Musibah dalam pandangan orang-orang yang bertakwa

Hampir satu dasawarsa terakhir ini kita mengalami krisis multidimensi yang merambah di hampir semua sektor kehidupan, diikuti bermacam musibah yang silih berganti datang hampir setiap tahun, tak terkecuali di tahun 2014 ini. Musibah yang sangat mengerikan akibat longsornya bukit setinggi hampir 100 meter yang mengubur habis dusun Jemblung, kecamatan Karangkobar, kabupaten Banjarnegara.

Sampai hari kelima rabu (17/12/2014)korban yang dapat dievakuasi baru mencapai 83 orang dari seluruh jumlah penduduk desa Jemblung yang tewas terkubur. Kenapa musibah longsor dapat terjadi di dusun Jemblung, Karangkobar , yang menimpa kepada sebuah desa yang relative tenang jauh dari hiruk pikukpara manusia yang saling memperebutkan kekuasaan dan harta.
Musibah apapun yang menimpa kepada umat manusia hakekatnya adalahdiakibatkan oleh ulah manusia baik yang disengaja maupun yang tidak. Bencana banjir, gempa bumi, tanah longsor, penyakit busung lapar, wabah penyakit ebola yang sudah menewaskan lebih dari 3000 orang, wabah AID yang mendera hampir diseluruh negara di dunia,kecelakaan pesawat udara yangsangat dahsyat, musibah kapal tenggelam, sampai dengan musibah kesurupan masal, semua musibah-musibah tersebut sudah banyak memakan korban jiwa manusia dan harta benda.
Sedemikian banyaknya jenis musibah yang mendera kepada kita, sehingga sulit bagi kita untuk menyebutkannya secara terinci satu demi satu. Bagi umat Islam bagaimana mensikapinya terhadap musibah dan bencana yang menimpa kepada saudara-saudara kita yang ada di Karangkobar maupun saudara-saudara kita di tempat lain dipenjuru Nusantara. Dalam tulisan ini tidak secara khusus mengupas dan mencari jawaban dari penyebab terjadinya musibah, akan tetapi bagaimana seharusnya sikap kita didasari atas jiwa keimanan seorang muslim.

Pertama: Kata “musibah” yang dimaksudkan disini adalah bencana sebagai suatu peristiwa menyedihkan yang menimpa, namun demikian ada beberapa pengertian berkenaan dengan kata musibah yang berarti fitnah (fitnah dalam pengertian bahasa arab) , musibah berarti bala, dan musibah yang berarti azab.

Musibah itu secara kebahasaan adalah apa yang menimpa, apa yang mengenai terhadap sesuatu bisa apa saja, semisal seseorang menembak dengan peluru, dan pelurunya tepat mengenai sasaran, dan peluru yang tepat mengenai sasaran itulah musibah.Musibah itu apa yang menimpa/mengenai sehingga dapat berkonotasi baik dan dapat pula berkonotasi tidak baik.

Dalam terjemahan al-Qur’an surat an-Nisa ayat 79, disebutkan bahwa:“Apa saja ni’mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplahAllah menjadi saksi”.

Jadi musibah itu bisa baik dan bisa juga tidak baik, hanya saja pengertian secara umum musibah itu selalu dikonotasikan sebagai sesuatu yang tidak baik. Oleh sebab itu ta’rif musibah adalah “kullu makruhin yahullu bill insane” atau segala sesuatu yang tidak disukai yang menimpa diri manusia.

Kedua”musibah sebagi fitnah, fitnah dalam pengertian kebahasan al-Qu’an bukan fitnah dalam pengertian bahasa Indonesia. Kalau dalam bahsa Indonesia yang umum dipahami selama ini fitnah adalah berita yang tidak ada dasarnya atau tuduhan yang tidak ada buktinya.

Sedangkan dalam konteks al-Qur’an yaitu dalam surah al-Anbiyaa ayat 35:” Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”. Jadi kata fitnah adalah ujian, ini sama artinya dengan bala, fitnah dan bala itu dapat berupa yang baik (kenikmatan) dan dapat pula berupa penderitaan “bissyarri wal khairi”.

Ketiga” musibah dalam pengertian azab. Para ulama mengatakan,pertama azab adalah “setiap yang dirasakan berat oleh manusia”. Kedua, ada pula yang mengartikan azab sebagai suatu hukuman akibat perbuatan, jadi berupa balasan dari perbuatan yang tidak baik. Azab dalam pengertian kedua ini terbagi menjadi dua jenis, yakni:

pertama(1): yang bersifat membinasakan, sebagai hukuman yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu yang tidak percaya, dan tidak mau mengikuti seruan para Nabi. Mereka dihabisi oleh Allah. Menurut para ulama azab jenis ini sejak zaman Nabi Musa as sudah tidak ada lagi.

Kedua (2): azab yang mempunyai arti musibah sebagaimana tersebut diatas.


Lihat Catatan Selengkapnya

Page 2

Hampir satu dasawarsa terakhir ini kita mengalami krisis multidimensi yang merambah di hampir semua sektor kehidupan, diikuti bermacam musibah yang silih berganti datang hampir setiap tahun, tak terkecuali di tahun 2014 ini. Musibah yang sangat mengerikan akibat longsornya bukit setinggi hampir 100 meter yang mengubur habis dusun Jemblung, kecamatan Karangkobar, kabupaten Banjarnegara.

Sampai hari kelima rabu (17/12/2014)korban yang dapat dievakuasi baru mencapai 83 orang dari seluruh jumlah penduduk desa Jemblung yang tewas terkubur. Kenapa musibah longsor dapat terjadi di dusun Jemblung, Karangkobar , yang menimpa kepada sebuah desa yang relative tenang jauh dari hiruk pikukpara manusia yang saling memperebutkan kekuasaan dan harta.
Musibah apapun yang menimpa kepada umat manusia hakekatnya adalahdiakibatkan oleh ulah manusia baik yang disengaja maupun yang tidak. Bencana banjir, gempa bumi, tanah longsor, penyakit busung lapar, wabah penyakit ebola yang sudah menewaskan lebih dari 3000 orang, wabah AID yang mendera hampir diseluruh negara di dunia,kecelakaan pesawat udara yangsangat dahsyat, musibah kapal tenggelam, sampai dengan musibah kesurupan masal, semua musibah-musibah tersebut sudah banyak memakan korban jiwa manusia dan harta benda.
Sedemikian banyaknya jenis musibah yang mendera kepada kita, sehingga sulit bagi kita untuk menyebutkannya secara terinci satu demi satu. Bagi umat Islam bagaimana mensikapinya terhadap musibah dan bencana yang menimpa kepada saudara-saudara kita yang ada di Karangkobar maupun saudara-saudara kita di tempat lain dipenjuru Nusantara. Dalam tulisan ini tidak secara khusus mengupas dan mencari jawaban dari penyebab terjadinya musibah, akan tetapi bagaimana seharusnya sikap kita didasari atas jiwa keimanan seorang muslim.

Pertama: Kata “musibah” yang dimaksudkan disini adalah bencana sebagai suatu peristiwa menyedihkan yang menimpa, namun demikian ada beberapa pengertian berkenaan dengan kata musibah yang berarti fitnah (fitnah dalam pengertian bahasa arab) , musibah berarti bala, dan musibah yang berarti azab.

Musibah itu secara kebahasaan adalah apa yang menimpa, apa yang mengenai terhadap sesuatu bisa apa saja, semisal seseorang menembak dengan peluru, dan pelurunya tepat mengenai sasaran, dan peluru yang tepat mengenai sasaran itulah musibah.Musibah itu apa yang menimpa/mengenai sehingga dapat berkonotasi baik dan dapat pula berkonotasi tidak baik.

Dalam terjemahan al-Qur’an surat an-Nisa ayat 79, disebutkan bahwa:“Apa saja ni’mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplahAllah menjadi saksi”.

Jadi musibah itu bisa baik dan bisa juga tidak baik, hanya saja pengertian secara umum musibah itu selalu dikonotasikan sebagai sesuatu yang tidak baik. Oleh sebab itu ta’rif musibah adalah “kullu makruhin yahullu bill insane” atau segala sesuatu yang tidak disukai yang menimpa diri manusia.

Kedua”musibah sebagi fitnah, fitnah dalam pengertian kebahasan al-Qu’an bukan fitnah dalam pengertian bahasa Indonesia. Kalau dalam bahsa Indonesia yang umum dipahami selama ini fitnah adalah berita yang tidak ada dasarnya atau tuduhan yang tidak ada buktinya.

Sedangkan dalam konteks al-Qur’an yaitu dalam surah al-Anbiyaa ayat 35:” Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”. Jadi kata fitnah adalah ujian, ini sama artinya dengan bala, fitnah dan bala itu dapat berupa yang baik (kenikmatan) dan dapat pula berupa penderitaan “bissyarri wal khairi”.

Ketiga” musibah dalam pengertian azab. Para ulama mengatakan,pertama azab adalah “setiap yang dirasakan berat oleh manusia”. Kedua, ada pula yang mengartikan azab sebagai suatu hukuman akibat perbuatan, jadi berupa balasan dari perbuatan yang tidak baik. Azab dalam pengertian kedua ini terbagi menjadi dua jenis, yakni:

pertama(1): yang bersifat membinasakan, sebagai hukuman yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu yang tidak percaya, dan tidak mau mengikuti seruan para Nabi. Mereka dihabisi oleh Allah. Menurut para ulama azab jenis ini sejak zaman Nabi Musa as sudah tidak ada lagi.

Kedua (2): azab yang mempunyai arti musibah sebagaimana tersebut diatas.


Lihat Catatan Selengkapnya

Sebagai hamba Allâh Ta’ala, semua manusia dalam kehidupan di dunia ini tidak akan luput dari berbagai macam cobaan, baik berupa kesusahan maupun kesenangan. Hal itu merupakan sunnatullâh yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir.

Allâh Ta’ala berfirman:

Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs al-Anbiyâ’/21:35)

Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:

“(Makna ayat ini) yaitu: Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.[1]

KEBAHAGIAAN HIDUP DENGAN BERTAKWA KEPADA ALLAH TA’ALA

Allâh Ta’ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan hikmah-Nya yang Maha Sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang teguh kepada agama-Nyalah seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat.

Allâh Ta’ala berfirman:

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu
yang memberi (kemaslahatan)[2] hidup bagimu (Qs al-Anfâl/8:24)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:

“(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanya didapatkan dengan memenuhi seruan Allâh Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Maka, barang siapa tidak memenuhi seruan Allâh Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik) meskipun fisiknya hidup, sebagaimana binatang yang paling hina. Jadi, kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang dengan memenuhi seruan Allâh Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam secara lahir maupun batin”[3].

Allâh Ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)” (Qs Hûd/11:3)

Dalam mengomentari ayat-ayat di atas, Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan:

“Dalam ayat-ayat ini Allâh Ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat. [4]

SIKAP SEORANG MUKMIN DALAM MENGHADAPI MASALAH

Seorang Mukmin dengan ketakwaannya kepada Allâh Ta’ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, sehingga masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak akan membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan keimanannya yang kuat kepada Allâh Ta’ala membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allâh Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya.

Dengan keyakinannya ini pula Allâh Ta’ala akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allâh Ta’ala dalam firman-Nya:

Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allâh; barang siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qs at-Taghâbun/64:11)

Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:

“Maknanya: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh Ta’ala, kemudian dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh Ta’ala tersebut, maka Allâh Ta’ala akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Allâh Ta’ala akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya.”[5]

Inilah sikap seorang Mukmin yang benar dalam menghadapi musibah yang menimpanya.

Meskipun Allâh Ta’ala dengan hikmah-Nya yang Maha Sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allâh Ta’ala dalam menghadapi musibah tersebut. Dan tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang Mukmin.

Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan:

“Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allâh Ta’ala senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisâb (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisâb. Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena, setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut.

Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisâb. Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan).

Sungguh Allâh Ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya yang artinya:

”Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allâh apa yang tidak mereka harapkan” (Qs an-Nisâ/4:104).

Jadi, orang-orang Mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan, akan tetapi orang-orang Mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allâh Ta’ala.”[6]

HIKMAH COBAAN

Di samping sebab-sebab di atas, ada lagi faktor lain yang bisa meringankan semua kesusahan yang dialami seorang Mukmin di dunia ini, yaitu merenungi dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allâh Ta’ala jadikan dalam setiap ketentuan yang terjadi pada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Dengan merenungi hikmah-hikmah tersebut, seorang Mukmin akan semakin yakin bahwa semua cobaan yang menimpanya pada hakikatnya adalah kebaikan bagi dirinya, untuk menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allâh Ta’ala.

Semua ini, di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka) kepada Allâh Ta’ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya.

Dengan sikap ini, Allâh Ta’ala akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya, karena Allâh Ta’ala memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi yang artinya:

“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepada-Ku”.[7]

Maknanya: Allâh Ta’ala akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allâh Ta’ala.[8]

Di antara hikmah yang agung tersebut adalah:

1.

Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya. Kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allâh Ta’ala. Jadi musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allâh Ta’ala[9].

2. Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang Mukmin kepada-Nya, karena Allâh Ta’alamencintai hamba- Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang.[10]Inilah makna sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam :

“Sungguh mengagumkan keadaan seorang Mukmin, semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang Mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.”[11]

3. Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allâh Ta’ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang sangat jauh berbeda keadaannya dengan dunia Allâh Ta’ala menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti.[12]Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam :

”Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.”[13]

PENUTUP

Sebagai penutup, ada sebuah kisah yang disampaikan oleh imam Ibnul Qayyim rahimahullâh tentang gambaran kehidupan guru beliau, imam Ahlus sunnah wal jama’ah di jamannya, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh. Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang bagaimana seharusnya seorang Mukmin menghadapi cobaan dan kesusahan yang Allâh Ta’ala takdirkan bagi dirinya. Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:

“Dan Allâh Ta’ala yang Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau (Ibnu Taimiyyah rahimahullâh). Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allâh Ta’ala), yang berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau). Tapi di sisi lain (aku mendapati) beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya serta paling tenang jiwanya.

Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau rasakan). Dan kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah rahimahullâh), jika ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami) prasangka-prasangka buruk atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami (segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat).

Dengan hanya memandang (wajah) beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.”[14]

[1]

Tafsîr Ibnu Katsîr (5/342- cet Dâru Thayyibah).

[2] Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (4/34).
[3] Kitab Al-Fawâ-id (hal 121- cet. Muassasatu Ummil Qura’)
[4] Al-Wâbilush Shayyib (hal 67- cet. Dârul Kitâbil ‘Arabi).
[5] Tafsîr Ibnu Katsîr (8/137)
[6] Ighâtsatul Lahfân (hal 421-422 – Mawâridul Amân)
[7] HR al-Bukhâri (no 7066- cet. Dâru Ibni Katsîr) dan Muslim (no 2675)
[8] Lihat kitab Faidhul Qadîr (2/312) dan Tuhfatul Ahwadzi (7/53)
[9] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighâtsatul Lahfân (hal 422 – Mawâridul Amân)
[10] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam Ighâtsatul Lahfân (hal 424 – Mawâridul Amân)
[11] HR Muslim (no 2999)
[12] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighâtsatul lahfân (hal 423 – Mawâridul amân), dan imam Ibnu Rajab dalam Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam (hal 461- cet. Dâr Ibni Hazm).
[13] HR al-Bukhâri (no. 6053)
[14] Kitab Al-Wâbilush Shayyib (hal 67- cet. Dârul Kitâbil ‘Arabi)

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A

Artikel www.muslim.or.id

🔍 Alaihissalam Arab, Hadis Rasulullah Tentang Cinta, Ponpes Al Irsyad Pekalongan, Keistimewaan Bulan Puasa

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA