Orang yang pertama kali menulis Al qur an dalam bentuk matan adalah

Jakarta -

Hadits Nabi merupakan sumber hukum ajaran agama Islam setelah Al-Qur'an. Dalam hadits, juga dikenal beberapa istilah seperti hadits shahih, hasan dan dhaif. Hal ini berimplikasi pada sikap umat Islam dalam memperlakukan dan memberlakukannya sebagai hujjah (dalil).

Show

Isi dari Al-Qur'an tentu tidak perlu diragukan keasliannya karena sudah tidak ada keraguan terhadapnya. Sedangkan hadits perlu sikap kritis untuk menyikapi kehadirannya. Sanad, matan dan rawi menjadi unsur yang penting untuk menentukan derajat sebuah hadits.

1. Sanad

Sanad menurut bahasa adalah sandaran atau tempat bersandar. Sedangkan sanad menurut istilah adalah jalan yang menyampaikan kepada jalan hadits. Dikutip dalam buku "Memahami Ilmu Hadits" oleh Asep Herdi, secara historis, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits Nabawi, yaitu segala hal yang disandarkan (idlafah) kepada Nabi SAW.

2. Matan

"Matan" atau "al-matn" menurut bahasa adalah mairtafa'a min al-ardi atau tanah yang meninggi. Sedangkan menurut istilah adalah "kalimat tempat berakhirnya sanad".

Berkenaan dengan matan atau redaksi hadits, maka ada beberapa yang perlu dipahami:

- Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan.
- Matan hadits itu sendiri dalam hubungan dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al-Qur'an (apakah ada yang bertolak belakang).

3. Rawi

Rawi adalah unsur pokok ketiga dari sebuah hadits. Kata "Rawi" atau "ar-Rawi" berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadits (naqil al-Hadits). Antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan.

Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap tabaqahnya juga disebut rawi. Sehigga yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan, menerima dan memindahkan hadits.

(lus/erd)

Senin, 18 April 2022 - 22:33 WIB

Di antara banyak penghafal Quran, sahabat Nabi yang satu ini dikenal sebagai orang paling berjasa menulis mushaf Al-Quran dan mencatat wahyu bagi Rasulullah SAW. Foto ilustrasi/Ist

Umat Islam di Indonesia biasanya memperingati Nuzulul Qur'an setiap 17 Ramadhan. Meski ada perbedaan pendapat tentang waktu turunnya Al-Qur'an, kita perlu mengetahui sosok orang yang berjasa menulis Al-Qur'an dan wahyu bagi Rasulullah SAW .

Pada zaman Rasulullah SAW, Al-Qur'an ditulis namun masih terpisah satu dengan lainnya. Kemudian pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq mulai ditulis dan dikumpulkan dalam bentuk lembaran-lembaran.

Baca Juga: Sejarah Nuzulul Qur'an dan Turunnya ke Langit Dunia

Penulisan Al-Qur'an dalam satu kitab (mushaf) merupakan saran dari Umar bin Khatthab lantaran banyaknya penghafal Qur'an yang wafat di medan perang. Barulah pada masa Khalifah Utsman bin Affan, untuk pertama kali Al-Qur'an ditulis dalam satu mushaf. Mushaf ini kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Utsmani atau Al-Imam.

Lalu, siapakah sosok yang pertama kali menulis Al-Qur'an? Beliau adalah Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu. Dalam sejarah Islam, Zaid dikenal sebagai penulis Al-Qur'an dan wahyu bagi Rasulullah SAW.

Nama lengkapnya adalah Zaid bin Tsabit bin Adh-Dhahak bin Zaid Ludzan bin Amru radhiyallahu 'anhu. Beliau masuk Islam ketika umur 11 tahun saat perang Badar terjadi. Nabi menyerahkan bendera Bani Malik bin an-Najjar kepada 'Imarah sebagai komandan perang Tabuk, lalu Nabi mengambilnya dan diserahkan kepada Zaid bin Tsabit.

Ketika beliau memintanya, maka Imarah bertanya: "Ya Rasulullah, apakah engkau akan menyerahkan sesuatu yang engkau berikan kepadaku?" Beliau menjawab: "Tidak, tetapi Al-Qur'an harus didahulukan, dan Zaid bin Tsabit lebih banyak menguasai bacaan Alqur'an daripada kamu".

Zaid merupakan penulis wahyu bagi Rasulullah SAW. Beliau ditugaskan mengumpulkan Al-Qur'an atas perintah Abu Bakar dan Umar sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Al-Bukhari. Rasulullah juga memuji Zaid bin Tsabit. Beliau bersabda: "Umatku yang paling menguasai ilmu Faraidh (pembagian harta warisan) adalah Zaid bin Tsabit".

Beliau wafat di Madinah pada tahun 45 Hijriyah dalam usia 56 tahun. Dalam riwayat lain Beliau wafat tahun 51 atau 52 Hijriyah.

Cara Zaid Menulis Mushaf Al-Qur'an

Sebagai penulis Al-Qur'an, Zaid bin Tsabit dikenal dengan fisik dan akal yang sehat. Ketika Zaid menulis, dia berada di hadapan Rasulullah disaksikan Malaikat. Hal ini dijamin keasliannya sebagaimana dalam Surat Al-Haqqah pada Ayat 44 sampai 45.

Zain bin Tsabit mengumpulkan para penghafal Al-Qur'an untuk menguatkan kebenaran ayat-Ayat atau menyamakan. Setiap penghafal Qur'an membawa dua saksi yang menguatkan bahwa dia adalah seorang hafizh. Hingga dihadirkan seorang Hafizh yang hanya memiliki satu saksi.

Pada zaman Utsman bin Affan, para sahabat telah berpencar ke seluruh penjuru dunia, sehingga Utsman bin Affan menemukan masalah baru yaitu perbedaan cara membaca Al-Qur'an sehingga nyaris membuat mereka bertengkar dan saling menyalahkan.

Perbedaan ini menjadi gambaran keindahan dalam pembacaan Al-Qur'an. Tatkala terjadi perbedaan ini, Utsman bin Affan mengumpulkan Lajnah Tashih Al-Qur'an untuk menuliskan mushaf yang sesuai bacaan sebuah daerah. Dan Mushaf yang dijadikan patokan adalah mushafnya Hafshah binti Umar bin Khatthab. Maka setiap pengiriman satu mushaf ke satu daerah dikirimkan pula syeikh (Qari'nya).

BerikutMacam Mushaf Al-Qur'an:

1. Mushaf Madinah Umum/Khusus.2. Mushaf Mekkah.3. Mushaf Kuffah.4. Mushaf Basrah.5. Mushaf Syam.

Wallahu A'lam

Baca Juga: Zaid bin Tsabit, Anak Hebat Sang Penerjemah Rasulullah

Orang yang pertama kali menulis Al qur an dalam bentuk matan adalah
Salinan naskah Al-Quran dari zaman Khalifah Utsman radhiallahu ‘anhu dipajang di sebuah ruangan di kantor Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jeddah, Arab Saudi, Juli 2018. (Indonesia Window/Libertina)

Penulisan Al Quran telah dimulai pada zaman Rasulullah ﷺ. Namun, Al-Quran lebih banyak dihapalkan dari pada ditulis karena kemampuan menghapal para Sahabat radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat, dan jumlah penghapal sangat banyak.

Di sisi lain, pada masa itu jumlah orang yang dapat membaca dan menulis sedikit, serta sarananya masih terbatas, yakni pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta.

Pada zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu (573-634 Masehi) tahun dua belas Hijriah, banyak penghapal Al-Quran yang wafat terbunuh dalam beberapa peperangan. Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan para sahabat untuk mengumpulkan Al-Quran agar tidak hilang.

Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Umar Ibn Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengemukakan gagasan untuk menulis Al-Quran kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah (632 Masehi).

Namun Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar radhiyallahu ‘anhu terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah ﷻ membukakan pintu hati Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.

Kemudian, beliau memanggil Zaid Ibn Tsabit radhiyallahu ‘anhu guna mencari dan mengumpulkan naskah Al-Quran yang ditulis di atas pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hapalan para sahabat.

Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu hingga wafat, kemudian dipegang oleh Umar radhiyallahu ‘anhu hingga wafat, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar radhiyallahu ‘anha.

Seiring dengan penyebaran Islam ke luar wilayah Arab, pada zaman Khalifah Utsman Ibn Affan radhiyallahu ‘anhu (577-656 Masehi) pada tahun dua puluh lima Hijriah, muncul  perbedaan di antara kaum Muslimin dalam hal dialek bacaan Al-Quran. Perbedaan itu sesuai dengan mushaf-mushaf yang berada di tangan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Perbedaan dialek itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, sehingga Utsman radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf guna menyamakan bacaan Al-Quran.

Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskan kembali naskah-naskah Al-Quran yang telah ada sebelumnya (dipegang oleh Hafshah) dan memperbanyaknya.

Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy.

Setelah menyelesaikan penulisan Al-Quran dalam dialek Quraisy (karena Al-Quran diturunkan dengan dialek tersebut), Utsman radhiyallahu ‘anhu mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam.

Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu juga memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.

Kebijakan Utsman radhiyallahu ‘anhu menjadikan mushaf Al-Quran tak berubah dari awal sampai sekarang, disepakati oleh seluruh kaum Muslimin serta diriwayatkan secara akuntabel menurut kaidah periwayatan dalam Islam.

Laporan: Redaksi

Sumber: Muslim.or.id