Mengapa kapak persegi disebut sebagai cangkul dan apa pula fungsinya

Pada zaman neolitikum yang juga dapat dikatakan sebagai zaman batu muda. Pada zaman ini telah terjadi “revolusi kebudayaan”, yaitu terjadinya perubahan pola hidup manusia. Pola hidup food gathering digantikan dengan pola food producing. Hal ini seiring dengan terjadinya perubahan jenis pendukung kebudayaanya.

Pada zaman ini telah hidup jenis Homo sapiens sebagai pendukung kebudayaan zaman batu baru. Mereka mulai mengenal bercocok tanam dan beternak sebagai proses untuk menghasilkan atau memproduksi bahan makanan. Hidup bermasyarakat dengan bergotong royong mulai dikembangkan.

Mengapa kapak persegi disebut sebagai cangkul dan apa pula fungsinya

Hasil kebudayaan yang terkenal di zaman neolitikum ini secara garis besar dibagi menjadi dua tahap perkembangan.

Kebudayaan kapak persegi

Nama kapak persegi berasal dari penyebutan oleh von Heine Gelderen. Penamaan ini dikaitkan dengan bentuk alat tersebut. Kapak persegi ini berbentuk persegi panjang dan ada juga yang berbentuk trapesium. Ukuran alat ini juga bermacam-macam.

Kapak persegi yang besar sering disebut dengan beliung atau pacul (cangkul), bahkan sudah ada yang diberi tangkai sehingga persis seperti cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil dinamakan tarah atau tatah. Penyebaran alat-alat ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian barat, seperti Sumatra, Jawa dan Bali.

Diperkirakan sentra-sentra teknologi kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa Barat), kemudian Pacitan-Madiun, dan di Lereng Gunung Ijen (Jawa Timur). Yang menarik, di Desa Pasirkuda dekat Bogor juga ditemukan batu asahan. Kapak persegi ini cocok sebagai alat pertanian.

Kebudayaan Kapak Lonjong

Mengapa kapak persegi disebut sebagai cangkul dan apa pula fungsinya

Nama kapak lonjong ini disesuaikan dengan bentuk penampang alat ini yang berbentuk lonjong. Bentuk keseluruhan alat ini lonjong seperti bulat telur. Pada ujung yang lancip ditempatkan tangkai dan pada bagian ujung yang lain diasah sehingga tajam.

Kapak yang ukuran besar sering disebut walzenbeil dan yang kecil dinamakan kleinbeil. Penyebaran jenis kapak lonjong ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian timur, misalnya di daerah Papua, Seram, dan Minahasa. Pada zaman neolitikum, di samping berkembangnya jenis kapak batu juga ditemukan barang-barang perhiasan, seperti gelang dari batu, juga alat-alat gerabah atau tembikar.

Perkembangan Zaman Logam

Mengapa kapak persegi disebut sebagai cangkul dan apa pula fungsinya

Mengakhiri zaman batu di masa neolitikum mulailah zaman logam. Sebagai bentuk masa perundagian. Zaman logam di Kepulauan Indonesia ini agak berbeda bila dibandingkan dengan yang ada di Eropa. Di Eropa zaman logam ini mengalami tiga fase, zaman tembaga, perunggu dan besi. Di Kepulauan Indonesia hanya mengalami zaman perunggu dan besi.

Zaman perunggu merupakan fase yang sangat penting dalam sejarah. Beberapa contoh benda-benda kebudayaan perunggu itu antara lain: kapak corong, nekara, moko, berbagai barang perhiasan. Beberapa benda hasil kebudayaan zaman logam ini juga terkait dengan praktik keagamaan misalnya nekara.

Baca Juga: Ki Hajar Dewantara – Biografi, Pendidikan dan Semboyan

Ciri-ciri Zaman Batu Neolitikum (Zaman Batu Muda)

Jejak Puisi

Zaman neolitikum (zaman batu baru) kehidupan masyarakatnya semakin maju. Manusia tidak hanya sudah hidup secara menetap tetapi juga telah bercocok tanam. Masa ini penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Berbagai macam tumbuh-tumbuhan dan hewan mulai dipelihara dan dijinakkan. Hutan belukar mulai dikembangkan, untuk membuat ladang-ladang. Dalam kehidupan bercocok tanam ini, manusia sudah menguasai lingkungan alam beserta isinya.

Masyarakat pada masa bercocok tanam ini hidup menetap dalam suatu perkampungan yang dibangun secara tidak beraturan. Pada awalnya rumah mereka masih kecil-kecil berbentuk kebulat-bulatan dengan atap yang dibuat dari daun-daunan. Rumah ini diduga merupakan corak rumah paling tua di Indonesia yang sampai sekarang masih dapat ditemukan di Timor, Kalimantan Barat, Nikobar, dan Andaman. Kemudian barulah dibangun bentuk-bentuk yang lebih besar dengan menggunakan tiang. Rumah ini berbentuk persegi panjang dan dapat menampung beberapa keluarga inti. Rumah-rumah tersebut mungkin dibangun berdekatan dengan ladang-ladang mereka atau agak jauh dari ladang. Rumah yang dibangun bertiang itu dalam rangka menghindari bahaya dari banjir dan binatang buas.

Oleh karena mereka sudah hidup menetap dalam suatu perkampungan maka tentunya dalam kegiatan membangun rumah mereka melaksanakan secara bergotong-royong. Gotong-royong tidak hanya dilakukan dalam membangun rumah, tetapi juga dalam menebang hutan, membakar semak belukar, menabur benih, memetik hasil tanaman, membuat gerabah, berburu, dan menangkap ikan.

Masyarakat bercocok tanam ini memiliki ciri yang khas. Salah satunya ialah sikap terhadap alam kehidupan sudah mati. Kepercayaan bahwa roh seseorang tidak lenyap pada saat orang meninggal sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Upacara yang paling menyolok adalah upacara pada waktu penguburan terutama bagi mereka yang dianggap terkemuka oleh masyarakat. Biasanya yang meninggal dibekali bermacam-macam barang keperluan sehari-hari seperti perhiasan, periuk, dan lain-lain agar perjalanan si mati ke alam arwah terjalin keselamatannya.

Jasad seseorang yang telah mati dan mempunyai pengaruh kuat biasanya diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar. Jadi, bangunan itu menjadi medium penghormatan, tempat singgah, dan lambang si mati. Bangunan-bangunan yang dibuat dengan menggunakan batu-batu besar itu pada akhirnya melahirkan kebudayaan yang dinamakan megalitikum (batu besar).

Kemajuan masyarakat dalam masa neolitikum ini tidak saja dapat dilihat dari corak kehidupan mereka, tetapi juga bisa dilihat dari hasil-hasil peninggalan budaya mereka. Yang jelas mereka semakin meningkat kemampuannya dalam membuat alat-alat kebutuhan hidup mereka. Alat-alat yang berhasil mereka kembangkan antara lain: beliung persegi, kapak lonjong, alat-alat obsidian, mata panah, gerabah, perhiasan, dan bangunan megaltikum.

Beliung persegi ditemukan hampir seluruh kepulauan Indonesia, terutama bagian barat seperti desa Sikendeng, Minanga Sipakka dan Kalumpang (Sulwasei), Kendenglembu (Banyuwangi), Leles Garut (Jawa Barat), dan sepanjang aliran sungai Bekasi, Citarum, Ciherang, dan Ciparege (Rengasdengklok). Beliung ini digunakan untuk alat upacara.

Kapak lonjong ditemukan terbatas hanya di wilayah Indonesia bagian timur seperti Sulawesi, Sangihe-Talaud, Flores, Meluku, Leti, Tanibar dan Papua. Kapak ini umumnya lonjong dengan pangkal agak runcing dan melebar pada bagian tajaman. Bagian tajaman diasah dari dua arah sehingga menghasilkan bentuk tajaman yang simetris.

Alat-alat obsidian merupakan alat-alat yang dibuat dari batu kecubung. Alat-alat obsidian ini berkembang secara terbatas di beberapa tempat saja, seperti: dekat Danau Kerinci (Jambi), Danau Bandung dan Danau Cangkuang Garut, Leuwiliang Bogor, Danau Tondano (Minahasa), dan sedikit di Flores Barat.

Baca Juga:Kerajaan Pajang

Alat-Alat Zaman Neolithikum

Pada zaman neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.

Pahat Segi Panjang

Mengapa kapak persegi disebut sebagai cangkul dan apa pula fungsinya

Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.

Kapak Persegi

Mengapa kapak persegi disebut sebagai cangkul dan apa pula fungsinya

Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.

Baca Juga:Perang Dingin

Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.

Kapak Lonjong

Mengapa kapak persegi disebut sebagai cangkul dan apa pula fungsinya

Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.

Baca Juga:Lambang ASEAN dan Artinya

Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.

Kapak Bahu

Mengapa kapak persegi disebut sebagai cangkul dan apa pula fungsinya

Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.

Baca Juga:Diakronik adalah

Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)

Mengapa kapak persegi disebut sebagai cangkul dan apa pula fungsinya

Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.

Pakaian dari kulit kayu

Mengapa kapak persegi disebut sebagai cangkul dan apa pula fungsinya

Baca Juga:Kerajaan Kutai

Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.

Tembikar (Periuk belanga)

Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya barang-barang tembikar atau periuk belanga terdapat di lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra, tetapi yang ditemukan hanya berupa pecahan-pecahan yang sangat kecil. Walaupun bentuknya hanya berupa pecahan-pecahan kecil tetapi sudah dihiasi gambar-gambar. Di Melolo, Sumba banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang belulang manusia.

Baca Juga: Deklarasi Bangkok

Demikian penjelasan artikel diatas tentang Zaman Neolitikum : Pengertian, Peniggalan, Ciri, Kapak Persegi semoga dapat bermanfaat bagi pembaca setia DosenPendidikan.Co.Id

Mungkin Dibawah Ini yang Kamu Butuhkan