Mengapa kita harus bersikap positif terhadap bahasa indonesia dan apa konsekuensinya?

SIKAP BAHASA DAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

DI PERGURUAN TINGGI

Umar Mansyur

Fakultas Sastra, Universitas Muslim Indonesia

Abstrak

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 pasal 25 disebutkan Bahasa Indonesia

merupakan jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa,

serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Maka dari itu, sebagai pemakai

bahasa Indonesia selayaknya memiliki rasa kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia.

Namun di lingkup perguruan tinggi, sikap berbahasa yang positif belum sepenuhnya dimiliki

oleh sebagian besar mahasiswa. Kesadaran rasa setia, bangga memiliki, dan memelihara

bahasa Indonesia tampaknya masih kurang. Hal ini disebabkan mahasiswa cenderung

bersikap lebih percaya diri ketika menggunakan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa

negeri sendiri. Dalam konteks pembelajaran Bahasa Indonesia, tugas tersebut malah hanya

dibebankan kepada para guru dan dosen Bahasa Indonesia. Paradigma seperti ini semestinya

dapat diubah karena membiasakan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar

akan menuai hasil yang maksimal dalam peningkatan prestasi akademik mahasiswa.

Pemahaman bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan

benar diperlukan bagi mahasiwa agar mempunyai sikap yang positif dalam menggunakan

bahasa Indonesia. Sikap berbahasa Indonesia yang positif dapat ditunjukkan dalam bentuk

kesetiaan berbahasa, kebanggaan berbahasa, dan kesadaran adanya norma bahasa.

Kata Kunci: Sikap bahasa mahasiswa, pembelajaran bahasa Indonesia

PENDAHULUAN

Bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa

resmi negara harus terus dibina dan dikembangkan agar menjadi bahasa yang

modern, yakni bahasa yang sanggup mengemban fungsinya sebagai sarana

komunikasi dalam berbagai segi kehidupan. Dalam usaha membina dan

mengembangkan bahasa Indonesia tersebut, pemerintah menjadikan bahasa

Indonesia sebagai salah satu bidang studi wajib. Tujuan pembinaan bahasa Indonesia

melalui pendidikan formal tersebut di samping bermaksud agar mahasiswa memiliki

keterampilan berbahasa lisan maupun tulisan dengan baik, juga diharapkan memiliki

jati diri dan kepribadian yang yang luhur.

Sebagai pemakai bahasa Indonesia selayaknya memiliki rasa kebanggaan

menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Setiap warga negara

Indonesia juga sepatutnya memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia dan

berusaha agar selalu cermat dan teratur menggunakannya dalam kehidupan sehari-

hari. Paling tidak menanamkan budaya malu jika tidak mampu menggunakan bahasa

Disajikan pada 1st International Conference of Asosiasi Linguistik Terapan Indonesia (ICon ALTI)

Universitas Muslim Indonesia, 11 Juli 2018 di Maxone Hotel Makassar

Indonesia secara baik dan benar. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah bahasa

Indonesia dicintai dan dijaga.

Namun demikian, di lingkup perguruan tinggi misalnya, sikap berbahasa

yang positif belum sepenuhnya dimiliki sebagian besar mahasiswa. Kesadaran rasa

setia, bangga memiliki, dan memelihara bahasa Indonesia tampaknya masih kurang.

Hal ini disebabkan mahasiswa cenderung bersikap lebih percaya diri ketika

menggunakan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa negeri sendiri. Sikap seperti

ini tercermin dalam kehidupannya sehari-hari, baik dalam situasi formal maupun

nonformal. Jika merujuk pada pernyataan bahwa bahasa menunjukkan jati diri

bangsa, maka menurut Hikmat & Solihati (2013) hal ini menjadi sangat ironis karena

di kalangan generasi muda saat ini, jati diri bangsanya mulai keropos dan kelak bisa

saja tergerus oleh perkembangan zaman.

Selain itu, pembelajara Bahasa Indonesia di perguruan tinggi terkadang

dipandang remeh. Anggapan tersebut muncul karena bahasa Indonesia sudah

digunakan sebagai bahasa sehari-hari dalam berinteraksi. Pun bahasa Indonesia juga

telah diajarkan sejak berada di bangku sekolah dasar. Maka tak heran jika mata

kuliah Bahasa Indonesia dianggap sudah tidak perlu lagi diajarkan. Padahal kedua

hal tersebut konteksnya sangat berbeda.

Paradigma di atas tentu saja tidak benar. Bahasa Indonesia yang digunakan

sehari-hari berbeda dengan materi yang diberikan dalam pelajaran Bahasa Indonesia.

Jika sehari-hari seseorang dapat berbicara dengan sangat lancar kepada lawan

bicaranya, itu disebabkan ragam bahasa yang digunakan merupakan ragam bahasa

Indonesia tidak resmi. Namun, akan jauh berbeda jika seseorang tersebut

menggunakan ragam bahasa Indonesia resmi. Dalam penggunaan sehari-hari, bahasa

Indonesia cenderung menggunakan ragam nonformal atau tidak resmi yang sudah

mengalami percampuran dengan bahasa daerah pemakai bahasa. Sementara, dalam

pembelajaran bahasa Indonesia, hal tersebut tidak dibenarkan karena pembelajaran

diarahkan pada keterampilan berbahasa Indonesia secara formal atau resmi.

Berbahasa Indonesia secara baik dan benar memiliki konsekuensi logis

terkait terhadap pemakaiannya sesuai dengan situasi dan konteks pembicaraan. Pada

situasi formal, menggunakan bahasa Indonesia yang benar menjadi prioritas utama

dan pemakaiannya sering menggunakan bahasa baku. Namun, terkadang yang

menjadi permalasahan menurut Mansyur (2016) adalah munculnya gejala bahasa,

seperi interferensi bahasa gaul, yang tanpa disadari turut dipakai dalam berbahasa

Indonesia ragam resmi. Hal ini mengakibatkan bahasa Indonesia yang digunakan

menjadi tidak baik. Oleh karena itu, pemahaman bahasa Indonesia sesuai dengan

kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar diperlukan mahasiwa agar

mempunyai sikap yang positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap berbahasa Indonesia

yang positif dapat ditunjukkan dalam bentuk kesetiaan berbahasa, kebanggaan

berbahasa, dan kesadaran adanya norma bahasa yang berlaku.

SIKAP BAHASA

Sikap dalam bahasa Indonesia (KBBI, 2016) diartikan sebagai perbuatan dan

sebagainya yang berdasarkan pada pendirian atau keyakinan. Menurut Rokeach

(dalam Sumarsono, 2002) sikap bukan sesuatu yang bersifat sesaat, melainkan

sesuatu yang berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama. Sikap adalah

jaringan keyakinan (kognisi) dan nilai yang memberikan kepada seseorang untuk

berbuat atau bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara tertentu yang disenanginya.

Selain itu, Lambert (dalam Chaer, 2010) menjelaskan bahwa sikap terdiri atas

tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.

Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan

gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses

berpikir. Sementara itu, komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik, suka

atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu keadaan. Adapun komponen konatif

menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaktif

terhadap suatu keadaan.

Selanjutnya, Anderson (dalam Chaer, 2010) membagi sikap atas dua macam,

yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap nonkebahasaan, seperti sikap politik, sikap

sosial, sikap estetis, dan sikap keagamaan. Kedua jenis sikap ini dapat menyangkut

keyakian atau kognisi mengenai bahasa.

Sikap kebahasaan merupakan hal yang penting dalam kaitanya dengan suatu

bahasa karena sikap bahasa dapat melangsungkan hidup suatu bahasa. Pada dasarnya

bahasa tidaklah bersifat statis, tetapi dinamis. Kedinamisan bahasa disebabkan oleh

kedinamisan masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat bersifat dinamis dalam arti

selalu mengalami perubahan. Perubahan itu tampak dari sikap dan hal-hal yang

berhubungan dengan kepentingan masyarakat itu sendiri. Bahasa sebagai tingkah

laku verbal merupakan salah satu aspek dari keseluruhan tingkah laku manusia yang

sedang berkomunikasi.

Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan

proses terbentuknya sikap pada umumnya. Senada dengan hal tersebut, Kridalaksana

(2001) menyatakan bahawa sikap bahasa merupakan posisi mental atau perasaan

terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain. Sebagaimana halnya dengan sikap,

maka sikap bahasa juga merupakan peristiwa kejiwaan, sehingga tidak dapat diamati

secara langsung. Sikap bahasa dapat diamati melalui perilaku berbahasa atau perilaku

tutur. Namun, dalam hal ini juga berlaku ketentuan bahwa tidak setiap perilaku tutur

mencerminkan sikap bahasa. Demikian pula sebaliknya, sikap bahasa tidak

selamanya tercermin dalam perilaku tutur.

Selanjutnya, sikap bahasa menunjukkan senang atau tidaknya seorang penutur

bahasa terhadap suatu bahasa. Sikap terhadap sesuatu biasanya akan ada yang positif,

jika dinilai baik atau disukai, dan akan negatif jika dinilai tidak baik atau tidak

disukai. Begitupu juga dengan sikap terhadap bahasa. Sejalan dengan hal tersebut,

Anderson (dalam Chaer, 2010) mengemukakan bahwa sikap bahasa adalah tata

keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa,

mengenai objek bahasa, yang memberi kecenderungan kepada seeorang untuk

bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya.

SIKAP TERHADAP BAHASA INDONESIA

Sikap terhadap bahasa Indonesia adalah anggapan atau pandangan seseorang

terhadap bahasa Indonesia, apakah senang atau tidak terhadap bahasa tersebut,

sehingga sikap bahasa tersebut berpengaruh terhadap pemilihan bahasa. Sikap

terhadap bahasa Indonesia juga dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yakni (1)

sikap positif dan (2) sikap negatif.

Sikap positif bahasa Indonesia adalah penggunaan bahasa Indonesia sesuai

dengan kaidah bahasa dan sesuai dengan situasi kebahasaan. Sikap bahasa Indonesia

yang positif hanya akan tercermin apabila si pemakai mempunyai rasa setia untuk

selalu memelihara dan mempertahankan bahasanya sebagai sarana untuk

berkomunikasi. Sikap positif terdapat pada seseorang yang mempunyai rasa bangga

terhadap bahasanya sebagai penanda jati diri. Seseorang yang mempunyai sikap

positif terhadap bahasa Indonesia cenderung akan menerima bahasanya dengan

segala kelebihan dan kekurangan secara terbuka, tanpa merasa kurang percaya diri

jika dibandingkan dengan bahasa lain. Sebaliknya, ia justru akan merasa bangga

karena merasa memiliki bahasa sendiri.

Menurut Pateda (1987), seorang pemakai bahasa dikatakan bersikap positif

apabila derajat kecenderungannya bertindak dengan meningkat terhadap bahasa

bahasanya. Perilakunya mencerminkan rasa tanggung jawab, rasa memiliki, sikap

menghormati, dan berkemauan untuk membina dan mengembangkan bahasanya

tersebut. Rasa tanggung jawab seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu

bahasa ditandai beberapa hal sebagai berikut:

1. Selalu berhati-hati menggunakan bahasa tersebut.

2. Tidak merasa senang melihat orang memakai bahasanya secara

serampangan.

3. Memperingatkan dan mengoreksi pemakai bahasa lain kalau ternyata

membuat kekeliruan.

4. Perhatiannya tertarik kalau orang menjelaskan tentang hal-hal yang

berhubungan dengan bahasa.

5. Berusaha menambah pengetahuan tentang bahasa tersebut.

6. Bertanya kepada ahlinya kalau menghadapi persoalan bahasa.

Sementara itu, sikap negatif terhadap bahasa Indonesia akan menyebabkan

orang kurang peduli terhadap usaha pembinaan dan pelestariaan bahasa Indonesia.

Mereka menjadi tidak bangga memakai bahasa sendiri sebagai penanda jati diri,

bahkan merasa malu memakai bahasa Indonesia. Selain itu, sikap negatif terhadap

bahasa terbentuk apabila orang yang bersangkutan sudah mengetahui atau sudah

diberi tahu bahwa ia telah melakukan kesalahan, tetapi enggan untuk

memperbaikinya. Orang yang terampil berbahasa dapat menunjukkan sikap positif

jika ia belajar dari kesalahan, memperhatikan saran, petunjuk, atau pendapat orang

ahli, serta mengupayakan perbaikan pemakaian bahasanya.

Beberapa bentuk sikap negatif yang masih terjadi di tengah-tengah

masyarakat Indonesia antara lain:

1. Bangga memperlihatkan kemahirannya berbahasa Inggris, meskipun

penguasaan bahasa Indonesianya masih kurang.

2. Merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain karena telah menguasai

bahasa asing dengan fasih, sekalipun penguasaan bahasa Indonesianya

kurang sempurna.

3. Merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing, tetapi tidak pernah

merasa malu apabila tidak menguasai bahasa Indonesia.

4. Menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau mempelajarinya

karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia dengan baik.

Adanya sikap negatif terhadap bahasa Indonesia dapat diubah menjadi sikap

bahasa Indonesia yang positif. Hal ini selaras yang dikemukakan Halim (dalam

Chaer, 2010) bahwa cara yang dapat ditempuh untuk mengubah sikap negatif itu

menjadi sikap bahasa yang positif adalah dengan pendidikan bahasa yang

dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma bahasa, disamping norma-

norma sosial dan budaya yang ada di dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan.

Namun, keberhasilan tersebut bergantung pada motivasi belajar yang banyak

ditentukan oleh sikap terhadap bahasa yang sedang dipelajarinya.

Sikap berbahasa Indonesia mahasiswa dirumuskan sesuai dengan rumusan

mengenai sikap bahasa menurut Garvin & Mathiot (dalam Chaer, 2010), yang

merupakan ciri-ciri sikap yang positif terhadap bahasa. Ciri-ciri sikap bahasa tersebut

dirumuskan sebagai berikut:

1. Kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu

bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya

pengaruh bahasa lain.

2. Kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang

mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang

identitas dan kesatuan masyarakat.

3. Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang

mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun

merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan

yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).

TUJUAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Dalam dunia pendidikan, khususnya pembelajaran bahasa Indonesia,

pelaksanaan pembelajaran berbahasa dikemas ke dalam empat aspek, yakni

keterampilan menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Keempat aspek

keterampilan berbahasa tersebut telah menjadi landasan pembelajaran mulai tingkat

sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Lebih lanjut, pembelajaran bahasa di

perguruan tinggi diarahkan untuk meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam

berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Kemampuan yang dikembangkan

antara lain dari segi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan bahasa Indonesia itu

sendiri. Untuk itu, menurut Mansyur (2016), setiap pengajar bahasa Indonesia

senantiasa terus berupaya meningkatkan keberhasilannya dalam pembelajarannya,

seperti melakukan inovasi-inovasi pembelajaran yang efektif, inovatif, aktif, kreatif,

dan menyenangkan.

Mata kuliah Bahasa Indonesia memiliki visi menjadikan bahasa Indonesia

sebagai salah satu instrumen pengembangan kepribadian mahasiswa menuju

terbentuknya insan terpelajar yang mahir bekomunikasi dalam bahasa Indonesia.

Adapun misi mata kuliah Bahasa Indonesia yaitu tercapainya kemahiran mahasiswa

dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk menguasai, menerapkan, dan

mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, dengan penuh rasa tanggung

jawab sebagai warga negara yang berkepribadian mulia.

Tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi tentunya bukan

hanya menjadikan mahasiswa lulus dalam ujian mata kuliah Bahasa Indonesia,

melainkan mereka harus mampu terampil berkomunikasi menggunakan bahasa

Indonesia secara baik dan benar. Mereka dibimbing untuk menguasai aspek-aspek

keterampilan berbahasa agar dapat menambah pengetahuan dan pengalamannya

dalam berkomunikasi sehari-hari.

Selain itu, mahasiswa diajarkan untuk lebih memahami pada kegiatan-

kegiatan penulisan karya ilmiah dan pengucapan dalam berbahasa Indonesia yang

baik dan benar. Pentingnya mempelajari bahasa Indonesia dalam hubungannya

dengan ilmu pengetahuan yaitu karena mahasiswa sebagai calon sarjana dipersiapkan

tidak hanya untuk menjadi konsumen ilmu pengetahuan, melainkan juga sebagai

produsen dalam bidang ilmiah.

Alasan pentingnya lainnya bahasa Indonesia perlu diajarkan di perguruan

tinggi karena pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan untuk menanamkan rasa cinta

dan bangga menggunakan bahasa Indonesia. Setiap jurusan di perguruan tinggi

menjadikan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah pengembangan kepribadian yang

wajib, karena di perguruan tinggi mahasiswa sering menyusun karya ilmiah, seperti

dalam pembuatan makalah, laporan praktikum, makalah, skripsi, dan karya ilmiah

lainnya. Dalam penulisan karya ilmiah tersebut tentunya mahasiswa dapat

berpedoman pada materi-materi yang telah diajarkan dalam mata kuliah ini.

Tujuan mata kuliah Bahasa Indonesia yang diajarkan di perguruan tinggi

antara lain sebagai berikut:

1. Menumbuhkan kesetiaan terhadap bahasa Indonesia yang diharapkan

dapat mendorong mahasiswa untuk senantiasa memelihara dan mencintai

bahasa Indonesia.

2. Menumbuhkan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia yang diharapkan

mampu mendorong mahasiswa agar selalu mengutamakan bahasanya

sebagai lambang identitas bangsa.

3. Menumbuhkan kesadaran adanya norma bahasa Indonesia yang

diharapkan dapat mendorong mahasiswa agar menggunakan bahasa

Indonesia sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku.

KESIMPULAN

Sikap bahasa merupakan hal yang penting dalam kaitanya dengan suatu bahasa

karena sikap bahasa dapat melangsungkan hidup suatu bahasa. Pada dasarnya bahasa

tidaklah bersifat statis, tetapi dinamis. Kedinamisan bahasa disebabkan oleh

kedinamisan masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat bersifat dinamis dalam arti

selalu mengalami perubahan. Perubahan itu tampak dari sikap dan hal-hal yang

berhubungan dengan kepentingan masyarakat itu sendiri. Bahasa sebagai tingkah

laku verbal merupakan salah satu aspek dari keseluruhan tingkah laku manusia yang

sedang berkomunikasi. Pemahaman bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah

berbahasa Indonesia yang baik dan benar diperlukan bagi mahasiwa agar mempunyai

sikap yang positif dalam menggunakan bahasa Indonesia. Sikap berbahasa Indonesia

yang positif dapat ditunjukkan dalam bentuk kesetiaan berbahasa, kebanggaan

berbahasa, dan kesadaran adanya norma bahasa yang berlaku.

Tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi tentunya bukan

hanya menjadikan mahasiswa lulus dalam ujian mata kuliah Bahasa Indonesia,

melainkan mereka harus mampu terampil berkomunikasi menggunakan bahasa

Indonesia secara baik dan benar. Mereka dibimbing untuk menguasai aspek-aspek

keterampilan berbahasa agar dapat menambah pengetahuan dan pengalamannya

dalam berkomunikasi sehari-hari. Pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi

diarahkan untuk meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam berkomunikasi, baik

secara lisan maupun tulisan. Kemampuan yang dikembangkan antara lain dari segi

kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan bahasa Indonesia itu sendiri.

DAFTAR RUJUKAN

Chaer, A. & Agustina, L. (2010). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT

Rineka Cipta.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. (2013). Materi Kuliah Bahasa Indonesia.

Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Garvin, P.L. & Mathiot, M. (1968). The Urbanization of the Guarani Language: A

Problem in Language and Culture. In Readings in the Sociology of Language

(pp. 365374).

Hikmat, A. & Solihati, N. (2013). Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa S1 &

Pascasarjana, Guru, Dosen, Praktisi, dan Umum. Jakarta: Grasindo.

Kemendikbud. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring. Jakarta: Badan

Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Kridalaksana, H. (2001). Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Mansyur, U. (2016). Inovasi Pembelajaran Bahasa Indonesia melalui Pendekatan

Proses. Retorika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 9(2), 158-163.

Mansyur, U. (2016). Bahasa Indonesia dalam Belitan Media Sosial: Dari Cabe-

Cabean Hingga Tafsir Al-Maidah 51. http://doi.org/10.17605/OSF.IO/7VPJH

Sumarsono & Partana, Paina. (2002). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang

Negara, serta Lagu Kebangsaan.