Perang Padri merupakan perang yang terjadi di Sumatra Barat yang berlangsung dari 1803-1838. Perang Padri diawali dengan adanya konflik internal kaum padri dan kaum adat yang dilatarbelakangi oleh masih diterapkannya kebiasaan atau tradisi lama oleh kaum adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Kaum Padri berupaya untuk memperbaiki kebiasaan-kebiasaan lama tersebut. Kaum Padri dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol atau Datuk Malim Basa. Konflik internal di masyarakat Sumatra Barat tersebut dimanfaatkan oleh Pemerintah Kolonial dengan memberikan bantuan ke kaum adat untuk melawan kaum Padri. Show
Pada tahun 1825 Pemerintah Kolonial membujuk kaum adat dan kaum Padri berdamai melalui Perjanjian Masang. Tujuan sebenarnya pada saat itu Belanda mengalihkan pasukannya demi membantu menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa. Dalam perkembangannya, kaum adat menyadari bahwa pemerintah kolonial Belanda hanya memanfaatkan konflik internal tersebut untuk menguasai wilayah Sumatra bagian Barat. Pada tahun 1837, Belanda melakukan penangkapan kepada pemimpin Kaum Padri, Tuanku Imam Bonjol dan melakukan pengasingan ke Cianjur, Ambon dan Minahasa. Perang dimenangkan oleh pihak Belanda dan berakhir di Daludalu pada tahun 1838. Jadi, jawaban yang tepat adalah C.
Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), merupakan perang luhur dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), selang pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock[1] melawan penduduk pribumi Indonesia dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Berdasarkan dokumen-dokumen Belanda yang dikutip oleh pakar sejarah, perang ini menewaskan sekitar 200.000 orang penduduk pribumi. Sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000. Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara. Peperangan ini terjadi secara menyeluruh wilayah Jawa, sehingga dikata Perang Jawa. Latar belakangSetelah kekalahannya dalam Peperangan era Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesukaran ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan beragam pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melaksanakan monopoli usaha dan perdagangan kepada memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.Banyak hasil bumi diambil oleh Belanda. Kepada semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di selangnya merupakan Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkatkan dijadikan penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan diterapkan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang gampang dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton. Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang permulaannya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melalui Tegalrejo. Kiranya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang menciptakan Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan kepada mengangkat senjata melawan Belanda. Ia yang belakang sekali memerintahkan bawahannya kepada mencabut patok-patok yang melalui makam tersebut. Namun Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang sudah jatuh sekalipun. Karena kesal, Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak. Belanda yang memiliki argumen kepada menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai sudah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman ia. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran. Pangeran Diponegoro yang belakang sekali menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, kepada basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang dikata Goa Kakung, yang juga dijadikan tempat pertapaan ia. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang sangat setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur. Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang luhur yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela hingga mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga dijadikan pimpinan spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan. Jalannya perangPeta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830 Alibasah Sentot Pertempuran membuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang semenjak perang Napoleon dijadikan senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah diduduki kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain kepada menyokong kepentingan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir memainkan pekerjaan keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan kepada menyusun strategi perang. Informasi mengenai daya musuh, jarak tempuh dan waktu, situasi medan, curah hujan dijadikan berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melintasi penguasaan informasi. Serangan-serangan luhur rakyat pribumi selalu diterapkan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali kepada bekerjasama dengan dunia kepada "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melaksanakan usaha-usaha kepada gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras menciptakan gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan kepadanya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan situasi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka memainkan usaha di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pimpinan perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda. Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan beberapa Jawa timur diawasi oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini merupakan perang pertama yang melibatkan seluruh metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Adun metode perang membuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang diterapkan melintasi taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tetapi suatu perang modern yang menggunakan beragam siasat yang ketika itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melintasi insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan cara telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai daya dan kelemahan lawannya. Pada tahun 1827, Belanda melaksanakan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Modjo, pimpinan spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul yang belakang sekali Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Habis pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya diberi keleluasaan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, yang belakang sekali dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855. Habisnya Perang Jawa merupakan kesudahan perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu penduduk negara Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi beberapa orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, hingga yang belakang sekali Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro saat itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas sama sekali masuk Kraton, terutama kepada mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir. Perang Diponegoro dan Perang PadriDi sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat. Penyebab Perang Paderi merupakan perselisihan selang Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Norma budaya (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Ketika inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada habis Belanda wajib melawan adun kaum norma budaya dan kaum paderi, yang belakang bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: bagian I selang 1821-1825, dan bagian II. Kepada menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat kepada menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan beberapa luhur pasukan dari Sumatera Barat digantikan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro habis (1830), kertas kontrak gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri bagian kedua. Pada tahun 1837 pimpinan Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol habis menyerah. Berakhirlah Perang Padri. Referensi
Lihat pula
Pranala luar
edunitas.com Page 2
Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), merupakan perang luhur dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), selang pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock[1] melawan penduduk pribumi Indonesia dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Berdasarkan dokumen-dokumen Belanda yang dikutip oleh pakar sejarah, perang ini menewaskan sekitar 200.000 orang penduduk pribumi. Sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000. Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara. Peperangan ini terjadi secara menyeluruh wilayah Jawa, sehingga dikata Perang Jawa. Latar belakangSetelah kekalahannya dalam Peperangan era Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesukaran ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan beragam pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melaksanakan monopoli usaha dan perdagangan bagi memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.Banyak hasil bumi diambil oleh Belanda. Bagi semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di selangnya merupakan Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkatkan dijadikan penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilakukan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton. Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melalui Tegalrejo. Kiranya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang menciptakan Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan bagi mengangkat senjata melawan Belanda. Ia yang belakang sekali memerintahkan bawahannya bagi mencabut patok-patok yang melalui makam tersebut. Namun Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang sudah jatuh sekalipun. Karena kesal, Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak. Belanda yang memiliki argumen bagi menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai sudah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman ia. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran. Pangeran Diponegoro yang belakang sekali menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, bagi basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang dikata Goa Kakung, yang juga dijadikan tempat pertapaan ia. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur. Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang luhur yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela hingga mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga dijadikan pimpinan spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan. Jalannya perangPeta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830 Alibasah Sentot Pertempuran membuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang semenjak perang Napoleon dijadikan senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain bagi menyokong kepentingan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir melakukan pekerjaan keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan bagi menyusun strategi perang. Informasi mengenai daya musuh, jarak tempuh dan waktu, keadaan medan, curah hujan dijadikan berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melintasi penguasaan informasi. Serangan-serangan luhur rakyat pribumi selalu dilakukan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali bagi bekerjasama dengan dunia bagi "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melaksanakan usaha-usaha bagi gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras menciptakan gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan baginya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan keadaan fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka melakukan usaha di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pimpinan perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda. Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan beberapa Jawa timur diawasi oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini merupakan perang pertama yang melibatkan seluruh metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Adun metode perang membuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilakukan melintasi taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tetapi suatu perang modern yang menggunakan beragam siasat yang ketika itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melintasi insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan cara telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai daya dan kelemahan lawannya. Pada tahun 1827, Belanda melaksanakan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Modjo, pimpinan spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul yang belakang sekali Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Habis pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya diberi keleluasaan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, yang belakang sekali dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855. Habisnya Perang Jawa merupakan kesudahan perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu penduduk negara Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi beberapa orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, hingga yang belakang sekali Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro saat itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas sama sekali masuk Kraton, terutama bagi mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir. Perang Diponegoro dan Perang PadriDi sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat. Penyebab Perang Paderi merupakan perselisihan selang Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Norma budaya (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Ketika inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada habis Belanda wajib melawan adun kaum norma budaya dan kaum paderi, yang belakang bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: bagian I selang 1821-1825, dan bagian II. Bagi menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat bagi menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan beberapa luhur pasukan dari Sumatera Barat digantikan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro habis (1830), kertas kontrak gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri bagian kedua. Pada tahun 1837 pimpinan Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol habis menyerah. Berakhirlah Perang Padri. Referensi
Lihat pula
Pranala luar
edunitas.com Page 3
Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), merupakan perang luhur dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), selang pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock[1] melawan penduduk pribumi Indonesia dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Berdasarkan dokumen-dokumen Belanda yang dikutip oleh pakar sejarah, perang ini menewaskan lebih kurang 200.000 orang penduduk pribumi. Sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000. Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara. Peperangan ini terjadi secara menyeluruh wilayah Jawa, sehingga dikata Perang Jawa. Latar belakangSetelah kekalahannya dalam Peperangan era Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesukaran ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan beragam pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga memainkan monopoli usaha dan perdagangan bagi memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.Jumlah hasil bumi diambil oleh Belanda. Bagi semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di selangnya merupakan Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkatkan dijadikan penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dimainkan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang gampang dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton. Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melalui Tegalrejo. Kiranya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang menciptakan Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan bagi mengangkat senjata melawan Belanda. Ia yang belakang sekali memerintahkan bawahannya bagi mencabut patok-patok yang melalui makam tersebut. Namun Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang sudah jatuh sekalipun. Karena kesal, Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak. Belanda yang memiliki argumen bagi menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai sudah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman ia. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran. Pangeran Diponegoro yang belakang sekali menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, bagi basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang dikata Goa Kakung, yang juga dijadikan tempat pertapaan ia. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur. Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang luhur yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela hingga mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga dijadikan pimpinan spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan. Jalannya perangPeta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830 Alibasah Sentot Pertempuran membuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang semenjak perang Napoleon dijadikan senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah didiami kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain bagi menyokong kepentingan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir memainkan pekerjaan keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan bagi menyusun strategi perang. Informasi mengenai daya musuh, jarak tempuh dan waktu, keadaan medan, curah hujan dijadikan berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melintasi penguasaan informasi. Serangan-serangan luhur rakyat pribumi selalu dimainkan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali bagi bekerjasama dengan dunia bagi "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan memainkan usaha-usaha bagi gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras menciptakan gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan baginya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan keadaan fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka memainkan usaha di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pimpinan perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda. Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan bertambah dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan beberapa Jawa timur diawasi oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini merupakan perang pertama yang melibatkan seluruh metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Adun metode perang membuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang dimainkan melintasi taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tetapi suatu perang modern yang menggunakan beragam siasat yang ketika itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melintasi insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan cara telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai daya dan kelemahan lawannya. Pada tahun 1827, Belanda memainkan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Modjo, pimpinan spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul yang belakang sekali Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Habis pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya diberi keleluasaan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, yang belakang sekali dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855. Habisnya Perang Jawa merupakan kesudahan perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini jumlah memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu penduduk negara Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi beberapa orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, hingga yang belakang sekali Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas sama sekali masuk Kraton, terutama bagi mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir. Perang Diponegoro dan Perang PadriDi sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat. Penyebab Perang Paderi merupakan perselisihan selang Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Norma budaya (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Ketika inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada habis Belanda wajib melawan adun kaum norma budaya dan kaum paderi, yang belakang bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: bagian I selang 1821-1825, dan bagian II. Bagi menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat bagi menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan beberapa luhur pasukan dari Sumatera Barat digantikan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro habis (1830), kertas kontrak gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri bagian kedua. Pada tahun 1837 pimpinan Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol habis menyerah. Berakhirlah Perang Padri. Referensi
Lihat pula
Pranala luar
edunitas.com Page 4
Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), merupakan perang luhur dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), selang pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock[1] melawan penduduk pribumi Indonesia dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Berdasarkan dokumen-dokumen Belanda yang dikutip oleh pakar sejarah, perang ini menewaskan lebih kurang 200.000 orang penduduk pribumi. Sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000. Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara. Peperangan ini terjadi secara menyeluruh wilayah Jawa, sehingga dikata Perang Jawa. Latar belakangSetelah kekalahannya dalam Peperangan era Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesukaran ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan beragam pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga memainkan monopoli usaha dan perdagangan bagi memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.Jumlah hasil bumi diambil oleh Belanda. Bagi semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di selangnya merupakan Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkatkan dijadikan penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dimainkan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang gampang dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton. Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melalui Tegalrejo. Kiranya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang menciptakan Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan bagi mengangkat senjata melawan Belanda. Ia yang belakang sekali memerintahkan bawahannya bagi mencabut patok-patok yang melalui makam tersebut. Namun Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang sudah jatuh sekalipun. Karena kesal, Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak. Belanda yang memiliki argumen bagi menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai sudah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman ia. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran. Pangeran Diponegoro yang belakang sekali menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, bagi basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang dikata Goa Kakung, yang juga dijadikan tempat pertapaan ia. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur. Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang luhur yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela hingga mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga dijadikan pimpinan spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan. Jalannya perangPeta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830 Alibasah Sentot Pertempuran membuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang semenjak perang Napoleon dijadikan senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah didiami kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain bagi menyokong kepentingan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir memainkan pekerjaan keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan bagi menyusun strategi perang. Informasi mengenai daya musuh, jarak tempuh dan waktu, keadaan medan, curah hujan dijadikan berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melintasi penguasaan informasi. Serangan-serangan luhur rakyat pribumi selalu dimainkan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali bagi bekerjasama dengan dunia bagi "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan memainkan usaha-usaha bagi gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras menciptakan gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan baginya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan keadaan fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka memainkan usaha di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pimpinan perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda. Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan bertambah dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan beberapa Jawa timur diawasi oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini merupakan perang pertama yang melibatkan seluruh metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Adun metode perang membuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang dimainkan melintasi taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tetapi suatu perang modern yang menggunakan beragam siasat yang ketika itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melintasi insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan cara telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai daya dan kelemahan lawannya. Pada tahun 1827, Belanda memainkan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Modjo, pimpinan spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul yang belakang sekali Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Habis pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya diberi keleluasaan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, yang belakang sekali dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855. Habisnya Perang Jawa merupakan kesudahan perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini jumlah memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu penduduk negara Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi beberapa orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, hingga yang belakang sekali Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas sama sekali masuk Kraton, terutama bagi mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir. Perang Diponegoro dan Perang PadriDi sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat. Penyebab Perang Paderi merupakan perselisihan selang Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Norma budaya (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Ketika inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada habis Belanda wajib melawan adun kaum norma budaya dan kaum paderi, yang belakang bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: bagian I selang 1821-1825, dan bagian II. Bagi menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat bagi menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan beberapa luhur pasukan dari Sumatera Barat digantikan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro habis (1830), kertas kontrak gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri bagian kedua. Pada tahun 1837 pimpinan Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol habis menyerah. Berakhirlah Perang Padri. Referensi
Lihat pula
Pranala luar
edunitas.com Page 5
Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), merupakan perang luhur dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), selang pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock[1] melawan penduduk pribumi Indonesia dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Berdasarkan dokumen-dokumen Belanda yang dikutip oleh pakar sejarah, perang ini menewaskan sekitar 200.000 orang penduduk pribumi. Sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000. Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara. Peperangan ini terjadi secara menyeluruh wilayah Jawa, sehingga dikata Perang Jawa. Latar belakangSetelah kekalahannya dalam Peperangan era Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesukaran ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan beragam pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melaksanakan monopoli usaha dan perdagangan bagi memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.Banyak hasil bumi diambil oleh Belanda. Bagi semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di selangnya merupakan Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkatkan dijadikan penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilakukan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton. Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melalui Tegalrejo. Kiranya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang menciptakan Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan bagi mengangkat senjata melawan Belanda. Ia yang belakang sekali memerintahkan bawahannya bagi mencabut patok-patok yang melalui makam tersebut. Namun Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang sudah jatuh sekalipun. Karena kesal, Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak. Belanda yang memiliki argumen bagi menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai sudah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman ia. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran. Pangeran Diponegoro yang belakang sekali menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, bagi basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang dikata Goa Kakung, yang juga dijadikan tempat pertapaan ia. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur. Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang luhur yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela hingga mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga dijadikan pimpinan spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan. Jalannya perangPeta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830 Alibasah Sentot Pertempuran membuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang semenjak perang Napoleon dijadikan senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain bagi menyokong kepentingan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir melakukan pekerjaan keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan bagi menyusun strategi perang. Informasi mengenai daya musuh, jarak tempuh dan waktu, keadaan medan, curah hujan dijadikan berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melintasi penguasaan informasi. Serangan-serangan luhur rakyat pribumi selalu dilakukan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali bagi bekerjasama dengan dunia bagi "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melaksanakan usaha-usaha bagi gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras menciptakan gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan baginya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan keadaan fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka melakukan usaha di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pimpinan perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda. Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan beberapa Jawa timur diawasi oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini merupakan perang pertama yang melibatkan seluruh metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Adun metode perang membuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilakukan melintasi taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tetapi suatu perang modern yang menggunakan beragam siasat yang ketika itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melintasi insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan cara telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai daya dan kelemahan lawannya. Pada tahun 1827, Belanda melaksanakan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Modjo, pimpinan spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul yang belakang sekali Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Habis pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya diberi keleluasaan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, yang belakang sekali dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855. Habisnya Perang Jawa merupakan kesudahan perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu penduduk negara Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi beberapa orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, hingga yang belakang sekali Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro saat itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas sama sekali masuk Kraton, terutama bagi mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir. Perang Diponegoro dan Perang PadriDi sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat. Penyebab Perang Paderi merupakan perselisihan selang Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Norma budaya (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Ketika inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada habis Belanda wajib melawan adun kaum norma budaya dan kaum paderi, yang belakang bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: bagian I selang 1821-1825, dan bagian II. Bagi menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat bagi menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan beberapa luhur pasukan dari Sumatera Barat digantikan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro habis (1830), kertas kontrak gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri bagian kedua. Pada tahun 1837 pimpinan Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol habis menyerah. Berakhirlah Perang Padri. Referensi
Lihat pula
Pranala luar
edunitas.com Page 6
Tokoh pilihanNeil Armstrong, 1969 Neil Alden Armstrong (kelahiran di Ohio, Amerika Serikat, 5 Agustus 1930 – meninggal 25 Agustus 2012 pada umur 82 tahun) adalah seorang astronot, pilot uji coba, teknisi penerbangan, profesor universitas, dan Penerbang Laut Amerika Serikat. Beliau merupakan orang pertama yang berlanjut di Bulan. Sebelum menjadi astronot, Armstrong adalah perwira Tingkatan Laut Amerika Serikat dan pernah berdinas di Perang Korea. Pascaperang, beliau menjadi pilot uji coba di Stasiun Penerbangan Kecepatan Tinggi Komite Penasihat Penerbangan Nasional, sekarang Pusat Penelitian Penerbangan Dryden, tempat beliau mencatatkan nyaris 900 penerbangan. Beliau lulus dari Universitas Purdue dan menyelesaikan studi sarjananya di Universitas California Selatan. Pada tanggal 25 Agustus 2012, Armstrong berpulang di Cincinnati, Ohio, pada usia 82 tahun dampak komplikasi dari penyumbatan arteri koroner. Selengkapnya.... KategoriPage 7
edunitas.com Page 8
edunitas.com Page 9
Tokoh pilihanNeil Armstrong, 1969 Neil Alden Armstrong (kelahiran di Ohio, Amerika Serikat, 5 Agustus 1930 – meninggal 25 Agustus 2012 pada umur 82 tahun) adalah seorang astronot, pilot uji coba, teknisi penerbangan, profesor universitas, dan Penerbang Laut Amerika Serikat. Beliau merupakan orang pertama yang berlanjut di Bulan. Sebelum menjadi astronot, Armstrong adalah perwira Tingkatan Laut Amerika Serikat dan pernah berdinas di Perang Korea. Pascaperang, beliau menjadi pilot uji coba di Stasiun Penerbangan Kecepatan Tinggi Komite Penasihat Penerbangan Nasional, sekarang Pusat Penelitian Penerbangan Dryden, tempat beliau mencatatkan nyaris 900 penerbangan. Beliau lulus dari Universitas Purdue dan menyelesaikan studi sarjananya di Universitas California Selatan. Pada tanggal 25 Agustus 2012, Armstrong berpulang di Cincinnati, Ohio, pada usia 82 tahun dampak komplikasi dari penyumbatan arteri koroner. Selengkapnya.... KategoriPage 10
edunitas.com Page 11
edunitas.com Page 12
edunitas.com Page 13[×] Artikel pilihan bertopik Indonesia [+] Kategori menurut provinsi di Indonesia [+] Kategori menurut pulau di Indonesia [+] Daftar bertopik Indonesia [+] Kontruksi dan susunan di Indonesia [+] Benda Cagar Aturan sejak dahulu kala istiadat di Indonesia [+] Aturan sejak dahulu kala istiadat Indonesia [×] Hari libur di Indonesia [+] Ilmu dan teknologi di Indonesia [+] Kesehatan di Indonesia [+] Komunikasi di Indonesia [+] Bagian yang terkait hidup di Indonesia [+] Olahraga di Indonesia [+] Organisasi di Indonesia [+] Pariwisata di Indonesia [+] Pemerintahan Indonesia [+] Pendidikan di Indonesia [+] Suku bangsa di Indonesia [+] Transportasi di Indonesia [+] Rintisan bertopik musik dari Indonesia [+] Rintisan bertopik Indonesia Page 14
edunitas.com Page 15Tags (tagged): portal, jabodetabek, unkris, sekitarnya kawasan, mencakup wilayah administrasi, suatu miniatur, memuat, kelengkapan indonesia, raya, bogor bandar, udara, internasional soekarno hatta, kabupaten bogor, kemudian, mendapat status kota, center of, studies, portal utama ensiklopedia, dunia agama, astronomi, bahasa portal Page 16
edunitas.com Page 17
edunitas.com Page 18
edunitas.com Page 19
edunitas.com Page 20Taman Mini Indonesia Indah (TMII) merupakan suatu kawasan wisata budaya di Jakarta yang menggambarkan wilayah Indonesia yang akbar dalam susunannya yang kecil. Gagasan pembangunan suatu miniatur yang berisi kelengkapan Indonesia dengan segala isinya ini dicetuskan oleh Ibu Negara, Siti Hartinah, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibu Tien Soeharto. Menempuh miniatur ini diharapkan dapat membangkitkan rasa bangga dan rasa cinta tanah cairan pada seluruh bangsa Indonesia. Maka dimulailah suatu proyek yang dikata Proyek Miniatur Indonesia "Indonesia Indah", yang dilaksanakan oleh Yayasan Harapan Kita. (Selengkapnya..... ) Wisma 46 adalah nama sebuah gedung setinggi 262 meter di Jakarta, Indonesia. Gedung ini merupakan gedung tertinggi di Jakarta dan Indonesia ketika ini. Foto oleh: Andri.h.Page 21Taman Mini Indonesia Indah (TMII) merupakan suatu kawasan wisata budaya di Jakarta yang menggambarkan wilayah Indonesia yang akbar dalam bangunnya yang kecil. Gagasan pembangunan suatu miniatur yang memuat kelengkapan Indonesia dengan segala isinya ini dicetuskan oleh Ibu Negara, Siti Hartinah, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibu Tien Soeharto. Menempuh miniatur ini diharapkan dapat membangkitkan rasa bangga dan rasa cinta tanah air pada seluruh bangsa Indonesia. Maka dimulailah suatu proyek yang dikata Proyek Miniatur Indonesia "Indonesia Indah", yang dilaksanakan oleh Yayasan Harapan Kita. (Selengkapnya..... ) Wisma 46 adalah nama sebuah gedung setinggi 262 meter di Jakarta, Indonesia. Gedung ini merupakan gedung tertinggi di Jakarta dan Indonesia ketika ini. Foto oleh: Andri.h.Page 22Taman Mini Indonesia Indah (TMII) merupakan suatu kawasan wisata budaya di Jakarta yang menggambarkan wilayah Indonesia yang akbar dalam bangunnya yang kecil. Gagasan pembangunan suatu miniatur yang memuat kelengkapan Indonesia dengan segala isinya ini dicetuskan oleh Ibu Negara, Siti Hartinah, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibu Tien Soeharto. Menempuh miniatur ini diharapkan dapat membangkitkan rasa bangga dan rasa cinta tanah air pada seluruh bangsa Indonesia. Maka dimulailah suatu proyek yang dikata Proyek Miniatur Indonesia "Indonesia Indah", yang dilaksanakan oleh Yayasan Harapan Kita. (Selengkapnya..... ) Wisma 46 adalah nama sebuah gedung setinggi 262 meter di Jakarta, Indonesia. Gedung ini merupakan gedung tertinggi di Jakarta dan Indonesia ketika ini. Foto oleh: Andri.h.Page 23Taman Mini Indonesia Indah (TMII) merupakan suatu kawasan wisata budaya di Jakarta yang menggambarkan wilayah Indonesia yang akbar dalam susunannya yang kecil. Gagasan pembangunan suatu miniatur yang berisi kelengkapan Indonesia dengan segala isinya ini dicetuskan oleh Ibu Negara, Siti Hartinah, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibu Tien Soeharto. Menempuh miniatur ini diharapkan dapat membangkitkan rasa bangga dan rasa cinta tanah cairan pada seluruh bangsa Indonesia. Maka dimulailah suatu proyek yang dikata Proyek Miniatur Indonesia "Indonesia Indah", yang dilaksanakan oleh Yayasan Harapan Kita. (Selengkapnya..... ) Wisma 46 adalah nama sebuah gedung setinggi 262 meter di Jakarta, Indonesia. Gedung ini merupakan gedung tertinggi di Jakarta dan Indonesia ketika ini. Foto oleh: Andri.h.Page 24
edunitas.com Page 25
edunitas.com Page 26
edunitas.com |