ^ Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
  10. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  11. ^ Drs. R. Soekmono, (1973 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Norma budaya istiadat Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 38. ISBN 979-4132290X. 
  12. ^ Coedes, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. hlm. 82. ISBN 978-0-8248-0368-1. 


edunitas.com


Page 2

Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah maharaja Sriwijaya pertama yang diasumsikan sbg pendiri Kadatuan Sriwijaya. Namanya dinamakan dalam beberapa prasasti awal Sriwijaya dari belakang seratus tahun VII yang dinamakan sbg "prasasti-prasasti Siddhayatra", karena menceritakan perjalanan sucinya mengalap berkah dan menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Dia berkuasa sekitar perempat terakhir seratus tahun VII sampai awal seratus tahun VIII, tepatnya antara kurun 671 masehi sampai 702 masehi.

Biografi

Menurut I Tsing, seorang pendeta Buddha yang pernah mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan, terkesan hendak kegunaan raja Sriwijaya ketika itu,[1] dan raja tersebut kemudian dihubungkan dengan prasasti yang paling tua tentang Sriwijaya yang juga berada pada seratus tahun ke-7, bertarikh 682 yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang,[2] merujuk kepada orang yang sama.[3][4] Walaupun kemudian beberapa sejarawan berlainan pendapat tentang penafsiran dari beberapa kata yang terdapat pada prasasti tersebut.[5][6][7]

Menurut Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 saka (683 masehi), menceritakan seorang Raja bergelar Dapunta Hyang melaksanakan Siddhayatra (perjalanan suci) dengan naik perahu. Dia berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa satu armada dengan kekuatan 20.000 bala tentara menuju ke Matajap dan menaklukan beberapa kawasan. Beberapa prasasti lain yang ditemui juga menceritakan Siddhayatra dan penaklukkan wilayah sekitar oleh Sriwijaya, yaitu prasasti yang ditemukan di Kota Kapur di Pulau Bangka (686 masehi), Karang Brahi di Jambi Hulu (686 masehi) dan Palas Pasemah di selatan Lampung, semua menceritakan peristiwa yang sama. Dari keterangan prasasti-prasasti ini, mampu disimpulkan bahwa Dapunta Hyang mendirikan Kerajaan Sriwijaya setelah mengalahkan musuh-musuhnya di Jambi, Palembang, Selatan Lampung dan Pulau Bangka,[8] dan bahkan melancarkan serangan ke Bhumi Jawa yang mungkin mengakibatkan keruntuhan kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat.

Nama dan asal usul

Dapunta Hyang dipercayai sbg suatu gelar penguasa yang dipakai maharaja Sriwijaya periode awal.[9] Gelar Dapunta juga ditemukan dalam Prasasti Sojomerto (akhir seratus tahun ke-7) yang ditemukan di kawasan Batang, pesisir utara Jawa Tengah, yaitu Dapunta Selendra yang dipercaya sbg nama leluhur wangsa Sailendra. Istilah hyang sendiri dalam norma budaya istiadat asli Nusantara merujuk kepada keberadaan spiritual supernatural tidak kasat mata yang dikaitkan dengan roh leluhur atau dewata, sehingga diduga Dapunta Hyang melaksanakan perjalanan "mengalap berkah" sbg memperoleh kekuatan spiritual atau kesaktian. Kesaktian ini ditambah dengan kekuatan bala tentaranya, menjadi sbg legitimasi sbg menaklukkan daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Kekuatan spiritual ini pula yang menjadikan persumpahan Dapunta Hyang diasumsikan bertuah dan ditakuti para datu (penguasa daerah) bawahannya, yang kebanyakan diikat kesetiaannya kepada Sriwijaya dalam suatu prasasti dan upacara persumpahan ditemani kutukan bagi siapa saja yang mengkhianati Sriwijaya.

Slamet Muljana mengaitkan Dapunta Hyang di dalam Prasasti Kedukan Bukit sbg "Sri Jayanasa", karena menurut Prasasti Talang Tuwo yang berangka tahun 684 masehi, Maharaja Sriwijaya ketika itu adalah Sri Jayanasa. Karena jarak tahun antara kedua prasati ini hanya setahun, karenanya probabilitas akbar "Dapunta Hyang" di dalam Prasasti Kedukan Bukit dan "Sri Jayanasa" dalam Prasasti Talang Tuwo adalah orang yang sama.[10]

Asal-usul Raja Jayanasa dan letak sebenarnya dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan pandai sejarah. Karena kecocokan bunyinya, mempunyai yang berpendapat Minanga Tamwan adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanghari. Sementara Soekmono berpendapat Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (Tamwan berfaedah temuan), yakni sungai Kampar kanan dan sungai Kampar kiri di Riau,[11] yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Pendapat lain menduga armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatera, yakni dari Semenanjung Malaya.[12]

Rujukan

  1. ^ Takakusu, Junjiro (1896). A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing. London: Oxford. 
  2. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9. 
  3. ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient 18 (6): 1–36. 
  4. ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO) 30: 29–80. 
  5. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  6. ^ Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah norma budaya istiadat Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 
  7. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  8. ^ Elfriede Hermann, Karin Klenke, Michael Dickhardt (2009). Form, Macht, Differenz : Motive und Felder ethnologischen Forschens. Universitätsverlag Göttingen. hlm. 254-255. ISBN 978-3-940344-80-9. 
  9. ^ Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
  10. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  11. ^ Drs. R. Soekmono, (1973 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Norma budaya istiadat Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 38. ISBN 979-4132290X. 
  12. ^ Coedes, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. hlm. 82. ISBN 978-0-8248-0368-1. 


edunitas.com


Page 3

Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah maharaja Sriwijaya pertama yang diasumsikan sbg pendiri Kadatuan Sriwijaya. Namanya dinamakan dalam beberapa prasasti awal Sriwijaya dari belakang seratus tahun VII yang dinamakan sbg "prasasti-prasasti Siddhayatra", karena menceritakan perjalanan sucinya mengalap berkah dan menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Dia berkuasa sekitar perempat terakhir seratus tahun VII sampai awal seratus tahun VIII, tepatnya antara kurun 671 masehi sampai 702 masehi.

Biografi

Menurut I Tsing, seorang pendeta Buddha yang pernah mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan, terkesan hendak kegunaan raja Sriwijaya ketika itu,[1] dan raja tersebut kemudian dihubungkan dengan prasasti yang paling tua tentang Sriwijaya yang juga berada pada seratus tahun ke-7, bertarikh 682 yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang,[2] merujuk kepada orang yang sama.[3][4] Walaupun kemudian beberapa sejarawan berlainan pendapat tentang penafsiran dari beberapa kata yang terdapat pada prasasti tersebut.[5][6][7]

Menurut Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 saka (683 masehi), menceritakan seorang Raja bergelar Dapunta Hyang melaksanakan Siddhayatra (perjalanan suci) dengan naik perahu. Dia berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa satu armada dengan kekuatan 20.000 bala tentara menuju ke Matajap dan menaklukan beberapa kawasan. Beberapa prasasti lain yang ditemui juga menceritakan Siddhayatra dan penaklukkan wilayah sekitar oleh Sriwijaya, yaitu prasasti yang ditemukan di Kota Kapur di Pulau Bangka (686 masehi), Karang Brahi di Jambi Hulu (686 masehi) dan Palas Pasemah di selatan Lampung, semua menceritakan peristiwa yang sama. Dari keterangan prasasti-prasasti ini, mampu disimpulkan bahwa Dapunta Hyang mendirikan Kerajaan Sriwijaya setelah mengalahkan musuh-musuhnya di Jambi, Palembang, Selatan Lampung dan Pulau Bangka,[8] dan bahkan melancarkan serangan ke Bhumi Jawa yang mungkin mengakibatkan keruntuhan kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat.

Nama dan asal usul

Dapunta Hyang dipercayai sbg suatu gelar penguasa yang dipakai maharaja Sriwijaya periode awal.[9] Gelar Dapunta juga ditemukan dalam Prasasti Sojomerto (akhir seratus tahun ke-7) yang ditemukan di kawasan Batang, pesisir utara Jawa Tengah, yaitu Dapunta Selendra yang dipercaya sbg nama leluhur wangsa Sailendra. Istilah hyang sendiri dalam norma budaya istiadat asli Nusantara merujuk kepada keberadaan spiritual supernatural tidak kasat mata yang dikaitkan dengan roh leluhur atau dewata, sehingga diduga Dapunta Hyang melaksanakan perjalanan "mengalap berkah" sbg memperoleh kekuatan spiritual atau kesaktian. Kesaktian ini ditambah dengan kekuatan bala tentaranya, menjadi sbg legitimasi sbg menaklukkan daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Kekuatan spiritual ini pula yang menjadikan persumpahan Dapunta Hyang diasumsikan bertuah dan ditakuti para datu (penguasa daerah) bawahannya, yang kebanyakan diikat kesetiaannya kepada Sriwijaya dalam suatu prasasti dan upacara persumpahan ditemani kutukan bagi siapa saja yang mengkhianati Sriwijaya.

Slamet Muljana mengaitkan Dapunta Hyang di dalam Prasasti Kedukan Bukit sbg "Sri Jayanasa", karena menurut Prasasti Talang Tuwo yang berangka tahun 684 masehi, Maharaja Sriwijaya ketika itu adalah Sri Jayanasa. Karena jarak tahun antara kedua prasati ini hanya setahun, karenanya probabilitas akbar "Dapunta Hyang" di dalam Prasasti Kedukan Bukit dan "Sri Jayanasa" dalam Prasasti Talang Tuwo adalah orang yang sama.[10]

Asal-usul Raja Jayanasa dan letak sebenarnya dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan pandai sejarah. Karena kecocokan bunyinya, mempunyai yang berpendapat Minanga Tamwan adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanghari. Sementara Soekmono berpendapat Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (Tamwan berfaedah temuan), yakni sungai Kampar kanan dan sungai Kampar kiri di Riau,[11] yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Pendapat lain menduga armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatera, yakni dari Semenanjung Malaya.[12]

Rujukan

  1. ^ Takakusu, Junjiro (1896). A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing. London: Oxford. 
  2. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9. 
  3. ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient 18 (6): 1–36. 
  4. ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO) 30: 29–80. 
  5. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  6. ^ Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah norma budaya istiadat Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 
  7. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  8. ^ Elfriede Hermann, Karin Klenke, Michael Dickhardt (2009). Form, Macht, Differenz : Motive und Felder ethnologischen Forschens. Universitätsverlag Göttingen. hlm. 254-255. ISBN 978-3-940344-80-9. 
  9. ^ Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
  10. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  11. ^ Drs. R. Soekmono, (1973 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Norma budaya istiadat Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 38. ISBN 979-4132290X. 
  12. ^ Coedes, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. hlm. 82. ISBN 978-0-8248-0368-1. 


edunitas.com


Page 4

H. Desmond Junaidi Mahesa, SH. MH. (lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 12 Desember 1965) adalah seorang aktivis yang yang belakang sekali diproduksi bentuk sebagai politisi dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Beliau duduk di kursi DPR-RI Komisi III wakil dari kawasan pemilihan (dapil) Kalimantan Timur dengan mengantongi 13.439 suara suara dalam Pemilu Legislatif 2009.

Namanya mulai diketahui publik sejak diproduksi bentuk sebagai salah satu korban penculikan aktivis pro demokrasi pada tahun 1997/1998. Waktu itu dirinya tercatat sbg salah satu aktivis dan mahasiswa yang berjuang menegakkan keadilan dan demokrasi di saat pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto.[1]

Waktu ini beliau juga menjabat Ketua DPP Partai Gerindra Segi Kaderisasi.[2]

Daftar konten

  • 1 Riwayat
  • 2 Perjalanan karier
  • 3 Posisi
  • 4 Referensi
  • 5 Pranala luar

Riwayat

Beliau lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 12 Desember 1965, dengan nama kecil Junaidi. Kedua orangtuanya diketahui bersahaja. Ayahnya, Muchtar (alias Tarlan) bin H. Sirin, adalah seorang petani dan buruh kasar. Sedangkan ibunya, Sa’diah binti Ubak, diketahui sbg pedagang telur di pasar Batuah, Kota Banjarmasin.

Junaidi tumbuh akbar di Sungai Tabuk dan Pasar Batuah, sebuah kawasan yang padat dan terbilang “kumuh”. Sejak kecil, kepada anak seusianya, beliau bekerja keras sambil sekolah sehingga seorang keluarga jauh membiayainya sekolah. Namun, ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, 'Junaidi' muda mencoba mandiri. Banyak pekerjaan kasar diterapkannya kepada biaya hidup dan kuliah, termasuk kuli kontruksi dan cleaning service di kantor, sampai menarik becak pada malam hari di sekitar Pasa Batuah dan Belauran.

Di kampus Junaidi aktif di Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Unlam, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Golongan Studi Islam (KSI), Tingkatan Muda Baitul Hikmah dan Segi yang terkait (KSHL). Beliau juga aktif menulis artikel kepada Koran Banjarmasin Post dan Dinamika Berita. Garis nasib mulai berubah ketika beliau dipercaya dalam Progran Segi yang terkait Hidup GTZ (kerjasama Indonesia-Jerman), 1989-2004 di Kalimantan Timur.

Setelah hijrah ke Pulau Jawa, Junaidi bekerja di Lembaga bantuan Hukum (LBH) Nusantara, Bandung (1996) dan Jakarta (1998) sbg Direktur. Suatu hari ketika beliau menghadiri siding di pengadilan, kedatangan Junaidi di permasalahkan oleh hakim dan Jaksa karena yang datang bukan Junidi sebagaimana yang tercantum dalam surat kuasa, tapi Desmond. Padahal selang Juanidi dan Desmond itu orangnya sama. Oleh karena peristiwa tersebut, Junaidi yang belakang sekali mengusulkan perubahan nama di pengadilan Negri Jakarta Selatan diproduksi bentuk sebagai Desmond Junaidi Mahesa samapai sekarang. Selain aktif di LBHN, Desmond Junaidi Mahesa juga aktif di Presidium Nasional Walhi (1995-1996), Konsorsium Pembaharuan Agraris (KPA, mulai 1994), Forum Demokrasi (Fordem) dan SPIDE (Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Kepada Perjuangan Demokrasi). Setelah bebas sama sekali dari penculikan, bersama aktivis kampusnya beliau membangun yayasan Dalas Hangit (Yadah) di Banjarmasin, Mesi 1998. Beliau juga tercatat sbg Ketua Yayasan LBH Banjarmasin.

Setelah penculikan dan kembali ke Jakarta, Desmond membuka Kantor Hukum Des & Des di Jakarta pada 1998. Pada tahun 2000 kantor Hukum ini berubah anma diproduksi bentuk sebagai “TREAD’S & Associate”. Diantara kasus yang pernah ditangani adalah kasus Planet Bali, Kartini di Uni Emirat Arab, Bank CIC dan kasus Bank Kesawan. Dan yang mengagetkan, di selang kliennya mempunyai yang bernama Tomy Winata, salah satu pemilik Group Artha Graha. Desmond mendampingi TW dalam rapat dengar gagasan umum Komisi I DPR pada 27 Maret 2003. Dalam pada itu beliau menyilakan duduk studi S2 di Sekolah Tinggi Pengetahuan Hukum Islam, Jakarta, 2004, dengan tesis mengenai reklamasi dan perlindungan segi yang terkait hidup.

Tanggal 1 Oktober 2009 Desmond Junaidi Mahesa dilantik diproduksi bentuk sebagai anggota DPR RI mewakili rakyat Kalimantan Timur. Beliau duduk di komisi III dan Badan Agak DRP RI. Dikelola Desmond, fraksi langsung tancap gas. Fraksi partai Gerindra diproduksi bentuk sebagai satu-satunya fraksi yang menolak Rancangan APBN 2010. Gerindra pula yang secara resmi dalam jumpa pers Fraksi menyatakan tak tertutup probabilitas DPR menempuh jalan konstitusional pemakzulan sbg konsekuensi pengguna Hak Angket DPR kepada pengusutan kasus Bank Century. Sikap kritis demikian ternyata mengagetkan sejumlah kolega dari Sekretaris Fraksi.

Tapi, sikap kritis tak lantas mati. Beliau orang pertama di Senayan yang mempertanyakan legalitas jaksa Luhur Hendarman Supandji dalam rapat resmi Komisi III DPR, Mesi 2010. Jau sebelum Prof. Yusril Ihza Mahendra mendaftarkan permohonan judicial review-nya yang fenomenal ke Mahkamah Konstitusi soal legalitas Jaksa Agung. Beliau juga menandatangani lembar Hak Menyatakan Gagasan kepada tindak lanjut kasus bank Century. Selama di Senayan, 3 buku telah diterbitkan, yakni: Presiden Offside, Kita Diam atau Memakzulkan (Mei 2012), Menggugat Logika APBN: Politik Agak Partai Gerindra (ditulis bersama Fary Djemy Francis, Juli 2012), dan DPR Offside: Otokritik Parlemen Indonesia (2013).

Permulaan Oktober 2012, Desmond mendapat kesempatan kepada menunaikan ibadah haji. Kesudahan Oktober 2012, H. Desmond dipercaya diproduksi bentuk sebagai Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI. Dan kepada Pemilu 2014, H. Desmond mendapat amanah partai kepada maju sbg yang akan menjadi Anggota Legislatif (Caleg) DPR RI dari Kawasan Pemilihan Banten II (Kabupaten Serang, Kota Serang dan Kota Cilegon).

Perjalanan karier

Posisi

  • Direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Jakarta (1998)
  • Ketua DPP Partai Gerindra (2008-2013)
  • Anggota DPR-RI Fraksi Gerindra Komisi III (2009-2014)
  • Anggota Badan Agak (Banggar) DPR-RI
  • Anggota Badan Musyarawah (Bamus) DPR-RI

Referensi

Pranala luar

  • Mengenal Desmond - mediabanten.com, diakses 12 Maret 2014.

edunitas.com


Page 5

H. Desmond Junaidi Mahesa, SH. MH. (lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 12 Desember 1965) adalah seorang aktivis yang yang belakang sekali dijadikan politisi dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Ia duduk di kursi DPR-RI Komisi III wakil dari kawasan pemilihan (dapil) Kalimantan Timur dengan mengantongi 13.439 suara suara dalam Pemilu Legislatif 2009.

Namanya mulai diketahui publik sejak dijadikan salah satu korban penculikan aktivis pro demokrasi pada tahun 1997/1998. Waktu itu dirinya tercatat sebagai salah satu aktivis dan mahasiswa yang berjuang menegakkan keadilan dan demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto.[1]

Waktu ini ia juga menjabat Ketua DPP Partai Gerindra Segi Kaderisasi.[2]

Daftar konten

  • 1 Riwayat
  • 2 Perjalanan karier
  • 3 Posisi
  • 4 Referensi
  • 5 Pranala luar

Riwayat

Ia lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 12 Desember 1965, dengan nama kecil Junaidi. Kedua orangtuanya diketahui bersahaja. Ayahnya, Muchtar (alias Tarlan) bin H. Sirin, adalah seorang petani dan buruh kasar. Sedangkan ibunya, Sa’diah binti Ubak, diketahui sebagai pedagang telur di pasar Batuah, Kota Banjarmasin.

Junaidi tumbuh akbar di Sungai Tabuk dan Pasar Batuah, sebuah kawasan yang padat dan terbilang “kumuh”. Sejak kecil, untuk anak seusianya, ia bekerja keras sambil sekolah sehingga seorang keluarga jauh membiayainya sekolah. Namun, ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, 'Junaidi' muda mencoba mandiri. Jumlah pekerjaan kasar dilakukannya untuk biaya hidup dan kuliah, termasuk kuli kontruksi dan cleaning service di kantor, sampai menarik becak pada malam hari di sekitar Pasa Batuah dan Belauran.

Di kampus Junaidi aktif di Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Unlam, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Golongan Studi Islam (KSI), Tingkatan Muda Baitul Hikmah dan Segi yang terkait (KSHL). Ia juga aktif menulis artikel untuk Koran Banjarmasin Post dan Dinamika Berita. Garis nasib mulai berubah ketika ia dipercaya dalam Progran Segi yang terkait Hidup GTZ (kerjasama Indonesia-Jerman), 1989-2004 di Kalimantan Timur.

Setelah hijrah ke Pulau Jawa, Junaidi bekerja di Lembaga bantuan Hukum (LBH) Nusantara, Bandung (1996) dan Jakarta (1998) sebagai Direktur. Suatu hari ketika ia menghadiri siding di pengadilan, kedatangan Junaidi di permasalahkan oleh hakim dan Jaksa karena yang datang bukan Junidi sebagaimana yang tercantum dalam surat kuasa, tapi Desmond. Padahal selang Juanidi dan Desmond itu orangnya sama. Oleh karena peristiwa tersebut, Junaidi yang belakang sekali mengusulkan perubahan nama di pengadilan Negri Jakarta Selatan dijadikan Desmond Junaidi Mahesa samapai sekarang. Selain aktif di LBHN, Desmond Junaidi Mahesa juga aktif di Presidium Nasional Walhi (1995-1996), Konsorsium Pembaharuan Agraris (KPA, mulai 1994), Forum Demokrasi (Fordem) dan SPIDE (Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Untuk Perjuangan Demokrasi). Setelah bebas sama sekali dari penculikan, bersama aktivis kampusnya ia membangun yayasan Dalas Hangit (Yadah) di Banjarmasin, Mesi 1998. Ia juga tercatat sebagai Ketua Yayasan LBH Banjarmasin.

Setelah penculikan dan kembali ke Jakarta, Desmond membuka Kantor Hukum Des & Des di Jakarta pada 1998. Pada tahun 2000 kantor Hukum ini berproses dan berubah anma dijadikan “TREAD’S & Associate”. Diantara kasus yang pernah ditangani adalah kasus Planet Bali, Kartini di Uni Emirat Arab, Bank CIC dan kasus Bank Kesawan. Dan yang mengagetkan, di selang kliennya mempunyai yang bernama Tomy Winata, salah satu pemilik Group Artha Graha. Desmond mendampingi TW dalam rapat dengar gagasan umum Komisi I DPR pada 27 Maret 2003. Dalam pada itu ia menyilakan duduk studi S2 di Sekolah Tinggi Pengetahuan Hukum Islam, Jakarta, 2004, dengan tesis mengenai reklamasi dan perlindungan segi yang terkait hidup.

Tanggal 1 Oktober 2009 Desmond Junaidi Mahesa dilantik dijadikan anggota DPR RI mewakili rakyat Kalimantan Timur. Ia duduk di komisi III dan Badan Agak DRP RI. Dikelola Desmond, fraksi langsung tancap gas. Fraksi partai Gerindra dijadikan satu-satunya fraksi yang menolak Rancangan APBN 2010. Gerindra pula yang secara resmi dalam jumpa pers Fraksi menyatakan tak tertutup probabilitas DPR menempuh jalan konstitusional pemakzulan sebagai konsekuensi pengguna Hak Angket DPR untuk pengusutan kasus Bank Century. Sikap kritis demikian ternyata mengagetkan sejumlah kolega dari Sekretaris Fraksi.

Tapi, sikap kritis tak lantas mati. Ia orang pertama di Senayan yang mempertanyakan legalitas jaksa Luhur Hendarman Supandji dalam rapat resmi Komisi III DPR, Mesi 2010. Jau sebelum Prof. Yusril Ihza Mahendra mendaftarkan permohonan judicial review-nya yang fenomenal ke Mahkamah Konstitusi soal legalitas Jaksa Agung. Ia juga menandatangani lembar Hak Menyatakan Gagasan untuk tindak lanjut kasus bank Century. Selama di Senayan, 3 buku telah diterbitkan, yakni: Presiden Offside, Kita Diam atau Memakzulkan (Mei 2012), Menggugat Logika APBN: Politik Agak Partai Gerindra (ditulis bersama Fary Djemy Francis, Juli 2012), dan DPR Offside: Otokritik Parlemen Indonesia (2013).

Permulaan Oktober 2012, Desmond mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Kesudahan Oktober 2012, H. Desmond dipercaya dijadikan Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI. Dan untuk Pemilu 2014, H. Desmond mendapat amanah partai untuk maju sebagai yang akan menjadi Anggota Legislatif (Caleg) DPR RI dari Kawasan Pemilihan Banten II (Kabupaten Serang, Kota Serang dan Kota Cilegon).

Perjalanan karier

Posisi

  • Direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Jakarta (1998)
  • Ketua DPP Partai Gerindra (2008-2013)
  • Anggota DPR-RI Fraksi Gerindra Komisi III (2009-2014)
  • Anggota Badan Agak (Banggar) DPR-RI
  • Anggota Badan Musyarawah (Bamus) DPR-RI

Referensi

Pranala luar

  • Mengenal Desmond - mediabanten.com, diakses 12 Maret 2014.

edunitas.com


Page 6

H. Desmond Junaidi Mahesa, SH. MH. (lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 12 Desember 1965) adalah seorang aktivis yang yang belakang sekali dijadikan politisi dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Ia duduk di kursi DPR-RI Komisi III wakil dari kawasan pemilihan (dapil) Kalimantan Timur dengan mengantongi 13.439 suara suara dalam Pemilu Legislatif 2009.

Namanya mulai diketahui publik sejak dijadikan salah satu korban penculikan aktivis pro demokrasi pada tahun 1997/1998. Waktu itu dirinya tercatat sebagai salah satu aktivis dan mahasiswa yang berjuang menegakkan keadilan dan demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto.[1]

Waktu ini ia juga menjabat Ketua DPP Partai Gerindra Segi Kaderisasi.[2]

Daftar konten

  • 1 Riwayat
  • 2 Perjalanan karier
  • 3 Posisi
  • 4 Referensi
  • 5 Pranala luar

Riwayat

Ia lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 12 Desember 1965, dengan nama kecil Junaidi. Kedua orangtuanya diketahui bersahaja. Ayahnya, Muchtar (alias Tarlan) bin H. Sirin, adalah seorang petani dan buruh kasar. Sedangkan ibunya, Sa’diah binti Ubak, diketahui sebagai pedagang telur di pasar Batuah, Kota Banjarmasin.

Junaidi tumbuh akbar di Sungai Tabuk dan Pasar Batuah, sebuah kawasan yang padat dan terbilang “kumuh”. Sejak kecil, untuk anak seusianya, ia bekerja keras sambil sekolah sehingga seorang keluarga jauh membiayainya sekolah. Namun, ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, 'Junaidi' muda mencoba mandiri. Jumlah pekerjaan kasar dilakukannya untuk biaya hidup dan kuliah, termasuk kuli kontruksi dan cleaning service di kantor, sampai menarik becak pada malam hari di sekitar Pasa Batuah dan Belauran.

Di kampus Junaidi aktif di Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Unlam, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Golongan Studi Islam (KSI), Tingkatan Muda Baitul Hikmah dan Segi yang terkait (KSHL). Ia juga aktif menulis artikel untuk Koran Banjarmasin Post dan Dinamika Berita. Garis nasib mulai berubah ketika ia dipercaya dalam Progran Segi yang terkait Hidup GTZ (kerjasama Indonesia-Jerman), 1989-2004 di Kalimantan Timur.

Setelah hijrah ke Pulau Jawa, Junaidi bekerja di Lembaga bantuan Hukum (LBH) Nusantara, Bandung (1996) dan Jakarta (1998) sebagai Direktur. Suatu hari ketika ia menghadiri siding di pengadilan, kedatangan Junaidi di permasalahkan oleh hakim dan Jaksa karena yang datang bukan Junidi sebagaimana yang tercantum dalam surat kuasa, tapi Desmond. Padahal selang Juanidi dan Desmond itu orangnya sama. Oleh karena peristiwa tersebut, Junaidi yang belakang sekali mengusulkan perubahan nama di pengadilan Negri Jakarta Selatan dijadikan Desmond Junaidi Mahesa samapai sekarang. Selain aktif di LBHN, Desmond Junaidi Mahesa juga aktif di Presidium Nasional Walhi (1995-1996), Konsorsium Pembaharuan Agraris (KPA, mulai 1994), Forum Demokrasi (Fordem) dan SPIDE (Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Untuk Perjuangan Demokrasi). Setelah bebas sama sekali dari penculikan, bersama aktivis kampusnya ia membangun yayasan Dalas Hangit (Yadah) di Banjarmasin, Mesi 1998. Ia juga tercatat sebagai Ketua Yayasan LBH Banjarmasin.

Setelah penculikan dan kembali ke Jakarta, Desmond membuka Kantor Hukum Des & Des di Jakarta pada 1998. Pada tahun 2000 kantor Hukum ini berproses dan berubah anma dijadikan “TREAD’S & Associate”. Diantara kasus yang pernah ditangani adalah kasus Planet Bali, Kartini di Uni Emirat Arab, Bank CIC dan kasus Bank Kesawan. Dan yang mengagetkan, di selang kliennya mempunyai yang bernama Tomy Winata, salah satu pemilik Group Artha Graha. Desmond mendampingi TW dalam rapat dengar gagasan umum Komisi I DPR pada 27 Maret 2003. Dalam pada itu ia menyilakan duduk studi S2 di Sekolah Tinggi Pengetahuan Hukum Islam, Jakarta, 2004, dengan tesis mengenai reklamasi dan perlindungan segi yang terkait hidup.

Tanggal 1 Oktober 2009 Desmond Junaidi Mahesa dilantik dijadikan anggota DPR RI mewakili rakyat Kalimantan Timur. Ia duduk di komisi III dan Badan Agak DRP RI. Dikelola Desmond, fraksi langsung tancap gas. Fraksi partai Gerindra dijadikan satu-satunya fraksi yang menolak Rancangan APBN 2010. Gerindra pula yang secara resmi dalam jumpa pers Fraksi menyatakan tak tertutup probabilitas DPR menempuh jalan konstitusional pemakzulan sebagai konsekuensi pengguna Hak Angket DPR untuk pengusutan kasus Bank Century. Sikap kritis demikian ternyata mengagetkan sejumlah kolega dari Sekretaris Fraksi.

Tapi, sikap kritis tak lantas mati. Ia orang pertama di Senayan yang mempertanyakan legalitas jaksa Luhur Hendarman Supandji dalam rapat resmi Komisi III DPR, Mesi 2010. Jau sebelum Prof. Yusril Ihza Mahendra mendaftarkan permohonan judicial review-nya yang fenomenal ke Mahkamah Konstitusi soal legalitas Jaksa Agung. Ia juga menandatangani lembar Hak Menyatakan Gagasan untuk tindak lanjut kasus bank Century. Selama di Senayan, 3 buku telah diterbitkan, yakni: Presiden Offside, Kita Diam atau Memakzulkan (Mei 2012), Menggugat Logika APBN: Politik Agak Partai Gerindra (ditulis bersama Fary Djemy Francis, Juli 2012), dan DPR Offside: Otokritik Parlemen Indonesia (2013).

Permulaan Oktober 2012, Desmond mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Kesudahan Oktober 2012, H. Desmond dipercaya dijadikan Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI. Dan untuk Pemilu 2014, H. Desmond mendapat amanah partai untuk maju sebagai yang akan menjadi Anggota Legislatif (Caleg) DPR RI dari Kawasan Pemilihan Banten II (Kabupaten Serang, Kota Serang dan Kota Cilegon).

Perjalanan karier

Posisi

  • Direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Jakarta (1998)
  • Ketua DPP Partai Gerindra (2008-2013)
  • Anggota DPR-RI Fraksi Gerindra Komisi III (2009-2014)
  • Anggota Badan Agak (Banggar) DPR-RI
  • Anggota Badan Musyarawah (Bamus) DPR-RI

Referensi

Pranala luar

  • Mengenal Desmond - mediabanten.com, diakses 12 Maret 2014.

edunitas.com


Page 7

H. Desmond Junaidi Mahesa, SH. MH. (lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 12 Desember 1965) adalah seorang aktivis yang yang belakang sekali diproduksi bentuk sebagai politisi dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Beliau duduk di kursi DPR-RI Komisi III wakil dari kawasan pemilihan (dapil) Kalimantan Timur dengan mengantongi 13.439 suara suara dalam Pemilu Legislatif 2009.

Namanya mulai diketahui publik sejak diproduksi bentuk sebagai salah satu korban penculikan aktivis pro demokrasi pada tahun 1997/1998. Waktu itu dirinya tercatat sbg salah satu aktivis dan mahasiswa yang berjuang menegakkan keadilan dan demokrasi di saat pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto.[1]

Waktu ini beliau juga menjabat Ketua DPP Partai Gerindra Segi Kaderisasi.[2]

Daftar konten

  • 1 Riwayat
  • 2 Perjalanan karier
  • 3 Posisi
  • 4 Referensi
  • 5 Pranala luar

Riwayat

Beliau lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 12 Desember 1965, dengan nama kecil Junaidi. Kedua orangtuanya diketahui bersahaja. Ayahnya, Muchtar (alias Tarlan) bin H. Sirin, adalah seorang petani dan buruh kasar. Sedangkan ibunya, Sa’diah binti Ubak, diketahui sbg pedagang telur di pasar Batuah, Kota Banjarmasin.

Junaidi tumbuh akbar di Sungai Tabuk dan Pasar Batuah, sebuah kawasan yang padat dan terbilang “kumuh”. Sejak kecil, kepada anak seusianya, beliau bekerja keras sambil sekolah sehingga seorang keluarga jauh membiayainya sekolah. Namun, ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, 'Junaidi' muda mencoba mandiri. Banyak pekerjaan kasar diterapkannya kepada biaya hidup dan kuliah, termasuk kuli kontruksi dan cleaning service di kantor, sampai menarik becak pada malam hari di sekitar Pasa Batuah dan Belauran.

Di kampus Junaidi aktif di Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Unlam, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Golongan Studi Islam (KSI), Tingkatan Muda Baitul Hikmah dan Segi yang terkait (KSHL). Beliau juga aktif menulis artikel kepada Koran Banjarmasin Post dan Dinamika Berita. Garis nasib mulai berubah ketika beliau dipercaya dalam Progran Segi yang terkait Hidup GTZ (kerjasama Indonesia-Jerman), 1989-2004 di Kalimantan Timur.

Setelah hijrah ke Pulau Jawa, Junaidi bekerja di Lembaga bantuan Hukum (LBH) Nusantara, Bandung (1996) dan Jakarta (1998) sbg Direktur. Suatu hari ketika beliau menghadiri siding di pengadilan, kedatangan Junaidi di permasalahkan oleh hakim dan Jaksa karena yang datang bukan Junidi sebagaimana yang tercantum dalam surat kuasa, tapi Desmond. Padahal selang Juanidi dan Desmond itu orangnya sama. Oleh karena peristiwa tersebut, Junaidi yang belakang sekali mengusulkan perubahan nama di pengadilan Negri Jakarta Selatan diproduksi bentuk sebagai Desmond Junaidi Mahesa samapai sekarang. Selain aktif di LBHN, Desmond Junaidi Mahesa juga aktif di Presidium Nasional Walhi (1995-1996), Konsorsium Pembaharuan Agraris (KPA, mulai 1994), Forum Demokrasi (Fordem) dan SPIDE (Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Kepada Perjuangan Demokrasi). Setelah bebas sama sekali dari penculikan, bersama aktivis kampusnya beliau membangun yayasan Dalas Hangit (Yadah) di Banjarmasin, Mesi 1998. Beliau juga tercatat sbg Ketua Yayasan LBH Banjarmasin.

Setelah penculikan dan kembali ke Jakarta, Desmond membuka Kantor Hukum Des & Des di Jakarta pada 1998. Pada tahun 2000 kantor Hukum ini berubah anma diproduksi bentuk sebagai “TREAD’S & Associate”. Diantara kasus yang pernah ditangani adalah kasus Planet Bali, Kartini di Uni Emirat Arab, Bank CIC dan kasus Bank Kesawan. Dan yang mengagetkan, di selang kliennya mempunyai yang bernama Tomy Winata, salah satu pemilik Group Artha Graha. Desmond mendampingi TW dalam rapat dengar gagasan umum Komisi I DPR pada 27 Maret 2003. Dalam pada itu beliau menyilakan duduk studi S2 di Sekolah Tinggi Pengetahuan Hukum Islam, Jakarta, 2004, dengan tesis mengenai reklamasi dan perlindungan segi yang terkait hidup.

Tanggal 1 Oktober 2009 Desmond Junaidi Mahesa dilantik diproduksi bentuk sebagai anggota DPR RI mewakili rakyat Kalimantan Timur. Beliau duduk di komisi III dan Badan Agak DRP RI. Dikelola Desmond, fraksi langsung tancap gas. Fraksi partai Gerindra diproduksi bentuk sebagai satu-satunya fraksi yang menolak Rancangan APBN 2010. Gerindra pula yang secara resmi dalam jumpa pers Fraksi menyatakan tak tertutup probabilitas DPR menempuh jalan konstitusional pemakzulan sbg konsekuensi pengguna Hak Angket DPR kepada pengusutan kasus Bank Century. Sikap kritis demikian ternyata mengagetkan sejumlah kolega dari Sekretaris Fraksi.

Tapi, sikap kritis tak lantas mati. Beliau orang pertama di Senayan yang mempertanyakan legalitas jaksa Luhur Hendarman Supandji dalam rapat resmi Komisi III DPR, Mesi 2010. Jau sebelum Prof. Yusril Ihza Mahendra mendaftarkan permohonan judicial review-nya yang fenomenal ke Mahkamah Konstitusi soal legalitas Jaksa Agung. Beliau juga menandatangani lembar Hak Menyatakan Gagasan kepada tindak lanjut kasus bank Century. Selama di Senayan, 3 buku telah diterbitkan, yakni: Presiden Offside, Kita Diam atau Memakzulkan (Mei 2012), Menggugat Logika APBN: Politik Agak Partai Gerindra (ditulis bersama Fary Djemy Francis, Juli 2012), dan DPR Offside: Otokritik Parlemen Indonesia (2013).

Permulaan Oktober 2012, Desmond mendapat kesempatan kepada menunaikan ibadah haji. Kesudahan Oktober 2012, H. Desmond dipercaya diproduksi bentuk sebagai Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI. Dan kepada Pemilu 2014, H. Desmond mendapat amanah partai kepada maju sbg yang akan menjadi Anggota Legislatif (Caleg) DPR RI dari Kawasan Pemilihan Banten II (Kabupaten Serang, Kota Serang dan Kota Cilegon).

Perjalanan karier

Posisi

  • Direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Jakarta (1998)
  • Ketua DPP Partai Gerindra (2008-2013)
  • Anggota DPR-RI Fraksi Gerindra Komisi III (2009-2014)
  • Anggota Badan Agak (Banggar) DPR-RI
  • Anggota Badan Musyarawah (Bamus) DPR-RI

Referensi

Pranala luar

  • Mengenal Desmond - mediabanten.com, diakses 12 Maret 2014.

edunitas.com


Page 8

Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah maharaja Sriwijaya pertama yang diasumsikan sbg pendiri Kadatuan Sriwijaya. Namanya dinamakan dalam beberapa prasasti awal Sriwijaya dari belakang seratus tahun VII yang dinamakan sbg "prasasti-prasasti Siddhayatra", karena menceritakan perjalanan sucinya mengalap berkah dan menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Dia berkuasa sekitar perempat terakhir seratus tahun VII sampai awal seratus tahun VIII, tepatnya antara kurun 671 masehi sampai 702 masehi.

Biografi

Menurut I Tsing, seorang pendeta Buddha yang pernah mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan, terkesan hendak kegunaan raja Sriwijaya ketika itu,[1] dan raja tersebut kemudian dihubungkan dengan prasasti yang paling tua tentang Sriwijaya yang juga berada pada seratus tahun ke-7, bertarikh 682 yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang,[2] merujuk kepada orang yang sama.[3][4] Walaupun kemudian beberapa sejarawan berlainan pendapat tentang penafsiran dari beberapa kata yang terdapat pada prasasti tersebut.[5][6][7]

Menurut Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 saka (683 masehi), menceritakan seorang Raja bergelar Dapunta Hyang melaksanakan Siddhayatra (perjalanan suci) dengan naik perahu. Dia berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa satu armada dengan kekuatan 20.000 bala tentara menuju ke Matajap dan menaklukan beberapa kawasan. Beberapa prasasti lain yang ditemui juga menceritakan Siddhayatra dan penaklukkan wilayah sekitar oleh Sriwijaya, yaitu prasasti yang ditemukan di Kota Kapur di Pulau Bangka (686 masehi), Karang Brahi di Jambi Hulu (686 masehi) dan Palas Pasemah di selatan Lampung, semua menceritakan peristiwa yang sama. Dari keterangan prasasti-prasasti ini, mampu disimpulkan bahwa Dapunta Hyang mendirikan Kerajaan Sriwijaya setelah mengalahkan musuh-musuhnya di Jambi, Palembang, Selatan Lampung dan Pulau Bangka,[8] dan bahkan melancarkan serangan ke Bhumi Jawa yang mungkin mengakibatkan keruntuhan kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat.

Nama dan asal usul

Dapunta Hyang dipercayai sbg suatu gelar penguasa yang dipakai maharaja Sriwijaya periode awal.[9] Gelar Dapunta juga ditemukan dalam Prasasti Sojomerto (akhir seratus tahun ke-7) yang ditemukan di kawasan Batang, pesisir utara Jawa Tengah, yaitu Dapunta Selendra yang dipercaya sbg nama leluhur wangsa Sailendra. Istilah hyang sendiri dalam norma budaya istiadat asli Nusantara merujuk kepada keberadaan spiritual supernatural tidak kasat mata yang dikaitkan dengan roh leluhur atau dewata, sehingga diduga Dapunta Hyang melaksanakan perjalanan "mengalap berkah" sbg memperoleh kekuatan spiritual atau kesaktian. Kesaktian ini ditambah dengan kekuatan bala tentaranya, menjadi sbg legitimasi sbg menaklukkan daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Kekuatan spiritual ini pula yang menjadikan persumpahan Dapunta Hyang diasumsikan bertuah dan ditakuti para datu (penguasa daerah) bawahannya, yang kebanyakan diikat kesetiaannya kepada Sriwijaya dalam suatu prasasti dan upacara persumpahan ditemani kutukan bagi siapa saja yang mengkhianati Sriwijaya.

Slamet Muljana mengaitkan Dapunta Hyang di dalam Prasasti Kedukan Bukit sbg "Sri Jayanasa", karena menurut Prasasti Talang Tuwo yang berangka tahun 684 masehi, Maharaja Sriwijaya ketika itu adalah Sri Jayanasa. Karena jarak tahun antara kedua prasati ini hanya setahun, karenanya probabilitas akbar "Dapunta Hyang" di dalam Prasasti Kedukan Bukit dan "Sri Jayanasa" dalam Prasasti Talang Tuwo adalah orang yang sama.[10]

Asal-usul Raja Jayanasa dan letak sebenarnya dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan pandai sejarah. Karena kecocokan bunyinya, mempunyai yang berpendapat Minanga Tamwan adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanghari. Sementara Soekmono berpendapat Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (Tamwan berfaedah temuan), yakni sungai Kampar kanan dan sungai Kampar kiri di Riau,[11] yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Pendapat lain menduga armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatera, yakni dari Semenanjung Malaya.[12]

Rujukan

  1. ^ Takakusu, Junjiro (1896). A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing. London: Oxford. 
  2. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9. 
  3. ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient 18 (6): 1–36. 
  4. ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO) 30: 29–80. 
  5. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  6. ^ Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah norma budaya istiadat Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 
  7. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  8. ^ Elfriede Hermann, Karin Klenke, Michael Dickhardt (2009). Form, Macht, Differenz : Motive und Felder ethnologischen Forschens. Universitätsverlag Göttingen. hlm. 254-255. ISBN 978-3-940344-80-9. 
  9. ^ Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
  10. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  11. ^ Drs. R. Soekmono, (1973 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Norma budaya istiadat Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 38. ISBN 979-4132290X. 
  12. ^ Coedes, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. hlm. 82. ISBN 978-0-8248-0368-1. 


edunitas.com


Page 9

Daftar Maharaja Sriwijaya

Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah maharaja Sriwijaya pertama yang diasumsikan sbg pendiri Kadatuan Sriwijaya. Namanya disebut dalam beberapa prasasti awal Sriwijaya dari belakang seratus tahun VII yang disebut sbg "prasasti-prasasti Siddhayatra", karena menceritakan perjalanan sucinya mengalap berkah dan menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Dia berkuasa sekitar perempat terakhir seratus tahun VII sampai awal seratus tahun VIII, tepatnya antara kurun 671 masehi sampai 702 masehi.

Biografi

Menurut I Tsing, seorang pendeta Buddha yang pernah mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan, terkesan hendak kegunaan raja Sriwijaya ketika itu,[1] dan raja tersebut kemudian dihubungkan dengan prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya yang juga berada pada seratus tahun ke-7, bertarikh 682 yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang,[2] merujuk kepada orang yang sama.[3][4] Walaupun kemudian beberapa sejarawan berlainan pendapat tentang penafsiran dari beberapa kata yang terdapat pada prasasti tersebut.[5][6][7]

Menurut Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 saka (683 masehi), menceritakan seorang Raja bergelar Dapunta Hyang melaksanakan Siddhayatra (perjalanan suci) dengan naik perahu. Dia berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa satu armada dengan kekuatan 20.000 bala tentara menuju ke Matajap dan menaklukan beberapa kawasan. Beberapa prasasti lain yang ditemui juga menceritakan Siddhayatra dan penaklukkan wilayah sekitar oleh Sriwijaya, yaitu prasasti yang ditemukan di Kota Kapur di Pulau Bangka (686 masehi), Karang Brahi di Jambi Hulu (686 masehi) dan Palas Pasemah di selatan Lampung, semua menceritakan peristiwa yang sama. Dari keterangan prasasti-prasasti ini, mampu disimpulkan bahwa Dapunta Hyang mendirikan Kerajaan Sriwijaya setelah mengalahkan musuh-musuhnya di Jambi, Palembang, Selatan Lampung dan Pulau Bangka,[8] dan bahkan melancarkan serangan ke Bhumi Jawa yang mungkin mengakibatkan keruntuhan kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat.

Nama dan asal usul

Dapunta Hyang dipercayai sbg suatu gelar penguasa yang dipakai maharaja Sriwijaya periode awal.[9] Gelar Dapunta juga ditemukan dalam Prasasti Sojomerto (akhir seratus tahun ke-7) yang ditemukan di kawasan Batang, pesisir utara Jawa Tengah, yaitu Dapunta Selendra yang dipercaya sbg nama leluhur wangsa Sailendra. Istilah hyang sendiri dalam norma budaya istiadat asli Nusantara merujuk kepada keberadaan spiritual supernatural tidak kasat mata yang dikaitkan dengan roh leluhur atau dewata, sehingga diduga Dapunta Hyang melaksanakan perjalanan "mengalap berkah" sbg memperoleh kekuatan spiritual atau kesaktian. Kesaktian ini ditambah dengan kekuatan bala tentaranya, menjadi sbg legitimasi sbg menaklukkan daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Kekuatan spiritual ini pula yang menjadikan persumpahan Dapunta Hyang diasumsikan bertuah dan ditakuti para datu (penguasa daerah) bawahannya, yang kebanyakan diikat kesetiaannya kepada Sriwijaya dalam suatu prasasti dan upacara persumpahan ditemani kutukan bagi siapa saja yang mengkhianati Sriwijaya.

Slamet Muljana mengaitkan Dapunta Hyang di dalam Prasasti Kedukan Bukit sbg "Sri Jayanasa", karena menurut Prasasti Talang Tuwo yang berangka tahun 684 masehi, Maharaja Sriwijaya ketika itu adalah Sri Jayanasa. Karena jarak tahun antara kedua prasati ini hanya setahun, karenanya probabilitas akbar "Dapunta Hyang" di dalam Prasasti Kedukan Bukit dan "Sri Jayanasa" dalam Prasasti Talang Tuwo adalah orang yang sama.[10]

Asal-usul Raja Jayanasa dan letak sebenarnya dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan pandai sejarah. Karena kesamaan bunyinya, mempunyai yang berpendapat Minanga Tamwan adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanghari. Sementara Soekmono berpendapat Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (Tamwan berfaedah temuan), yakni sungai Kampar kanan dan sungai Kampar kiri di Riau,[11] yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Pendapat lain menduga armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatera, yakni dari Semenanjung Malaya.[12]

Rujukan

  1. ^ Takakusu, Junjiro (1896). A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing. London: Oxford. 
  2. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9. 
  3. ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient 18 (6): 1–36. 
  4. ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO) 30: 29–80. 
  5. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  6. ^ Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah norma budaya istiadat Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 
  7. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  8. ^ Elfriede Hermann, Karin Klenke, Michael Dickhardt (2009). Form, Macht, Differenz : Motive und Felder ethnologischen Forschens. Universitätsverlag Göttingen. hlm. 254-255. ISBN 978-3-940344-80-9. 
  9. ^ Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
  10. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  11. ^ Drs. R. Soekmono, (1973 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Norma budaya istiadat Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 38. ISBN 979-4132290X. 
  12. ^ Coedes, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. hlm. 82. ISBN 978-0-8248-0368-1. 


edunitas.com


Page 10

Daftar Maharaja Sriwijaya

Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah maharaja Sriwijaya pertama yang diasumsikan sbg pendiri Kadatuan Sriwijaya. Namanya disebut dalam beberapa prasasti awal Sriwijaya dari belakang seratus tahun VII yang disebut sbg "prasasti-prasasti Siddhayatra", karena menceritakan perjalanan sucinya mengalap berkah dan menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Dia berkuasa sekitar perempat terakhir seratus tahun VII sampai awal seratus tahun VIII, tepatnya antara kurun 671 masehi sampai 702 masehi.

Biografi

Menurut I Tsing, seorang pendeta Buddha yang pernah mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan, terkesan hendak kegunaan raja Sriwijaya ketika itu,[1] dan raja tersebut kemudian dihubungkan dengan prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya yang juga berada pada seratus tahun ke-7, bertarikh 682 yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang,[2] merujuk kepada orang yang sama.[3][4] Walaupun kemudian beberapa sejarawan berlainan pendapat tentang penafsiran dari beberapa kata yang terdapat pada prasasti tersebut.[5][6][7]

Menurut Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 saka (683 masehi), menceritakan seorang Raja bergelar Dapunta Hyang melaksanakan Siddhayatra (perjalanan suci) dengan naik perahu. Dia berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa satu armada dengan kekuatan 20.000 bala tentara menuju ke Matajap dan menaklukan beberapa kawasan. Beberapa prasasti lain yang ditemui juga menceritakan Siddhayatra dan penaklukkan wilayah sekitar oleh Sriwijaya, yaitu prasasti yang ditemukan di Kota Kapur di Pulau Bangka (686 masehi), Karang Brahi di Jambi Hulu (686 masehi) dan Palas Pasemah di selatan Lampung, semua menceritakan peristiwa yang sama. Dari keterangan prasasti-prasasti ini, mampu disimpulkan bahwa Dapunta Hyang mendirikan Kerajaan Sriwijaya setelah mengalahkan musuh-musuhnya di Jambi, Palembang, Selatan Lampung dan Pulau Bangka,[8] dan bahkan melancarkan serangan ke Bhumi Jawa yang mungkin mengakibatkan keruntuhan kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat.

Nama dan asal usul

Dapunta Hyang dipercayai sbg suatu gelar penguasa yang dipakai maharaja Sriwijaya periode awal.[9] Gelar Dapunta juga ditemukan dalam Prasasti Sojomerto (akhir seratus tahun ke-7) yang ditemukan di kawasan Batang, pesisir utara Jawa Tengah, yaitu Dapunta Selendra yang dipercaya sbg nama leluhur wangsa Sailendra. Istilah hyang sendiri dalam norma budaya istiadat asli Nusantara merujuk kepada keberadaan spiritual supernatural tidak kasat mata yang dikaitkan dengan roh leluhur atau dewata, sehingga diduga Dapunta Hyang melaksanakan perjalanan "mengalap berkah" sbg memperoleh kekuatan spiritual atau kesaktian. Kesaktian ini ditambah dengan kekuatan bala tentaranya, menjadi sbg legitimasi sbg menaklukkan daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Kekuatan spiritual ini pula yang menjadikan persumpahan Dapunta Hyang diasumsikan bertuah dan ditakuti para datu (penguasa daerah) bawahannya, yang kebanyakan diikat kesetiaannya kepada Sriwijaya dalam suatu prasasti dan upacara persumpahan ditemani kutukan bagi siapa saja yang mengkhianati Sriwijaya.

Slamet Muljana mengaitkan Dapunta Hyang di dalam Prasasti Kedukan Bukit sbg "Sri Jayanasa", karena menurut Prasasti Talang Tuwo yang berangka tahun 684 masehi, Maharaja Sriwijaya ketika itu adalah Sri Jayanasa. Karena jarak tahun antara kedua prasati ini hanya setahun, karenanya probabilitas akbar "Dapunta Hyang" di dalam Prasasti Kedukan Bukit dan "Sri Jayanasa" dalam Prasasti Talang Tuwo adalah orang yang sama.[10]

Asal-usul Raja Jayanasa dan letak sebenarnya dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan pandai sejarah. Karena kesamaan bunyinya, mempunyai yang berpendapat Minanga Tamwan adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanghari. Sementara Soekmono berpendapat Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (Tamwan berfaedah temuan), yakni sungai Kampar kanan dan sungai Kampar kiri di Riau,[11] yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Pendapat lain menduga armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatera, yakni dari Semenanjung Malaya.[12]

Rujukan

  1. ^ Takakusu, Junjiro (1896). A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing. London: Oxford. 
  2. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9. 
  3. ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient 18 (6): 1–36. 
  4. ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO) 30: 29–80. 
  5. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  6. ^ Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah norma budaya istiadat Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 
  7. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  8. ^ Elfriede Hermann, Karin Klenke, Michael Dickhardt (2009). Form, Macht, Differenz : Motive und Felder ethnologischen Forschens. Universitätsverlag Göttingen. hlm. 254-255. ISBN 978-3-940344-80-9. 
  9. ^ Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
  10. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  11. ^ Drs. R. Soekmono, (1973 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Norma budaya istiadat Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 38. ISBN 979-4132290X. 
  12. ^ Coedes, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. hlm. 82. ISBN 978-0-8248-0368-1. 


edunitas.com


Page 11

Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah maharaja Sriwijaya pertama yang diasumsikan sbg pendiri Kadatuan Sriwijaya. Namanya dinamakan dalam beberapa prasasti awal Sriwijaya dari belakang seratus tahun VII yang dinamakan sbg "prasasti-prasasti Siddhayatra", karena menceritakan perjalanan sucinya mengalap berkah dan menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Dia berkuasa sekitar perempat terakhir seratus tahun VII sampai awal seratus tahun VIII, tepatnya antara kurun 671 masehi sampai 702 masehi.

Biografi

Menurut I Tsing, seorang pendeta Buddha yang pernah mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan, terkesan hendak kegunaan raja Sriwijaya ketika itu,[1] dan raja tersebut kemudian dihubungkan dengan prasasti yang paling tua tentang Sriwijaya yang juga berada pada seratus tahun ke-7, bertarikh 682 yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang,[2] merujuk kepada orang yang sama.[3][4] Walaupun kemudian beberapa sejarawan berlainan pendapat tentang penafsiran dari beberapa kata yang terdapat pada prasasti tersebut.[5][6][7]

Menurut Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 saka (683 masehi), menceritakan seorang Raja bergelar Dapunta Hyang melaksanakan Siddhayatra (perjalanan suci) dengan naik perahu. Dia berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa satu armada dengan kekuatan 20.000 bala tentara menuju ke Matajap dan menaklukan beberapa kawasan. Beberapa prasasti lain yang ditemui juga menceritakan Siddhayatra dan penaklukkan wilayah sekitar oleh Sriwijaya, yaitu prasasti yang ditemukan di Kota Kapur di Pulau Bangka (686 masehi), Karang Brahi di Jambi Hulu (686 masehi) dan Palas Pasemah di selatan Lampung, semua menceritakan peristiwa yang sama. Dari keterangan prasasti-prasasti ini, mampu disimpulkan bahwa Dapunta Hyang mendirikan Kerajaan Sriwijaya setelah mengalahkan musuh-musuhnya di Jambi, Palembang, Selatan Lampung dan Pulau Bangka,[8] dan bahkan melancarkan serangan ke Bhumi Jawa yang mungkin mengakibatkan keruntuhan kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat.

Nama dan asal usul

Dapunta Hyang dipercayai sbg suatu gelar penguasa yang dipakai maharaja Sriwijaya periode awal.[9] Gelar Dapunta juga ditemukan dalam Prasasti Sojomerto (akhir seratus tahun ke-7) yang ditemukan di kawasan Batang, pesisir utara Jawa Tengah, yaitu Dapunta Selendra yang dipercaya sbg nama leluhur wangsa Sailendra. Istilah hyang sendiri dalam norma budaya istiadat asli Nusantara merujuk kepada keberadaan spiritual supernatural tidak kasat mata yang dikaitkan dengan roh leluhur atau dewata, sehingga diduga Dapunta Hyang melaksanakan perjalanan "mengalap berkah" sbg memperoleh kekuatan spiritual atau kesaktian. Kesaktian ini ditambah dengan kekuatan bala tentaranya, menjadi sbg legitimasi sbg menaklukkan daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Kekuatan spiritual ini pula yang menjadikan persumpahan Dapunta Hyang diasumsikan bertuah dan ditakuti para datu (penguasa daerah) bawahannya, yang kebanyakan diikat kesetiaannya kepada Sriwijaya dalam suatu prasasti dan upacara persumpahan ditemani kutukan bagi siapa saja yang mengkhianati Sriwijaya.

Slamet Muljana mengaitkan Dapunta Hyang di dalam Prasasti Kedukan Bukit sbg "Sri Jayanasa", karena menurut Prasasti Talang Tuwo yang berangka tahun 684 masehi, Maharaja Sriwijaya ketika itu adalah Sri Jayanasa. Karena jarak tahun antara kedua prasati ini hanya setahun, karenanya probabilitas akbar "Dapunta Hyang" di dalam Prasasti Kedukan Bukit dan "Sri Jayanasa" dalam Prasasti Talang Tuwo adalah orang yang sama.[10]

Asal-usul Raja Jayanasa dan letak sebenarnya dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan pandai sejarah. Karena kecocokan bunyinya, mempunyai yang berpendapat Minanga Tamwan adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanghari. Sementara Soekmono berpendapat Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (Tamwan berfaedah temuan), yakni sungai Kampar kanan dan sungai Kampar kiri di Riau,[11] yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Pendapat lain menduga armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatera, yakni dari Semenanjung Malaya.[12]

Rujukan

  1. ^ Takakusu, Junjiro (1896). A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing. London: Oxford. 
  2. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9. 
  3. ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient 18 (6): 1–36. 
  4. ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO) 30: 29–80. 
  5. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  6. ^ Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah norma budaya istiadat Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 
  7. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  8. ^ Elfriede Hermann, Karin Klenke, Michael Dickhardt (2009). Form, Macht, Differenz : Motive und Felder ethnologischen Forschens. Universitätsverlag Göttingen. hlm. 254-255. ISBN 978-3-940344-80-9. 
  9. ^ Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
  10. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  11. ^ Drs. R. Soekmono, (1973 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Norma budaya istiadat Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 38. ISBN 979-4132290X. 
  12. ^ Coedes, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. hlm. 82. ISBN 978-0-8248-0368-1. 


edunitas.com


Page 12

Tags (tagged): the, world, encyclopedia, of, contents, unkris, sumatra, jabodetabek, borneo, kalimantan, puppet, wayang, java, west, papua, countries, in, europe, albanian, andorra, armenia, peru, suriname, uruguay, venezuela, state, and, territory, regional, dependency, melilla, reunion, western, sahara, saint, center, studies, portal, japan, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, indonesian


Page 13

Tags (tagged): the, world, encyclopedia, of, contents, unkris, geography, portal, africa, south, america, north, kalimantan, nusa, tenggara, islands, bali, west, sri, lanka, syria, taiwan, tajikistan, thailand, timor, leste, burundi, djibouti, eritrea, ethiopia, kenya, comoros, center, studies, formula, 1, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, indonesian


Page 14

Tags (tagged): daftar, isi, pusat, ilmu, pengetahuan, unkris, portal, indonesia, sumatera, jabodetabek, kalimantan, wayang, maluku, utara, papua, barat, negara, peru, suriname, uruguay, venezuela, wilayah, lesotho, namibia, swaziland, territorial, islam, jawa, jepang, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, ensiklopedi, bahasa, ensiklopedia


Page 15

Tags (tagged): daftar, isi, pusat, ilmu, pengetahuan, unkris, portal, utama, agama, astronomi, bahasa, biografi, biologi, budaya, bengkulu, jambi, kepulauan, bangka, belitung, riau, kong, india, indonesia, iran, iraq, israel, jepang, kamboja, tunisia, afrika, barat, benin, burkina, faso, gambia, ghana, asia, ateisme, atheis, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, ensiklopedi, ensiklopedia


Page 16

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) 3, 3 Diva (album), 3 Doa 3 Cinta (film), 3 Doors Down, 3 Februari, 30 Oktober, 30 Persei, 30 Rock, 30 September, 33 (angka), 330, 330 (angka), 330-an, 360-an, 360-an SM, 3600 Detik, 360s, 390 's, 390 SM, 390-an, 390-an SM, Judul Topik (Artikel) 3, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) 3, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 17

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) 3, 3 Diva (album), 3 Doa 3 Cinta (film), 3 Doors Down, 3 Februari, 30 Oktober, 30 Persei, 30 Rock, 30 September, 33 (angka), 330, 330 (angka), 330-an, 360-an, 360-an SM, 3600 Detik, 360s, 390 's, 390 SM, 390-an, 390-an SM, Judul Topik (Artikel) 3, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) 3, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 18

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) A, A Cinderella Story, A Clockwork Orange, A Clockwork Orange (film), A Collection, Aaptos papillata, Aaptos pernucleata, Aaptos robustus, Aaptos rosacea, Abdul Aziz Alu-Sheikh, Abdul Aziz Angkat, Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz, Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Abisai, Abit, Mook Manaar Bulatn, Kutai Barat, Abitibi-Consolidated, AbiWord, AC Arles-Avignon, AC Bellinzona, AC Martina, AC Milan, Judul Topik (Artikel) A, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) A, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 19

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) A, A Cinderella Story, A Clockwork Orange, A Clockwork Orange (film), A Collection, Aaptos papillata, Aaptos pernucleata, Aaptos robustus, Aaptos rosacea, Abdul Aziz Alu-Sheikh, Abdul Aziz Angkat, Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz, Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Abisai, Abit, Mook Manaar Bulatn, Kutai Barat, Abitibi-Consolidated, AbiWord, AC Arles-Avignon, AC Bellinzona, AC Martina, AC Milan, Judul Topik (Artikel) A, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) A, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 20

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) B, B17, B20, B22, B25, Babirik, Beruntung Baru, Banjar, Babirik, Hulu Sungai Utara, Babirusa, Babirusa Buru, Badan Liga Indonesia, Badan Meteorologi Australia, Badan Meteorologi dan Geofisika, Badan Meteorologi Jepang, Bagik Payung, Suralaga, Lombok Timur, Bagik Polak, Labu Api, Lombok Barat, Baginda, Sumedang Selatan, Sumedang, Bagindo Aziz Chan, Bahasa Bawean, Bahasa Belanda, Bahasa Belanda di Indonesia, Bahasa Belarus, Judul Topik (Artikel) B, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) B, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 21

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) B, B17, B20, B22, B25, Babirik, Beruntung Baru, Banjar, Babirik, Hulu Sungai Utara, Babirusa, Babirusa Buru, Badan Liga Indonesia, Badan Meteorologi Australia, Badan Meteorologi dan Geofisika, Badan Meteorologi Jepang, Bagik Payung, Suralaga, Lombok Timur, Bagik Polak, Labu Api, Lombok Barat, Baginda, Sumedang Selatan, Sumedang, Bagindo Aziz Chan, Bahasa Bawean, Bahasa Belanda, Bahasa Belanda di Indonesia, Bahasa Belarus, Judul Topik (Artikel) B, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) B, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 22

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) C, C.G.E. Mannerheim, C.G.K. Reinwardt, C.H. Greenblatt, C.I.D. (film), Cairate, Cairina scutulata, Cairn Terrier, Cairns, Calung, Calungbungur, Sajira, Lebak, Caluso, Caluya, Antique, Canadian dollar, Canadian Football League, Canadian Grand Prix, Canadian Hot 100, Cane Toa, Rikit Gaib, Gayo Lues, Cane Uken, Rikit Gaib, Gayo Lues, Canellales, Canero, Judul Topik (Artikel) C, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) C, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 23

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) C, C.G.E. Mannerheim, C.G.K. Reinwardt, C.H. Greenblatt, C.I.D. (film), Cairate, Cairina scutulata, Cairn Terrier, Cairns, Calung, Calungbungur, Sajira, Lebak, Caluso, Caluya, Antique, Canadian dollar, Canadian Football League, Canadian Grand Prix, Canadian Hot 100, Cane Toa, Rikit Gaib, Gayo Lues, Cane Uken, Rikit Gaib, Gayo Lues, Canellales, Canero, Judul Topik (Artikel) C, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) C, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 24

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) H, H.H.H. Tower, H.M.A. Tihami, H.O.S. Tjokroaminoto, H.O.T., Hak LGBT di Oseania, Hak LGBT di Pakistan, Hak LGBT di Republik Tiongkok, Hak LGBT di Rumania, Halte Cinango, Halte Cisomang, Halte Cisomang layout, Halte Citaliktik, Handil Labuan Amas, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Maluka, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Negara, Kurau, Tanah Laut, Handil Purai, Beruntung Baru, Banjar, Harapan, Tanah Pinem, Dairi, Harapankarya, Pagelaran, Pandeglang, Harappa, Harara, Dusun Timur, Barito Timur, Judul Topik (Artikel) H, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) H, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 25

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) H, H.H.H. Tower, H.M.A. Tihami, H.O.S. Tjokroaminoto, H.O.T., Hak LGBT di Oseania, Hak LGBT di Pakistan, Hak LGBT di Republik Tiongkok, Hak LGBT di Rumania, Halte Cinango, Halte Cisomang, Halte Cisomang layout, Halte Citaliktik, Handil Labuan Amas, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Maluka, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Negara, Kurau, Tanah Laut, Handil Purai, Beruntung Baru, Banjar, Harapan, Tanah Pinem, Dairi, Harapankarya, Pagelaran, Pandeglang, Harappa, Harara, Dusun Timur, Barito Timur, Judul Topik (Artikel) H, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) H, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 26

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) I, I Got a Boy, I Got a Boy (lagu), I Gusti Agung Kusuma Yudha Rai, I Gusti Ketut Jelantik, Ibrahim al-Imam, Ibrahim al-Jaafari, Ibrahim al-Maimuni, Ibrahim al-Marhumi, Ie Mirah, Pasie Raja, Aceh Selatan, Ie Relop, Pegasing, Aceh Tengah, Ie Rhob Babah Lueng, Simpang Mamplam, Bireuen, Ie Rhob Barat, Simpang Mamplam, Bireuen, Ikatan non kovalen, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Pencak Silat Indonesia, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Ilyas, Ilyas Karim, Ilyas Ruhiat, Ilyas Ya'kub, Judul Topik (Artikel) I, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) I, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id