Nilai nilai apa yang dapat diambil dari prinsip primus interpares tersebut

Primus inter pares[1] (bahasa Inggris: first among equals, bahasa Yunani Kuno: Πρῶτος μεταξὺ ἴσων, prōtos metaxỳ ísōn) adalah frasa Latin dengan makna yang pertama di antara yang sederajat atau yang pertama di antara yang setara. Frasa ini biasanya digunakan sebagai suatu gelar kehormatan bagi mereka yang secara formal setara dengan anggota lainnya dalam kelompok mereka tetapi diberikan penghormatan secara tidak resmi, yang secara tradisi dikarenakan senioritas mereka dalam jabatan.[2] Secara historis, princeps senatus Senat Romawi merupakan seorang figur yang demikian dan awalnya hanya membedakan bahwa ia diizinkan untuk berbicara pertama kali saat sesi debat. Selain itu, Konstantinus Agung juga mendapat peran sebagai primus inter pares. Namun, istilah ini juga sering digunakan secara ironis atau pengungkapan ketidaksetujuan-diri oleh para pemimpin dengan status lebih tinggi sebagai suatu bentuk penghormatan, persahabatan, ataupun propaganda. Setelah jatuhnya Republik, kaisar-kaisar Romawi awalnya hanya menyebut diri mereka sebagai princeps meski memiliki kuasa atas hidup dan mati "sesama warga negara" mereka. Beragam figur modern seperti Ketua Federal Reserve, perdana menteri rezim parlementer, Presiden Federal Swiss, Ketua Mahkaman Agung Amerika Serikat, dan Patriark Ekumenis Gereja Ortodoks Timur mengandung dua signifikasi dalam jabatan mereka: memiliki status yang lebih tinggi dan berbagai kewenangan tambahan namun tetap masih setara dengan rekan-rekan mereka dalam hal-hal penting.

Frasa "yang pertama di antara yang sederajat" juga digunakan untuk mendeskripsikan peran Patriark Konstantinopel, yang, sebagai Patriark Ekumenis, adalah yang pertama di antara para uskup Gereja Ortodoks Timur. Ia tidak memiliki yurisdiksi langsung atas patriark lainnya ataupun gereja-gereja Ortodoks otosefalus lainnya dan tidak dapat ikut campur dalam pemilihan uskup-uskup di gereja-gereja otosefalus, tetapi ia berhak mengadakan sinode-sinode luar biasa yang meliputi mereka (dan/atau delegasi mereka) untuk menghadapi situasi ad hoc, dan ia juga mengadakan berbagai Sinode Pan-Ortodoks selama beberapa puluh tahun terakhir. Gelarnya merupakan suatu pengakuan atas arti pentingnya secara historis dan hak istimewanya untuk melayani sebagai juru bicara utama Komuni Ortodoks Timur. Otoritas moralnya sangat dihormati.

Gereja Ortodoks Timur juga menggunakan istilah "yang pertama di antara yang sederajat" berkaitan dengan Uskup Roma.[3] Walaupun Patriark Konstantinopel saat ini dipandang sebagai yang pertama di antara para patriark Ortodoks, Gereja Ortodoks memandang Uskup Roma (dianggap sebagai "Patriark Barat") sebagai "yang pertama di antara yang sederajat" dalam Pentarki Takhta-Takhta Patriarkal sesuai tradisi kuno, yakni pengurutan (atau "taxis" dalam bahasa Yunani) milenium pertama atas Roma, Konstantinopel, Aleksandria, Antiokia, dan Yerusalem, yang terbentuk setelah Konstantinopel menjadi ibu kota wilayah timur dari Kekaisaran Bizantin/Romawi.[3][4] Uskup Roma tidak lagi memiliki pembedaan ini dalam Gereja Ortodoks karena, setelah Skisma Timur–Barat, ia tidak lagi berada dalam persekutuan dengan Gereja Ortodoks.[5]

Gereja Katolik

Gereja Katolik Roma dan Gereja-Gereja Katolik Timur memandang Paus sebagai Wakil Kristus, penerus Santo Petrus, dan pemimpin para uskup yang adalah para penerus Rasul-Rasul. Dengan demikian Gereja-Gereja ini tidak memandang Paus sebagai "yang pertama di antara yang sederajat", tetapi sebagai figur yang benar-benar memegang suatu jabatan di atas uskup lainnya. Klaim yurisdiksional itu dianggap sebagai salah satu penyebab utama Skisma Timur-Barat dalam Gereja, yang secara formal terjadi pada tahun 1054. Ketua Dewan Kardinal dalam Gereja Katolik umumnya dipandang sebagai yang pertama di antara yang sederajat dalam Kolegium tersebut.

Komuni Anglikan

Dalam Komuni Anglikan, Uskup Agung Canterbury dipandang sebagai "yang pertama di antara yang sederajat" dalam kepemimpinannya atas Komuni tersebut.[6] Uskup senior di antara ketujuh uskup diosesan Gereja Episkopal Skotlandia menyandar gelar singkat Primus yang diambil dari frasa primus inter pares. Para uskup terkemuka, ataupun para primat gereja Anglikan lainnya sering kali disebut 'primus inter pares dalam provinsi mereka masing-masing.

Berdasarkan sejarah yang di dalamnya berbagai konsili ekumenis mengakui keutamaan universal tertentu Uskup Roma, para partisipan dalam dialog-dialog Anglikan–Katolik selama puluhan tahun mengakui bahwa Paus berfungsi sebagai pemimpin tituler dari sebuah gereja yang bersatu kembali; kalangan Anglikan umumnya ingat akan suatu keutamaan kehormatan (non yurisdiksional) sebagaimana tersirat dalam frasa "primus inter pares". Sebagai contoh pengakuan tersebut, Komisi Internasional Anglikan-Katolik untuk Kesatuan dan Misi, dalam pernyataan Tumbuh Bersama dalam Kesatuan dan Misi yang mereka sepakati pada tahun 2007, "mendesak umat Anglikan dan Katolik untuk bersama-sama mengeksplorasi bagaimana pelayanan Uskup Roma dapat diberikan dan diterima dalam rangka membantu Komuni-Komuni kita untuk tumbuh menuju komuni gerejawi yang sepenuhnya."

Presbiterianisme

Moderator Majelis Umum dalam suatu gereja Presbiterian dengan cara serupa ditetapkan sebagai suatu primus inter pares. Konsep tersebut juga berlaku bagi para Moderator dari masing-masing Sinode, Klasis, dan Konsistori. Bagi Presbiterian, karena semua penatua ditahbiskan – beberapa untuk mengajar dan beberapa untuk mengatur, tidak ada yang memiliki status lebih tinggi, tetapi semuanya setara di bawah Yesus Kristus sebagai satu-satunya kepala gereja.[7]

Gereja Swedia

Dalam Gereja Swedia, Uskup Agung Uppsala dipandang sebagai primus inter pares.[8]

  • Animal Farm, sebuah novel distopia karya George Orwell yang dipublikasikan tahun 1945, yang motonya 'Semua adalah setara, tetapi beberapa di antaranya lebih setara daripada yang lain' adalah suatu varian dari tema ini.
  1. ^ Secara gramatikal, ungkapan ini menunjuk pada seorang figur laki-laki tunggal. Seorang perempuan akan disebut prima inter pares, bentuk jamak dari keduanya adalah primi inter pares dan primæ inter pares dalam kasus nominatif serta primos inter pares dan primas inter pares dalam kasus akusatif. Bagaimanapun, semua bentuk itu sangat jarang digunakan dalam bahasa Inggris.
  2. ^ Hutchinson Encyclopedia. "Primus inter pares" . 2007. Hosted at Tiscali. Diarsipkan 2009-10-03 di Wayback Machine.
  3. ^ a b Timothy Ware, The Orthodox Church (Oxford: Penguin, 1993), 214–17.
  4. ^ Ecclesiological and Canonical Consequences of the Sacramental Nature of the Church: Ecclesial Communion, Conciliarity and Authority (The Ravenna Document), Joint International Commission for the Theological Dialogue between the Roman Catholic and the Orthodox Church, 13 October 2007, n. 35.
  5. ^ http://orthodoxwiki.org/Primus_inter_pares
  6. ^ [1] (from the official Anglican Communion website)
  7. ^ Westminster Confession of Faith Chapter XXV, article vi https://en.wikisource.org/wiki/The_Confession_of_Faith_of_the_Assembly_of_Divines_at_Westminster#Chapter_25
  8. ^ Church Structures and Regulations Diarsipkan 2008-03-17 di Wayback Machine. (from the official Church of Sweden website)

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Primus_inter_pares&oldid=20347180"

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Moralitas adalah sifat moral yang berkaitan dengan asas dan nilai-nilai. Moralitas juga berkaitan dengan hal baik dan buruk ( Bertens,2002:7 ). Moralitas berperan sebagai pengatur dan pedoman bagi manusia untuk berprilaku baik agar dapat dikatakan sebagai manusia yang baik dan menghindari prilaku yang buruk ( Keraf,1993:20 ). Jadi, secara sederhana kita dapat menyimpulkan bahwa moralitas adalah kesadaran akan tanggung jawab terhadap asas dan nilai-nilai yang berkenaan dengan keadaan yang baik dan buruk, dan moralitas tidak dapat dijelaskan dengan akal, karena moralitas ini berkaitan dengan kepribadian manusia.

Moralitas secara umum dapat kita temui dalam dua bentuk, yaitu moralitas pribadi dan moralitas sosial. Moralitas pribadi berkaitan dengan hukum alam, artinya kepribadian itu sudah ada pada diri seseorang sejak lahir, sedangkan moralitas sosial Moralitas sosial akan terus berubah sesuai perubahan evolusi masyarakat dan peradaban.

Moralitas pemimpin

Mungkin kriteria sosok pemimpin idaman rakyat secara umum adalahharus pemimpin yang pro rakyat, pemimpin yang dapat mengayomi rakyat kecil, dan yang terpenting mengutamakan kepentingan rakyat diatas dari segala galanya. Melihat kondisi Negara dan pemerintahan yang carut-marut seperti ini sudah sepantasnya masyarakat megidam-idamkan pemimpin yang mampu mengayomi mereka, karena pada hakikatnya pemimpin merupakan sarana pengemban amanat rakyat.

Berbicara mengenai keinginan rakyat akan pemipin yang idaman, ini berkaitan akan kebutuhan. Kebutuhan sebenarnya tidak dapat dikondisikan tapi berdasarkan akan kondisi. Apa yang dibutuhkan rakyat sekarang adalah tuntutan dari kondisi yang ada dimasyarakat, rakyat tidak menginginkan apa yang ada diluar kondisi rakyat. Semisal, rakyat membutuhkan perhatian pemerintah dalam mensejahterakan mereka, maka yang harus dilakukan pemerintah adalah memberikan sarana dan prasana serta pelayanan yang dapat menyokong terwujudkan kesejahteraan, diluar dari itu rakyat sangat tidak membutuhkan.

Sepertinya saat sekarang ini fungsi pemimpin dan wakil rakyat telah beralih haluan, yang pada awalnya wakil rakyat berfungsi sebagai sarana tempat rakyat menyalurkan aspirasi kini beralih menjadi sarana untuk mengeruk keuntungan dari rakyat, dengan kata lain rakyat dijadikan produk yang memiliki nilai jual. Semisal, banyak pemimpin dan wakil rakyat yang menjual kemiskinan rakyat untuk memperoleh kepentingan pribadinya, ini sering sekali kita temui di masa-masa kompanye.

Terkait dengan moralitas diatas, moralitas kepemimpinan sangat mempengaruhi tatanan pemerintahan karena pemimpin yang bermoral akan memiliki tanggung jawab akan kepentingan sosial dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Pemimpin yang sadar akan tanggung jawabnya adalah pemimpin yang mampu mengayomi masyarakat, pemimpin yang dapat mengemban semua amanat rakyat. Jadi pemimpin yang bermoral adalah pemimpin yang pro kepada masyarakat,bukan pemimpin yang menjual masyarakatnya sendiri.

Bukan hanya krisis disektor finansial saja yang tengah melanda rakyat di Negara ini tapi krisis kepemimpinan juga lebih menonjol untuk sekarang ini. Jika kita melihat dari stok dari pemimpin dan wakil rakyat memang sangat banyak,bahkan telah melebihi jumlah kuota,namun yang perlu dipertanyakan adalah apakah calon-calon tersebut bermoral kepemimpinan?

Ada beberapa asumsi yang tengah berkembang dimasyarakat sekarang ini, yaitu beberapa asumsi tentang penyakit yang dapat melumpuhkan Negara, adapun diantaranya adalah kebodohan,kemiskinan, penindasan, dan kebobrokan moral. Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut masyarakat mulai menyadari bahwasanya beberapa hal yang sedemikan harus segera diperangi, termasuk memerangi masalah kebobrokan moral, khususnya moral seorang pemimpin.

Sekarang ini rakyat sudah lebih jeli dan kritis dalam menentukan siapa pemimpin mereka. Kejelian rakyat tersebut lahir karena rakyat sudah jera akan pemimpin yang selalu menipu mereka, pemimpin yang selalu tertawa diatas penderitaan mereka. Sebenarnya pemikiran kritis masyarakat ini timbul dari tanda tanya mereka akan moralitas seorang pemimpin.

Adapun yang dapat mempengaruhi pemikiran kritis seseorang dapat ditelisik dari apa yang ia baca dan pelajari, lingkungan pendidikan, lingkungan politik, dan entitas-entitas lainnya yang dapat mempengaruhi kesadaran seseorang.

Moralitas kepemimpin tidak hanya dihujatkan kepada pemimpin Negara dan wakil rakyat saja, tapi juga kepada pemimpin-peminpin yang memegang kendali diatas kepentingan sosial, seperti gubernur,walikota,bupati,camat, dan lain sebagainya.

Didunia pendidikan pemikiran kritis terhadap pemimpin yang bermoral juga sudah mulai berkembang, seperti disaat periode pemilihan senat,rektor,dekan,badan esekutif mahasiswa,dan kepala sekolah, sampai kepemilihan komite sekolah.

Rakyat sekarang membutuhkan pemimpin dan wakil rakyat yang mampu menjunjung moralitas, karena bagi rakyat sikap yang tidak menjujung moralitas dan terlebih lagi pragmatis dalam kehidupan seorang pemimpin dapat merugikan mereka. Rakyat menunggu pemimpin dan wakil rakyat yang berani, dalam artian berani mengatakan sesuatu yang benar dan berani mengatakan yang salah. Rakyat tidak membutuhkan pemimpin dan wakil rakyat yang lebil sering berdusta atau berpura-pura, karena bagi mereka sikap dusta para pemimpin dan wakil rakyat itu merupakan tindakan yang amat sangat tidak bermoral.

Dalam suatu bentuk Negara dan pemerintahan seorang pemimpin hanya “ orang pertama dari yang sama” ( primus inter pares ), bukan seorang yang memiliki kepribadian yang dominan, karismatis dan bertindak sebagai pemilik negara dan pemerintahan.

Moralitas seorang pemimpin sering sekali dirusak oleh tipu daya kesenangan pribadi, semisal korupsi, kolusi, nepotisme. Tanpa disadari ketiga tindakan tersebut adalah musuh yang sangat utama bagi rakyat.