Pada 5 juli 1959 presiden soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi

Bogor (5/7) Pada tanggal 5 Juli 1959, 59 tahun yang lalu terjadi Peristiwa Dekrit Presiden di Istana Merdeka. Dekrit ini dikeluarkan Presiden Soekarno akibat dari kegagalan dari Badan Konstituante menetapkan UUD baru penganti UUDS 1950 dan ada desakan untuk kembali ke UUD 1945 serta renteaan peristiwa politik maka untuk menyelamatkan negara, maka pada hari Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00 WIB, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang diumumkan secara resmi di Istana Merdeka Jakarta.

DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959

Dengan rachmat Tuhan Jang Maha Esa,KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANGDengan ini menjatakan dengan chidmat:

Bahwa andjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 jang disampaikan kepada segenap rakjat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara;

Bahwa berhubung dengan pernjataan sebagian besar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri sidang. Konstituante tidak mungkin lagi menjelesaikan tugas jang dipertjajakan oleh rakjat kepadanja;

Bahwa hal jang demikian menimbulkan keadaan-keadaan ketatanegaraan jang membahajakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masjarakat jang adil makmur;

Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakjat Indonesia dan didorong oleh kejakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunja djalan untuk menjelamatkan Negara Proklamasi;

Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut,

Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANGMenetapkan pembubaran Konstituante;

Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekret ini dan tidak berlakunja lagi Undang-Undang Dasar Sementara.

Pembentukan Madjelis Permusjawaratan Rakyat Sementara, jang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnja.

Ditetapkan di Djakarta pada tanggal 5 Djuli 1959 Atas nama Rakjat Indonesia

Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan jembatan politik dari era demokrasi liberal ke demokrasi terpimpin. Dekrit ini di keluarkan oleh Presiden Soekarno dan disambut baik masyarakat yang selama 10 tahun merasa ketidakstabilan sosial politik.

Selain masyarakat, dekrit ini juga didukung oleh TNI, partai besar (PNI dan PKI), dan Mahkamah Agung. Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini memiliki tujuan dan dampak bagi negara. Ulasan lengkap terkait dekrit ini, bisa disimak pada penjelasan berikut ini.

Berdasarkan penjelasan dalam buku “Modul Sejarah Indonesia Kelas XII KD. 3.4 dan 4.4, diterangkan bahwa upaya menuju demokrasi terpimpin sudah dirilis sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Langkah pertama dilakukan pada 6 Mei 1957 saat Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional untuk mewujudkan Konsepsi Presiden 1957.

Melalui panitia perumus Dewan Nasional, muncul usulan tertulis tentang pemberlakan kembali UUD 1945 sebagai landasan demokrasi terpimpin. Usulan tersebut diutarakan oleh Mayor Jenderal A.H. Nasution. Meskipun demikian, usulan tersebut kurang didukung oleh wakil partai dalam dewan tersebut yang ingin mempertahankan UUDS 1950.

Atas desakan dari Nasution, akhirnya Presiden Soekarno menyetujui untuk kembali ke UUD 1945. Tanggal 19 Februari, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan tentang pelaksaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke UU 1945. Keputusan tersebut disampaikan dihadapan DPR pada 2 Maret 1959.

Dalam sidang konstitusi yang dilaksanakan pada 22 April 1959, Presiden Soekarno meminta konstituante untuk menempatkan kembali UU 1945 tanpa perubahan dan menetapkannya sebagai konstitusi negara.

Advertising

Advertising

Baca Juga

Usulan presiden tersebut ditindaklanjuti dengan pemungutan suara. Namun hingga tiga kali pengumungan suara, anggota konstituante gagal menyepakati konstitusi negara.

Tanggal 3 Juni 1959 sidang dewan konstituante masuk masa reses. Beberapa fraksi dalam dewan konstituante menyatakan tidak akan menghadiri sidang kecuali untuk membubarkan konstituante tersebut.

Kondisi tersebut membuat kondisi politik sangat genting. Konflik politik antar partai semakin panas hingga melibatkan masyarakat didalamnya. Selain itu, ada juga beberapa pemberontokan di daerah-daerah yang mengancam kesatuan NKRI.

Untuk mencegah terjadinya ekses politik sebagai akibat ditolaknya usulan pemerintah, maka A.H. Nasution selaku Penguasa Perang Pusat mengeluarkan PEPERPU/040/1959 atas nama pemerintah yang isinya larangan adanya kegiatan politik termasuk menunda semua sidang dewan konstituante.

Suwiryo selaku KASD dan Ketua Umum PNI juga menyarankan kepada presiden untuk mengumumkan bahwa UUS 45 kembali berlaku. Tanggal 3 Juli 1959, Presiden Soekarno kemudian mengadakan pertemuan dengan dewan DRP Sartono, Perdana Menteri Djuanda, anggota dewan nasional (Roelan Abdoel Gani dan Muh. Yamin), dan Ketua Mahkamah Agung Mr. Wirjono Prodjodikoro.

Pertemuan tersebut bertujuan untuk menyepakati diberlakukannya kembali UUD 45 sebagai konstitusi negara tanpa persetujuan konstituante. Pertujuan tersebut kemudian dilanjutkan dengan pidato singkat Presiden Soekarno yang dikenal dengan nama Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Baca Juga

Kegagalan konstituante dalam merumuskan UUD baru, membuat lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Berdasarkan penjelasan di atas, kita bisa mengetahui bahwa tujuan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yaitu untuk menyelamatkan negara yang pada saat itu sedang genting.

Dalam buku “Modul Sejarah Indonesia Kelas XII KD. 3.4 dan 4.4, berikut tiga dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959:

  1. Pembubaran konstituante.
  2. Tidak berlakukannya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.
  3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terdiri dari anggota DPR ditambah utusan daerah dan golongan serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Dampak Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Setiap peristiwa pasti memiliki dampak, termasuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Mengutip dari tirto.id, berikut tiga dampak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bagi Indonesia.

  1. Mengakhiri tugas kabinet, parlemen, dan periode sistem parlementer.
  2. Mengakhiri demokrasi parlementer.
  3. Berakhirnya periode partai politik yang membuat peranan palemen perlahan dipegang langsung oleh Presiden Soekarno yang akhirnya melahirkan sistem pemerintahan demokrasi terpimpin.

Baca Juga

Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pemerintahan Indonesia menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Menurut penjelasan di Jurnal Legislasi Indonesia 15(1), ciri-ciri dari demokrasi terpimpin sebagai berikut:

  1. Terdapat dominasi presiden.
  2. Lembaga tertinggi dan lembagai tinggi negara tidak berfungsi.
  3. Paham komunis semakin berkembang.
  4. Peran ABRI sebagai unsur sosial politik semakin besar.

Kemunculan demokrasi terpimpin di Indonesia dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:

  1. Kegagalan badan konstituante dalam menyusun undang-undang baru.
  2. Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
  3. Muncul gerakan separatisme yang ingin mengambil alih kekuasaan secara paksa.
  4. Sering berganti kabinet yang menimbulkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah.
  5. Muncul persaingan antar partai politik.

dibaca normal 3 menit

Penulis: Iswara N Raditya
tirto.id - 5 Jan 2022 21:02 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Apa isi, alasan atau latar belakang, tujuan, dan dampak yang ditimbulkan dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959?

tirto.id - Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi salah satu titik penting dalam rangkaian sejarah bangsa Indonesia, terutama dalam sektor politik dan pemerintahan. Lantas, apa isi, alasan atau latar belakang, tujuan, dan dampak yang ditimbulkan dengan adanya dekret yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno saat itu?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dekret atau dekrit adalah keputusan (ketetapan) atau perintah yang dikeluarkan oleh kepala negara, pengadilan, dan sebagainya. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan dekret pertama dalam sejarah Republik Indonesia.

Jauh puluhan tahun kemudian, yakni setelah Reformasi 1998 yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru, tepatnya tanggal 23 Juli 2001, Presiden RI ke-4 yakni Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, juga mengeluarkan dekret kendati ditolak oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kala itu.

Baca juga:

Infografik SC Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959. tirto.id/Sabit

Sejarah Latar Belakang & Alasan Dekrit Presiden 1959

Latar belakang dan alasan Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 adalah dari kegagalan Konstituante menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) baru sebagai pengganti Undang-Undang Dasar Sementara (UUD) 1950.

Konstituante adalah badan atau dewan perwakilan yang dibentuk pada 1956 dan ditugaskan untuk membentuk konstitusi baru bagi Republik Indonesia. UUDS 1950 sendiri digunakan sejak 1950 seiring dibubarkannya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang semula dipakai sebagai konsekuensi pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949.

Sejak dibentuk sebagai hasil dari Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, Konstituante mulai melakukan sidang pada 10 November 1956 untuk merumuskan UUD yang baru sebagai UUDS 1950. Namun, hingga 1958, Konstituante tidak berhasil menjalankan tugasnya tersebut sehingga Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959.

Baca juga:

Tujuan dan Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Kegagalan Konstituante merumuskan UUD baru yang disebabkan banyaknya kepentingan dari masing-masing kelompok memunculkan berbagai gejolak di berbagai daerah. Situasi negara saat itu tidak kondusif dan cukup kacau karena gejolak tersebut.

Kondisi tersebut membuat Presiden Sukarno mengumumkan Dekrit Presiden 1959 sebagai hukum keselamatan negara. Maka, tujuan dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959 adalah untuk menyelamatkan negara berdasarkan staatsnoodrecht atau hukum keadaan bahaya bagi negara.

Dengan adanya Dekrit Presiden 1959, maka masa Demokrasi Liberal atau Parlementer di Indonesia resmi berakhir dan dilanjutkan dengan masa Demokrasi Terpimpin.

Dikutip dari buku Sejarah Hukum Indonesia (2021) yang ditulis oleh Sutan Remy Sjahdeini, isi Dekrit Presiden 1959 secara ringkas adalah sebagai berikut:

  • Dibubarkannya Konstituante.
  • Diberlakukannya kembali UUD 1945.
  • Tidak berlakunya lagi UUD 1950.
  • Dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Baca juga:

Adapun isi Dekrit Presiden 1959 dalam format aslinya adalah sebagai berikut:

DEKRET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG TENTANG KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Dengan rachmat Tuhan Jang Maha Esa,

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG

Dengan ini menjatakan dengan chidmat:

Bahwa andjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 jang disampaikan kepada segenap rakjat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara;

Bahwa berhubung dengan pernjataan sebagian besar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri sidang. Konstituante tidak mungkin lagi menjelesaikan tugas jang dipertjajakan oleh rakjat kepadanja;

Bahwa hal jang demikian menimbulkan keadaan-keadaan ketatanegaraan jang membahajakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masjarakat jang adil makmur;

Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakjat Indonesia dan didorong oleh kejakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunja djalan untuk menjelamatkan Negara Proklamasi;

Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut,

Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG

Menetapkan pembubaran Konstituante;

Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekret ini dan tidak berlakunja lagi Undang-Undang Dasar Sementara.

Pembentukan Madjelis Permusjawaratan Rakyat Sementara, jang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnja.

Ditetapkan di Djakarta pada tanggal 5 Djuli 1959

Atas nama Rakjat Indonesia

Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang

SOEKARNO

Baca juga:

Dampak Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dekrit Presiden 1959 memiliki dampak yang cukup luas terhadap perubahan sistem ketatanegaraan dan peta politik Indonesia. Dirangkum dari Modul Pembelajaran SMA: Sejarah Indonesia (2020) yang disusun oleh Mariana, dampak Dekrit Presiden 1959 adalah sebagai berikut:

Pertama, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengakhiri tugas kabinet, parlemen, dan periode sistem parlementer itu sendiri.

Kedua, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengakhiri masa Demokrasi Parlementer di Indonesia sekaligus mengakibatkan pula periode pemerintahan oleh partai politik.

Ketiga, berakhirnya periode pemerintahan oleh partai politik dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 membuat peranan parlemen perlahan dipegang langsung oleh Presiden Sukarno yang melahirkan sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin.

Baca juga:

Baca juga artikel terkait DEKRIT PRESIDEN atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - isw/isw)

Penulis: Iswara N Raditya Editor: Addi M Idhom

© 2022 tirto.id - All Rights Reserved.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA