Berdasarkan pengakuan Hatta, ia dihubungi oleh Opsir Kaigun (angkatan Laut Jepang) bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik yang tinggal di wilayah yang dikuasai Kaigun merasa keberatan terhadap bagian kalimat dalam pembukaan Undang-undang Dasar yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Protes juga disampaikan oleh Johannes Latuharhary (perwakilan dari Ambon) yang berpendapat bahwa sila tersebut meresahkan kaum non-Muslim. Show Menghadapi keberatan tersebut dan untuk menghindari adanya perpecahan bangsa, akhirnya pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang pertama pada tanggal 18 Agustus 1945, dilakukanlah perubahan terkait sila pertama Pancasila. Hasilnya adalah sila pertama diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini dilakukan untuk menjaga persatuan bangsa Indonesia. Dengan demikian, jawaban yang tepat adalah B. Jakarta - Piagam Jakarta merupakan rancangan awal dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Piagam Jakarta lahir setelah adanya kesepakatan dan penandatanganan dari para anggota Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945. Sejarah negeri ini mencatat, Piagam Jakarta yang disusun dengan kompromi politik ini berusia kurang dari dua bulan. Karena kompromi politik juga, tujuh kata dalam piagam tersebut akhirnya dihapuskan. Begini kisahnya. Sejarah Piagam JakartaMendirikan Indonesia yang merdeka diperlukan suatu dasar negara, untuk itu dibentuklah BPUPKI (Badan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang diketuai oleh Dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat. Dikutip dari e-modul Kemdikbud PPKn Paket B Tingkatan III karya Nanik Pudjowati, M.Pd., sidang pertama BPUPKI berlangsung pada 29-1 Juni 1945. Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Islam dan Politik menuliskan Radjiman mengajukan pertanyaan tentang landasan filosofis bagi negara yang hendak didirikan dalam sidang tersebut. Sejumlah usulan disampaikan oleh Mr. Muhammad Yamin, Mr. Soepomo, dan Ir. Sukarno. Ki Bagus Hadikusumo anggota BPUPKI yang juga pimpinan Muhammadiyah mengajukan Islam sebagai dasar negara. "Usulan ini merupakan antitesis terhadap usul Sukarno-Yamin," tulis Maarif. Dengan munculnya usulan tersebut berarti ada dua usulan yang berbeda. Akhirnya karena tidak ada kesepakatan, dalam akhir sidang pertama, ketua BPUPKI kemudian membentuk panitia kecil yang disebut dengan Panitia Sembilan, karena beranggotakan sembilan orang. Tugas dari Panitia Sembilan adalah untuk menyelidiki usul-usul mengenai perumusan dasar negara yang akan dibahas pada sidang berikutnya. Anggota-anggota Panitia Sembilan yakni Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, A.A Maramis, Abikusno Tjokosujono, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin. Pada 22 Juni 1945, panitia sembilan mengadakan sebuah rapat untuk membahas rancangan dasar negara di rumah kediaman Ir. Sukarno, yang beralamat di Jalan Pegangsaan Timur No 56 Jakarta. Dalam rapat yang terjadi, banyak perbedaan pendapat dan paham antara para anggota Panitia Sembilan, terutama mengenai masalah agama dan negara. Akhirnya ada kompromi politik dari rapat tersebut yang menghasilkan sebuah naskah rancangan pembukaan hukum dasar (pembukaan Undang-Undang dasar). "Mukadimah" merupakan kata yang diusulkan oleh Ir. Sukarno untuk rancangan pembukaan undang-undang dasar, kemudian Mr. Muhammad Yamin menamakannya sebagai Piagam Jakarta dikenal juga dengan istilah Jakarta Charter. Secara garis besar, isi Piagam Jakarta sebagai rumusan dasar negara dari hasil rapat kesepakatan bersama pada 22 Juni 1945 adalah sebagai berikut: 1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Perubahan Naskah Piagam JakartaNaskah Piagam Jakarta tersebut selanjutnya akan dibawa ke sidang kedua BPUPKI pada 10-16 Juni 1945. Setelah sidang kedua dilaksanakan, maka tugas BPUPKI dianggap selesai kemudian BPUPKI pun dibubarkan lalu digantikan dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI diketuai oleh Sukarno, dan Wakilnya Drs. Moh. Hatta kemudian melanjutkan tugas dari BPUPKI mengenai rancangan hasil Undang-Undang Dasar. Walaupun sudah dirumuskan, bukan berarti rumusan tersebut mendapatkan kesepakatan final. Hatta dalam autobiografinya, Mohammad Hatta: Memoir (1979), menyebut seorang opsir Angkatan Laut Jepang (Kaigun) mendatanginya setelah naskah proklamasi Opsir tersebut memberitahukan wakil-wakil Protestan dan Katolik di Indonesia timur sangat keberatan dengan kalimat Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syafii Maarif dalam bukunya menyebut Sukarno sebenarnya kewalahan menghadapi Ki Bagus yang bertahan dalam rumusan Piagam Jakarta. Sebelum sidang PPKI, Hatta kemudian meminta Teuku Muhammad Hasan wakil Aceh dalam PPKI untuk membujuk Ki Bagus. Benedict Anderson dalam bukunya Revoloesi Pemoeda mengungkapkan, reputasi orang-orang Aceh sebagai penganut Islam yang gigih punya daya tawar tinggi untuk meluluhkan Ki Bagus untuk menerima penghapusan penyebutan Islam dalam Undang-undang Dasar 1945. Hasan menekankan pentingnya kesatuan nasional. "Adalah sangat mutlak untuk tidak memaksa minoritas-minoritas Kristen penting (Batak, Manado, Ambon) masuk ke dalam lingkaran Belanda yang sedang berusaha datang kembali, " tulis Ben. Akhirnya, dengan kompromi politik ptersebut, naskah Piagam Jakarta berubah. Kalimat pengiring Ketuhanan dalam sila pertama dihilangkan diganti atribut Yang Maha Esa. Berikut adalah perubahan-perubahan naskah Piagam Jakarta yang disepakati antara lain:
Perbedaan antara Piagam Jakarta dengan Undang-Undang Dasar 1945Menurut buku Modul Resmi SKB dan SKD karya Tim Psikologi Salemba, rumusan mengenai "Ketuhanan" dalam Piagam Jakarta sejatinya belum mampu menggambarkan agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Seperti diketahui, masyarakat Indonesia tidak hanya memeluk agama Islam saja, namun ada juga beberapa agama lain. Atas dasar tersebut, rumusan dasar negara Berikut rumusan dasar negara dalam Pembukaan UUD 1945 yang telah diubah:1. Ketuhanan Yang Maha Esa2. Kemanusiaan yang adil dan beradab3. Persatuan Indonesia4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan . 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima dasar negara tersebut yang sampai sekarang dijadikan sebagai dasar negara Indonesia, sebagaimana disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Nah, itu tadi merupakan penjelasan mengenai isi Piagam Jakarta dan juga sejarahnya. Detikers, sekarang jadi makin paham kan? Simak Video "Survei SMRC: 78% Rakyat Indonesia Tak Setuju Amandemen UUD 1945" (pal/pal)
SEJARAH “PIAGAM JAKARTA” Pada waktu Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) merumuskan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 ada keinginan dari sebagian anggota BPUPKI untuk mewajibkan pemeluk agama Islam di Indonesia menjalankan “syariat/syariah” dengan mencantumkan kata-kata “keTuhanan, dengan mewajibkan mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja”. Namun demi persatuan bangsa Indonesia yang segera akan diproklamasikan kemerdekaannya, maka terjadilah kompromi di antara para anggota BPUPKI untuk menghapuskan 7 (tujuh) kata tersebut. Sejarah “Pancasila” sebagai dasar negara Indonesia tidak bisa dilepaskan dari “Piagam Jakarta”. “Piagam Jakarta” bertujuan untuk menjembatani antara golongan agamais dan kelompok nasionalis-kebangsaan yang terjadi dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).1 “Piagam Jakarta” atau “Jakarta Charter” disahkan pada 22 Juni 1945 dan disusun oleh Panitia Sembilan BPUPKI. Panitia Sembilan beranggotakan Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, H. Agus Salim, Mr. Ahmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Mr. Mohammad Yamin.2 Awalnya, “Piagam Jakarta” berisi garis-garis besar perlawanan terhadap imperialisme, kapitalisme, fasisme, serta untuk dapatmenjadi dasar hukum pembentukan Negara Republik Indonesia. Dalam “Piagam Jakarta” juga tercantum 5 rumusan dasar negara yang sebelum dinamakan “Pancasila” berbeda susunannya.3 ISI “PIAGAM JAKARTA” “Piagam Jakarta” tidak lain adalah “Pembukaan UUD 1945”. “Piagam Jakarta” berisi empat alinea yang kemudian menjadi “Pembukaan UUD 1945”, termasuk 5 poin yang salah satunya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, kemudian diubah dalam Pancasila menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berikut ini isi “Piagam Jakarta”:4 Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjadjahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan. Dan perdjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan Rakjat Indonesia kedepan pintu-gerbang Negara Indonesia, jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan-luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka Rakjat Indonesia dengan ini menjatahkan kemerdekaannja. Kemudian daripada itu membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia jang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memadjukan kesejahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia jang berkedaulatan Rakjat, dengan berdasar kepada: keTuhanan, dengan mewajibkan mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja; menurut dan kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat-kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakjat Indonesia. Djakarta, 22-6-1945 Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, H. A. Salim Mr. Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, Mr. Mohammad Yamin PERUBAHAN TERHADAP ISI SEMULA “PIAGAM JAKARTA” Isi “Piagam Jakarta” yang telah dikemukakan di atas yang kemudian telah menjadi “Pembukaan UUD 1945” bunyinya semula tidak seperti bunyi “Pembukaan UUD 1945”. Ada bagian dari “Piagam Jakarta” yang semula disusun telah dihapuskan sehingga kemudian bunyinya adalah sebagaimana “Pembukaan UUD 1945”. Riwayat perubahan tersebut adalah sebagaimana diterangkan di bawah ini. Setelah “Piagam Jakarta” yang disahkan pada 22 Juni 1945, Mohammad Hatta mengungkapkan bahwa pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945, ia menerima kedatangan seorang opsir Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Dikemukakan oleh Mohammad Hatta: “Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang (tinggal di wilayah yang) dikuasai Kaigun, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan Undang-undang dasar, yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” (Mohammad Hatta: Memoir, 1979). Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang menjadi salah satu isi “Piagam Jakarta” kemudian menimbulkan perdebatan.5 Menurut Hatta, Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki keragaman budaya dan agama beserta para pemeluknya. Maka itu, seluruh umat beragama di Indonesia sebaiknya merasa terwakili dalam rumusan dasar negara. Kata Hatta:6 “Tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka (yang) golongan minoritas.” Sukarno dan Hatta kemudian mengundang Kasman Singodimedjo untuk menghadiri sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tokoh Islam dari Muhammadiyah tersebut diundang untuk membicarakan isi “Piagam Jakarta” bersama beberapa tokoh lain pada 18 Agustus 1945.7 Perundingan pun dilakukan meskipun berlangsung agak alot. Pada akhirnya disepakati bahwa salah satu isi “Piagam Jakarta” yang berbunyi “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa), yang kemudian ditetapkan sebagai sila pertama Pancasila yang menjadi dasar negara sekaligus falsafah hidup bangsa Indonesia.8 Footnote 1 Yuda Prinada, Beda Isi Piagam Jakarta dengan Pancasila dan Sejarah Perubahannya, cfm https://tirto.id/beda-isi-piagam-jakarta-dengan-pancasila-dan-sejarah-perubahannya-f7DR. 2 Yuda Prinada, Beda Isi Piagam Jakarta dengan Pancasila dan Sejarah Perubahannya, cfm https://tirto.id/beda-isi-piagam-jakarta-dengan-pancasila-dan-sejarah-perubahannya-f7DR 3 Yuda Prinada, Beda Isi Piagam Jakarta dengan Pancasila dan Sejarah Perubahannya, cfm https://tirto.id/beda-isi-piagam-jakarta-dengan-pancasila-dan-sejarah-perubahannya-f7DR. 4 Yuda Prinada, Beda Isi Piagam Jakarta dengan Pancasila dan Sejarah Perubahannya, cfm https://tirto.id/beda-isi-piagam-jakarta-dengan-pancasila-dan-sejarah-perubahannya-f7DR 5 Yuda Prinada, Beda Isi Piagam Jakarta dengan Pancasila dan Sejarah Perubahannya, cfm https://tirto.id/beda-isi-piagam-jakarta-dengan-pancasila-dan-sejarah-perubahannya-f7DR 6 Yuda Prinada, Beda Isi Piagam Jakarta dengan Pancasila dan Sejarah Perubahannya, cfm https://tirto.id/beda-isi-piagam-jakarta-dengan-pancasila-dan-sejarah-perubahannya-f7DR. 7 Yuda Prinada, Beda Isi Piagam Jakarta dengan Pancasila dan Sejarah Perubahannya, cfm https://tirto.id/beda-isi-piagam-jakarta-dengan-pancasila-dan-sejarah-perubahannya-f7DR. 8 Yuda Prinada, Beda Isi Piagam Jakarta dengan Pancasila dan Sejarah Perubahannya, cfm https://tirto.id/beda-isi-piagam-jakarta-dengan-pancasila-dan-sejarah-perubahannya-f7DR. Seri Sejarah Hukum: SEJARAH HUKUM INDONESIA |