Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz terjadinya kodifikasi hadis jelaskan apa alasan diadakannya kodifikasi hadis?

  1. Home /
  2. Archives /
  3. Vol. 5 No. 01 (2020): APRIL /
  4. Articles

Kodifikasi, hadith, Tabi’i Al-Tabi’in.
Masa Nabi Muhammad saw merupakan periode pertama sejarah dan perkembangan hadith. Masa ini cukup singkat, hanya 23 tahun lamanya dimulai sejak tahun 13 sebelum Hijriah atau bertepatan dengan 610 Masehi sampai dengan tahun 11 Hijriah atau bertepatan dengan 632 Masehi. Saat itu hadith diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi saw. Para sahabat pada masa itu belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan hadith-hadith Nabi, mengingat Nabi saw masih mudah untuk dihubungi dan dimintai keterangan-keterangan tentang segala hal yang berhubungan dengan ‘ibadah dan mu'amalah keseharian umat Islam. Polemik dibolehkan tidaknya penulisan hadith timbul karena ada beberapa hadis yang mendukung, baik yang memperbolehkan penulisan hadith maupun yang melarang. Hadith pelarangan seringkali diangkat tanpa didampingi dengan hadith pembolehan, oleh sebab itu banyak orang yang salah paham dengan hanya mengkaji satu hadith saja. Polemik ini dapat mudah diselesaikan dengan mengkaji hikmah dibalik adanya pelarangan penulisan hadith-hadith Rasulullah saw. Untuk menganalisa pelarangan penulisan hadith pada zaman Rasulullah Saw, sebaiknya kita menilik kembali penyebaran hadith-hadith pada masa Rasulullah Saw. Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwasanya hadith-hadith Rasulullah Saw tersebar bersamaan dengan turunnya wahyu Ilahi kepada Rasulullah Saw sejak awal masa dakwah Islam dimulai. Sedangkan faktor-faktor yang mendukung tersebarnya sunah ke berbagai penjuru, antara lain, Kegigihan Rasulullah Saw dalam menyampaikan dakwah Islam, Kegigihan dan kemauan keras para sahabat dalam menuntut, menghafal dan menyampaikan ilmu, Para Ummul Mu'minin dan Sahabiyat, Para utusan Rasulullah Saw. Sementara itu, Rasulullah pada suatu kesempatan menyampaikan sutau ungkapan yang melarang penulisan hadis-hadis beliau, dan pada kesempatan lain Rasulullah saw memperbolehkan para sahabat menulis apa-apa yang disampaikan Rasulullah Saw. Kodifikasi hadith secara resmi dipelopori Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (khalifah kedelapan pada masa Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 H.). Dia menginstruksikan kepada para Gubernur di semua wilayah Islam untuk menghimpun dan menulis hadis-hadis Nabi. Selain itu khalifah  juga memerintah Ibn Hazm dan Ibn Syihab al-Zuhri (50-124 H) untuk menghimpun hadith Nabi SAW.  Motif ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dalam mengkodifikasikan hadith  adalah Kekhawatiran akan hilang Hadis dari perbendaharaan masyarakat, sebab belum dibukukan, Untuk membersihkan dan memelihara Hadith dari hadith-hadith maudhu' (palsu) yang dibuat orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongan dan mazhab, Tidak adanya kekhawatiran lagi akan tercampurnya al-Qur’an dan hadith,  keduanya sudah bisa dibedakan. al-Qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh umat Islam, ada kekhawatiran akan hilangnya hadith karena banyak ‘ulama hadith yang gugur dalam medan perang.

Pemalsuan hadis pun mulai berkembang

Wordpress.com/a

Penulisan hadis (ilustrasi).

Rep: Syahruddin el-Fikri Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kendati pada masa awal Islam sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis beberapa sahabat, penulisan hadis secara khusus baru dimulai pada awal abad ke-2 H, saat Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah menduduki jabatan khalifah (717-720 M).

Faktor penyebabnya adalah kekhawatiran Khalifah bahwa hadis berangsur-angsur akan hilang jika tidak dikumpulkan dan dibukukan. Ia melihat bahwa para penghafal hadis semakin berkurang karena meninggal, dan sudah berpencar ke berbagai wilayah Islam. Selain itu, pemalsuan hadis pun mulai berkembang.

Dengan dukungan para ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm, untuk mengumpulkan hadis yang terdapat pada penghafal Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq (keduanya ulama besar Madinah yang banyak menerima hadis dan paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Aisyah binti Abu Bakar).

Di samping itu, Khalifah Umar juga memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadis yang ada pada para penghafal hadis di Hijaz (Madinah dan Makkah) dan Suriah. Az-Zuhri adalah ulama besar dari kelompok tabiin pertama yang membukukan hadis.

Sejak saat itu, perhatian para ulama hadis dalam pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis mulai berkembang, sehingga pada abad ke-2 H dikenal beberapa orang penghimpun dan penulis hadis. Di antaranya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Makkah; Malik bin Anas atau Imam Malik dan Muhammad bin Ishak di Madinah; ar-Rabi bin Sabih, Sa’id bin Urubah, dan Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri di Basra; Sufyan as-Sauri di Kufah; Ma’mar bin Rasyid di Yaman; Abdur Rahman bin Amr al-Auza’i di Syam (Suriah); Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan (Iran); Hasyim bin Basyir di Wasit (Irak); Jarir bin Abdul Hamid di Rayy (Iran); dan Abdullah bin Wahhab di Mesir.

Akan tetapi, penulisan hadis pada masa ini, masih bercampur antara sabda Rasulullah SAW dengan fatwa sahabat dan tabiin, seperti terlihat dalam kitab al-Muwatta’ yang disusun Imam Malik. Karena keragaman isi kitab hadis yang disusun pada masa ini, para ulama hadis ada yang mengatakan bahwa kitab-kitab hadis ini termasuk kategori al-musnad (kitab hadis yang disusun berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW).

Tetapi ada pula yang memasukkannya ke dalam kategori al-Jami’ (kitab hadis yang memuat delapan pokok masalah, yaitu akidah, hukum, tafsir, etika makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela) atau al-mu’jam (kitab yang memuat hadis menurut nama sahabat, guru kabilah, atau tempat hadis didapatkan). Fase penulisan hadis yang terkahir ini baru mulai berkembang akhir abad ke-2 H.

Pada periode selanjutnya, muncul para tabiin dan tabi’ at-tabi’in (generasi sesudah tabiin) yang memisahkan antara sabda Rasulullah SAW dan fatwa sahabat serta tabiin. Mereka hanya menuliskan hadis yang merupakan sabda Rasulullah SAW lengkap dengan sanad (periwayatan) yang disebut al-musnad. Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal adalah salah satu al-musnad yang terlengkap dan paling luas. Akan tetapi hadis yang disusun dalam kitab-kitab al-musnad ini masih mencampurkan hadis yang sahih, hasan, dan daif, bahkan hadis maudu’ (palsu).

Di antara generasi pertama yang menulis al-musnad ini adalah Abu Dawud Sulaiman at-Tayalisi. Langkah ini diikuti oleh generasi sesudahnya, seperti Asad bin Musa, Musa al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Nu’aim bin Hammad al-Khaza’i, Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali, Ishaq bin Rahawaih, dan Usman bin Abi Syaibah.

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Jawaban:

1. -Melestarikan hadist dan sejarah kehidupan Nabi Muhammad karena sudah banyak sahabat dan thabiin yang sudah meninggal

- Melindungi dari hadis-hadis palsu

-Membantu memperjelas perintah dalam Al Quran

Pembahasan:

Pembukuan atau hadist pertama kali dilakukan pada masa Bani Umayyah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri. Beliau adalah ulama generasi “shighar at tabiin” atau tabiin muda.

Kodifikasi ini memiliki manfaat:

1.    Melestarikan hadist dan sejarah kehidupan Nabi Muhammad karena sudah banyak sahabat dan thabiin yang sudah meninggal

Pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz menjabat pada tahun 717 hingga 720 M, para sahabat yang menjadi saksi perjuangan Nabi Muhammad, sudah meninggal semuanya. Sahabat terakhir yang meninggal adalah Anas bin Malik yang meningal di Basra pada usia 103 tahun pada tahun 717 M. Yang tersisa adalah para thabiin, yang menerima riwayat perjuangan langsung dari sahabat.

Tiadanya para sahabat nabi ini berarti umat Islam tidak bisa meinta pendapat dan penjelasan mereka tentang ajaran Nabi Muhammad. Juga tidak dapat lagi belajar langsung riwayat perjuangan Nabi Muhammad.

Karena itu, dengan kodifikasi hadist ini, riwayat tersebut dapat dibukukan dan memudahkan pembelajarannya. Kodifikasi ini juga mencegah riwayat perjuangan Nabi Muhammad dari hilang atau dilupakan.

2.    Melindungi dari hadis-hadis palsu

Pada masa Banu Umayyah, mulai merebak banyak hadits-hadist palsu, yang digunakan untuk meraih kekuasaan bagi kepentingan politik atau mazhab. Hadist ini sangat berbahaya karena diaku sebagai sabda Nabi Muhammad padahal bukan.

Dengan kodifikasi Hadits, para ulama seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim memilah-milah mana hadits yang shahih (terpercaya), mana yang hasan (baik), dan mana yang mawdu; (dipalsukan).

3.    Membantu memperjelas perintah dalam Al Quran

Perintah dalam Al Quran banyak yang bersifat umum. Karena itu diperlukan hadits yang berisi tentang riwayat hidup dan penjelasan nabi terhadap perintah di Al Quran untuk melaksanakan dengan baik perintah tersebut. Misalnya shalat diperintahkan AL Quran, namun tidak dijelaskan rukunnya. Maka dengan kodifikasi hadits, umat Islam bisa dengan mudah mempelajari penjelasan perintah ini dari hadits yang dikumpulkan tersebut.

2.Bani Umayyah adalah bani dengan dua masa periode pemerintahan, yaitu Bani Umayyah di Damaskus dan Bani Umayyah di Cordoba, Andalusia.  Bani Umayyah di Damaskus (661-750 M) dengan Damaskus sebagai pusat pemerintahannya, didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah.  Masa keemasan Bani Umayyah di Damaskus adalah pada saat pemerintahan Al-Walid dan Umar bin Abdul Aziz.  Kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus berakhir pada tahun 750 M dan kekhalifahan pindah ke tangan Bani Abbasiyah.

Pemerintahan Bani Umayyah di Andalusia (Spanyol) [756-1031 m] dengan Cordoba sebagai pusat pemerintahannya.

Pembahasan

Kemajuan Islam pada masa Bani Umayyah pada masa pemerintahan Amir yang ke-8 yakni Abdurrahman an-Nasir dan Amir yang ke-9 yakni Hakam al-Muntasir.

Perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan adalah

Perkembangan ilmu kimia murni dan kimia terapan oleh Abu al-Yasim Abbas ibn Farnas.

Perkembangan ilmu kedokteran dengan salah satu tokohnya adalah Abu al-Yasim al-Zahrawi, yang di dunia Barat dikenal dengan nama Abulcasis. Ia dikenal sebagai ahli bedah, perints ilmu penyakit telinga, dan pelopor ilmu penyakit kulit.

Perkembangan sejarah, dengan tokoh-tokohnya: a. Abu Marwan Abdul Malik bin Habib (al-Tarikh); b. Abu Bakar Muhammad bin Umar atau Ibnu Yuthiyah (Tarikh Iftitah al-Andalus); dan c. Hayyan bin Khallaf bin Hayyan (al-Muqtabis fi Tarikh Rija al Andalus dan al-Matin).

Perkembangan bahasa dan sastra, dengan tokoh-tokohnya: a. Ali al-Yali (al-Amali dan al-Nawadir); b. Abu Bakar Muhammad Ibn Umar; c. Abu Amr Ahmad ibn Muhammad ibn Abd Rabbih (prosa: al-‘Aqd al-Farid); dan d. Abu Amir Abdullah ibn Syuhaid

Perkembangan dalam bidang lainnya, yaitu

Arsitektur. Didirikannya Masjid Damaskus dengan arsitek Abu Ubaidah bin Jarrah dan dibangunnya Kota Kairawan oleh Uqbah bin Nafi.

Organisasi militer. Dibentuknya tiga kelompok angkatan, yaitu angkatan darat (al-jund), angkatan laut (al-bahiriyah) dan angkatan kepolisian.

Perdagangan. Ibu kota Basrah di Teluk Persi dan Kota Aden menjadi kota pelabuhan yang ramai.

Kerajinan. Pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik, dirintis pembuatan tiras (semacam bordiran), yaitu cap resmi yang dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan