puisi sangat diperlukan dalam rangka memberi dukungan dalam pencitraan melalui dimensi audio. Sementara itu, gerak tubuh, teknik muncul, ekspresi, cara berpakaian, pada aspek penampilan sangat diperlukan dalam rangka memberi dukung-an dalam pencitradukung-an melalui dimensi visual. Maka dapat dika takan dengan bahasa sederhana bahwa rumus penjurian tentang baca puisi yakni “baca puisi harus indah dirasa (hati), dide ngar (telinga), dan dilihat (mata)”. Sobat tentu tidak mau ka nada demo atau perang mulut saaat pengumuman pemenang? Oleh karena itu, pada perlombaan baca puisi sebelum lomba dimulai biasanya juri dianjurkan untuk memaparkan kriteria penilaian pada perlombaan. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi perang konsep dan salah pengertian antara peserta dengan juri. a. PenghayaTan Baca puisi merupakan keterampilan berbahasa tingkat lanjut. Artinya, untuk dapat melakukan kegiatan membacakan puisi, pembaca puisi harus lebih dahulu menguasai aspek-aspek dasar bahasa. Orang tersebut tidak lagi dalam rangka mengeja dan belajar menguasai bahasa, tetapi telah masuk dalam kegiatan berapresiasi bahkan berkreasi untuk dapat mengekspresikan teks. Melalui penghayatan yang tinggi akan tersampaikan pesan rasa yang menggetarkan dan membuat juri merinding. Penjiwaaan selain akan menghidupkan suasana dalam pembacaan juga akan memberikan kewibawaan bagi pembaca puisi. Ciri dari penghayatan adalah pemahaman puisi, ketepatan penjedaan, ekspresi, greget, daya sugesti pada penonton. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa membacakan puisi lebih dari sekadar menyuarakan puisi tetapi juga menghidupkan puisi. Membacakan puisi yang baik selalu dimulai dari dalam. Apabila jiwa puisi tersebut sudah masuk ke dalam pembaca puisi, maka segala yang keluar dari dirinya bukanlah bohong. Vokal, mimik, dan gerak tubuh semua selaras dengan apa yang di dalam. Perlu diingat bahwa sebenarnya pembacaan puisi yang berhasil dimulai dari dalam diri pembaca, dari penghayatan dan penafsiran terhadap puisi yang dibaca. Penghayatan dan penafsiran itu dituangkan keluar melalui faktor-faktor di luar (fisik, mimik,ekspresi, situasi, dan lain-lain). Semua yang muncul, baik itu nada, intonasi, ekspresi, kelancaran dan gerak tubuh mengalir apa adanya. Sesuatu yang muncul dari hati jauh lebih indah, jauh lebih punya rasa, jauh lebih bisa menggetarkan hati daripada sesuatu yang hanya lipstik. Kalaupun ada sesuatu yang direka-reka itu hanya berupa pembiasaan pada tahap latihan, bukan saat membacakan puisi yang sebenarnya. Maka dapat disimpulkan bahwa membacakan puisi adalah memindahkan kehidupan yang ada dalam teks puisi ke atas panggung/ ke hati penonton. Ingat, “yang disampaikan dengan hati akan sampai ke hati, yang disampaikan dari akal akan sampai kepada akal”. B. Vokal Kriteria penilain vokal secara umum yakni terdiri atas pelafalan, nada, intonasi,modulasi suara, power vokal. Aspek-aspek pada vocal tersebut akan menuju keselarasan dan ke ba-ra tuba-ran. Bunyi dan suaba-ra yang indah selalu memiliki har moni-sasi. Apabila harmonisasi dalam seni lukis akan me nim bulkan keindahan pemandangan, maka suara dan irama akan menimbulkan keindahan pendengaran. Suara yang terus-menerus keras, atau suara yang terus menerus lemah, tanpa berganti, dan monoton kurang mendukung terciptanya keindahan. Menentukan pemenggalan atau jeda berarti menentukan pula tempat-tempat yang tepat untuk berhenti dan mengambil napas dan juga berirama. Selain itu, power dan ketahan vokal menjadi salah satu kriteria yang sangat diperhitungkan. Terutama untuk puisi panjang, aspek ketahanan menjadi sangat penting. Suara yang “serak” atau “kehabisan suara” pada pembaca puisi akan sangat menggangu dan merugikan karena akan mengganggu upaya pencitraan dan merusak bangunan rasa yang ingin dibangun. c. PenaMPilan Kriteria penilaian dalam penampilan dalam membacakan puisi biasanya menyangkut bahasa tubuh, bahasa mata, citraan yang tersampaikan, dan cara berpakaian. Apabila pembaca puisi teknik munculnya sudah memikat hati dan mampu “mem-bius“ penonton, maka kemungkinan perform abaca puisi nya akan berjalan dengan baik. Sebagaimana slogan sebuah iklan mengatakan “Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda”. Slogan iklan tersebut secara logika ada benarnya. Sobat, ada beberapa catatan penting terkait dengan tata cara berpakaian dan tata rias. Satu hal yang penting diperhatikan mengenai tata cara berpakaian dalam membacakan puisi adalah batasan bahwa “membacakan puisi dalam konsep membaca puisi secara minimalis” bukanlah sedang men-drama-kan atau men-teater-kan puisi. Dengan demikian, ukuran tata busana dalam membacakan puisi berbeda dengan yang diterapkan dalam pentas drama atau teater. Seorang pembaca puisi, dapat hanya berbusana “apa adanya” sebagaimana dalam penampilan keseharian karena keberadaan pembaca puisi bukanlah sebagai wujud visual tokoh dalam puisi. Apabila dalam sebuah puisi ditokohkan seorang prajurit, seorang pembaca puisi tidak harus berpenampilan sebagai prajurit. Busana yang dikenakan lebih diarahkan kepada fungsi penciptaan suasana yang mendu kung pembacaan, penikmatan, terciptanya interaksi, emosi, psiko-logis, dan gejolak batin bukan untuk menjadi identik dengan tokoh. Lantas, bagaimana dengan tata riasnya Kang Emha? Yup, baik saya jelaskan ya! Seorang pembaca puisi tidak perlu merias dirinya sebagaimana tokoh yang digambarkan dalam puisi. Pembaca puisi bisa saja dalam kondisi riasan keseharian. Kalaupun diperlukan riasan hanya difungsikan untuk mendukung pencitraan. Kalau masalah penguasaan panggung, bagaimana kang? Pembaca puisi sebelum membacakan puisi harus mengua-sai panggung terlebih dahulu. Langkah ini didasari bahwa sebenarnya membacakan pusi adalah dialog rasa antara pem-baca puisi dengan pendengar. Sebagai proses dialog, ukuran keter jalinan antara pemberi pesan dan penerima pesan harus diperhatikan. Kesiapan antara pembaca dan penonton harus dimunculkan secara bersama-sama. Sebuah pertanda kesiapan penonton sudah siap menerima performa kita, dapat kita lihat dari sorot mata penonton dan kekhidmatan yang tertuju kepada pembaca. Ketika masih banyak penonton yang bergumam dan kurang fokus maka pembacaan puisi sebaiknya jangan dilakukan. Kehadiran pembaca puisi harus mampu memaksa penonton untuk meninggalkan aktifitas lain. Berilah tatapan bermakna kepada penonton sebelum memulai membaca. Mengenai ekspresi dan bahasa tubuh bagaimana Kang? Membacakan pusi adalah media ekspresi. Ekspresi akan sangat berkaitan dengan penghayatan dan rasa. Maka gerakan tubuh dan mimik adalah penghantar dalam penyampaian rasa. Upaya membangun suasana pembacaan dapat kita bina dengan gerakan tubuh, teknik muncul, tatapan mata, dan cara berpakaian. Dengan kata lain, pembacaan puisi merupakan ”seni tontonan”. Titik pencapaian tertinggi dalam baca puisi adalah memin-dahkan kehidupan yang ada dalam teks puisi ke atas panggung (hati pendengar. Namun, tetap perlu diingat bahwa pembaca puisi tidak boleh over acting. Pembacaan puisi dikatakan over acting apabila melakukan gerakan berlebihan dan tidak perlu dan gerakan tersebut tidak memperindah justru merusak pencitraan terhadap isi puisi. Sementara itu, berkaitan dengan penilaian pada pembacaan puisi, pada kebanyakan perlombaan membacakan puisi tidak ada ketentuan khusus dalam pemberian nilai. Adapun yang banyak dijumpai di dalam penilaian, baik dalam lomba maupun lingkungan akademik adalah semacam konvensi. Kriteria umum dalam penilaian membacakan puisi meliputi pengha-yatan, vokal, dan penampilan. Agar memudahkan dalam proses penghitungan nilai, aspek-aspek penilaian tersebut dapat disu-sun menjadi sebuah tabel. Berikut ini adalah format umum tabel penilaian pembacaan puisi. Tabel 5.1 format Penilaian Pembacaan Puisi No Aspek Jumlah Ket Penghayatan Vokal Penampilan Pemaha-man puisi, ketepatan penjedaan, ekspresi, greget, daya sugesti pada penonton. pelafalan, nada, into-nasi, modu-lasi suara, power vokal. Bahasa tubuh, bahasa mata, citraan yang sampai, cara berpakaian. 1. dst. Kriteria penilaian pembacaan puisi tersebut dapat berbeda antara perlombaan satu dengan perlombaan lainnya, antara juri satu dengan juri yang lain. Bergantung pada pengalaman, kebiasaan, dan “jam terbang” juri. Bachri, Sutardji Calzoum. 2007. Isyarat: Kumpulan Esai. Jogjakarta: Indonesiatera. Doyin, Mukh. 2008. Seni Baca Puisi: Persiapan, Pelatihan, Pementasan, dan Pelatihan. Semarang: Bandungan Institute. Endraswara, Suwardi. 2003. Membaca, Menulis, Mengajarkan Sastra: Sastra Berbasis Kompetensi. Jogjakarta: Kota Kembang. —————2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra: Teori, Langkah, dan Penerapannya. Jogjakarta: MedPress. —————2008. Metodologi Penelitian Sastra: Teori, Langkah, dan Penerapannya. Yogyakarta: MedPress. Haryanto, Muhammad. 2009. Menjadi Maestro Baca Puisi: “Teori, Teknik, dan Penerapannya”. Semarang: Cipta Prima Nusantara Semarang. Herfanda, Yosi Ahmadun, dkk. 2008. Komunitas Sastra Indonesia: Catatan Perjalanan. Tangerang: KSI. Leksono, Widyo. 2007. Pembelajaran Teater untuk Remaja. Semarang: Cipta Prima Nusantara. Subandi, MA (ed.) 2005. Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jawaban: Penilaian Pembacaan Puisi Penilaian pembacaan puisi atau deklamasi memberi bobot yang besar pada unsur penjiwaan. Unsur lain yang dinilai juga ialah vokal serta gerak penunjang. 1) Penjiwaan Penjiwaan atau dikenal juga dengan interpretasi puisi meliputi keutuhan makna puisi (pemahaman) dan penyampaian pesan yang terkandung di dalamnya dengan penuh penghayatan. Penghayatan seorang pembaca puisi bukan sekedar untuk dirinya sendiri, melainkan sebagai alat agar penonton atau pendengar lebih memahami dan dapat menikmati puisi yang dibacakan. 2) Vokal Yang perlu mendapat perhatian pada unsur vokal ialah kejelasan pengucapan (artikulasi), intonasi, serta volume suara. a) Artikulasi Kejelasan artikulasi dalam membaca puisi sangat dibutuhkan. Bunyi vokal seperti /a/, /i/, /u/, /e/, /o/, /ai/, /au/, dan sebagainya harus jelas terdengar, demikian pula dengan bunyi-bunyi konsonan. b) Intonasi Intonasi menyangkut persoalan ”tekanan dinamik”, yaitu keras lembutnya suara; ”tekanan tempo”, yaitu cepat lambatnya ucapan; ”tekanan nada”, yaitu menyangkut tinggi rendahnya suara; dan ”modulasi” yang meliputi perubahan bunyi suara (karena marah bunyi suara menjerit, karena lelah bunyi suara mendesah, dan sebagainya). Ketepatan intonasi atau irama ini bergantung kepada ketepatan penafsiran atas puisi yang dibacakan. c) Karakter Suara Pembaca puisi harus mampu memainkan karakter suaranya sesuai dengan kutipan puisi yang dibacanya. Apabila kutipan dalam puisi terdapat monolog seorang kakek tua, ia harus mampu merubah suaranya seperti suara seorang kakek tua. d) Tempo Tempo dalam membaca puisi pun sangat penting untuk diperhatikan. Tempo pembacaan puisi harus disesuaikan dengan isi puisi. e) Kekuatan (Power) Suara Kekuatan suara juga amat penting untuk diperhatikan. Dalam membaca puisi yang perlu diperhatikan adalah suara seorang pembaca puisi harus mampu mengatasi suara penonton atau pendengarnya. Untuk mengatasi suara penonton/pendengarnya, pembaca puisi memang dituntut untuk memiliki vokal yang keras. Hanya seringkali dijumpai pembaca puisi berteriak untuk memperkeras volume suaranya. Hal itu tentu saja akan merusak kemerduan ucapan yang justru amat dibutuhkan dalam membacakan puisi. Volume suara yang keras semestinya dilakukan dengan mempertinggi suara, bukan dengan jalan berteriak. 3) Gerak Gerak pembaca puisi tidaklah sebanyak gerak yang dilakukan aktor dalam bermain drama. Gerak yang dilakukan dalam membaca puisi hendaknya sesuai dengan tuntuntan puisi, yakni mampu bergerak dengan wajar karena dorongan batin yang kuat. Yang dimaksud dengan gerak dalam membaca puisi bukan hanya terlihat bergoyang saja, melainkan juga gerak muka (mimik), gerak tangan (gesture), dan gerak seluruh tubuh (pantomimik). a) Mimik Mimik merupakan gerak atau ekspresi wajah dalam membacakan puisi. Mimik yang dimunculkan haruslah proporsional sesuai dengan kebutuhan menampilkan gagasan puisi secara tepat. b) Gesture Gestur dapat diartikan sebagai gerak tangan atau gerak anggota tubuh yang sesuai dengan isi puisi ketika seseorang membacakan puisi. c) Pantomimik Pantomimik yaitu gerak anggota tubuh dalam membacakan puisi. Sama halnya sepereti mimik, pantomimik yang dimunculkan dalam membacakan puisi haruslah proporsional sesuai dengan kebutuhan menampilkan gagasan puisi secara tepat. Pantomimik yang kurang wajar akan merusak keindahan pembacaan serta bisa jadi akan mengganggu pembacaan puisi tersebut. Penjelasan dengan langkah-langkah: semoga membantu maaf kalau salah dan jadikan jawaban terbaik ya |